B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Wet Algemene Bepalingan wAB. Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 51959 tanggal 20 April 1959.
Surat Edaran Mahkamah AgungNo.I1962 tanggal 7 Maret 1962. Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 15KMASKXIII2007.
C. Artikel
Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama, Makalah disampaikan pada acara Rakemas
Mahkamah Agung RI tanggal 10 sd 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Abdul Rifai Siregar, Suatu Tinjaun Terhadap Penerapan Dissenting Opinion Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan
Cut Asmaul Husna, Penemuan dan Pembentukan Hukum “The Living Law” Melalui Putusan Hakim, Makalah, Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States, Jurnal, http:www.europarl.europa.eudocumentactivitiescont201304201304
23ATT6496320130423ATT64963EN.pdf.Diakses pada tanggal 25 April 2014.
H.Insyafli, Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakimwww.badilag.net Kusnu Goesniadhie S, Prinsip Pengawasan Independensi Hakim, Jurnal
Hukum No. 3 VOL 14 Juli 2007. Mohammad Fajrul Falaakh, Transparansi dan Akuntabilitas Yudikatif di
Indonesia, Materi Pelatihan HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial Denpasar, 22 – 26 Juni 2010 dan Bandung, 29Juni -3 Juli 2010.
Diselenggarakan oleh PUSHAM UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dengan Norwegian Centre for Human Rights NCHR.
Putra Akbar Saleh,Tinjauan Yuridi Terhadap Putusan Hakim Yang Mengabaikan Bukti Keterangan Saksi Di Dalam Persidangan, Buletin Le
et Societatis, Vol.INo.1Jan-Mart2013. Sunarmi, Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan
Peradilan, Jurnal Equality, Vol 12 No.2 Agustus 2007. Tata Wijaya dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat Dalam Putusan-
Putusan Di Penagdilan Negeri Yogyakarta dan Penagdilan Negeri Sleman, Mimbar Hukum Volume 2, Nomor 1, Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
BAB III Konsepsi Kebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadian Guna
Menemukan Kebenaran Materiil
A. Konsepsi Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan 5. Hakikat kebebasan hakim
Bebas berarti lepas sama sekali tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa. Membebaskan
bermakna melepaskan dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman, kekuasaan.Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan
bebas.
48
48
Ahmad Kamil, Op.cit.,hlm.19.
Istilah kebebasan sering kali disebut sebagai bentuk ekspresi manusia yang menandakan mahluk merdeka.Ia melekat sekaligus berwujud dalam
segala tingkah laku manusia. Kebebasan adalah fitrah sekaligus kebutuhan yang utuh yang mendasari perjalanan hidup, pengarahan diri.Dapat juga
diartikan sebagai kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu.Dalam hidup setiap orang,
kebebasan merupakan unsur hakiki, semua orang mengalami kebebasan karena hal tersebut melekat sebagai sifat manusia.Kesulitannya mulai
muncul ketika orang ingin mengungkapkan pengalaman itu pada taraf refleksi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lorens Bagus, kebebasan dipahami sebagai keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, sejauh kebebasan disatukan
dengan kemampuan internal definitif dari penentu diri.
49
Kess Bertens sebagaimana dikutip oleh Ahmad Kamil mengemukakan ragam kebebasan kedalam beberapa kategori yaitu:
Bisa juga didefinisikan sebagai kemampuan dari seorang pelaku untuk berbuat atau
tidak bebuat sesuai dengan kemampuan dan pilihannya. Mampu bertindak sesuai dengan apa yang disukai atau menjadi penyebab dari tindakan-
tindakannnya.
50
Ketiga, kebebasan yuridis.Hal ini berkaitan erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum.Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari
Pertama, kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan.Terkadang kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan. Individu dikatakan
bebas bila ia berbuat dengan sesuka hati; terlepas dari ikatan dan kewajiban, sehingga bertentangan dengan rambu-rambu kepentingan maupun hak orang
lain. Kedua, kebebasan fisik.Disini bebeas berarti tidak ada paksaaan atau
rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang
diborgol atau dipasung tentu tidak akan bebas. Selama meringkuk dipenjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi ketika masa tahanannya lewat ia
kembali menghirup udara kebebasan.
49
Ibid.
50
Ibid., hlm.23-25
Universitas Sumatera Utara
hak-hak manusia. Jika orang berbicara persoalan kebebasan dalam arti ini, berarti ia berbicara tentang orang-orang yang dirampas haknya.
Keempat, kebebasan psikologis.Melalui kebebasan psikologis, manusia mampu mengembangkan dan mengarahkan hidupnya
sendiri.Kemampuan ini menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri khasnya. Oleh karena itu, nama lain dari kebebasan psikologis adalah free
will. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah mahluk berasio.Ia mampu berpikir sebelum bertindak. Orang yang bebas
adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis.Orang yang menderita kelainan jiwa seperti kleptomania jelas tidak bebas.Ia seperti
pencuri sungguhan, namun ia tidak bisa menentukan dirinya. Karena itu perbuatannnya dianggap tidak bebas.
Kelima, kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan moral. Bila seseorang ditodong dengan senjata tajama, ia tentu tidak
sepenuhnya bebas dalam menyerahkan harta bendanya. Ia memang menentukan diri, menyerahkan kekayaannya merupakan keputusannnya,
tapi ia melakukannya dengan paksaan. Begitu perasaan moral itu hilang dengan kedatangan teman yang melumpuhkan si penjahat, ia akan berbuat
lain. Keenam, kebebasan eksistensi, kebebasan ini merupakan bentuk
kebebasan yang paling tinggi dan mencakup seluruh eksistensi dan pribadi manusia, tidak terbatas pada salah satu aspek saja.Orang yang bebas secara
Universitas Sumatera Utara
eksistensial seakan-akan memiliki dirinya sendiri.Ia mencapai taraf otonom, kedewasaan dan kematangan rohani.
Orang yang bebas seutuhnya dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan hal-hal tersebut secara otonom. Hal ini
didorong oleh keinginan akan kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Kehendak untuk merdeka inilah yang disebut dengan kebebasan yang
luhur.Kebebasan inilah yang menuntun manusia untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya secara mandiri, berdikari dan kreatif tanpa adanya tekanan
yang menghambatnya dalam berkreasi. Kebebasan menurut Paul Ricoeur menyajikan konsep kehendak dan
aktus-aktusnya, yang melukiskan struktur-struktur fundamental dari apa yang dikehendaki manusia dan unsur-unsur dalam eksistensinya yang tidak
bergantung pada kehendaknya, sebab kehendak selalu beraksi dalam suatu lingkungan yang tidak dikehendaki. Manusia selalu terbentur pada oposisi
antara kebebasan dan keniscayaan dan yang tidak dikehendaki secara timbal balik antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.Dan yang tidak
dikehendaki harus dimengerti dengan bertitik tolak dari subjek.Sebab unsur yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai “saya
berkehendak”.
51
Dalam perwujudan konkrit kehendak sebagaimana yang diungkapan Ricoueur, beliau membedakannya dalam tiga tahap; memutuskan decider,
melakukan agir, dan menyetujui consentir.Memutuskan meliputi proyek
51
Ibid.,hlm.41.
Universitas Sumatera Utara
atau rancangan, pilihan dan motivasi. Tahap melakukan dalam bentuk yang sangat formil dapat berarti saya menggerakkan tubuh saya, sebab melalui
tubuhnya subjek terlihat dalam dunia material. Dan yang terakhir merupakan tahap menyetujui yang oleh beliau disebut sebagai “menerima”
membuat menjadi milik sendiri.Menyetujui itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki yang dapat disebut sebagai keniscayaan.Bukan
keniscayaan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan, melainkan keniscayaan yang dihayati, artinya bukan keniscayaan yang melekat pada
subjektivitasnya.
52
Selanjutnya Beliau mengatakan ada dua unsur yang harus dipegang untuk menjawab apa itu kebebasan. Pertama, putusan akhir yang
praktis,merupakan putusan yang kita buat selalu sesuai dan harus sesuai denngan putusan praktis yang terakhir. Setiap orang pada akhirnya
memutuskan setelah proses penyelidikan dan pertimbangan. Proses ini berakhir maka putusan praktis terakhirlah yang diambil. Proses
pertimbangan itu sendiri dilakukan secara bebas dan otonom. Proses ini tidak terjadi di dalam diri individu tanpa tergantung padanya. Oleh karena
itu, setiap individu mampu menghentikan proses tersebut pada saat tertentu. Kedua, kebebasan dalam bentuk indiferensi dianggap sebagai derajat yang
paling rendah.Bentuk kebebasan ini merupakan sebuah kekurangan kalau dibandingkan dengan sebuah keputusan yang telah disuluhi secara lebih
lengkap.Kebebasan menyertai pengertian dan pemahaman, bertumbuh dan
52
Ibid., hlm.42
Universitas Sumatera Utara
berkembang, bertambah besar apabila pemahaman berkembang dan diperdalam. Makin besar dan makin mendalam pemahaman individu, maka
semakin bebaslah ia.
