K a
da r
K a
tekin pp
m
Tabel 4.5.1 Analisis Kandungan Katekin Secara Kualitatif Rata-Rata Retention time
Standar katekin Sampel katekin
3,3020 3,4271
Dari Tabel 4.6.1 dilihat bahwa rata-rata retention time sampel katekin bila dibandingkan dengan retention time standar katekin mempunyai retention time
yang hampir sama. Hal ini berarti perlakuan elisitor dengan penyinaran sinar UV-C mengandung katekin.
Menurut Sutini 2012, perbedaan retention time antara standar dan sampel katekin dikarenakan kalus diduga mengandung senyawa lain sehingga waktu
retensi terdapat perbedaan yang kurang bermakna. Selain itu, menurut Gangga et al. 2007 ada perbedaan profil kromatogram tetapi dengan adanya perbedaan itu
tidak menutup kemungkinan ada senyawa yang sama karena pada beberapa retention time memberikan puncak yang sama walau tinggi puncaknya sedikit
berbeda. Hal ini mungkin disebabkan dari konsentrasi senyawa yang tidak sama.
4.5.2 Analisis Kandungan Katekin Secara Kuantitatif
Kandungan katekin secara kuantitatif diperoleh dengan cara terlebih dahulu dicari analisis regresi linear dari larutan standar sehingga didapatkan Y= bx + a. Setelah
itu area sampel diinterpolasi ke dalam analisis standar regresi linear tersebut. Kandungan katekin secara kuantitatif dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman
39 dan pada Gambar 4.6.2
1200 1000
c
┬
800 600
400 a
┬
b
┬
b
┬
200 K0
K1 K2
K3
Perlakuan
Gambar 4.6.2 Kandungan Katekin Secara Kuantitatif
Universitas Sumatera Utara
Dari Gambar 4.5.2 dapat dilihat kandungan kadar katekin yang paling rendah terdapat pada K0 yaitu sebesar 326,63412 ppm Lampiran 9, halaman 41
dan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan K2 yaitu sebesar 981,17330 ppm Lampiran 13, halaman 39. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan elisitor dengan
penyinaran UV-C dapat meningkatkan produksi katekin pada kalus teh Camellia sinensis L.. Dari Gambar 4.5.2 juga dapat dilihat bahwa K1 kadarnya meningkat
dibanding K0. K2 kadarnya meningkat dibanding K1, sedangkan K3 mengalami penurunan kadar dibandingkan dengan K2 . Perlakuan K2 penyinaran 30 menit
merupakan perlakuan elisitor yang paling baik untuk memproduksi katekin dari kalus teh..
Menurut Chen et al. 2002 kandungan komponen senyawa katekin pada daun teh segar adalah 13,5
– 31. Menurut Sitinjak et al. 2000, lama elisitasi mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dengan adanya efek post binding.
Efek post binding merupakan efek yang terjadi setelah efektor diterima reseptor. Peningkatan kandungan katekin setelah diberi elisitor berupa penyinaran
sinar UV-C diduga karena terinduksinya serangkaian proses yang mengarah pada akumulasi katekin. Moreno et al. 1994 menyatakan bahwa hasil interaksi antara
elisitor dengan reseptor yang ada pada membran sel tanaman akan memicu jalur tranduksi sinyal, antara lain mengaktivasi secondary messenger misalnya Ca
2+
dan kalmodulin yang akan menginduksi protein kinase untuk berperan dalam induksi
transkripsi gen. Konsentrasi elisitor merupakan salah satu faktor pembatas yang
menentukan kandungan metabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitor
dengan jumlah tertentu, sehingga untuk meningkatkan kandungan katarantin diperlukan konsentrasi elisitor yang optimum. Kontak antara elisitor dan reseptor
memerlukan waktu yang optimum hingga dihasilkan metabolit sekunder yang maksimum. Waktu elisitasi tersebut menggambarkan lamanya waktu yang
diperlukan sel untuk melangsungkan jalur metabolit sekunder hingga terbentuknya suatu produk Buitelaar et al., 1991. Radiasi sinar UV-C dapat meningkatkan
variasi somaklonal yang mungkin akan berguna dalam seleksi kalus untuk tujuan
Universitas Sumatera Utara
tertentu seperti toleransi terhadap salinitas tinggi, kekeringan atau produksi metabolit sekunder Sulastri, 2010.
Tanaman kaya akan senyawa bioaktif antara lain alkaloid, glikosida, flavonoid dan minyak atsiri dengan perbandingan sesuai dengan aktifitas fitokimia
suatu tanaman. Kultur jaringan tanaman merupakan alternatif yang paling baik untuk memproduksi metabolit sekunder Ramachandra and Ravishankar, 2002.
Seperti yang diketahui juga, bahwa komposisi dari nutrien media dengan kombinasi antara auksin dan sitokinin tidak hanya berhasil dalam kultur jaringan
tetapi juga berhasil dalam memproduksi metabolit sekunder Narayanaswamy, 1994.
Biosintesis dari katekin adalah senyawa flavonoid dari golongan leukosianidin dibentuk dari dihidroquersetin dengan katalis enzim dihidroflavonol
4 ‐reduktase. Golongan leukosianidin ini merupakan senyawa penting pada tanaman
dalam memproduksi tanin terkondensasi. Enzim leukosianidin 4 ‐reduktase secara
langsung mengatalisis perubahan leukosianidin menjadi + ‐katekin golongan
flavan ‐3ol. Isomer +‐ katekin, yaitu‐‐epikatekin, merupakan senyawa dari
golongan flavan ‐3ol yang banyak terdapat ditanaman, terutama teh. Berbeda
dengan isomernya,
‐‐epikatekin tidak
secara langsung
terbentuk dari
leukosianidin. Pertama, dengan katalis enzim leukosianidin deoksigenase leukosianidin dikonversi terlebih dahulu menjadi sianidin golongan antosianidin.
Sianidin inilah yang kemudian diubah menjadi ‐ epikatekin oleh enzim
antosianidin reduktase. Tanin terkondensasi didapat dari hasil polimerasi leukosianidin dan flavan
‐3ol Punyasiri et al., 2004.
4.6 Hubungan Berat Kering dengan Kandungan Katekin