BAB V Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Konsepidissenting opinion dalam putusan pengadilan pada dasarnya sudah
dimuat dalam Pasal 182 ayat 6 dan ayat 7 KUHAP dan Pasal 14 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan kesempatan terjadinya
perbedaan pendapat para hakim dalam memeriksa suatu perkara, tetapi dalam kedua norma tersebut mengatur bahwa dissenting opinion
bersifat rahasia dan disimpan oleh ketua pengadilan. Dalam tataran praktik, terdapat
beberapa putusan yang menerapkan konsep dissenting opinion merupakan satu kesatuan dengan putusan pengadilan.
2. Dalam menerapkan dissenting opinion maka hakim diberikan kebebasan
yang berdimensi pancasila, yakni kebebasansecara personal maupun institusionaldalam penemuan kebenaran materiil yang disertai rasa
kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada
sesama manusia, serta bangsa dan negara. Dalam pelaksanaan kebebasan tersebut hakim dihadapkan pada berbagai kendala baik dalam hal
struktural, kekuasaan, peraturan perundang-undangan, pemahaman, dan kendala yang berasal dari masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari berbagai
faktor yang berasal dari diri hakim maupun faktor dari luar diri hakim.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran
1. Perlu dilakukan pengaturan dissenting opinion secara tegas, disertai
mekanisme penerapannya dalam hukum positif Indonesia, dengan melakukan kajian perbandingan terhadap penerapan dissenting opinion di
berbagai lembaga negara yang telah terlebih dahulu menerapkannya dan juga pada negara lain yang menerapkannya, untuk mendapatkan konsep
dissenting opinion yang ideal diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia secara khusus bidang pidana.
2. Dissenting opinion dapat terlaksana dengan baik jika hakim diberikan
kebebasan secara personal maupun institusional dalam mengadili perkara yang diajukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang kebebasan
eksistensial hakim yang berdimensi pancasila untuk selanjutnya diatur dalam hukum positif sebagai landasan hakim dalam penemuan kebenaran
materiil.
Universitas Sumatera Utara
BAB II Konsepsi Dissenting opinion dalam Putusan Pengadilan
C. Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan 5. Proses pembuatan putusan pengadilan
Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan.
Dalam proses penjatuhan putusan tersebut hakim harus meyakini apakah seseorang terdakwa telah melakukan tindak pidana atau tidak. Setelah
menerima dan memeriksa perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan
hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
17
Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah
dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana vrijspraak, dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum onslaag van alle rechtsverloging, dalam hal
17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993, hlm. 174.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
18
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis the power of solving
legal problems, yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum legal problem identification, memecahkan masalah legal
problems solving, dan mengambil putusan decision making.
19
Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu Pertama,
mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan
yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan
hukum itu the policies underlying those rule, sehingga dihasilkan struktur Oleh karena
itu, dibutuhkan penalaran hukum dalam pembuatan putusan sehingga dapat menyelesaikan masalah hukum tersebut.
18
Pasal 191 ayat 1 KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Pasal 191 ayat 2 KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”.
Pasal 191 ayat 3 KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
19
Sudikno Mertokusumo, Pendidikan Hukum Di Indonesia dan Sorotannya, dalam M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana
Prenada Media Group, 2012, hlm. 86.
Universitas Sumatera Utara
aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan struktur kasus.Kelima,
mencari alternatif penyelesaian yang mungkin.Keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk
kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
20
Dalam pandangan Herman Bakir proses pembuatan putusan merupakan prosedur yang sangat riil teoritikal dan ilmiah, sehingga kita
dapat melihat situasi kedekatam relasional antara subjek interpretator hakim, fakta dan kaidah hukum terjalin. Menurut pandangan beliau ada
beberapa fase dalam pembuatan putusan tersebut, antara lain:
21
a Fase perumusan masalah-masalah yuridik.
Pada fase ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi interpretator dalam hal ini berangakat dari asumsi bahwa, sengketa-
sengketa yuridik adalah masalah yang berderajat ‘amenable’ yaitu dapat dipertanggungjawabkan atau dapat diterima untuk diterapkan metode-
metode interpretasi, bahwa masalah yuridik adalah masalah ‘resolvable’ yaitu dapat dipecahkan, dan yang terakhir bahwa hukum adalah sesuatu
yang majemuk sehingga hakim bebas menetapkan metode mana yang akan dipakai.
b Fase penetapan faktor-faktor yang mendukung fase perumusan masalah
dengan jalan mengompilasikan fakta-fakta.