53
Oleh karena itu, kebebasan sejati merupakan keputusan pribadi dan berdikari. Atau dengan kata lain, analisis kehidupan
berakhir dengan suatu evaluasi filosofis terhadap kebebasan. Ricoeur menganggap kebebasan sebagai pencampuran antara ketergantungan dan
ketidaktergantungan dan sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan
absolut “suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi”.
54
6. Kebebasan Dalam Persfektif Pancasila
Pancasila merupkan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam bang Indonesia yang telah berakar dalam kepribadian bangsa, sehingga lebih
diterima sebagai dasar yang mengatur hidup ketatanegaraan. Di dalam pancasila tertanam nilai-nilai keberpihakan kepada kepentingan nasional
dan kerakyatan, karena pancasila dapat mengikat secara utuh pandangan hidup bangsa dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa.
Pancasila merupakan asas kerohanian bangsa dan negara Indonesia yang padahakikatnya merupakanasas kebersamaan, asas kekeluargaan serta
religiusitas.Dalam pemahaman inilah maka bangsa Indonesia membentuk suatu kesatuan integral sebagai suatu bangsa yang merdeka.
55
53
Ibid., hlm.43
54
Ibid.
55
Ibid.,hlm.110.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai satu kesatuan yang integral, bangsa memiliki tujuan- tujuan.Dalam mencapai tujuan tersebut dibutuhkan adanya semangat, yakni
semangat yang mampu menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk bangkit dalam mewujudkan cita-cita tersebut.Dalam menggerakkan seluruh elemen
bangsa dibutkan adanya kebebasan yang berorientasi kepada nilai-nilai dasar kemanusiaan.Dengan kebebasan manusia Indonesia dapat
menyelamatkan diri dari segala bentuk tekanan, paksaan, otoriterisme, kediktatoran, penjajahan, dan semacamnya.Dan menjadikan manusia
sebagai pemimpin atas kehidupan ini disamping sebagai makhluk Tuhan. Makna kebebasan yang terkandung dalam pancasila dapat dilihat
dalam konsep demokrasi, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi pancasila, demokrasi yang diwarnai dan dijiwai oleh pancasila. Kebebasan
dalam demokrasi merupakan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dantanggung jawab sosial. Kebebasan tidak berdiri sendiri tetapi diakitkan
dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara.
Sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar norma-norma, etika, hukum, dan juga hak dan tanggung jawab selaku warga negara.
Selain nilai-nilai yang telah dijabarkan diatas, nilai-nilai lain yang menjadi ciri khas dari demokrasi pancasila adalah kekeluargaan dan
kegotongroyongan yang bernafaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.Kekeluargaan merupakan kesadaran budi pekerti dan hati nurani
manusia yang luhur yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, baik sebagai
Universitas Sumatera Utara
mahluk individu maupun mahkluk sosial untuk saling tolong menolong.Rasa kekeluargaan ini harus lebih perseorangan, lebih
mengutamakan kewajiban sosial daripada penuntutan hak pribadi, lebih mengutamakan memadukan pendapat dengan jalan musyawarah daripada
menekankan pendapat sendiri terhadap pihak lain, dan mengutamakan nilai- nilai ketuhanan.
Pancasila mengajarkan penghargaan dan penghormatan atas manusia sebagai pribadi yang bersifat utuh dan lengkap dan juga kodratnya sebagai
mahkluk yang berbudaya.Oleh karena itu, perlu dijamin kebebasan individu sebagai unsur fundamental.
56
7. IndependensiKekuasaan Kehakiman
Jadi dengan demikian, kebebasan dalam persfektif pancasila merupakan kebebasan yang terkandung dalam setiap butir-butir pancasila
yang mencerminkan penghormatan terhadak individu manusia itu sendiri.
