sesuai dengan kehendak Ilahi.
28
Hamka menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Nabi Ibrâhîm as. memperoleh ilmu Ladunni.
29
Kemudian Allah memperinci akan kerajaan langit dan bumi yang sebagaimana dalam ayat selanjutnya:
“Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang lalu Dia berkata: Inilah Tuhanku, tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: Saya
ti dak suka kepada yang tenggelam.”
Proses pemikiran atau cara membungkam para penyembah benda-benda langit itu bermula atau dimulai Ketika malam telah menutupinya menjadi sangat
gelap sehingga meliputi seluruh totalitasnya bahkan sekelilingnya. Tenggelamnya bintang adalah salah satu bukti ketidakwajarannya untuk dipertuhankan.
30
Ketika Allah Ta’ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya,
dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari bintang Jupiter yang
merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani dan Romawi Kuno.
31
Ketika melihat itu, Ibrâhîm as. berkata: بر ا لاق
ي “Inilah Tuhanku”. Perkataan ini dikemukakannya di dalam forum
perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya, sebagai permulaan pengingkarannya terhadap mereka. Pertama-tama, dia mengemukakan perkataan
mereka sendiri guna menarik perhatian mereka supaya mau mendengarkan hujjah atas kebatilan sembahan terhadap bintang itu. Pertama-tama dia mengaburkan
pandangan mereka, sehingga mereka menduga bahwa dia menyetujui pandangan
28
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 511
29
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983, h. 252
30
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 512
31
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291
mereka. Kemudian, dia menyampaikan kritiknya, yang dalilnya didasarkan atas indra dan akal.
Namun, tatkala bintang itu terbenam dan menghilang, dia berkata, “Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang terbenam dan menghilang”.
Menurut Syekh Muhammad Nawawi dalam tafsir munîr menjelaskan maksudnya
adalah tidak suka menyembah tuhan-tuhan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan yang berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain
yang terhalang oleh tutup-tutup.
32
Perkataan ini disampaikan karena orang yang sehat fitrahnya tidak akan menyukai sesuatu yang hilang dari padanya, dan tidak
pula merasa kesepian karena kehilangannya.
33
Tenggelamnya bintang adalah salah satu bukti ketidak wajarannya untuk dipertuhankan. Gerak menunjukkan
perubahan pada tempat dan ini menunjukkan bahwa ia baru, selanjutnya ini menunjukkan bahwa wujudnya tidak wajib dalam arti boleh ada dan boleh tidak
ada mumkin al-wujud dan yang demikian – bila wujud – pasti ada yang
mewujudkan sehingga ia tidak mungkin Tuhan.
34
Dengan demikian pernyataan Nabi Ibrâhîm a.s tersebut mengenai wujud Allah di atas mengisyaratkan bahwa sesuatu yang disembah seharusnya dikagumi
dan dicintai sehingga yang tidak mencintai sesuatu tidaklah wajar mengabdi kepadanya. Memang, bisa saja seseorang menyembah sesuatu karena takut
kepada-Nya, tetapi yang demikian itu tidak merupakan puncak pengabdian atau bahkan tidak wajar dinamai ibadah. Ibadah yang sebenarnya adalah yang
berpangkal dari rasa kagum dan cinta kepada Tuhan.
35
32
Syekh Muhammad Nawawi, Tafsir Munir; Juz I, Semarang: Thaha Putra, t.t , h. 247
33
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 292
34
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 513
35
Ibid., h. 513
“Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: Inilah Tuhanku. tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.
Setelah terbukti bahwa bintang tidak pantas dijadikan sebagai tuhan karena ia tenggelam, maka beralihlah kepada bulan yang cahayanya tampak lebih
besar dibandingkan dengan bintang. Ketika melihat permulaan terbitnya bulan di balik ufuk, Nabi Ibrâhîm as.
bekata, “Inilah Tuhanku.” Penggunaan kata
ا hâdzâ pada Q.S. al-An’am ayat 77 di atas, juga sebelum dan sesudahnya bukan saja menunjuk sesuatu yang tertentu, tetapi juga
mengandung makna bahwa yang ditunjuk itu adalah sesuatu yang sebelumnya telah dicari, lalu kini ditemukan.
36
Ketika bulan itu tenggelam sebagaimana halnya bintang, maka Nabi Ibrâhîm as. berkata sambil mendengarkannya kepada orang-orang sekitarnya,
“Sekiranya Tuhanku tidak memberiku petunjuk dan taufik untuk mencapai kebenaran dalam mentauhidkan-Nya, tentulah aku sudah termasuk kaum zalim
yang tidak mencapai kebenaran dalam hal itu. Sehingga, mereka tidak mendapat petunjuk, menyembah selain Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak
mengamalkan apa yang diridai oleh Allah Ta’ala”.
37
Ucapan Nabi Ibrâhîm as. tersebut behubungan dengan penolakannya yang telah dikemukakan ketika melihat bintang yang tenggelam bahkan semua yang
tenggelam dan yang di sini bulan pun demikian. Dengan tenggelamnya bulan, terbukti bahwa jika beliau mempertuhankannya, beliau pasti sesat dan karena itu
beliau lanjutkan dengan berkata pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Di sini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat
keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungkannya hidayah Ad-Din pada wahyu Ilahi. Di sini sindiran meningkat karena hujjah
lawan bicara setelah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan
36
Ibid., h. 515
37
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 294
mereka ternodai. Dalam langkah ketiga, ia beralih dari sindiran kepada terus terang, menyatakan kebebasannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar
berada dalam kemusyrikan yang nyata.
