Keutamaan Basmalah TINJAUAN UMUM TENTANG

اََ ثَدَح ُُلَمَؤُم ُُنمب ٍُماَشِ ََُ ثَدَح ا ُُليِعَمِْإ ُمنَع ٍُماَشِ ُِنمعَ ي َُنمبا ُِبَأ ُِدمبَع َُِللا َُيِئاَوُ تمسَدلا ُمنَع ٍُلميَدُب ُمنَع ُِدمبَع َُِللا ُِنمب ٍُدميَ بُع ُمنَع ٍُةَأَرمما ُممُهم ِم ُُلاَقُ ي اََُ ُيمُأ ٍُموُثملُك ُمنَع َُةَشِئاَع َُيِضَر َُُللا اَهم َع َُنَأ َُلوُسَر َُِللا ىَلَص َُُللا ُِميَلَع َُمَلَسَو َُلاَق اَذِإ َُلَكَأ ُممُكُدَحَأ ُمرُكمذَيملَ ف َُممسا َُِللا َُلاَعَ ت ُمنِإَف َُيِسَن ُمنَأ َُرُكمذَي َُممسا َُِللا َُلاَعَ ت ُِف ُِِلَوَأ ُملُقَ يملَ ف ُِممسِب َُِللا َُُلَوَأ َُُرِخآَو 18 “… Dari ‘Aisyah ra. ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah SWT., jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillâhi awwalahu waa âkhirahu dengan nama Allah pada awal dan a khirnya”.HR. Abû Dâwud Dari Huzaifah Nabi SAW. bersabda: َُنِإ َُناَطميَشلا ُيلِحَتمسَيَل َُماَعَطلا يِذَلا ُمَل ُمرَكمذُي ُُممسا َُِللا ُِميَلَع 19 “Sesungguhnya setan dibolehkan makan makanan yang tidak dibacakan nama Allah ketika hendak dimakan.” HR. Abuû Dâwud 7. Penjagaan dari gangguan setan ketika berhubungan badan. Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi SAW. bersabda: اََ ثَدَح ُُةَبميَ تُ ق ُُنمب ٍُديِعَس اََ ثَدَح ٌُريِرَج ُمنَع ٍُروُصمَم ُمنَع ٍُِلاَس ُمنَع ٍُبميَرُك ُمنَع ُِنمبا ٍُساَبَع َُيِضَر َُُللا اَمُهم َع َُلاَق َُلاَق ُُلوُسَر َُِللا ىَلَص َُُللا ُِميَلَع َُمَلَسَو ُموَل َُنَأ ُممُكَدَحَأ اَذِإ َُداَرَأ ُمنَأ َُِتمأَي َُُلمَأ َُلاَقَ ف ُِممساِب َُِللا َُللا َُمُه اَم بَِج َُناَطميَشلا ُمبَِجَو َُناَطميَشلا اَم اََ تم قَزَر َُُنِإَف ُمنِإ ُمرَدَقُ ي اَمُهَ م يَ ب ٌُدَلَو ُِف َُكِلَذ ُمَل ُُيرُضَي ٌُناَطميَش اًدَبَأ 20 “… Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Sekiranya salah seorang di antara kalian ingin mendatangi isterinya, maka panjatkanlah doa: “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan yang engkau anugerahkan kepada kami”, jika ditakdirkan memperoleh anak dari keduanya, maka setan tidak akan membahayakannya selama- lamanya.” HR. Al- Bukhârî 18 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3275, h. 219 19 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3274, h. 218 20 Mu ḥammad bin ‘Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhārī al-Ju‘fī, Sahîh al-Bukhârî, Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994 jilid 22, hadis no. 6847, h. 398 8. Penghalang setan untuk membuka tempat barang berharga. Beberapa harta berharga yang kita simpan di malam hari, juga akan menjadi incaran setan. Dia berusaha mengganggu kita dengan mengotori makanan atau mengambil barang berharga itu. Untuk mengatasi hal ini, Rasulullah SAW. mengajarkan umatnya agar ketika menutup semua makanan dengan membaca basmalah. اََ ثَدَح ُُةَبميَ تُ ق ُُنمب ٍُديِعَس اََ ثَدَح ٌُثميَل ح و اََ ثَدَح ُُدَمَُُ ُُنمب ٍُحممُر اَنَرَ بمخَأ ُُثميَللا ُمنَع ُِبَأ ُِمَْ بيزلا ُمنَع ُمنَعٍرِباَج ُِلوُسَر َُِللا ىَلَص لا َُُل ُِميَلَع َُمَلَسَو َُُنَأ َُلاَق اويطَغ َُءاَنِمْا اوُكموَأَو َُءاَقِسلا اوُقِلمغَأَو َُباَبملا اوُئِفمطَأَو َُجاَرِسلا َُنِإَف َُناَطميَشلا ََُ ُيلََُ ًُءاَقِس َََُو ُُحَتمفَ ي اًباَب َََُو ُُفِشمكَي ًُءاَنِإ ُمنِإَف ُمَل ُمدََِ ُممُكُدَحَأ ََُِإ ُمنَأ َُ ي َُضُرمع ىَلَع ُِِئاَنِإ اًدوُع َُرُكمذَيَو َُممسا َُِللا ُملَعمفَ يملَ ف 21 “… Dari Jabir ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda: Tutuplah bejana, ikatlah geribah tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit, tutuplah pintu, matikanlah lentera lampu api, karena sesungguhnya setan tidak mampu membuka geribah yang terikat, tidak dapat membuka pintu, dan tidak juga dapat menyingkap bejana yang tertutup. Bila engkau tidak mendapatkan tutup kecuali hanya dengan melintangkan di atas bejananya sebatang ranting, dan menyebut nama Allah, hendaknya dia lakukan .” HR. Muslim 9. Menghalangi setan menginap di dalam rumah Bacaan basmalah diucapkan ketika masuk rumah, bisa menjadi penghalang bagi setan untuk ikut memasukinya atau menginap di dalamnya. اََ ثَدَح ُُدَمَُُ ُُنمب ََُّ ثُمملا ُييِزََعملا اََ ثَدَح ُُكاَحَضلا ُِنمعَ ي َُأ اَب ٍُمِصاَع ُمنَع ُِنمبا ٍُجميَرُج َُِّرَ بمخَأ وُبَأ ُِمَْ بيزلا ُمنَع ُِرِباَج ُِنمب ُِدمبَع َُِللا َُُنَأ َُعَِْ ََُِّلا ىَلَص َُُللا ُِميَلَع َُمَلَسَو ُُلوُقَ ي اَذِإ َُلَخَد ُُلُجَرلا َُُتميَ ب َُرَكَذَف ََُللا َُدمِع ُِِلوُخُد َُدمِعَو ُِِماَعَط َُلاَق لا ُُناَطميَش ََُ َُتيِبَم ُممُكَل َََُو َُءاَشَع اَذِإَو َُلَخَد ُممَلَ ف ُمرُكمذَي 21 Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabur, Sahîh Muslim, Bayrût: Dâr al-Fikr, tth hadis no. 3755, jilid 10, h. 285 ََُللا َُدمِع ُِِلوُخُد َُلاَق ُُناَطميَشلا ُممُتمكَرمدَأ َُتيِبَمملا اَذِإَو ُمَل ُمرُكمذَي ََُللا َُدمِع ُِِماَعَط َُلاَق ُممُتمكَرمدَأ َُتيِبَمملا َُءاَشَعملاَو 22 “… Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya aku telah mendengar Nabi SAW. bersabda: Jika seseorang masuk rumahnya dan dia mengingat nama Allah ketika masuk dan ketika makan, maka setan akan berteriak: ‘Tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makan malam.’ Namun jika dia tidak mengingat Allah ketika masuk maka setan mengatakan, ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’ dan jika dia tidak mengingat nama Allah ketika makan maka setan mengundang teman nya, ‘Kalian mendapat jatah menginap dan makan malam’.” HR. Muslim 10. Menjadi syarat halalnya hewan sembelihan 23 Di antara keberkahan basmalah, orang yang menyembelih binatang dengan membaca basmalah, hewan sembelihannya bisa menjadi halal. Sebaliknya, orang yang menyembelih binatang tanpa mengucapkan basmalah, baik disengaja maupun lupa, sembelihannya batal, dan hewan itu tidak boleh dimakan. Allah SWT. berfirman:                        “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang- orang yang musyrik..” QS. Al-An’âm[6]: 121 22 Imam Muslim, Sahîh Muslim, jilid 10, hadis no. 3762, h. 293 23 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 26

