Dengan demikian kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap, bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allâh.
Berbeda dengan pendapat Ibn ‘Arabi, bahwa ketika ia menanyakannya kepada Nabi Muhammad melalui mimpi, tentang keberadaan alif setelah
ba‟, Nabi Muhammad menjawab, bahwa huruf alif-nya dicuri setan.
34
3. Penafsiran Lafal
“ه”
Kata Allâh merupakan nama Tuhan yang paling popular. Apabila anda berkata, “Allâh” maka apa yang anda ucapkan itu, telah mencakup semua nama-
nama-Nya yang lain. Tetapi jika hanya mengucapkan nama atau sifat-Nya saja, maka hanya menggambarkan sifat atau nama-Nya saja. Di sisi lain, tidak satupun
dapat dinamai Allâh, baik secara hakikat maupun majaz, sedang sifat dan nama- Nya secara umum dapat disandangkan oleh makhluk-makhluk-Nya.
Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allâh tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada Dzat
yang wajib wujudnya. Kata Allâh asalnya adalah
هلإ
ilah, yang dibubuhi huruf alif dan lam, dan dengan demikian Allâh merupakan nama khusus karena tidak
dikenal bentuk jamaknya, sedang ilah adalah nama yang bersifat umum dan dapat berbentuk jamak atau plural
ةهلأ
alihah. Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan
sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ilah yang darinya terbentuk kata Allâh berakar dari kata
ةهلإا
al-ilahah,
ةه لأا
al-uluhah, dan
ةيه لأا
al-uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka
34
Ibn ‘Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, Dâr al-‘Arabiyah, 1968 jilid 1, h. 9
bermakna ibadah dan penyembahan, sehingga Allâh secara harfiah bermakna Yang disembah.
35
Rasyid Ridha menambahkan bahwa
َ
adalah lafal yang disebut al- Jalalah, karena menunjukkan nama Zat yang mulia dan dimuliakan dan yang
berhak disembah manusia. Ibnu Malik berpendapat bahwa lafal Allâh adalah nama yang mulia yang khusus ditujukan kepada Allâh.
36
Sedangkan menurut Ibn ‘Arabi, Allâh adalah sebuah nama yang memiliki sifat-sifat, yang termanifestasikan dari Zat Uluhiyyah yang mutlak, yang tidak
memiliki sifat dan tidak dapat diketahui dengan akal dan indera.
37
Lafal
“َ”
,
Imam ath-Thabari
berkata: “kata
َ
menurut makna yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas adalah: “Yang di Tuhan-kan oleh segala sesuatu dan disembah oleh seluruh makhluk.” Jika ada yang mengatakan ,
“Apakah secara bahasa kata
َ
mempunyai akar kata?” jawabannya: Secara pendengaran tidak ada, namun secara indikasi ada. Jika ia berkata lagi, “apakah
dalil yang menunjukkan bahwa Tuhan berarti Yang berhak disembah, dan memiliki akar kata secara bahasa?” Jawabannya: Tidak ada larangan dan
perselisihan pendapat di antara orang Arab dalam hal ini. Sebagaimana ucapan Ru’bah bin al-Ajjaj
38
dalam syairnya:
ىُأتُنمُنعجرساوُنحبسُُ دماُتايناغلاُردُه
“Alangkah baiknya wanita cantik yang tidak berdandan, mereka bertasbih dan beristirja‟ kepada Tuhan.”
35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 18
36
M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, Juz 1, h. 19
37
Ibn ‘Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7
38
Yaitu Ru’bah bin Abdullah al-Ajjaj bin ru’bah at-Tamimi Abu Jahaf, penyair tersohor beraliran rajaz, hidup dalam dua masa pemerintahan; Umawiyah dan abbasiyah.
Dan tidak diragukan bahwa kata
هلأتلا
memiliki akar kata
هلأ هلأي
, dan makna
هلأ
jika diucapkan berarti menyembah Allâh. Ia memiliki kata sifat yang menunjukkan bahwa orang Arab menggunakannya dengan bentuk kata
لعف لعفي
tanpa tambahan.
39
Jadi, lafazh Allâh
َ
berasal dari perkataan orang Arab:
هلإا
, dimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan,
lalu keduanya melebur menjadi satu dan jadilah lafazh
َ
.
40
Imam Musthafa al-Maraghi juga mengatakan, bahwa
َ
adalah isim „alam, khusus ditujukan kepada yang wajib disembah secara benar, dan nama ini
tidak boleh digunakan untuk selain Allâh. Pada masa Jahiliyyah, jika bangsa Arab ditanya mengenai siapakah yang menciptakan bumi dan langit, mereka
memberikan jawaban “Allâh”. Dan jika mereka ditanya apakah “tuhan’ Lata dan „Uzza dapat menciptakan suatu seperti Allâh, mereka menjawab “tidak”.
Sedangkan kata Ilah, adalah isim nama yang ditujukan setiap yang disembah haq maupun batil. Kemudian, kata ini banyak digunakan untuk sesembahan yang
haq.
41
4. Penafsiran Lafal
“ ا
نمحرل ”
dan
“ميحرلا”
Kata Allâh demikian juga ar-Rahmân pada basmalah tidak terjangkau hakikatnya. Kedua kata itu tidak dapat digunakan kecuali untuk menunjuk Tuhan
Yang Maha Esa. Ibn ‘Arabi menambahkan bahwa ar-Rahmân adalah
39
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 207-208
40
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 209
41
Ahmad Mus ṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî,
1974 jilid 1, h. 33
kesempurnaan wujud Allâh dan hanya dimiliki oleh Allâh. Sedangkan ar-Rahîm, merupakan manifestasi dari rahmat Allâh yang dimiliki oleh makhluk Allâh.
42
Kata ar-Rahmân digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmatNya, dan kata ar-Rahîm dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat
pada diri-Nya. Curahan rahmat Tuhan secara aktual dilukiskan dengan kata ar- Rahmân sedang sifat yang dimiliki-Nya dilukiskan dengan ar-Rahîm. Gabungan
kedua kata itu menyiratkan bahwa Allâh mencurahkan rahmat kepada makhluk- Nya karena memang Dia merupakan Zat Yang memiliki sifat itu.
43
Jika Ibn Katsir berpendapat bahwa sifat ar-Rahmân dan ar-Rahîm, dua kalimat pecahan dari Rahmatun untuk menyebut kelebihan, dan kata rahmân lebih
luas dari rahîm. Sebab rahîm menguatkan rahmân.
44
Dan menurut Rasyid Ridha kata ar-Rahmân dan ar-Rahîm yang berakar dari kata Rahmat yakni Yang
memiliki rahmat karunia yang tidak ada bandingan bagi-Nya dalam bentuk rahmat. Sifat ar-Rahmân adalah sifat Allâh Yang Maha Pengasih di dunia, dan ar-
Rahîm adalah sifat Allâh Yang Maha Penyayang di akhirat.
45
Imam ath-Thabari mengatakan, kalau ada orang yang berkata, jika kata
“نمح لا”
dan
“ ميح لا ”
adalah dua nama yang diambil dari kata
ةمح لا
kasih sayang, lalu kenapa ia diulang sementara maknanya sama? Jawabannya: ia tidak
seperti yang anda duga, akan tetapi masing-masing dari keduanya memiliki makna yang tersendiri. Adapun secara etimologi, tidak seorang pun ahli bahasa yang
memungkiri bahwa kata
نمح لا
memiliki makna yang lebih spesifik daripada kata
42
Ibn ‘Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7
43
Ibn ‘Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7
44
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 19
45
M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, h. 31