38
Setelah jelas bahwa Hal ini setelah kebenaran benar-benar tampak, sebagaimana ayat selanjutnya :
“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia
berkata: Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Sambil menunjuk matahari, Nabi Ibrâhîm as. berkata, “Yang aku lihat
sekarang, inilah Tuhanku”. ر ْكا ا
“Ia lebih besar dari bintang dan bulan.” Tampak dari sini, bahwa Ibrâhîm memperpanjang argumentasinya untuk menyudutkan mereka. Dalam
pembicaraannya ini pula terdapat pendahuluan untuk menegakkan hujjah atas mereka, dan tahapan untuk memancing perhatian mereka agar mau mendengarkan
pembicaraan sesudah sindiran yang di khawatirkan akan mereka sangkal. Setelah matahari itu terbenam, sebagaimana yang lainnya menghilang, lalu
tertutuplah cahayanya, dan kesunyian melebihi kesunyian karena tenggelamnya bintang dan bulan. Maka, Nabi Ibrâhîm as. membeberkan sejelas-jelasnya, apa
yang dia kehendaki setelah sindiran itu, sambil melepaskan diri dari kemusyrikan kaum karena keburukannya dengan memutar balik dan mengulur-ulur
pembicaraan dengan penuh kelembutan hingga sampai kepada apa yang dia kehendaki dengan cara yang terbaik dan terhalus, sambil membebaskan diri dari
38
Ibid., h. 294
sembahan-sembahan yang mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah itu.
39
Dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan, bahwa berita dari Allah swt. tentang ucapan Nabi Ibrâhîm as.
يبر ا ketika melihat bintang, bulan dan matahari, sama sekali bukan karena ketidaktahuan beliau bahwa semua itu bukan tuhan
namun sebaliknya, ungkapan tersebut merupakan pengingkaran bahwa semuanya bukan tuhan. Juga dalam rangka melecehkan kaumnya yang menyembah berhala.
Maksudnya, bintang, bulan dan matahari saja tidak pantas dijadikan tuhan, maka apalagi berhala yang mereka sembah, padahal semuanya lebih bercahaya dari
pada berhala, sementara berhala lebih kecil. Itu hanyalah ungkapan debat yang diungkapkan kepada kaumnya, seperti yang biasa dilakukan oleh ahli debat yang
membantah lawan dan menjelaskan kebatilan pendapatnya.
40
Begitu pula Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya mengenai cara Nabi Ibrâhîm as. pada Q.S. al-
An’am ayat 74-78 dalam mengungkapkan akan kasesatan ayah dan kaumnya yaitu pada tataran pertama berupa dialog dengan ayahnya,
Nabi Ibrâhîm as. hendak menjelaskan kesalahan mereka dalam menyembah berhala-berhala
arđi yang bersosok malaikat samawi agar berhala-berhala itu memintakan syafa’at untuk mereka kepada Pencipta Yang Maha Agung. Mereka
berpandangan bahwa terlalu hina bila menyembah-Nya secara langsung.
Sebenarnya mereka hanya menjadikan patung-patung malaikat itu sebagai perantara untuk memintakan pertolongan, rezeki, dan semacamnya kepada Yang
Maha Pencipta. Dalam tataran kedua, Ibrahim menjelaskan kesalahan dan kesesatan
mereka karena menyembah patung-patung yang melambangkan tujuh buah tata surya, yaitu bulan, Merkurius, Venus, matahari, Mars, Yupiter dan Saturnus.
Menurut mereka, planet yang kuat cahayanya dan paling mulia ialah matahari, kemudian bulan dan Venus. Mula-mula Nabi Ibrâhîm as. menjelaskan bahwa
planet Venus tidak layak mendapat predikat tuhan, sebab planet ditaklukkan dan
39
Ibid., h. 295
40
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 153
ditetapkan dalam peredaran tertentu, tidak menyimpang ke kiri maupun ke kanan, dan tidak memiliki kehendak untuk mengatur dirinya sendiri. Namun Venus
merupakan salah satu benda yang diciptakan bercahaya karena ia memiliki hikmah yang besar. Demikian pula halnya dengan matahari dan bulan dijelaskan
oleh Nabi Ibrâhîm as. satu demi satu. Setelah Nabi Ibrâhîm as. meniadakan unsur ketuhanan dari ketiga planet
yang bercahaya menurut pandangan mata dan membuktikan kebatilannya dengan argumentasi yang
qaţ’i maka “ia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.” Yakni, aku terlepas diri dari
penyembahan planet itu dan dari menjadikannya sebagai penolong.
41
Setelah membebaskan diri dari kemusyrikan mereka itu, dia menutup dengan menjelaskan akidahnya: akidah tauhid yang murni. Dia berkata :
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah Termasuk orang- orang yang mempersekutukan tuhan”.
“Aku menghadapkan wajahku dalam keadaan h anîfan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan”, yakni bukan menganut apa yang dianut oleh kaumnya bahkan oleh siapa pun yang mengakui dalam hati, atau ucapan, atau perbuatannya
bahwa ada penguasa atau pemberi pengaruh terhadap sesuatu selain Allah swt. atau kecuali atas izin-
Nya”.
42
H anîf di sini juga diartikan cenderung dari
kemusyrikan kepada tauhid.
43
41
Muhammad Nasib ar- Rifa’i,Op. Cit., h. 237
42
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 516
43
Muhammad Nasib ar- Rifa’i, Op. Cit., h. 237
Menyerahkan muka kepada Allah Ta’ala adalah menghadapkan hati kepada-Nya. Diungkapkan demikian karena wajah adalah manifestasi terbesar
bagi apa yang tersimpan di dalam jiwa, berupa menerima, berpaling, senang, duka cita dan sebagainya. Mengarahkan wajah kepada-Nya berarti mengarahkannya
hanya kepada-Nya di dalam memohon kebutuhan dan ikhlas beribadah, karena Dialah yang berhak diibadahi, yang kuasa memberikan balasan dan pahala.
44
B.
Pendidikan Keimanan yang Terkandung di dalam Surat al- An’am Ayat
74-79
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Secara kodrati manusia membutuhkan pendidikan. Salah satu pendidikan yang paling
dasar ditanamkan adalah pendidikan keimanan dalam bentuk pendidikan Tauhid, karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah berupa keimanan kepada Allah
yang dilahirkan dengan dibekali fitrah untu beragama tauhid. Begitu pula para rasul dalam menyampaikan risalahnya untuk menanamkan tauhid ke dalam jiwa
umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah, mengabdi, dan berbakti kepada-Nya dengan melarang berbuat musyrik kepada-
Nya. Adapun aspek tauhid ini adalah: Aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang
berketuhanan. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk berketuhananan atau agama adalah didalam jiwa manusia
terdapat insting yang disebut insting religius atau garizah diniyah insting percaya pada agama. Itulah sebabnya tanpa proses pendidikan insting
tersebut tidak akan mungkin berkembang secara wajar. Dengan demikian pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting
religius atau gazirah diniyah tersebut.