20
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan, dalam M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana
Prenada Media Group, 2012, hlm. 87.
21
Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, PT. Indeks kelompok Gramedia, Jakarta, 2005, hlm.66-72.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tahap ini, hakim dituntut memperlakukan fakta- fakta.Pentingnya fakta-fakta dalam hal interpretasi sering tidak
memperoleh tanggapan yang memadai dari banyak interpretator, padahal fakta-fakta inilah yang pada gilirannya diasumsikan sebagai penyebab
dari terjadinya peristiwa yang menimbulkan problema hukum itu. Dengan mendasarkan diri pada situasi problematik, si interpretator akan
melakukan pendekatan pada fakta, yang artinya ia akan mulai menginventarisasi dan mengompilasi fakta-fakta dengan selengkap
mungkin. Setiap masalah selalu akan menampilkan dirinya dalam bentuk fakta-fakta, fakta-fakta itu mesti dipaparkan secara skematis sejelas
mungkin. Interpretasi aturan hukum itu pada dasarnya berkenaan dengan penilaian atas kaidah-kaidah itu dapat diterapkan pada kejadian konkrit,
maka terlebih dahulu ditetapkan apa yang sesungguhnya harus dirumuskan sebagai situasi faktual, apa yang dari situasi faktual itu dapat
dipandang relevan secara yuridik. c
Fase klasifikasi atau identifikasi sumber hukum yang aplikabel Sumber hukum akan diklasifikasi dan diidentifikasi yang dianggap
paling aplikabel diantara keseluruhannya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,
yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin. d
Fase analisis atas sumber-sumber hukum. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan aturan hukum mana yang
mau disorotatas situasi problematik yang terjadi, sumber hukum mana
Universitas Sumatera Utara
yang sebetulnya paling aplikabel yang paling mungkin diterapkan. Dalam fase ini si interpretator menemukan aspek kebijakan policies
yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, dan menemukan tujuan kemasyarakatan dari aturan-aturan tersebut. Ketika muncul persoalan
dimana terdapat lebih dari satu aturan hukum maka si interpretator akan mensintetisasi aturan-aturan hukum yang aplikabel kedalam struktur-
struktur yang koheren supaya jangan selalu bertentangan diantaranya. Bahwa aturan yang spesifik ditempatkan dibawah aturan yang general,
supaya jelas yang mana termasuk kelompok kaidah yang lebih umum dan yang mana kelompok kaidah yang lebih spesifik. Sehingga ketika terjadi
pertentangan maka akan lebih mudah untuk menetapkan mana yang bisa dikesampingkan diderogasi dan mana yang akan dimajukan.
e Fase analisis dan kualifikasi atas fakta-fakta yang diperoleh.
Pada fase ini fakta-fakta akan ditampilkan untuk diuraikan dan distrukturkan atau dikonstruksi sehingga menjadi jelas format konspirasi
fakta-fakta yang membentuk peristiwa hukum. Dengan begitu aturan hukumnya dapat disesuaikan dengan peristiwa hukumnya.
f Fase mempersiapkan metode-metode interpretasi
Ketika interpretator telah menelusuri atau setidaknya pada pendekatan terhadap masalah yang sedang dihadapi sudah menetapkan
kaidah-kaidah hukum mana saja yang akan diterapkan pada suatu fakta- fakta. Pada tahap ini si interpretator dituntut untuk menggali dan
menganalisis kedalam aturan-aturan tertentu, menentukan luas sempitnya
Universitas Sumatera Utara
wilayah jangkauan, terapan dan kaidah-kaidah hukum yang
dikonfrontasinya. Selain itu interpretator bebas menetapkan pilihan metode interpretasi apa yang akan dipakai, atau sama sekali ia hanya
bersandar pada penilaian kelayakan semata, yang merujuk pada ‘appeal to emotion’ atau ‘apple to reason’, pada dasarnya hal tersebut
diperbolehkan. Dalam hal ini, hakim telah dilimpahkan otonomitas atau kemerdekaan yang sedemikian luas,
g Fase memformulasikan dalam bentuk klaim yuridik statement, proposisi
kaidah. Pada fase ini si interpretator berusaha menerapkan struktur aturan-
aturan tersebut yang telah disintetiskan pada fase ketiga dan keempat, dan pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban
dengan mengacu pada kebijakan yang melandasi aturan-aturan tersebut.Kebijakan ini sangat penting dalam menginpretasikan terutama
pada waktu melaksanakan aturan itu kedalam situasi konkrit. Hal ini dapat berupa requisitor putusan hukum dari jaksa yang
belum mempunyai kekuatan mengikat dalam perkara pidana, Pledoi pembelaan dari para pihak dalam pidana, semua hal tersebut merupakan
putusan hukum dari para pihak yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya vonis.