C. Penafsiran Ulama Tafsir terhadap Basmalah

Bismillâhirrahmânirrahîm adalah kalimat yang pertama-tama tertulis nama Allâh yang teragung lalu kemudian diikuti oleh Rahmân dan diakhiri Rahîm adalah bahwa yang pemula dari segalanya adalah sang pencipta khâliq, lalu muncul kekuatan dan sifat-sifatnya yang memanifestasikan makna karunia dan ampunan. 24 Kalimat basmalah terdiri atas 19 huruf dalam lima komponen. Satu bearasal dari kata bantu huruf yaitu huruf al-jâr yang terletak di permulaan basmalah, dan empat lainnya berasal dari kata benda yaitu: مسا, َ, نمح لا , dan ميح لا . 25

1. Penafsiran Huruf al-Jâr

ب Ba‟ atau yang dibaca bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu katakalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillâh berarti “Saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam konteks surat ini adalah membaca ayat-ayat al- Qur’an – dengan nama Allâh”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do’a atau pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama Allâh. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allâh walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah yang menyatakan, “Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allâh”. Kedua 24 Mansur bin Mashadi, khasiat dan Mu‟jizat surat al-Fâtihah Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995, cet. Ke-3, h. 58 25 H. Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, cet. Ke-1, h. 16 pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada basmalah ini memiliki semangat yang sama, yakni menjadikan nama Allâh sebagai pangkalan tempat bertolak. 26 Ada juga yang mengaitkan kata bidengan, dengan memunculkan dalam benaknya “kekuasaan”. Pengucap basmalah, seakan-akan berkata, “Dengan kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana”. Pengucapnya ketika itu seharusnya sadar bahwa tanpa kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Dengan demikian ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya, tetapi dalam saat yang sama pula setelah menghayati arti basmalah ini ia memiliki kekuatan dan rasa percaya diri, karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya kepada Allâh dan memohon bantuan Yang Maha Kuasa itu. 27 Imam asy-Syaukani berkata, bahwa huruf Ba‟ yang bergantung kepada ba‟ dalam lafazh bismillâh adalah sesuatu yang mahdzuf dibuang atau tidak ditampakkan, yaitu: Aqra‟ atau atlu aku membaca, karena inilah yang sesuai dengan konteks basmalah sebagai permulaannya. Maka, orang yang memperkirakan bahwa yang mahdzuf itu didahulukan –sebelum lafazh bismillâh, maka maksudnya adalah untuk menunjukkan didahulukannya yang mahdzuf itu daripada perhatian terhadap perihal perbuatan, sedangkan orang yang memperkirakan bahwa mahdzuf itu dikemudiankan, maka maksudnya adalah untuk menunjukkan dikemudiankannya yang mahdzuf itu secara khusus, dengan 26 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12 tetap mencapai apa yang dikandungnya, yaitu mengutamakan nama, dan mengisyaratkan bahwa mengawali aktifitas dengannya adalah lebih penting, karena tabarruk mencari berkah bisa dicapai dengannya. Dengan demikian tampaklah keunggulan pendapat yang memperkirakan dikemudiankan fi‟lmahdzuf pada posisi ini, dan yang demikian ini tidak kontradiktif dengan firman Allâh Ta’ala: قلخ ي لا كب مس ب أ قا Bacalah dengan [menyebut] nama Rabbmu Yang menciptakan. QS. Al- ‘Alaq [96]: 1, karena posisi itu adalah posisi membaca, maka perintah pelaksanaannya lebih penting. 28

2. Penafsiran Lafal

“مسا” Basmalah diawali dengan مسب bismi ungkapan ini terdiri dari dua kosa kata, yaitu kata benda مساا „nama‟ yang didahului partikel huruf ba‟ kata benda مساا adalah lafal yang menunjukkan zat atau makna. Ulama bahasa berbeda pendapat tentang asal kata مسا dalam dua pendapat golongan Basrah, memandang bahwa kata itu berasal dari kata مسلا as-sumuw yang bermakna kemuliaan dan ketinggian ةعق لا لعلا oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa nama seseorang mengangkat derajatnya sehingga ia dapat mengatasi orang lain. Sedangkan golongan Kufah berpendapat bahwa kata مساا berasal dari kata همسلا yang bermakna ةماعلا ‘tanda’. dikatakan demikian karena nama sesuatu menjadi tanda yang dimuat atau diberikan untuknya. 29 28 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fat ẖ al-Qadîr Mesir: Dâr al- Hadîts, 1413 H1993 M juz 1, h. 67 29 Abd. Muin Salim, jalan Lurus menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999, cet. Ke-1, h. 19 Lafal سب م dengan menyebut nama, Imam ath-Thabari berkata: “Sesungguhnya Allâh telah mengajarkan kepada Nabi-Nya SAW. agar mendahulukan nama-Nya yang mulia atas sekalian perbuatan-Nya, dan menjadikan apa yang telah diajarkan kepada Nabi-Nya tersebut sebagai sunnah yang patut diikuti oleh semua makhluk-Nya dalam memulai setiap pembicaraan, penulisan surat, buku dan aktifitas mereka; sehingga makna yang zhahir dari indikasi َ مسب mencukupi makna yang tersembunyi dari maksud pengucapnya. Hal itu karena huruf ba‟ pada kata َ مسب menghendaki adanya suatu pekerjaan, dan tidak ada pekerjaan yang tampak padanya, sehingga sekedar mendengar kata َ مسب diucapkan, maka orang yang mendengarnya telah memahami maksud pengucapnya. Hal ini seperti orang yang ditanya, “Apakah yang kau makan hari ini?” Ia menjawab, “Makanan.” Tanpa harus menjawab, “Aku makan makanan.” 30 Dengan demikian jika ada seseorang yang mengucapkan lafazh َ مسب ميح لا نمح لا kemudian ia memulai sebuah surat , maka artinya secara logis: “Aku membaca dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Demikian juga jika ada orang yang mengucapkan lafazh َ مسب ketika hendak berdiri atau duduk atau apa saja, maka maksudnya, “Aku hendak berdiri dengan menyebut nama Allâh, aku hendak duduk dengan menyebut nama Allâh. 31 30 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far Ath-Thabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426 H2005 M jilid 1, h. 201 31 Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 201