45
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa pendidikan keimanan itu merupakan pendidikan yang paling utama yang harus ditanamkan dalam diri
setiap muslim yang ditanamkan sejak dini. Karena pendidikan keimanan ini merupakan pendidikan dalam upaya untuk mengajak anak didik untuk meyakini
kepada rukun-rukun iman yang enam, yang pokok utamanya ialah iman kepada Allah swt. dalam bentuk tauhid, karena inti dari keimanan adalah tauhid. Sehingga
44
Ahmad Muşţafa al-Maragi, Op. Cit., h. 296
45
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h.117
dengan adanya pendidikan tauhid ini, dapat mengembangkan fitrahnya sebagai manusia yang telah dibekali dengan fitrah ketauhidan dengan bertujuan adanya
pendidikan tauhid ini dapat menjaga kesucian fitrah manusia yang telah Allah swt. anugerahkan agar menjadi hamba yang berbakti kepada Allah swt.
Dengan begitu yang dimaksud dengan pendidikan tauhid adalah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia menjadi jiwa tauhid yang kuat dan mantap
dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan tidak hanya dengan lisan dan tulisan tetapi juga
– bahkan kini yang terpenting – dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan. Sedangkan yang dimaksud pendidikan dan
pengajaran tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik sebagai akidah yang wajib diyakini maupun sebagai filsafat hidup yang membawa kepada
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.
46
Adapun mengenai pembahasan tauhid dalam ayat ini mencakup pada tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid
asmâ wa sifât.
1.
Tauhid Ulûhiyyah
Tauhid Ulûhiyyah adalah meng- Esakan Allah Ta’ala dan beribadah
kepada- Nya sesuai dengan syari’at yang telah ditetapkan. Sehingga manusia akan
menyerahkan atau menggantungkan dirinya kepada Allah agar mendapatkan rahmat dari-Nya.
47
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al- An’am : 162-163
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. 162 Tiada sekutu bagiNya;
dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah. 163
Adapun pendidikan tauhid yang terdapat pada Q.S. al-An’am ayat 74
yaitu tauhid ulûhiyyah, pada ayat ini dijelaskan bagaimana cara Nabi Ibrâhîm as.
46
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, cet. III, h. 41
47
Syaikh Abu Bakar Jabir al-jazairi, Op. Cit., h. 99
dalam meluruskan ajaran-ajaran ayah dan kaumnya yang menyembah berhala. Ayah Nabi Ibrâhîm as. percaya bahwa berhala-berhala itu dapat memberi manfaat
kepada mereka dan dapat mendatangkan mađarat. Padahal tuhan yang disembah oleh ayahnya itu tidak lain hanya patung yang tidak dapat membawa manfaat dan
mendatangkan mađarat. Oleh karena itu Nabi Ibrâhîm as. mengajak kepada ayahnya agar menyembah kepada Tuhan yang sebenarnya dan yang pantas untuk
disembah. Dalam dakwahnya Nabi Ibrâhîm as. mengajak ayahnya agar meninggalkan
kepercayaan ayahnya yaitu sebagai penyembah berhala, bahkan profesi ayahnya itu sebagai pembuat dan yang memperjual belikan berhala-berhala itu. Nabi
Ibrâhîm as. tidak memulai dakwah kepada ayahnya dengan mencela dan mencaci- maki apa yang disembahnya atau merendahkan tuhannya. Nabi Ibrâhîm as.
memulai pembicaraan bersama ayahnya dengan memanggilnya, “Wahai ayah”, supaya dapat mempengaruhi perasaannya dan dapat menyentuh relung hatinya.
Kemudian Nabi Ibrâhîm as. bertanya kepadanya tentang apa yang membuatnya tunduk beribadah kepada berhala meskipun berhala tersebut tidak mendengarkan
do’a dan pujiannya, tidak melihat ketudukkan dan kekhusyu’annya dan tidak dapat menolak bencana ketika berhala diminta untuk menghilangkan bencana
tersebut atau memberikan suatu hadiah ketika ia diminta.
48
Dapat difahami bahwasannya cara Nabi Ibrâhîm as. mengajak ayahnya agar bertauhid kepada Allah swt. dengan cara mengajak ayahnya berdialog antara
Nabi Ibrâhîm as. dengan kaumnya yaitu dengan ungkapannya kepada ayah “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?”
49
Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid ulûhiyyah ini yaitu:
48
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu al- Fadhl Ibrahim, Untaian Kisah dalam al-
Qur’an, Jakarta: Darul Haq, 2007, h. 49
49
Muhammad Ali Ash-Shabuni, An-Nubuwah wal Anbiya,Jakarta: Gema Insani Press, 1992, Cet. I, h. 67
a. Allah satu-satunya sumber hidayah
Dalam Q.S. al- An’am ayat 77 Nabi Ibrâhîm memohon hidayah kepada
Allah swt. agar diberikan petunjuk kepada ajaran yang benar karena kesesatan kaumnya yang menyembah berhala. Dan Nabi Ibrâhîm as. yakin bahwa hanya
Allah satu-satunya yang memberi hidayah. Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Karena demikian pentingnya hal ini, bahkan Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah swt minimal 17 kali dalam sehari
semalam, disetiap shalat yang kita kerjakan yaitu dengan do’a yang terdapat dalam surat al-fatihah
50
yang berbunyi:
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus” Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Al-Fawa`id, mengatakan bahwa:
“Ayat di atas mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan
tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada
dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan
baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut dengan hidayah dari-
Nya.”
51
Para ulama membagi hudâ atau hidayah menjadi empat macam:
Pertama , hidayah yang secara umum diberikan kepada manusia berakal,
berupa kemampuan nalar, kecerdasan dan ilmu pengetahuan, seperti di ungkap di dalam Q.S. Thâha : 50
“Musa berkata: Tuhan Kami ialah tuhan yang telah memberikan kepada tiap-
tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”
50
Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al- Qur’an dan Hadits, Jakarta:
Kamil Pustaka, 2013, Cet. II, h. 75
51
Ibid., h. 75
Kedua , hidayah yang diberikan kepada manusia melalui pelantara para
nabi, berupa ajaran agama. Hidayah ini lebih tinggi tingkatannya dari yang pertama. Ini dikemukakan antara lain pada Q.S. al-Anbiyâ : 73
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.”