Dalam penemuan kebenaran materiil, hakim harus bebas baik secara personal maupun secara kelembagaan. Kebebasan inilah yang akan
menuntun hakim dalam membuat putusan yang mencerminkan cita hukum. Independensi kehakiman merupakan gagasan yang bersifat kompleks,
yang dijadikan sebagai intrumen dalam menegakkan cita hukum. Dikatakan bersifat kompleks karena pemikiran tentang independensi kekuasaan
kehakiman berkembang tidak dapat dilepas dari kondisi yang terjadi di masyarakat yang saling berkaitan satu sama lain. Jika kita hendak
56
Ibid., hlm.132
Universitas Sumatera Utara
membatasi kekuasaan kehakiman maka kita dapat menggunakan berbagai gagasan yang timbul dari masyarakat untuk membatasi kekuasaan tersebut,
demikian juga sebaliknya. Menurut Susan S. Logan bahwa independensi kekuasaan kehakiman
terdiri atas dua komponen, yaitu independensi dalam memutus perkara dan independensi struktural.
57
Sementara Ferejohn menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat bersifat internal atau normatif dan
ekternal atau aspek institusional.
58
Ahli hukum Belanda, Franken menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam 4 empat bentuk
59
1. Independensi konstitusional constitutionele Onafhankelijkheid.
yaitu:
2. Independensi fungsional zakelijke of functionele onafhankelijkheid.
3. Independensi personal hakim persoonlijke of rechtspositionale
onafgankelijkheid. 4.
Independensi praktis yang nyata practisce of feitelijke onafhankelijkheid
Menurut Oemar Seno Adji, independensi kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu, independensi fungsional atau zakelijk
dan independensi persoonlijk atau
rechtpositionele.Independensi konstitusional adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin trias
politika dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu, maka
57
Ibid., hlm.215
58
Ibid.
59
Ibid.,hlm.215-216.
Universitas Sumatera Utara
lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan kelembagaan harus bebas dari pengaruh publik.
60
Independensi personal hakim merupakan kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa.Brenninkmeijer
mengatakan “independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari inpendensi personal hakim”.
Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu perkara dan harus memberikan suatu
putusan.Independensi hakim dapat diartikan bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang-undang apabila
undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas.Karena
bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undang- undang pada perkara yang sedang diperiksanya.Independensi seubtansial
dapat juga dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum.Independensi
subtansial dapat juga diartikan bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan nilai keadilan.
61
Independensi praktis adalah independensi hakim untuk tidak berpihak imparsial.Hakim itu harus mengikuti perkembangan dinamika sosial yang
terjadi di masyarakat sebagai dasar untuk mengetahui sejauhmana dapat menerapkan norma-norma dalam kehidupan masyarakat.
60
Ibid.,hlm.216.
61
Ibid.,hlm.217.
Universitas Sumatera Utara
Kebebasan fungsional berarti bahwa kekuasaan pemerintah tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau patut diduga akan
mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim. Sedangkan kemerdekaan institusional
berhubungan dengan kemerdekaan kelembagaan pengadilan dari lembaga pemerintah lainnya, khususnya legislatif.
Independensi kekuasaan kehakiman dapat juga diartikan sebagai kekuasaan yang merupakan perimbangan antara kekuasan eksekutif dan
kekuasaan legislatif.Pengertian seperti ini menurut Kuijer disebut sebagai pengertian yang sempit atau stict definition.
62
62
Ibid.,hlm.219.
Pengertian ini telah mengalami perluasan sehingga lebih mengarah kepada kemerdekaan hakim ketika
memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya tanpa pengaruh dari kekuasaan apapun, termasuk pengaruh dari negara, para pihak dan tekanan
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Independensi sejatinya adalah kebebasan dari pengaruh yang tidak
selayaknya. Pengaruh tersebut dapat bersumber dari luar kekuasaan kehakiman, baik yang bersumber dari lembaga legislatif maupun eksekutif
atau dari kelompok yang kuat yang ada dalam masyarakat atau dari opini publik yang mungkin disuarakan oleh media massa. Pada dasarnya
masyarakat membutuhkan suatu langka institusional dan hukum untuk menjamin agar hakim secara individu dan kekuasaan kehakiman sebagai
lembaga kolektif dapat independen dari berbagai kekuatan ekternal.
