Kurva Analisis Standar Regresi Linear Hubungan Berat Kering dengan Kandungan Katekin

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa indeks pertumbuhan kalus paling tinggi terdapat pada perlakuan K0 sedangkan indeks pertumbuhan paling rendah terdapat pada perlakuan K1. Dari Tabel 4.3 dilihat bahwa K0 berbeda nyata dengan K1 dan K3 tetapi tidak dengan K2. Dari Lampiran 7. Halaman 41 dilihat nilai signifikansi atau P= 0,49 0,05 yang berarti indeks pertumbuhan signifikan atau tidak memiliki varian yang berbeda. Dari Tabel 4.3 juga dilihat F hitung F Tabel yaitu 7,983 0,000 Lampiran 4. Halaman 35 yang berarti bahwa perlakuan berpengaruh terhadap indeks pertumbuhan. Lama radiasi 30 dan 60 menit didasarkan pada hasil penelitian Ehsanpour and Razavizadeh 2005 bahwa pada lama radiasi UV-C 30 dan 60 menit akan menginduksi mutasi variasi somaklonal pada kalus, sedangkan lama radiasi kurang dari 30 menit tidak menginduksi mutasi dan lebih dari 60 menit akan menyebabkan kematian sel jaringan.

4.4 Kurva Analisis Standar Regresi Linear

Analisis regresi linear dari kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 38 mempunyai nilai 0,97729 yang berarti bahwa rata-rata kadar katekin standar sebesar 0,97729. Besarnya linearitas ini mendekati nilai satu sehingga dapat dikatakan bahwa absorbansi merupakan fungsi yang besarnya berbanding lurus dengan konsentrasi dan mengikuti persamaan regresi linear Y= bx + a. Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai intercept sebesar -2146753 dan slope sebesar 8215,14 sehingga persamaan yang diperoleh dari kurva y = 8215,14 x – 2146753. Menurut Pandiangan dan Nainggolan 2006, Kurva standar tersebut digunakan untuk analisis kuantitatif metabolit sekunder. Untuk mendapatkan konsentrasi metabolit sekunder diperoleh dengan cara mengkonversikan luas area sampel dengan luas area standar yang telah diketahui konsentrasinya pada kurva standar. 4.5 Analisis Kandungan Katekin 4.5.1 Analisis Kandungan Katekin Secara Kualitatif Kandungan katekin secara kualitatif diperoleh dengan membandingkan retention time larutan standar dengan retention time sampel disajikan pada Tabel 4.5.1. Universitas Sumatera Utara K a da r K a tekin pp m Tabel 4.5.1 Analisis Kandungan Katekin Secara Kualitatif Rata-Rata Retention time Standar katekin Sampel katekin 3,3020 3,4271 Dari Tabel 4.6.1 dilihat bahwa rata-rata retention time sampel katekin bila dibandingkan dengan retention time standar katekin mempunyai retention time yang hampir sama. Hal ini berarti perlakuan elisitor dengan penyinaran sinar UV-C mengandung katekin. Menurut Sutini 2012, perbedaan retention time antara standar dan sampel katekin dikarenakan kalus diduga mengandung senyawa lain sehingga waktu retensi terdapat perbedaan yang kurang bermakna. Selain itu, menurut Gangga et al. 2007 ada perbedaan profil kromatogram tetapi dengan adanya perbedaan itu tidak menutup kemungkinan ada senyawa yang sama karena pada beberapa retention time memberikan puncak yang sama walau tinggi puncaknya sedikit berbeda. Hal ini mungkin disebabkan dari konsentrasi senyawa yang tidak sama.