Universitas Sumatera Utara
h Motivering pengajuan alasan atau pertimbangan
Bagian ini merupakan posisi sentral dalam upaya pertanggungjawaban dan presentasi putusan yang akan ditetapkan dari
seluruh fase yang digelar dalam interpretasi. Menurut Moelyatno terdapat beberapa tahapan dalam penjatuhan
putusan, antara lain tahap menganalisis perbuatan pidana, tahap menganalisis tanggungjawab pidana, dan tahap penentuan pemidanaan.
22
a Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus
pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut. Maka perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsur formil dan
unsur materiil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum rechtwirdigkeit.
Dalam menganalisis suatu tindak pidana, hakim menganalisis unsur tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur subjektif
menyangkut orangnya, atau pelakunya yang dirumuskan dalam KUHP dengan kata-kata barang siapa, sedangkan unsur objektifnya dirumuskan
dalam unsur batas pengertian suatu delik. b
Tahap menganalisis tanggungjawab pidana.
22
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, dalam Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oelh hakiam dalan Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
Unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut selanjutnya dianalisis hakim guna mengetahui apakah pelaku dapat dinyatakan
bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dalam analisis ini, dapat dipidannya seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu
perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai
suatu kesalahan. Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
untuk membuktikan adanya penggaran pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:
23
1 Melakukan perbuatan pidana sifat melawan hukum.
2 Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.
3 Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan. 4
Tidak ada alasan pemaaf. c
Tahap Penentuan Pemidanaan. Berangkat dari keyakinan hakim bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan melawan hukum, sehingga dia dinyatakan bersalah atas perbuatannya dengan meminta pertanggungjawaban si pelaku.
Selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Terkait beban pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam
KUHP, dimana dalam KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang
23
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.Hal inilah sebagai bentuk kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang
diajukan kepadanya. Menurut H. Taufiq, Hakim dalam mengambil keputusan terhadap
perkara yang diperiksa dapat memilih 3 tiga tehnik pengambilan putusan dan penerapan hukum yaitu:
24
a Tehnik Analitik.
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum
acara secara lengkap. Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu
disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut. b
Tehnik Equatable. Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan
dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji
kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya hukumnya.
c Tehnik Silogisme.
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga
dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini
24
Ibid.,hlm 97.
Universitas Sumatera Utara
umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan
hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan premis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai
contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang
istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-
undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga
merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.Proses tahapan-tahapan
metodologi ini sebagai berikut: 1
Perumusan masalah atau pokok sengketa Perumusan masalah dari suatu perkara dapat disimpulkan dari
informasi baik dari jaksa penuntut umum maupun dari penasehat hukum. Dari persidangan tahap inilah hakim yang memeriksa perkara
tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang diperkarakan oleh para pihak. Peristiwa inilah yang merupakan pokok
masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses
tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses selanjutnya juga akan salah.
Universitas Sumatera Utara
2 Pengumpulan data dalam proses pembuktian.
Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama
kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang
dianggap salah dikonstatir. Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.
3 Analisa data untuk menemukan fakta.
Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat
dan benar. Menurut Blacks Law Dictionary sebagaimana yang ditulis oleh H. Taufiq
“fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian
yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah
menjelma dalam ruang”.