Ketiga, hidayah berupa taufik yang khusus diberikan kepada orang
tertentu. Jenis hidayah ini antara lain terdapat dalam Q.S. al-Baqarah : 213
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-
Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Keempat, hidayah yang akan diberikan di akhirat berupa kenikmatan
surgawi. Inilah hidayah yang paling tinggi tingkatannya, seperti yang di sebut di daam Q.S. al-
A’raf: 43
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada surga ini. dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi
Kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami, membawa kebenaran. dan diserukan kepada mereka: ltulah surga yang
diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.
b. Penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan
Pada Q.S. al- An’am ayat 78 ini Nabi Ibrâhîm as. menjelaskan akan
kesesatan kaumnya yang menyembah bintang, bulan dan matahari. Setelah menyaksikan bahwa bintang, bulan dan matahai itu tidak pantas untuk disembah
maka Nabi Ibrâhîm as. membebaskan diri dari segala bentuk kemusyrikan kaumnya.
Syirik merupakan satu-satunya dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah selama pelakunya tidak bertaubat. Oleh karena itu, syirik merupakan
perbuatan yag harus dihindari karena syirik ini dapat mengahancurkan keimanan seseorang.
Adapun definisi syirik yaitu menyamakan selain Allah swt. dengan Allah swt. dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi
Allah swt, seperti berdo’a kepada selain Allah swt disamping berdo’a kepada Allah swt, atau memalingkan
suatu bentu k ibadah seperti menyembelih kurban, bernadzar, berdo’a dan
sebagainya kepada selainNya.
52
Mensyarikatkan Allah dalam beribadah kepada-Nya, baik dalam kepercayaan, kepatuhan, permohonan atau do’a, maupun dalam bentuk pemujaan
dan pengorbanan, semuanya itu pada hakikatnya adalah suatu penyelewengan dan
sekaligus pembangkangan terhadap hak-hak Allah yang berdaulat penuh dijagat raya ini. Rasulullah dalam haditsnya menjelaskan tentang bahaya syirik,
diantaranya sabdanya
53
yaitu: ع
ْ ط
را ْب
ش ا
أ ر
ْ ل
ها ق .ّل يلع ها ىلص
لا خ
ل ْلا
ج ر
ج ل
ف ى
با خ
ل لا
را ر
ج ل
ف ى
با ق
لا ْ
ك :ا ْي
ف ال
ك ي
را ْ
ل ها
ق ؟ لا
م : ر
ر ج
لا ع
ل ق ى
ْ ل
ّْ ص
ّ ل
يا ج
ْ ا
ح ح
ّ ي ى
ق ر
ل ش
ْيً ا
فق لا
ْ ل ا
أ ح
ق ا ر
ْ ق .
لا ل :
ْي ع
ْ م
أا ق
ر ق .
لا ْلا
ق ر
ْ لْ
ب ًبا
ف ا ق
ر ب
ًبا ف ا
لْ ا
ْيل ف
خ ل
لا را
. ق
لا ْ
ل ا ْل
خ ر
ق ر
ْ فق
لا م :
كا ْ
ل اق
ر ل
ا ح
ش ْيً
ا ْ
ها ع
ج ل
ف . ض
ر ب
ع ا ق
ف خ
ل ْلا
ج .
حا ا ر “Hadits dari Thariq bin Syihab menyatakan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Ada seorang masuk surga sebab seekor lalat dan ada seorang masuk neraka karena seekor lalat pula”. Mereka bertanya, “Bagaimana
demikian ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dua orang berjalan melewati
52
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid III, Terj. dari At-Tauhid Lish-Shaffits Tsalits al-
‘Ali oleh Ainul Haris Arifin, Jakarta: Darul Haq, 1999, h. 6
53
Mansur Said, Bahaya Syirik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996, h. 11
kaum yang mempunyai berhala. Tak seorang pun diperkenankan melewati berhala itu sebelum memberikan mengorbankan sesuatu sajian. Lalu
kaum itu berkata kepada salah seorang dari dua lelaki tadi, “Kalau anda mau lewat berikanlah sajian kepada berhala itu”. Dia menjawab, “Aku
tidak mempunyai apa-apa untu
k bersaji”. Mereka berkata kepadanya, “Berikanlah sajian sekalipun dengan seekor lalat”. Kemudian dengan
seekor lalat ia bersaji, dan oleh mereka ia dibiarkan diperkenankan
meneruskan perjalannanya. Karena perbuatannya itu ia masuk neraka. Kemudian merek
a berkata kepada seorang lagi, “Bersajilah” Orang yang kedua ini menjawab, “Aku tidak akan bersaji berkurban sedikitpun
kepada selain Allah ‘Azza Wajalla”. Lalu kaum itu marah dan memenggal
batang lehernya. Namun selanjutnya Nabi mengatakan, ia pasti bakal masuk surga”. H.R. Ahmad.
Dari hadiś di atas dapat difahami, bahwasannya syirik merupakan suatu perbuatan yang harus dijauhi karena akibat dari perbuatan syirik itu dapat
menjerumuskan kepada pelakunya masuk ke dalam neraka meskipun perbuatan syirik itu terlihat kecil.
Untuk menghindari segala bentuk kemusyrikan, seseorang perlu mengetahui segala bentuk kemusyrikan. Syirik ada dua jenis yaitu syirik besar dan
syirik kecil. 1
Syirik Besar Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan
menjadikannya kekal di dalam neraka, jika ia dunia dan belum bertaubat dari padanya.
54
Menurut Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Z ahabi bahwa syirik ini yaitu menjadikan Allah sekutu dan beribadah kepada selain-Nya baik berupa batu,
pohon, matahari, bulan, nabi, syaikh atau bintang dan selainnya.
55
Syirik besar ada empat macam, yaitu:
Syirik Dakwah Do’a, Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, Syirik Ketaatan dan Syirik Kecintaan
54
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Op. Cit., h. 8
55
Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Z ahabi, Al-Kabâ`ir, Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t, h. 9
2 Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menyebabkan pelakunya dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan perantara wasilah kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam: a
Syirik Nyata ťahir : yaitu syirik dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya bersumpah dengan nama selain Allah
saw. Rasulullah saw. bersabda: م
ْ ح
ل ف
ب غْي
ر ها
ف قْ
ك ف
ر ا
ْ ا ْش
ر “Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah
berbuat kufur atau syirik.”H.R. at-Tirmiżi
56
b Syirik Tersembunyi Khafi: Yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat,
seperti ingin dipuji orang riya` dan ingin didengar sum’ah. Jika riya` itu mencampuri niat suatu amal, maka amal itu menjadi tertolak.
Karena itu, ikhlas dalam beramal adalah suatu keharusan. Allah swt berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasannya syirik itu merupakan suatu penurunan martabat yang merusak fitrah manusia yang telah Allah anugerahkan
kepadanya. Menurut Syaikh Muhammad Quthb menjelaskan bahwa ada beberapa hal penyebab syirik diantaranya yaitu:
1. Al-I’jab mengagumi sesuatu dan ta’ťim mengagungkan sesuatu
2. Cenderung mempercayai sesuatu yang bisa dijangkau indera fisik saja dan
lalai dari sesuatu yang tidak terjangkau indra metafisikgaib 3.
Mengikuti Hawa Nafsu dan Syahwat 4.
Takabbur dalam beribadah kepada Allah
56
Muhammad bin ‘Isa at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi, Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2011, Cet. I, h. 296
5. Adanya ţag ut-ţag ut yang ingin disembah manusia dan menolak untuk
berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
57
c. Ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt.
Setelah Nabi Ibrâhîm membebaskan dari dari kemusyrikan yang dilakukan oleh kaumnya maka pada Q.S. al-
An’am ayat 79 Nabi Ibrâhîm menghadapkan muka kepada Allah dalam arti mengarahkan kepada Allah dalam memohon dan
ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Orang yang bertauhid ulûhiyyah beribadah semata-mata karena Allah dan
tidak menyembah yang lain, hanya takut kepada Allah dan hanya kepada Allah tempat bersandar dan berharap.
58
Tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya yaitu untuk beriman kepada-Nya salah satunya dengan beribadah kepada-Nya.
sebagaimana firman- Nya dalam Q.S. Aż-Z âriyât: 56
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku.” Adapun makna ibadah dalam bahasa arab berarti kehinaan dan
ketundukkan. Sedangkan secara istilah arti ibadah yaitu nama yang merangkum segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan,
perbuatan yang tampak dan yang tidak tampak, dengan kecintaan, kepasrahan dan ketundukkan yang sempurna, serta membebaskan diri dari segala yang
bertentangan dan menyalahinya.
59
Ibadah memiliki dua rukun: Pertama,
kesempurnaan cinta yang merupakan tujuan akhirnya itu merupakan hak Allah semata, karena hanya Allah yang dicintai secara sempurna
semata karena Zat-Nya. Sedang segala sesuatu selain Allah dicintai karena sebab-
57
Syaikh Muhammad Quthb, Melawan Syirik Ilhad, Jakarta: Harakah, 2002, Cet. I, h. 10
58
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb, Memurnikan Lâ Ilâha Illallah
, Terj. Abu Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet. I, h. 19
59
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 196
sebab tertentu di luar dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 165
“... Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. .”
Rasulullah saw. bersabda: ْيلع ها ىلص ي لا ع ، ْع للا يضر كلام ْب أ ْ ع
اح ج يف ك ْ م ثاث :لاق ّل الإ حي ا ءْر لا حي ْ أ ،ا ا ا م ْيلإ حأ ل ر للا
ي ْ أ : ا يإا عي ْ أ رْ ي ْ أ ، لل
ي ْ أ رْ ي ا ك رْف لا يف را لا يف ف ْق
“Dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw. bersabda: Ada tiga hal yang bila terdapat dalam diri seseorang, niscaya ia akan mendapatkan manisnya
iman; yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala sesuatu selain keduanya, dan bahwa ia tidak mencintai seseorang
melainkan hanya semata karena Allah, dan bahwa ia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci u
ntuk dilempar ke dalam neraka.”H.R. Bukhari
60
Kedua, puncak ketundukkan dan kepasrahan. Ini merupakan hak Allah
semata. Bagian ini mengandung makna bahwa ia harus mendahlukan syari’at Allah atas yang lainnya, dan bila kehendak Allah dan Rasul-Nya bertentangan
dengan hawa nafsunya dan kemauannya, maka ia senantiasa mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
61
Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa: 65
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.”
60
Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Şah ih al-Bukhari
, Juz I, tt.p., Dâr an-Najah, 2001, Cet. I, h. 15
61
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 891
Menurut Abdul Majid az-Zindani, bahwasannya tidak ada ibadah yang “shahihah” ibadah yang diterima oleh Allah Ta’ala itu melainkan ibadah yang
ikhlas karena Allah Ta’ala yaitu ibadah yang di dalamnya terdapat kepatuhan bagi Allah serta menyempurnakan kasih-sayan
g kepada Allah Ta’ala dan melakukan ibadah ini diniatkan untuk mendapatkan keridaan dari Allah semata, sehingga
ikhlas beribadah ini menjadi syarat dalam ibadah.
62
Adapun hubungan antara tauhid dengan ikhlas yaitu kalimat tauhid disebut sebagai kalimat ikhlash. Karena kalimat ikhlas ini mengandung arti segala
perbuatan yang murni dikerjakan karena Allah.
63
Syekh Muhammad Nawawi menjelaskan, bahwa ikhlas ada tiga tingkatan: 1
Ikhlas beribadah kepada Allah atau mengerjakan sesuatu dengan tidak mengharapkan pahala dan bukan karena takut akan siksa-Nya, tetapi ibadah
ini merupakan bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dan ini merupakan tingkat ikhlas yang tinggi.
2 Beribadah kepada Allah atau beramal dengan ta’at kepada Allah karena
mengharapkan pahala dan takut akan siksa-Nya, atau mengharapkan syurga Allah dan takut akan neraka.
3 Beribadah kepada Allah karena mengharapkan kemuliaan dengan ibadahnya
itu, seperti ingin disebut sebagai ahli ibadah dan sholeh. Atau beramal untuk urusan dunia seperti membaca surat al-
Waqi’ah dengan tujuan ingin menjadi kaya. Dan ini merupakan tingkatan ikhlas yang paling rendah.
64
Adapun yang dimaksud dengan ikhlas untuk beribadah kepada Allah yaitu menempatkan cintanya kepada Allah di atas segala-galanya. Namun bukan berarti
harus suci menyampingkan kecintaan terhadap materi, orang tua dan anak- anaknya, harta benda dan lain-lain materi duniawi. Akan tetapi menempatkan
kecintaanya kepada terhadap materi duniawi dibawah kecintaannya kepada Allah.
65
62
Abdul Majid Az-Zindani, Al-Iman, Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 1996, Cet. I, h. 158
63
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Kalimat Tauhid, Bandung: Pustaka Hidayah, 2007, Cet. I, h. 85
64
Syaikh Muhammad Nawawi, Nurul Ať-ťalam, Jedah : Haramain, t.t.,, h. 44
65
Muhammad Na’im Yasin, Op. Cit., h. 29
2.
Tauhid Rubûbiyyah
Tauhid Rubûbiyyah yang dimaksud adalah mengesakan Allah sebagai
satu-satunya yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. Dan meyakini bahwasannya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Pengatur seluruh mekanisme
gerak dan segala hajat makhluknya.
66
Nilai pendidikan tauhid rubûbiyyah yang terdapat dalam Q.S. al- An’am :
75 adalah memahami rubûbiyyah Allah yang artinya : “ Dan Demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan kami yang terdapat di langit dan bumi dan kami memperlihatkannya agar Dia Termasuk orang yang
yakin.”
Dalam Q.S al- An’am ayat 75 ini dapat difahami bahwasannya Allah swt.
mendidik Nabi Ibrâhîm as. dengan memperlihatkan kepadanya kekuasaan melalui alam semesta. Dengan melihat akan ciptaan dan kekuasaan Allah swt. yang ada
di seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwasannya adanya seluruh alam semesta ini berarti adanya Sang Pencipta dan Allah adalah satu-satunya pencipta
yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Ini merupakan salah satu cara Allah dalam mendidik rasulnya dalam mengajarkan tauhid dengan tujuan agar semakin
mantap keimanan Nabi Ibrâhîm as. Menurut Arifin sebagaimana yang dikutip oleh Hamdani Ihsan dan A.
Fuad Ihsan bahwa dalam al- Qur’an dan Sunah nabi dapat ditemukan metode-
metode untuk pendidikan agama antara lain: a.
PerintahLarangan b.
Cerita c.
Peragaan d.
Intruksional bersifat pengajaran e.
Acquistion self education = mendidik diri sendiri f.
Mutual Education mengajar dalam kelompok g.
Exposition dengan menyajikan yang didahului dengan motivasion menimbulkan minat
66
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb, Op. Cit.,
h. 14
h. Function pelajaran dihidupkan dengan praktek
i. Explanation memberikan penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas
Dari sembilan metode di atas, metode yang terdapat dalam ayat ini adalah metode peragaan, yaitu Allah swt. mengajarkan kepada Nabi Ibrâhîm as. tentang
tauhid dengan menampakkan kerajaan yang ada dilangit dan di bumi. Dengan metode ini, Allah memerintahkan kepada makhluk-Nya agar melihat akan ciptaan
dan seluruh gejala yang terjadi di alam semesta ini. Peragaan ialah suatu cara yang dilakukan oleh guru dengan maksud
memberikan kejelasan secara realita terhadap pesan yang disampaikan sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Dengan peragaan, diharapkan
proses pengajaran terhindar dari verbalisme, yaitu siswa hanya tau kata-kata yang diucapkan oleh guru tetapi tidak dimengerti oleh maksudnya. Untuk itu sangat
diperlukan peragaan dalam pengajaran terhadap siswa di tingkat dasar.
67
Nabi Ibrâhîm as. hidup di lingkungan para penyembah bintang, bulan dan matahari. Beliau mengajarkan kaumnya agar mentauhidkan Allah dengan cara
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka. Kemudian beliau menggiring kaumny
a menuju i’tiqad aqidah yang benar setahap demi setahap, setapak demi setapak. Karena itulah, beliau
mengatakan: “Ini Tuhanku”, ketika melihat bintang, kemudian mengatakan yang demikian pula terhadap bulan dan matahari.
68
Ungkapan ini Nabi Ibrâhîm as. diungkapkan dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya
dengan tujuan untuk mematahkan aqidah mereka yang sesat dan untuk mengajak kaumnya untuk berfikir menggunakan logika yang sehat dan dengan argumentasi
serta keterangan yang jelas. Debat merupakan cara yang Nabi Ibrâhîm as. gunakan untuk mengajak kaumnya agar bertauhid kepada Allah swt.
Debat merupakan metode yang penting dan efektif untuk mengasah otak, latihan mengeluarkan pendapat, mengalahkan lawan, menumbuhkan kepercayaan
dalam diri sendiri bahkan mampu membina kecakapan berbicara tanpa teks.
67
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, Cet. I, h. 7
68
Muhammad Ali Aş-Şabuni, Op. Cit., h. 67
Menurut Ibnu Khaldun diskusi dibidang masalah-masalah ilmiah membantu untuk memahami ilmu itu dalam kemampuan untuk menguraikannya.
Salah satu sajak berbunyi: علا
ْلّ ب
ْا فل
ّْ ب
ْلا كا
ر لا
ْر س
ْلا فْ
ر لْل
ظا ر
“Ilmu adalah dengan pengertian dan mudzakarah, dengan studi, berfikir dan berdebat”.
69
Selain itu, dalam mengajarkan tauhid rubûbiyyah pada Q.S. al- An’am ayat
76-78 ini, Nabi Ibrâhîm as. menjadikan bintang, bulan dan matahari ini sebagai media untuk mengenalkan kepada kaumnya bahwa bintang, bulan dan matahari
merupakan makhluk yang Allah swt. ciptakan bukan tuhan seperti yang mereka yakini. Dengan ini menunjukkan bahwa benda-benda itu ada penciptanya yaitu
Allah yang mana Allah swt. sebagai satu-satunya pencipta. Kemudian dengan pergerakannya benda-benda itu seperti matahari terbit pada siang hari dan bulan
bintang muncul pada malam hari itu menunjukkan bahwa itu semua tidak akan berjalan kecuali ada pengaturnya. Disini menunjukkan bahwa Allah sebagai satu-
satunya Tuhan yang mengatur seluruh perjalanan alam semesta ini. Dengan adanya ciptaan Allah seperti dalam ayat ini berupa bintang, bulan
dan matahari seharusnya dijadikan sebagai pelantara untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta
ini dan telah mengatur perjalan alam semesta ini, namun kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yaitu menjadikan ciptaan Allah ini sebagai
tuhan mereka. Nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah ini adalah:
a. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pencipta
Mentauhidkan Allah swt. sebagai Pencipta yaitu seseorang meyakini bahwasannya tidak ada Pencipta kecuali Allah.
70
Adapun ayat yang menetapkan bahwa adanya pencipta selain Allah swt yaitu sebagaimana firman Allah swt
dalam Q.S. Al- Mu’minûn: 14
69
Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 194
70
Muhammad bin Şâlih Al-‘Uśaimin, Kitab At-Tauhid, Riyađ: Daar Ibn Al-Jauzi, 1999, h. 9
“Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” Dan seperti sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari
‘Aisyah ra dalam hal para pelukis yang dikatakan kepada mereka:
أ ْح
ي ْ
م ا خ اا
لْق ّّْ
“Hidupkan apa yang kalian buat itu”H.R. Muslim
71
Maka penciptaan yang dimaksud pada hadis di atas bukanlah penciptaan yang sebenarnya arti hakiki dan bukan pula penciptaan setelah ketiadaan, tetapi
maksudnya adalah merubah sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, ditambah pula proses merubah di sini tidak mencakup kepada seluruh perubahan,
tapi dibatasi pada sesuatu yang bisa dilakukan seseorang dan dibatasi pada daerah yang sempit sehingga tidak bertentangan dengan keyakinan kita dalam
mentauhidkan Allah swt. dalam Penciptaan. Selain itu al-Khalq yakni bahwa Allah swt. adalah Pencipta segala sesuatu
sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Aż-Z umar ayat 62
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa ‘menciptakan’ dalam pengertian yang mutlak universal adalah kekhususan bagi Allah swt. Adapun
‘menciptakan’ dalam pengertian yang terbatas seperti menciptakan baju, pena atau semacamnya boleh dinisbatkan kepada makhuk. Yakni ‘mencipta’ maka manusia
tidak boleh membuat atau menciptakan sesuatu yang dilarang oleh Allah swt.
72
71
Muslim bin al-Hajjaj Abu Hasan, Şahih Muslim, Beirut: Dâr Ih yâ Al-‘Arabi, t.t.,, h.
1669
72
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Op. Cit., h. 104
b. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pengatur
Mentauhidkan Allah sebagai Pengatur yaitu seseorang meyakini bahwa tidak ada pengatur selain Allah swt.
73
Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Yunus: 31-32
“Katakanlah: Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa menciptakan pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka Katakanlah Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya? 31 Maka Zat yang
demikian Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu
dipalingkan dari kebenaran? 32.” Adapun yang dimaksud manusia sebagai pengatur, itu terbatas di bawah
kekuasaannya dan terbatas pada izin secara syara’. Bagian tauhid rubûbiyyah ini
merupakan bagian tauhid yang orang-orang musyrik tidak menentangnya, bahkan mereka meyakininya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Az-Zukhruf: 9
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?, niscaya mereka akan menjawab:
Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” Pada tahap rubûbiyyah ini, seorang muslim harus percaya bahwa
perkembangan benda, dan hubungan antara makhluk dengan sesama makhluk,
73
Muhammad bin Şâlih, Op. Cit., h. 9
efek yang dibuatnya dan efek yang dilakukan terhadapnya adalah semuanya di bawah pengaturan dan perintah Allah swt.
74
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa Allah swt. merupakan satu- satunya Tuhan yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta ini, begitu pula
dengan peredaran bulan dan matahari, dan munculnya siang dan malam itu semua merupakan aturan Allah swt.
3. Tauhid Asmâ wa sifat
Tauhid ini maknanya adalah mengimani nama-nama baik dan sifat-sifat luhur yang disebutkan Allah swt. untuk dirinya-Nya dalam kitab-Nya dan
disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sunnahnya tanpa merubah lafal atau makna-maknanya tahrif, tanpa diabaikan dengan cara dinafikan atau dinafikan
sebagiannya dari-Nya ta’thil, tanpa disesuaikan dengan membatasi esensinya
atau menyebut tata cara tertentu takyif, dan tanpa menyerupakan dengan sifat- sifat makhuk tasybih.
75
Nabi Ibrâhîm as. adalah orang yang berhati cerdas, mempunyai pendapat yang benar dan pemikiran yang tajam. Dia ingin menggabungkan kecerdasan
pandangan kaumnya dengan kecerdasan ayah dan kaumnya, menggabungkan perasaan dengan hati ayah dan kaumnya, agar mereka memahami akidah yang
dibawanya dan mengetahui akan kebenaran dakwahnya.
76
Nabi Ibrâhîm as. dalam mendidik kaumnya untuk bertauhid
asmâ wa śifat dengan cara mengajak kaumnya untuk berpikir secara kritis dan logis agar membuka fikiran mereka
bahwasannya benda-benda yang mereka dijadikan sebagai tuhan itu sebenarnya tidak layak untuk disembah.
Seperti dalam kisah Nabi Ibrâhîm as., dalam menghancurkan berhala- berhala yang disembah oleh kaumnya. Ketika kaumnya sedang mengadakan acara
maka Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut dalam acara itu dengan alasan sakit. Ternyata
74
Muhammad Taqi Misbah, Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet. I, h. 54
75
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah Terj. dari Al-imanu Billahi oleh Umar Mujtahid, Jakarta: Ummul Qura, Cet. I, h. 107
76
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu al- Fadhl Ibrahim, Op. Cit., h. 52
ketika kaumnya sedang ikut dalam perayan suatu acara, maka Nabi Ibrâhîm as. gunakan kesempatan itu unntuk mengahancurkan berhala-berhala yang disembah
oleh kaumnya hingga berhala-berhala itu menjadi kepingan-kepingan kecuali terhadap berhala yang paling besar, Nabi Ibrâhîm as. tidak menghancurkan
berhala paling besar itu. Setelah kembali dari perayaan itu, kaumnya merasa kaget melihat berhala-
berhala yang mereka telah hancur. Ketika itu mereka memanggil Nabi Ibrâhîm as. untuk meminta kesaksiannya karena pada saat itu, Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut
dalam acara perayaan mereka dan mereka tahu bahwa Nabi Ibrâhîm as. tidak mempercayai akan tuhan-tuhan mereka. Akhirnya ketika Nabi Ibrâhîm as. ditanya
oleh kaumnnya siapa yang menghancurkan berhala-berhala itu, maka Nabi Ibrâhîm as. menjawab bahwa patung yang paling besar itulah yang telah
menghancurkan patung-patung yang lainnya. Dari sini kaumnya berfikir karena bagaimana mungkin berhala itu dapat menghancurkan berhala-berhala yang lain
dan tidak pula bisa menjawab pertanyaan yang mereka. Kemudian kaumnya berkata”Wahai Ibrahim, kamu sudah tahu bahwa berhala ini tidak dapat menjawab
pertanyaan” dan di sinilah tampak akan kesesatan mereka bahwa tuhan yang mereka sembah ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.