4.5.2 Analisis Kandungan Katekin Secara Kuantitatif

Kandungan katekin secara kuantitatif diperoleh dengan cara terlebih dahulu dicari analisis regresi linear dari larutan standar sehingga didapatkan Y= bx + a. Setelah itu area sampel diinterpolasi ke dalam analisis standar regresi linear tersebut. Kandungan katekin secara kuantitatif dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 39 dan pada Gambar 4.6.2 1200 1000 c ┬ 800 600 400 a ┬ b ┬ b ┬ 200 K0 K1 K2 K3 Perlakuan Gambar 4.6.2 Kandungan Katekin Secara Kuantitatif Universitas Sumatera Utara Dari Gambar 4.5.2 dapat dilihat kandungan kadar katekin yang paling rendah terdapat pada K0 yaitu sebesar 326,63412 ppm Lampiran 9, halaman 41 dan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan K2 yaitu sebesar 981,17330 ppm Lampiran 13, halaman 39. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan elisitor dengan penyinaran UV-C dapat meningkatkan produksi katekin pada kalus teh Camellia sinensis L.. Dari Gambar 4.5.2 juga dapat dilihat bahwa K1 kadarnya meningkat dibanding K0. K2 kadarnya meningkat dibanding K1, sedangkan K3 mengalami penurunan kadar dibandingkan dengan K2 . Perlakuan K2 penyinaran 30 menit merupakan perlakuan elisitor yang paling baik untuk memproduksi katekin dari kalus teh.. Menurut Chen et al. 2002 kandungan komponen senyawa katekin pada daun teh segar adalah 13,5 – 31. Menurut Sitinjak et al. 2000, lama elisitasi mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dengan adanya efek post binding. Efek post binding merupakan efek yang terjadi setelah efektor diterima reseptor. Peningkatan kandungan katekin setelah diberi elisitor berupa penyinaran sinar UV-C diduga karena terinduksinya serangkaian proses yang mengarah pada akumulasi katekin. Moreno et al. 1994 menyatakan bahwa hasil interaksi antara elisitor dengan reseptor yang ada pada membran sel tanaman akan memicu jalur tranduksi sinyal, antara lain mengaktivasi secondary messenger misalnya Ca 2+ dan kalmodulin yang akan menginduksi protein kinase untuk berperan dalam induksi transkripsi gen. Konsentrasi elisitor merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan kandungan metabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitor dengan jumlah tertentu, sehingga untuk meningkatkan kandungan katarantin diperlukan konsentrasi elisitor yang optimum. Kontak antara elisitor dan reseptor memerlukan waktu yang optimum hingga dihasilkan metabolit sekunder yang maksimum. Waktu elisitasi tersebut menggambarkan lamanya waktu yang diperlukan sel untuk melangsungkan jalur metabolit sekunder hingga terbentuknya suatu produk Buitelaar et al., 1991. Radiasi sinar UV-C dapat meningkatkan variasi somaklonal yang mungkin akan berguna dalam seleksi kalus untuk tujuan Universitas Sumatera Utara tertentu seperti toleransi terhadap salinitas tinggi, kekeringan atau produksi metabolit sekunder Sulastri, 2010. Tanaman kaya akan senyawa bioaktif antara lain alkaloid, glikosida, flavonoid dan minyak atsiri dengan perbandingan sesuai dengan aktifitas fitokimia suatu tanaman. Kultur jaringan tanaman merupakan alternatif yang paling baik untuk memproduksi metabolit sekunder Ramachandra and Ravishankar, 2002. Seperti yang diketahui juga, bahwa komposisi dari nutrien media dengan kombinasi antara auksin dan sitokinin tidak hanya berhasil dalam kultur jaringan tetapi juga berhasil dalam memproduksi metabolit sekunder Narayanaswamy, 1994. Biosintesis dari katekin adalah senyawa flavonoid dari golongan leukosianidin dibentuk dari dihidroquersetin dengan katalis enzim dihidroflavonol 4 ‐reduktase. Golongan leukosianidin ini merupakan senyawa penting pada tanaman dalam memproduksi tanin terkondensasi. Enzim leukosianidin 4 ‐reduktase secara langsung mengatalisis perubahan leukosianidin menjadi + ‐katekin golongan flavan ‐3ol. Isomer +‐ katekin, yaitu‐‐epikatekin, merupakan senyawa dari golongan flavan ‐3ol yang banyak terdapat ditanaman, terutama teh. Berbeda dengan isomernya, ‐‐epikatekin tidak secara langsung terbentuk dari leukosianidin. Pertama, dengan katalis enzim leukosianidin deoksigenase leukosianidin dikonversi terlebih dahulu menjadi sianidin golongan antosianidin. Sianidin inilah yang kemudian diubah menjadi ‐ epikatekin oleh enzim antosianidin reduktase. Tanin terkondensasi didapat dari hasil polimerasi leukosianidin dan flavan ‐3ol Punyasiri et al., 2004.

4.6 Hubungan Berat Kering dengan Kandungan Katekin

Hubungan antara berat kering kalus dan kandungan katekin disajikan pada Gambar 4. 6. Universitas Sumatera Utara 1200 1000 800 0.3 0.25 0.2 600 400 200 0.15 0.1 0.05 Katekin BK K0 K1 K2 K3 Gambar 4.6 Hubungan berat kering dengan kandungan katekin Dari Gambar 4.6 dapat kita lihat berat kering paling tinggi terdapat pada K0 tapi kandungan katekinnya paling rendah. Berat kering K1 lebih rendah dari K0 tetapi kandungan katekinnya meningkat dari K0. Berat kering K2 lebih tinggi dari K1 dan kandungan katekinnya meningkat dari K1. Berat kering K3 lebih rendah dari K2 dan kandungan katekinnya menurun dari K2. Penelitian pengaruh sinar UV-C telah dilakukan oleh Ghanati et al., 2013, Parikrama and Esyanti, 2014 dimana berat kering kontrol atau tanpa penyinaran sinar UV-C lebih tinggi dan kandungan metabolit sekundernya paling tinggi dengan penyinaran sinar UV-C selama 30 menit. Menurut Parikrama et, al 2014, bahwa Sinar UV dapat bertindak sebagai stres abiotik yang memicu tanaman untuk melakukan mekanisme pertahanan stres tertentu. Tanaman merespon stres UV untuk mengatasinya dengan memproduksi metabolit sekunder. Studi sebelumnya dijelaskan bahwa proses transkripsi gen yang disebabkan radiasi sinar UV enzim yang terlibat dalam biosintesis metabolit sekunder. Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah: a. Elisitor dengan pemberian sinar UV C mampu meningkatkan produksi katekin dari kalus pucuk daun teh Camellia sinensis L.. b. Lama penyinaran sinar UV C yang paling baik untuk meningkatkan produksi katekin adalah lama penyinaran 30 menit yang menghasilkan kandungan katekin 981,17330 ppm. c. Berat kering tertinggi adalah kontrol sebesar 0,26 g sedangkan terendah adalah disinari UV C 15 menit sebesar 0,18 g. Indeks pertumbuhan tertinggi adalah kontrol sebesar 0,16 g sedangkan indeks pertumbuhan terendah adalah disinari UV C 15 menit sebesar 0,11 g.

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh lama penyinaran UV A dan UV B memproduksi katekin dari teh Camellia sinensis L.. Universitas Sumatera Utara