Jadi fakta itu dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan,
kejadian, atau kualitas sesuatu yang benar-benar ada.Fakta bisa berbentuk eksistensi suatu benda, atau kejadian yang benar-benar
wujud dalam kenyataan, ruang, dan waktu.Fakta berbeda dengan angan-angan, fiksi dan pendapat seseorang.Fakta ditentukan
berdasarkan pembuktian.Fakta berbeda dengan hukum, hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian.Fakta
ditemukan dari pembuktian suatu peristiwa dengan mendengarkan
Universitas Sumatera Utara
keterangan para saksi dan para ahli.Fakta ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks, ada yang ditemukan dengan hanya dari
keterangan para saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan penalaran dari beberapa fakta
4 Penentuan hukum dan penerapannya.
Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan hukumnya.Menemukan hukum
tidak hanya sekadar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan
hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit.Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan.Untuk
menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus
diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.Jika peristiwa
konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus
mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya maka ia
harus mengadakan konstruksi hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Universitas Sumatera Utara
5 Pengambilan keputusan.
Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang
disebut dengan putusan. Hasil proses sebagaimana yang telah diuraikan di atas, para hakim yang menyidangkan suatu perkara
menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disebut dengan putusan. Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatif dengan
format yang telah ditentukan undang-undang.Dengan dibuat putusan tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran
peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara tepat dalam perkara yang diadili tersebut.
6. Teori pembuatan putusan
Teori pembuatan putusan sangat relevan dengan tugas hakim dalam membuat putusan di pengadilan.Putusan tersebut bertujuan untuk
menentukan bersalah tidaknya terdakwa yang diajukan ke muka persidangan.Di samping itu juga untuk menentukan sanksi pidana yang
diterima oleh terdakwa jika sudah terbukti bersalah melakukan perbuatan
pidana.
Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana maka hakim dapat menggunakan beberapa teori pembuatan putusan pidana seperti
halnya teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan institusi, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori ratio decidensi,
danteori kebijaksanaan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pendapat Mackenzie sebagaimana diutip oleh Ahmad Rifai dalam bukunya
25
a. Teori Keseimbangan
, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan pembuatan putusan
dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan
pihak-pihak yang bersangkutan atau yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban. Dalam praktik peradilan pidana keseimbangan antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana
bagi terdakwa dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal
yang meringankan.Pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana
yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi
setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut
25
Ahmad Rifai., hlm. 102-113.
Universitas Sumatera Utara
umum.Pendekatan seni ini digunakan hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada pengetahuan
dari hakim. Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem pembuktian yang dianut yaitu minimum dua alat bukti dan harus disertai
keyakinan hakim.Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Disatu sisi kita menyadari
bahwa hakim merupakan manusia biasa seperti manusia pada umumnya yang terdiri atas jasmani dan rohani yang adakalanya menempatkan
naluri pada posisi yang kurang benar, sehingga dikuatirkan akan terjadi kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan hakim,
sehingga akan menjadi putusan yang salah atau sesat yang dapat menimbulkan polemik dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus
berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan instuisi semata dari hakim sendiri.
c. Teori Pendekatan Keilmuan.
Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian,
khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan
ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata,
Universitas Sumatera Utara
tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.Oleh karena itu, hakim harus dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu
pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada
dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim.
Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai teori dalam ilmu hukum maupun non hukum sangat diperlukan untuk
membuat putusan yang mencerminkan cita hukum itu sendiri. Dalam persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang
berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan
persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya
hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.
d. Teori Pendekatan Pengalaman.
Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi.Melalui pengalaman yang
dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara baik yang berkaitan dengan pelaku,
Universitas Sumatera Utara
korban, maupun masyarakat secara umum sebagai akibat yang ditimbulkan penjatuhan putusan tersebut.
Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya
yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan putusan.
e. Teori Ratio Decidendi.
Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada
landasan filsafat yang mendasarkan dan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan.
Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara
dipengadilan anak.Landasan dari teori ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan
harus ditanam, dipupuk dan dibina.Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut
bertanggung jawab untuk membimbing, membina, dan melindungi anak,
Universitas Sumatera Utara
agar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.
26
1 Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman sutau
kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya. Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yang pertama,
sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah
melakukan tindak pidana, yang ketiga untuk memupuk solidaritas antara keluarga dnegan masyarakat dalam rangka membina dan memelihara dan
mendidik pelaku tindak pidana anak, dan keempat sebagai pencegahan umum dan khusus.
Menurut Ahmad Rifai, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek
tujuan, yatu sebagai berikut:
2 Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya
jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari. 3
Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.
4 Memeprsiapkan mental amsyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan
dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
26
Made Sadhi Astuti, Pemidanaan anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, dalam Ahmad Rifai, hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara
Teori penjatuhan pidana sebagaimana dikemukan oleh Made tersebut pada dasarnya lebih ditujukan pada penjatuhan putusan dalam
perkara anak akan tetapi makna kebijaksanaan dalam teori ini dapat juga dipergunakan dalam penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lainnya.
Melalui kebijaksanaan hakim dapat menemukan hukum yang berdimensi substantif dengan mengelaborasinya dengan wawasan pengetahuan yang
luas, intuisi yang tajam dan peka, pengalaman yang luas serta etika dan moralitas yang baik dan terjaga dari pengaruh buruk.
7. Aspek yang terkandung dalam putusan
Dalam pedoman perilaku code of conduct hakim yang dikeluarkan Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman telah
menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin
dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum legal justice,
keadilan moral moral justice, dan keadilan masyarakat social justice.
27
Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator
undang-undang harus memahami undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah undang-undang
tersebut adil, bermanfaat, atau memberikan kepastian hukum jika
27
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim code of conduct, Kode Etik Hakim Dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
ditegakkan sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.
Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai
budaya yang hidup dimasyarakat.Penerapan aspek filosofis dan sosiologis harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup
dimasyarakat.Pencantuman ketiga aspek tersebut sebagai upaya penegakan nilai keadilan dan dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam ketiga aspek tersebut harus terkandung tujuan dari hukum yang dalam pandangan Achmad Ali dapat diklasifikasikan kedalam tiga tujuan
hukum, yaitu: 1
Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.
2 Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum
itu hanyalah untuk menciptkan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.
3 Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan
hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Pandangan yang menggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah
keadilan belaka menuai pertentangan karena keadilan sebagai sesuatu yang abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus
menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Aliran etis dapat dianggap sebagai morai idea atau ajaran moral teoritis.Penganut aliran
ini ialah Aristoteles, Justianus, Eugen Erlich.
28
Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan
yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh para penganutnya, yaitu diantaranya Jeremy
Bentham, James Mill, Jhon Stuart Mill.Bahkan Bentham berpendapat bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat.Kemudian menurut Jhon Rawls dengan teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness keadilan sebagai
kejujuran menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan
memperkecil ketidakbahagiaan the greatest happiness of the greatest number people.
29
Aliran normatif yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom
dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan
tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini untuk sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun
aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan
28
Ibid.,hlm. 86.
29
Ibid.,hlm. 88.
Universitas Sumatera Utara
manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat ditegakkan.
30
Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada
penyimpangan fiat justitia et pereat mundus. Kepastian hukum memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakaan sewwenang-
wenang pihak lain dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam masyarakat.
31
Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum.Jangan sampai terjadi
dalam pelaksanaan dan penegakan hukum timbul keresahan dalam masyarakat.
32
Selain itu masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan atau penegakan hukum itu, memperhatikan nilai-nilai keadilan.Akan tetapi,
harus diingat bahwa hukum itu tidak identik dengan keadilan, karena hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan atau
tidak membeda-bedakan keadaan, status ataupun perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau
pelanggaran hukum oleh pihak yang berperkara, maka dijatuhkan pidana yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam undang-
30
Ibid., hlm. 94.
31
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Op.cit.,hlm. 2.
32
Ibid., hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan keadian moral atau keadilan masyarakat.
33
Tujuan hukum tersebut pada dasarnya sama dengan yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch sebagai tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Radbruch mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama
selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan yang terakhir nilai kepastian hukum.
34
Hakim dalam memutus perkara secara kasuistis selalu dihadapkan pada ketiga asas tersebut, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan
asas kemanfaatan. Sebagaimana menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi yaitu dengan cara
menerapkannya secara seimbang atau proporsional.
35
Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas
tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.jika diibaratkan dalam
sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada titik
Sehingga tidak perlu mengikuti asas prioritas sebagaimana yang diungkapkan oleh Radbruch,
tetapi seharusnya mengikuti asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dnegan kasus yang dihadapi.
33
Ibid., hlm. 2.
34
Ibid., hlm 96.
35
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Op.cit.,hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya.
36
Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik
keadilan. Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan, makas secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian
hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu
pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik
keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.
37
Penekanan terhadap asas kepastian hukum lebih cenderung mempertahankan norma-norma hukum tertulis, pola berpikir seperti ini akan
mengalami kendala pada saat ketentuan tertulis dapat menjawab persoalan yang diajukan kepada hakim, sehingga dalam posisi seperti itu hakim harus
menemukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Penekanan Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang
diperiksa.
36
Ahmad Rifai, Op.cit.,hlm. 132.
37
Lontung O. Siahaan, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum pada Era Reformasi dan Transformasi, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI
No. 252 November 2006, Ikahi, Jakarta, hlm. 65-66. dalam Achmad Rifai, hlm 133
Universitas Sumatera Utara
terhadap asas ini lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan ketertiban masyarakat.
38
Selain keadilan hukum yang hendak diwujudkan dikenal juga keadilan moral dan keadilan sosial yang harus diterapkan hakim.Dalam pelaksanaan
Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada pemenuhan tujuan hukum bagi masyarakat banyak.
Penekanan pada asas keadilan maka hakim harus mempertimbangkan hukum yang hidup dimasyarakat.Putusan hakim harus mampu
mengakomodir rasa keadilan individu, kelompok, masyarakat yang belum tentu sama dengan masyarakat lainnya.
Dalam aspek tersebut harus terkandung nilai keadilan hukum yaitu keadilan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Dalam arti
hakim hanya memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif yang berlaku.Keadilan seperti ini disebut dengan keadilan berdasarkan aliran
legalistic positivism.Dalam menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari
sumber-sumber hukum diluar hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang pada setiap perkara konkrit. Dengan kata lain
hakim merupkan corong undang-undang. Keadilan hukum yang berdasarkan undang-undang pada dasarnya
berlaku pada kondisi tertentu, hal ini tidak berlaku ketika terjadi perubahan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat atau terjadi dinamika sosial yang
mengakibatkan pemahaman tentang keadilan mengalami pergeseran.
38
Ibid., hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
tugas dan wewenang seorang hakim dipandang perlu menegakkan nilai kebenaran dan keadilan dengan berpegang kepada hukum undang-undang,
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.Dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil dan
apabila penerapan peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan ketidakadilan, maka hakim berkewajiban berpihak kepada keadilan moral
dan mengenyampingkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Karena hukum yang baik adalah hukum yang bersesuaian dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat the living law yang merupakan cerminan nilai- nilai yang berlaku didalam masyarakat.Keadilan yang dimaksud disini
bukan merupakan keadilan proseduril melainkan keadilan substantif. Menurut Daniel S.Lev keadilan menggunakan istilah proseduril dan
substantif.Sedangkan Schuyt menggunakan istilah formil dan materiil.Keadilan proseduril diartikan sebagai keadilan yang didapatkan dari
putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk menurut undang-undnag negara termasuk putusan pengadilan.Sedangkan keadilan substantif
menyangkut hak-hak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam masyarakat.
39
Dalam penerapannya dimasyarakat, tuntutan masyarakat lebih menekankan pada penegakan keadilan substantif dibandingkan keadilan
proseduril. Hal ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum moralitas yang mengkehendaki penegakan prinsip kebajikan dan moralitas.
39
Mulyana W. Kusuma, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, Alumni, bandung, 1981, hlm. 53.
Universitas Sumatera Utara
Karena menurut pandangan ini, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip moralitas bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas boleh atau bisa
tidak ditaati berdasarkan suatu hak moral moral right. Selain memperhatikan aspek substantif seperti aspek yuridis, filosofis
dan sosiologis, putusan hakim juga harus memperhatikan ketentuan- ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 197 ayat 1 KUHAP.
Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam pasal 197 ayat 1 jo. Pasal 197 ayat 2, dapat mengakibatkan putasan batal demi
hukum.Suatu putusan yang batal demi hukum mengakibatkan mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah
terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana. Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan
didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami oleh putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 197 ayat 1.
Putusan yang dijatuhkan, tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi.Putusan yang batal
demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum, karena putusan itu sendiri tidak mempunyai akibat hukum.