77
Seperti halnya terhadap tuhan-tuhan yang mereka sembah berupa bintang, bulan dan matahari yang mereka sembah yang keadaannya kadang ada dan
mengilang itu menunjukkan bahwa benda-benda yang mereka jadikan sebagai tuhan mereka itu tidak mungkin bisa dijadikan sebagai tuhan, karena bagaimana
kita bisa menyembah mereka sedangkan keadaan benda-benda itu terkadang ada dan menghilang, dan bagaimana kita bisa memohon kepada benda-benda itu
karena ketika kita membutuhkannya benda-benda itu menghilang. Dengan demikian dapat difahami bahwa berubahnya keadaan bintang,
bulan dan matahari itu menunjukkan bahwa bintang, bulan dan matahari merupakan makhluk Allah swt. yang berifat baru dan ini bertentangan dengan
sifat qidam Allah swt.
77
Ibid., h. 60
Hal yang Nabi Ibrâhîm lakukan ini, merupakan asas-asas dalam menanamkan pendidikan terutama dalam menanamkan pendidikan keimanan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Sayid Ramadhan al-Buwythi dalam bukunya yang berjudul “Al-Manhajut Tarbawi Faried al-Qur’an. Beliau
mengungkapkan bahwa ada tiga macam asas dasar yang dipakai oleh al- Qur’an
dalam menanamkan pendidikan. Pertama; Muhakamah Aqliyah, kedua; al-Qishah wa Tarikh
dan ketiga Al-Itsmah Al-wijadniyah.
78
Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid asmâ wa şifat
yaitu:
a. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Wujud
Sebagaimana yang telah disinggung pada Q.S. al- An’am ayat 75 bahwa
Allah swt. yang menciptakan seluruh alam semesta ini, dengan adanya alam semesta menunjukkan bahwa adanya Pencipta yaitu Allah swt.
Dalam al- Qur’an telah ditegaskan bahwa Allah itu ada, diantaranya seperti
dalam Q.S. al-Baqarah: 28
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? ”
Dalam ayat di atas Allah menegaskan, tidaklah pantas bagi manusia itu mengingkari akan adanya Allah Yang Maha Kuasa, karena Allah swt. itu telah
menjadikan manusia itu dalam dua kali mati berada di alam barzakh pertama dalam perut ibu, dan di alam barzakh yang kedua dalam kubur dan
menjadikannya dua kali hidup hidup di dunia dan hidup di akhirat.
79
Adapun arti wujud yaitu ada, mustahil adam tidak ada. Bukti dari pada sifat wujud Allah swt. yaitu adanya alam yang kita saksikan ini dengan segala isi
dan kandungannya adalah barang baru. Dan setiap yang baru itu pasti ada yang
78
Nur Uhbiyati, Op. Cit., 170
79
Abd Kadir M.Z, An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, Jakarta: PT. Serajaya Santra, 1985, Cet. I, h. 19
mengadakan. Oleh karena itu menunjukkan bahwa alam itu ada yang menciptakan yaitu Allah swt.
80
b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam
Qidam berarti terdahulu. Allah swt bersifat Qidam berarti keberadaan-Nya
itu terdahulu, tidak ada awal dan akhirnya. Dia tidak didahului oleh wujud yang lain. Oleh karena itu, Allah swt. mustahil bersifat h
uduś baru.
81
Al-Halimi r.a. berkata dalam mengartikan qadimnya Allah swt. yaitu: Sesungguhnya Dia Allah
zat yang ada yang tidak ada permulaan bagi wujudnya, dan dzat yang ada yang tidak ada henti-hentinya terus menerus ada. Maka dikatakanlah Allah swt. itu
Qadîm dengan arti bahwa Allah mendahului seluruh yang ada dan apabila Allah seperti itu mendahului segala yang ada maka tidak boleh adanya permulaan bagi
wujud-Nya, karena seandainya adanya permulaan bagi wujud-Nya Allah niscaya hal itu menuntut adanya selain Allah yang menciptakan-Nya dan niscaya selain
Allah itu wajib ada sebelum Allah. Maka ketika itu, Allah tidak sah mendahului segala yang ada. Jelaslah bahwa ketika kita mensifati Allah bahwasannya Dia
mendahului segala yang ada maka mewajibkan bagi kita bahwa adanya Allah tanpa permulaan.
82
Dalil bahwa Allah swt. bersifat qidam terdahulu adalah keberadaan alam semesta. Sebagai khaliq Pencipta, keberadaan Allah swt tentu lebih dahulu dari
pada alam yang menjadi makhluk-Nya. Di dalam al- Qur’an dijelaskan:
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Adapun yang dimaksud dengan qidam pada hak Allah Ta’ala adalah qidam zati
yaitu tidak adanya awal bagi wujud. Adapun qidam pada hak manusia yaitu qidam zamani maksudnya panjangnya masa yang ditetapkan dengan tahun, begitu
80
Sayyid Husein Afandy A-Jisr Ath Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah Dalam perspektif Ahlusunnah waljama’ah Terj. dari Al-Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhâfađah ‘Alal
‘Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. I, h. 20
81
M. Saberanity, Op. Cit., h. 20
82
Baihaqi, Al-Asmâ` wa al- Şifât, Beirut: Daar Kutb, t.t, h. 23