Teks dan Terjemah Ayat

turunan huruf ba’, ya’ dan nûn, memiliki dua makna denotasi, yaitu ‘jarak’ dan ‘tersingkap’. Dari makna yang pertama, ‘jarak’, lahir bentuk lain, seperti bain يب – pemisah, antara karena merupakan batas yang jelas antara dua hal atau tempat. Dari makna yang kedua, ‘tersingkap’, berkembang menjadi, antara lain: ‘menjelaskan’ karena menyingkap hal sesuatu; ‘fasih’ ucapannya karena lebih jelas pengungkapannya, sehingga maksud tersingkap dengan jelas pula; bayân ايب - penjelasan karena hal menyingkapkan makna yang masih samar-samar. 8 Secara umum, kata mubîn di dalam al- Qur’an digunakan sebagai sifat keadaan, baik yang menunjukkan sesuatu yang baik maupun sesuatu yang jelek. Dalam ayat ini, kalimat ي م لاض menunjukkan kepada keadaan yang tidak baik, yaitu menjelaskan tentang kesesatan bapak dan kaum Nabi Ibrâhim as. yang menjadikan berhala sebagai tuhan mereka. ي ق لا : al-mûqinîn adalah bentuk jamak dari mûqin, dan kata mûqin itu sendiri merupakan bentuk ism al- fâ’il لعافلا ّ ا = kata benda yang menunjukkan pelaku dari kata ayqana – yûqinu – îqânan – mûqin قيا ط ق ي ط ا اقيا - ق م , dan kata mûqin terambil dari kata yaqîn. Kata yaqîn ini mengandung makna pengetahuan yang tidak disentuh dengan keraguan sedikit pun. Selain itu, yakin itu sendiri memiliki arti sebagai pengetahuan yang mantap tentang suatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Sebelum tiba keyakinannya, seseorang terlebih dahulu disentuh oleh keraguan, namun ketika seseorang itu sampai pada tahap yakin maka keraguan yang tadinya ada akan menjadi sirna. Karena itu, kaum mûqinîn disifati sebagai “orang-orang yang menemukan keyakinannya dalam dirinya, atau menemukan keima nannya dengan segenap indranya”. 9 Yaqîn merupakan tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari ma’rifah pengetahuan dan dirâyah pengetahuan. Oleh karena itu dikatakan - bukan ma’rifatul-yaqîn. Yaqîn ada tiga tingkat: ‘ilmul-yaqîn, ‘ainul-yaqîn, dan haqqul- 8 Ibid., h. 1 9 Ahsin W. al- Hafiż, Op. Cit., h. 200 yaqîn . Menurut orang-orang sufi, yaqîn ialah penglihatan mata kepala dengan kekuatan iman, tanpa dalil dan keterangan. 10 ىبر : Rabbî, kata ىبر terbentuk dari dua kata yaitu rabb dan ya’ mutakallim wahdah sehingga kedudukannya menjadi i ḍâfat yaitu terdiri dari mu ḍaf dan muḍaf ilaih. Kata rabb ر yang secara etimologis berati pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluk-Nya. Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan. 11 Al-Maragi mengartikan lafadz Rabbi yaitu Pemilikku dan pengatur usahaku. 12 في ح : h anîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kebalikan dari hânif adalah az-Zaig, artinya miring dari hak ke arah kebatilan, dari hidâyah kepada đalâlah. 13 Dalam kitab tafsir jalalain, kata h anîf diartikan condong kepada agama yang lurus. 14 Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah kiri, dan kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke kiri, tidak pula ke kanan. Ajaran Nabi Ibrâhim as. adalah hanîf, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan ruhani. 15 Kata h anîf itu sendiri berasal dari akar kata h anafa. Kata tersebut apabila didefiasikan dari kata kerjanya yaitu h anafa – yah nifu – h anîfan, artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Maksud kecenderungan disini yaitu kecenderungan kepada yang benar. 10 M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 1102 11 Ibid., h. 801 12 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir al-Maragi Terj. dari Tafsir al-Maragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1992, cet. II, h. 288 13 Ahsin W. al- Hafiż, Op. Cit., h. 95 14 Syaikh Jalâluddin bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syaikh Abdul ar-Rahman bin Abi Bakr as- Suyuţi, Tafsir Jalâlain, tt.p., Haramain: 2007, Cet. VI, h. 120 15 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2009, Cet. I, h. 517