40
1 Putusan pemidanaan harus memuat semua ketentuan pasal 197 ayat 1
KUHAP. Putusan pemidanaan akan terhindar dari ancaman batal demi hukum sebagaimana yang diancam pasal 197 ayat 2, apabila putusan
memuat semua ketentuan pasal 197 ayat 1 KUHAP. Hal tersebut dapat dilihat dalam:
40
M.Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hlm.360-370.
Universitas Sumatera Utara
a Berkepala: Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Demi
keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan falsafah yang dianut penegakan hukum yang dicita-citakan bangsa
Indonesia keadilan berdasarkan ketuhanan,artinya hukuman atau putusan yang dijatuhkan bukan berdasarkan kehendak hakim atau
undnag-undnag maupun penguasa, akan tetapi sekaligus dalam upaya penegakan hukumitu tersirat kehendak Tuhan.
b Identitas terdakwa, identitas meliputi nama lengkap, tempat lahir,
umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Huruf b menentukan agar dalam putusan jelas
dan terang diuraikan identitas terdakwa, guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yangs
sedang diadili. Oleh karena itu, identitas yang tertera dalam putusan harus sama dengan identitas yang tertera dalam berita acara
persidangan. c
Dakwaan, dalam putusan memuat seluruh isi surat dakwaan yang dibuat penuntut umum yang terdapat dalam surat dakwaan. Dakwaan
yang terdapat dalam surat dakwaan diambil alih secara keseluruhan kedalam putusan secara keseluruhan sesuai yang diuraikan penuntut
umum. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat 1 huruf c. d
Pertimbangan yang lengkap, fakta dan keadaan harus diuraikan jelas sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Karena landasan yang digunakan dalam menentukan berat
Universitas Sumatera Utara
ringannya hukuman pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau
meringankan si terdakwa.Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar penentuankesalahan
terdakwa juga harus dimuat secara lengkap. Pembuktian tersebut akan dipertimbangankan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan
pikiran yang logis dan reasoning yang mendukung kesimpulan pertimbangan hakim.
e Tuntutan pidana penuntut umum. Setelah uraian dakwaan maka
dimuat ketentuan tuntutan pidana. Argumentasi fakta dan alat pembuktian dikonfrontir oleh hakim dengan argumentasi tuntutan
pidana penuntut umum dan pembelaan terdakwa, konfrontasi semua argumentasi ini yang harus jelas terbaca dalam putusan hukum.
f Putusan undang-undang yang menjadi dasar pertimbangan. Menurut
ketentuan ini, putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
g Hari dan tanggal diadakannya musyawarah hakim. Hal ini memuat
tanggal hari pemusyawaratan dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan.
h Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi
semua unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana disertai
Universitas Sumatera Utara
dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. Biasanya pernyataan yang disebut pada huruf h ini dicantumkan
dalam amar putusan. i
Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti. Ketentuan yang dimuat dalam huruf i menyangkut dua ketentuan yang
berhubungan dengan pembebanan biaya perkara dan besarnya biaya perkara dan mengenai alat bukti serta cara pengembalian barang bukti,
pemusnahan maupun perampasan barang bukti tersebut. j
Penjelasan tentang surat palsu, jika dalam persidangan ditemukan surat palsu maka akan dijelaskan dalam putusan.
k Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan. Hal ini
dimuat sebagai upaya mencegah terjadinya kelalaian hakim yang berakibat putusan batal demi hukum.
l Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang
menuntut dan panitera. Hal ini ditempatkan sesudah amar putusan.
8. Tehnik Pengambilan Putusan
Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dapat memilih 3 tiga tehnik pengambilan putusan dan penerapan hukum
yaitu:
a.
Tehnik Analitik.
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum
acara secara lengkap.Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada hal-hal umum kesimpulan deduktif.Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok
masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.
b.
Tehnik Equatable.
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu
alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti
itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian mencari hukumnya.
c.
Tehnik Silogisme.
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga
dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika
yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu
peraturan hukumnya, dan primis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus
dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim
dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang- undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat
Universitas Sumatera Utara
bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi
manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.
D. Konsepsi Dissenting Opinion 4. Sejarah Penerapan Konsep Dissenting Opinion