Universitas Sumatera Utara
Shetreet mengatakan bahwa konsepsi modern tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dibatasi pada kemerdekaan individu
hakim dan kepada kemerdekaan personal atau substantifnya.Sudah seharusnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu juga termasuk
kemerdekaan kolektif dari kekuasaan kehakiman itu sendiri sebagai cabang kekuasaan negara.Selain itu, kekuasaan kehakiman tidak seharusnya
diterjemahkan hanya kepada pengertian perlindungan hakim dari tekanan eksekutif maupun legislatif.Sudah seharusnya termasuk juga kemerdekaan
internal, misalnya kemerdekaan hakim dalam struktur pengadilan. Dari berbagai pendapat tersebut dapat dikemukan bahwa pengertian
independensi kekuasaan kehakiman setidak-tidaknya mempunyai dua aspek yaitu dalam arti sempit, independensi kekuasaan kehakiman berarti
independensi institusional atau dalam istilah lain disebut sebagai independensi struktural atau independensi ekternal atau independensi
kolektif. Dalam arti luas, kekuasaan kehakiman meliputi independensi individu atau independensi internal, atau independensi fungsional atau
independensi normatif. Independensi personal dapat dipandang dalam dua aspek yaitu
independensi seorang hakim terhadap pengaruh sesama hakim atau koleganya, independensi substantif, yaitu independensi hakim terhadap
kekuasaan manapun baik ketika memutuskan perkara maupun ketika menjalankan tugas dan kedudukannya sebagai hakim.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan independensi institusional memandang lembaga peradilan sebagai suatu intitusi atau struktur kelembagaan. Sehingga pengertian
independensi adalah kebebasan intitusi peradilan dari pengaruh lembaga lain. Sedangkan independensi individu meletakkan hakim sebagai titik
sentral dari seluruh pengertian independensiyaitu kebebasan dari segala pengaruh dari dalam maupun dari luar dalam bentuk apapun.
Menurut Bagir Manan, majelis hakim dipandang menjadi tidak netral atau berpihak karena beberapa hal, antara lain karena pengaruh kekuasaan
dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baikdari lingkungan kekuasaan kehakiman
sendiri maupun dari luar. Selanjutnya disebabkan oleh pengaruh publik, tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan rasa takut atau cemas
kepada majelis hakim yang bersangkutan sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik yang bersangkutan.Pengaruh pihak
dapat bersumber dari hubungan primordial tertentu maupun karena komentar terhadap perkara.
63
8. Kebebasan Personal Hakim
Hakim sebagai penggerak lembaga kekuasaankehakiman harus benar- benar bebas dari segala bentuk tekanan, pengekangan, ancaman, intimidasi,
dan lainsebagainya baik dari dalam lembaga struktur organisasi peradilan maupun dari luar lembaga peradilan yang membuat jiwa dan perasaan
hakim merasa tidak nyaman, tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.
63
Ibid.,hlm.222.
Universitas Sumatera Utara
Hakim bebas membuat putusan netral yang dilandasi oleh faktor-faktor kejadian yag ditemukan dipersidangan dan norma hukum yang relevan
tanpa harus terpengaruh oleh kepentingan lain. Kebebasan personal hakim dapat juga dipandangsebagai keadaan dimana hakim mampu membuat
putusan bebas di atas kebenaran tanpa takut dari segala bentuk pembalasan. Ketua Mahkamah Agung Negara Bagian California Ronald M.
George menyatakan bahwa:
64
64
Ibid.
“Discussions of judicial independence typically focus on the importance of independent decicion making. The need for freedom from
inappropriate influence whether political, personal, or fiscal informs analyses of the potentical pressures, and public expectation, on the decicion
making process.”
“Pembahasan tentang independensi kekuasaan kehakiman umumnya berpokok pada pentingnya independensi pengambilan keputusan. Perlunya
kebebasan dan penagruh yang tidak diinginkan apakah itu politik, personal, atau keuangan yang memberikan analisis dan pengaruh potensial atau
pemilihan di peradilan dan berhubungan dengan penggalangan dana, tekanan publik, dan ekspektasi masyarakat atas proses pengambilan
keputusan”
Inti persoalan dalam kajian independensi kekuasaan kehakiman terletak pada kebebasan personal hakim dalam proses pengambilan
keputusan. Hakim sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum harus benar-benar bebas dari segala bentuk tekanan, pengekangan, ancaman,
intimidasi dan lain sebagainya baik dari dalam lembaga struktur organisasi peradilan, maupun berasal dari lembaga peradilan yang membuat jiwa dan
perasaan hakim merasa tidak nyaman, tidak bebas dalam melaksanakan tugasnya serta mendapatkan jaminan atas kebebasan secara politik,
konstitusional, yuridis, dan sosiologis atas kebebasan eksistensial hakim.
Universitas Sumatera Utara
Kenneth C. Jenne mengemukakan bahwa kebebasan personal hakim diterangkan sebagai berikut:
65
B. Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil