Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

Kenneth C. Jenne mengemukakan bahwa kebebasan personal hakim diterangkan sebagai berikut: 65

B. Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

“...when it comes to independence i want to be sure that any litigant, any lawyer, or any constituent, wherever they appear, can be treatd as the lwa prescribes. As long as a judge has the ability to rule independently as the rule, the presedents, and the law prescribe that is what i describe as judicial independence.” “...ketika tiba pada pengertian independensi, saya ingin yakin bahwa setiap pihak dalam perkara, setiap advokat, atau setiap pihak dimanapun mereka berada dapat diperlakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Sepanjang hakim mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugas secara independen sesuai dengan hukum, preseden, dan undang-undang maka itulah independensi kekuasaan kehakiman. ”

1. Hakikat Penemuan Hukum

Penemuan hukum merupakan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Secara khusus penemuan hukum yang akan dikaji dalam penelitian ini merupakan penemuan hukum yang dilakukanoleh hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Penemuan hukum merupakan bentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Praktik penemuan hukum tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” penemuan kebenaran.Yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana. 65 Ibid.,hlm.223. Universitas Sumatera Utara Konsep penemuan hukum pada dasarnya tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan- tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat. 66 Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim berpendapat bahwa undang-undang bungkam tentang suatu persoalan, tidak Dengan adanya sistem tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut. Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.Kodofikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena keragu- raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber hukum itu. Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland Wet AB, undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya kekuatan- kekuatan yang berguna bagi masyarakat. 66 J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm. 35. Universitas Sumatera Utara jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa yang bersifat in konkrito. Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada, Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon putusan-putusan hakimyurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan Universitas Sumatera Utara menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis. 67 67 Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184. Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum. Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi. Istilah penemuan hukum yang penulis maksud dalam penelitian ini pada dasarnya masih sering dipertentangkan oleh para ahli hukum, ada yang berpendapat bahwa istilah tersebut lebih tepat dipakai dengan istilah “pelaksanaan hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum”, atau “penciptaan hukum”. Universitas Sumatera Utara Dari berbagai pendapat tersebut, penulis lebih mengarah kepada pandangan Soedikno Mertokusumo 68 68 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-37. beliau memberikan batasan-batasan terhadap pengertian tersebut, yakni: Penemuan hukum rechtvinding diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas- petugas hukum lainnya yang diberi tigas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penerapan hukum berarti menerapkan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya.Menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin.Peristiwa kongkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Diwaktu yang lampau dikatakan bahwa hakim adalah corong undnag-undang, karena kewajibannya menerapkan undang-undang, ia adalah “subsumptie automaat”. Sementara pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan- peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk hukum, kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa, tetapi memperoleh kekuatan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat mengandung dua unsur, yaitu disatu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa kongkrit dan dipihak lain merupakan peraturan Universitas Sumatera Utara hukum dimasa depan. Sedangkan istilah penciptaan hukum dalam pandangan Sudikno dipandang kurang tepat karena memberi kesan bahwa hukum itu sama sekali tidak ada. Hukum bukanlah selalu kaidah tertulis atau tidak, tetapi dapat juga perilaku atau peristiwa.Dan perilaku itulah harus ditemukan atau digali kaidah atau hukumnya.Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah penemuan hukumlah yang dipandang tepat. Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum, penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim. Penemuan hukum awalnya dipengaruhi pandangan klasik seperti yang diungkapkan oleh Immanuel Kant dan Mostesquieu sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumu 69 69 Ibid.,hlm. 39. bahwa hakim dalam menerapkan undang- undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri.Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang bouche de la loi, sehingga tidak dapat mengubah kekuatan undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak dapat juga Universitas Sumatera Utara menguranginya.Ini disebabkan karena menurut Montesquieu bahwa undang- undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.Oleh karena itu, demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim yang ditakutkan bertindak sewenang- wenang, maka hakim harus berada dibawah undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 20 AB “hakim harus mengadili menurut undang-undang”. Dalam perkembangannya klausul mengadili menurut undang-undang mengalami perluasan makna dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak memebedakan orang”. Jika kita merujuk kepada asas Lex Posterior Derogate Legi Priori, maka isi pasal 20 AB bertentangan dengan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970. Sementara dalam pasal 21 AB disebutkan bahwa “hakim dilarang berdasarkan peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus perkara yang tergantung padanya”.Ini berarti bahwa hakim hanya boleh memeriksa dan menagdili peristiwa konkrit dan tidak boleh menciptakan peraturan umum dalam putusannya. Menurut pandangan klasik ini dalam undang-undang sudah terdapat hukum yang lengkap dan sistematis dan tugas hakim hanya mengadili sesuai bunyi undang-undang. Universitas Sumatera Utara Penemuan hukum yang bertumpu kepada undang-undang ini lebih dikenal dengan penemuan hukum heteronom. Dimana hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi, artinya hakim tidak boleh menempatkan dirinya sebagai pembentuk undang-undang, ia hanya boleh memeriksa dan memutus perkara konkrit dan tidak boleh membuat peraturan yang mengikat umum. Pandangan penemuan hukum yang bersifat heteronom ini pada dasarnya mematikan potensi hakim untuk menemukan kebenaran materiil dari peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.Dalam perkembangannya bahwa penemuan hukum yang bersifat legal positif tersebut mulai ditinggalkan. Dan mulai mengalami pergeseran kedalam penemuan hukum otonom, dalam penemuan hukum otonom sebagaimana yang dianut oleh sistem hukum anglo saxon terdapat asas the binding force of presedent ataustare decisi et quita non movere. Dalam sistem ini, hakim dalam memutus perkara terikat kepada putusan hakim terdahulu mengenai perkara sejenis dengan menggunakan alur berpikir induktif, yaitu berpikir dari peristiwa hukum yang khusus putusan hakim terdahulu ke peristiwa hukum yang lebih umum peristiwa kongkrit yang sedang dihadapi. Hakim melakukan penemuan hukum dengan memeriksa dan memutus perkara menurut apresiasi pribadinya, ia dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. 70 70 Ibid. Hlm. 40. Universitas Sumatera Utara Dalam penemuan hukum otonom, hakim diberikan kekuasaan membentuk hukum ‘judge made law’, terdapat beberapa alasan kuat yang mendukung pandangan tersebut antara lain bahwa Pertama, undang-undang bersifat langsung konservatif. Dalam penerapannya di masyarakat dihadapkan kepada kenyataan bahwa undang-undang yang dibuat dan diundangkan langsung bersifat konserfatif, karena segera menjadi rumusan huruf mati dan langsung menjadi statis ketika berhadapan dengan perubahan sosial yang terus berjalan. Disisi lain dalam kehidupan sosial yang mengalami perubahan, ekonomi, dan moral berpacu mengalami perubahan persfektif the social, economic, and moral almost change their persfektif. 71 Untuk mengakomodir dinamika sosial tersebut, hakim berwenang untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang dibuat oleh parlemen dengan tujuan agar hukum atau undang-undang yang dibuat dapat mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat dan mentransformasikan nilai- nilai dan kebutuhan perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan moral yang terjadi sehingga dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup living law. Kedua, pada dasarnya tidak ada satupun undang-undang yang sempurna.Pada saat undang-undang dibuat orang berpendapat bahwa undang-undang tersebut baik dan sempurna. Akan tetapi ketika dinamika sosial yang bersifat konkrit terjadi yang tidak terpikirkan pada saat perumusan undang-undang tersebut antara lain berupa: rumusan undang- undang sering kali sulit dipahami elusive term; tidak jelas artinya unclear 71 Ahmad Kamil, Op.cit., hlm 209. Universitas Sumatera Utara term; kabur dan samarvague outline; atau mengandung pengertian yang ambiguitas ambiquity hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran materiil. Selain itu undang-undang mungkin bertentangan dengan konstitusi unconstitusional atau bisa melanggar atau mengancam hak asasi manusia; atau isinya bertentangan dengan akal sehat contrary to common sense; dan adakalanya pula ketentuan undang-undang menimbulkan akibat yang tidak layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian. Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang normgerechtigkeit kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan einzelfallgerechtigkeit, serta terjadi pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem systeemdenken kearah berpikir mengacu kepada masalah problem oriented. 72 Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan 72 Ibid. Hlm. 210. Universitas Sumatera Utara yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian nternasional, dan doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum bahwa sumber penemuan hukum memiliki hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.Dalam ajaran tersebut memandang peraturan perundang- undangan merupakan sumber terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk memahami maksud dari undang-undang, karena memahami peraturan perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi kata-katanya saja naar de letter van de wet, tetapi harus mencari makna atau tujuan perundang-undangan.Jika dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka barulah mencari kepada hukum kebiasaan.Hukum kebiasaan merupakan hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu untuk menemukannya harus menggali kebiasaan yang telah hidup dimasyarakat. Pada dasarnya tidak semua kebiasaan mempunyai kekuatan hukum mengikat, kebiasaan baru dapat dikatakan sumber hukum apabila kebiasaan tersebut telah diulang dalam jangka waktu yang lama, telah menimbulkan keyakinan umum opini necessitatis, perilaku tersebut dipandang patut secara objektif dilakukan dan adanya keyakinan bahwa melakukan perilaku tersebut berarti telah melakukan kewajiban hukum. Berdasarkan pasal 15 AB, bahwa hukum kebiasaan pada umunya melengkapi peraturan perundang-undangan dan tidak dapat Universitas Sumatera Utara mengesampingkannya.Adakalanya hukum kebiasaan mengalahkan undang- undang yang bersifat sebagai pelengkap.Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ditemukan jawaban, maka daoat dicari didalam yurisprudensi. Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim, selain itu yurisprudensi juga dapat diartikan sebagai kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai tingkat kasasi dan pada umumnya diberi annotatie oleh para pakar dibidang peradilan. Didalam putusan hakim tersebut terdiri dari kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.Identitas para pihak yang berperkara dan konsiderans tentang hukumnya dan pada bagian akhir memuat dispositive. Melalui putusan tersebut maka dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim lain untuk memutus perkara serupa dikemudian hari. Jika dalam yurisprudensi tidak ditemukan jawaban atas suatu masalah maka akan menggunakan sumber hukum lainnya. Konsep penemuan hukum oleh hakim tidak terlepas dari pandangan Paul Scholten yang mengemukakan bahwa: 73 a Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya, undang- undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata- katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada. 73 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama, Jakarta, Hlm. 164. Universitas Sumatera Utara b Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan dalam hukum, yaitu: 1 Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa ia menemukan suatu kekosongan karena ia tidak mengetahui bagaimana ia harus memberi putusannya. 2 Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan konstruksi hukum dan penalaran logispun, problemnya masih tetap tidak terpecahkan, dalam hal itu harus mengisi kekosongan ini seperti ia berada pada kedudukan sebagai pembuat undang-undang dan member putusannya seperti halnya jika pembuat undang-undang itu akan memberikan putusannya dalam menghadapi kasus seperti itu. Soedikno Mertokosumo memperkenalkan ada tiga tahap tugas hakim saat melakukan penemuan hukum, 74 a Tahap konstatir, yaitu dimana hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan. Dalam tahapan ini kemampuan hakim dalam melakukan penguasaan hukum pembuktian sangat diperlukan. yaitu: b Tahap kualifikasi, yaitu tahap dimana hakim mengkualifikasikan hubungan hukum apakah termasuk dalalm tindak pidana tertentu. c Tahap konstituir, yaitu hakim menetapkan hukum terhadap pihak yang bersangkutan dengan menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu kesimpulan dari premis mayor berupa aturan hukum dan premis minor berupa tindakan pelaku. 74 Ibid.,hlm 165. Universitas Sumatera Utara Penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstituir.Hakim menemukan hukum melalui sumber- sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak dianut pandangan legisme yang hanya menerima undang-undang saja sebagai satu-satunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya hakim dapat melakukan penemuan hukum melalui sumber hukum yang lain baik itu undang-undang, kebiasaan, traktar, yurisprudensi, doktrin, hukum agama bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh masyarakat.

2. Aliran Penemuan Hukum a. Legisme

Aliran ini lahir sebagai reaksi atas ketidakseragaman hukum kebiasaan pada abad 19 yang tidak memberikan kepastian hukum, dengan melakukan kodifikasi norma hukum secara lengkap dan sistemats dalam kitab undang-undang.Aliran ini menegaskan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dipandang cukup jelas dan lengkap yang berisi semua jawaban terhadap persoalan hukum sehingga hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkrit dengan bantuan penafsiran gramatikal. Dalam pandangan aliran ini dibutuhkan beberapa syarat dalam melaksanakan undang-undang, yaitu undang-undang harus bersifat umum berlaku bagi setiap orang, ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara abstrak sehingga berlaku umum, dan sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongan- Universitas Sumatera Utara kekosongan.Berdasarkan pendapat ini maka semua hukum terdapat di dalam undang-undang, dan hanya undang-undanglah yang menjadi sumber hukum. Montesquieu pernahmengemukakan bahwa “hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak beoleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun tentang keketatannya”, Justianus bahkan pernah mengancam dengan pidana pada siapa saja yang memberanikan diri untuk melakukan penafsiran undang- undang.Interpretasi hanya dimungkinkan atas dasar persetujuan kaisar”. 75 Selanjutnya J.J. Rousseau dalam teori kedaulatan rakyat yang dianutnya berpendapat bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan dalam undang-undang.Oleh karena itu undang- undanglah satu-satunya hukum dan sumber hukum, dan hakim tidak boleh melakukan pekerjaan pembuat undang-undang.Bahkan Fennet juga mengungkapkan bahwa interpretasi atau komentar sebagai cambuk perusak undang-undang. 76 Dalam perkembangannya pandangan legisme semakin lama semakin ditinggalkan orang, semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas.Sifat undang-undang yang abstrak dan umum itu menimbulkan kesulitan 75 Ahmad Ali, 1996, Op, cit., hlm. 144. 76 Ahmad Ali, Op, cit., hlm. 144. Universitas Sumatera Utara dalam penerapannya secara inkonkrito oleh para hakim di pengadilan.Keadaan inilah yang melahirkan pandangan tentang pandangan penemuan hukum oleh hakim.

b. Aliran Historis

Abad ke 20 disadari bahwa UU tidak lengkap, nilai-nilai yang dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, kalau kondisi ini dipertahankan maka akan terjadi kekosongan hukum.Akhirnya Von Savigny mempelopori pandangan yang kemudian dinamai Mazhab Historis, yang inti pandangannya adalah ”Hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu”.

c. AliranBegriffsjurisprudenz

Ketidakmampuan legislator mengakomodir dinamika sosial yang terjadi dengan membuat undnag-undang pada waktunya merupakan alasan dasar untuk memberi peran yang lebih aktif kepada hakim untuk menyesuaikan undang-undang pada keadaan yang baru.Dalam posisi seperti ini jurisprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum.Dalam abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering yang menekankan pada sistematik hukum. Inti ajaran ini menegaskan bahwa yang ideal adalah apabila sistem yang ada berbentuk suatu piramida, yang mana dipuncak piramida terletak asas utama, dan dari puncak piramida dibuatlah pengertian- pengertia baru begriff dan selanjutnya dikembangkan sistem asas-asas Universitas Sumatera Utara dan pengertian-pengertian umum yg digunakan untuk mengkaji undang- undang.Lebih memberikan kebebasan kepada hakim ketimbang aliran legisme, hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, dia dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian lebih bersandar kepada ilmu hukum. Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian begriffsjurisprudenz, suatu permintaan pengertian.Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan logika, pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah.Sebagai reaksi terhadap aliran legisme pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 dimana suatu ajaran baru, yaitu ajaran tentang kebebasan yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan.

d. Interessenjurisprudenz

Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran Begriffjurisprudenz, aliranini lebih menitik beratkan kepada“kepentingan- kepentingan”interessen yang difiksikan, dan oleh karena itu pulalah aliran inidinamai dengan “Interesenjurisprudez” yang mengalami masa kejayaanpada awal abad 20 di Jerman. Aliran ini berpandangan bahwa hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, akan tetapi harus dinilai menurut Universitas Sumatera Utara tujuannya.Adapun yang menjadi tujuan menurut van Jhering adalah “ide keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal waktu”.

e. Freirechtbewegung

Reaksi yang tajam terhadap aliran Legisme baru muncul pada sekitar tahun 1900 di Jerman, reaksi ini dimulai oleh Kantorowics dengan nama samaran Gnaeus Flavius.Aliran ini menantang keras pendapat yang menyatakan bahwa kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses penemuan hukum tidak memiliki sumbangan kreatif. Menurut aliran ini, hakim memang harus menghormati undang- undang, tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima.Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya, di sini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum.

3. Metode Penemuan Hukum

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan bersifat statis, tidak lengkap, dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, hal ini menimbulkan ruang kosong dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hakim dalam menerapkan hukum.Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum yang dilakukan dengan cara menjelaskanm menafsirkan atau melengkapi Universitas Sumatera Utara peraturan perundang-undangan, sebab penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim bukan sekedar menyangkut penerapan peraturan perundang- undangan terhadap peristiwa konkrit. Peraturan perundang-undangan harus memuat penjelasan yang dimuat dalam suatu perundang-undangan yang belum memiliki kejelasan yang konkrit ketika dihadapkan kepada suatu peristiwa konkrit.Selain itu ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya.Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang maka harus ditafsirkan dan diarahkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh E. Utrecht bahwa tugas hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat ditetapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undnag itu, maka harus ia menafsirkan undang-undang itu. Apabila undang-undang tidak jelas, maka wajiblah hakim menafsirkan sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum. 77 Dalam penemuan hukum terdapat beberapa metode yang digunakan antara lain metode interpretasi penafsiran dan juga metode konstruksi. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar 77 E. UterechtMoh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan kesepuluh, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1983. Universitas Sumatera Utara ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan. Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau pertimbangan- pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta interpretasi restriktif dan eksensif. 78 Pertama, interpretasi gramatikal penafsiran kebahasaan, penemuan hukum dengan mencari maksud pembuat undang-undang dengan memahami bahasa yang digunakan dalam perumusan undang-undang.Hal ini dilakukan karena adakalanya bahasa yang digunakan dalam rumusan perundang-undangan tidak jelas atau mengandung pengertian yang beraneka Interpretasi otentik pada dasarnya bukan termasuk metode penafsiran karena interpretasi otentik merupakan interpretasi yang diberikan undang-undang dan terdapat dalam teks undang- undang.Dalam hal bunyi undang-undang sudah cukup jelas maka tidak perlu dilakukan penegasan dengan jalan menyimpang dari kata-kata itu dengan jalan penafsiran. 78 Sudikno Metrokusumo., Op cit.., hlm. 37 Universitas Sumatera Utara ragam. Oleh karena itu hakim berkewajiban untuk menafsirkan rumusan norma tersebut dengan mencari arti kata dengan menggunakan kamus bahasa, meminta keterangan ahli bahasa, atau mempelajari sejarah penggunaan kata tersebut sehingga maknanya menjadi jelas. Metode ini dipandang sebagai metode yang paling sederhana dibandingkan metode yang lain dan sering disebut juga sebagai metode objektif. Kedua, interpretasi sistematislogis penafsiran dengan melihat peraturan perundang-undangan yang lain. Suatu peraturan perundang- undangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem hukum hal ini tidak terlepas dari kesamaan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya yang adakalanya memiliki kedudukan, tujuan maupun asas yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbandingan antara beberapa peraturan perundnag-undangan yang diduga memuat norma yang sama. Ketiga, interretasi historis yaitu penafsiran dengan melihat latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan atau sejarah sehingga hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya.Menurut Soedikno Metrokusumo interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukum rechtshstorische interpretatie dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang. 79 79 Ibid, hlm 60 Penafsiran menurut hukum merupakan kategori penafsiran secara luas yaitu dengan menyelidiki asal usul pembuatan sampai berlakunya peraturan perundang-undangan dalam masyarakat.Sedangkan Universitas Sumatera Utara penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan merupakan kategori penafsiran sempit, yaitu penafsiran yang hanya menyelidiki maksud pembuat undang-undang menetapkan peraturan perundang-undangan.Metode ini disebut juga penafsiran subjektif, karena penafsirannya didasarkan kepada pandangan subjektif dari pembentuk undang-undang. Keempat, interpretasi teleologis atau sosiologis, yaitu penafsiran yang dilakukan untuk mencari tujuan pembentukan peraturan perundang- undangan yang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatn. Dengan interpretasi ini, undang-undang yang masih belaku tetapi sudah using atau sudah tidak sesuai lagi dapat diterapkan terhadap peristiwa, hubunga, kebutuhan dan epentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini pada waktu diundangkan dikenal atau tidak. Dengan kata lain, ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan bersama dimasa sekarang. Dimana peraturan yang lama tersebut disesuaikan dengan keadaan yang baru dengan membuatnya kembali aktual.Hal ini dilakukan agar putusan hakim selalu dapat mengakomodir keadaan yang terjadi di masyarakat. Kelima, Interpretasi antisipatif atau futuristik, yaitu bentuk penemuan hukum dengan melakukan pemecahan masalah melalui peraturan perundang-undangan yang belum memiliki kekuatan berlaku, yaitu melalui suatu aturan hukum yang bersifat rancangan. Universitas Sumatera Utara Keenam, interpretasi komparatif, yaitu metode penemuan hukum dengan melakukan perbandingan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dalam rangka menyelesaikan perkara yang diajukan kepada hakim. Ketujuh, interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang bersifat mempersempit pengertian dari suatu istilah. Kedelapan, interpretasi eksensif, yaitu metode penafsiran dengan memperluas pengertian dari sebuah istilah dalam peraturan. Dalam penemuan hukum, hakim diberikan kebebasan dalam menentukan metode interpretasi yang digunakan berdasarkan pertimbangannya yang dipandang lebih meyakinkan dan yang hasilnya dipandang lebih mendekati kepada nilai-nilai tujuan hukum.Pemilihan terhadap metode tersebut merupakan otonomi hakim.Adakalanya dalam menggunakan metode interpretasi hakim menggunakan lebihdari satu metode. Selain penafsiran dikenal juga suatu metode argumentasi yaitu, suatu cara yang dilakukan untuk menemukan hukum suatu peristiwa konkrit yang terjadi yang tidak jelas diatur dalam undang-undang atau tidak ada peraturan yang secara khusus mengaturnya. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undnag yang harus dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalil tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Pertama, argumentum peanalogiam yaitu dalam hal peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya maka hakim Universitas Sumatera Utara akanmemeprluasnya dengan metode berpikir analogi. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa atau yang mirip yang diatur dalam undang-undang dapat diberlakukan. Penemuan hukum dengan cara ini mencari peraturan umum dari peraturan khusunya dan akhirnya menggali asas yang terdapat didalamnya. Dalam hukum pidana penggunaan analogi dilarang. Kedua, penyempitan hukum, yaitu adakalanya peraturan perundang- undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu, dengan melakukan pembentukan pengecualian-pengecualian atau penyimpangan- penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan dalam peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dnegan memberi ciri-ciri. Ketiga, Argumentum a contrario, yaitu apabila peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Maka cara penemuan hukumnya dilakukan dengan pertimbangan bahwa apabila undnag-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentudan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Atau dengankata lain metode inimerupakan metode menjelaskan undang-undang yang didasarkan kepada perlawanan pengertian anatar peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Selain metode diatas terdapat metode hermeneutika hukum yaitu metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan Universitas Sumatera Utara kontruksi hukum sebagaimana yang telah di uraikan di atas masih relevan dipergunakan oleh hakim hingga saat ini, akan tetapi pada abad ke 19 dan permulaan abad 20 sudah ditemukan metode penemuan hukum lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam memutus perkara yaitu metode hermeneutika hukum. Menurut Gadamer sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hermeneutika hukum adalah: 80 Hermeneutika hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan “Legal hermeneutics is then, in reality no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem and so to restrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of the humanities”. Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khususbaru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Fungsi dan tujuan hermeneutika hukum adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas bringing the unclear in to clarity, sedangkan tujuan yang lain dari hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer hukum dalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasi teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermeneutika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum dan yurisprudensi. 80 Ahmad Rifai, Op.cit.,hlm.87. Universitas Sumatera Utara bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaedah- kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah dalam fakta-fakta termasuk paradigma dari teori penemuan hukum modern saat ini.Jadi, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi teks hukum atau metode memahami terhaap suatu naskah normatif. Penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang diadilinya. Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai keastuan antara teks, kontek dan kontektualisasinya. Peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik atau intervensi lainnya yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di kemudian hari. 81 81 Ibid. Dalam praktek peradilan tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum.Hal ini disebabkan karena dominannya metode interptestasi dan hantruksi hukum yang sudah sangat mengakar dalam praktek di peradilan Indonesia, mungkin juga para hakim belum begitu familiar dengan metode hermeneutika ini sehingga tidak Universitas Sumatera Utara menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja, tetapi juga kontek- kontek hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Penemuan Kebenaran Materiil

Dalam pembuatan putusan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hakim. Faktor-faktor tersebut menurut Loebby Luqman meliputi: a raw in put, yakni faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal, dan sebagainya; b Instrument input, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal: c enviromental input, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang berpengaruhi dalam kehidupan seorang hakim, seperti lingkungan organisasi dan seterusnya. 82 Selanjutnya Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Moerad M.B., memerinci lebih lanjut terkait faktor tersebut menjadi faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif meliputi: a Sikap perilaku yang apriori, yakni adanya sikap hakim yang sejak semula telah menganggap bahwa terdakwa bahwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana. b Sikap perilaku emosional, yakni bahwa putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan hakim yang 82 Loebby Luqman, Delik-Delik Politik, Indonesia-Hill Co, Jakarta, 1990, hlm. 123. Universitas Sumatera Utara mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar. c sikaparrogance power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuaasaan”, disini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain. d Moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi tingkah laku yang didasarkan kepada moral pribadi hakim tersebut terlebih dahulu dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara. 83 Faktor yang objektif meliputi: a latar belakang budaya yakni kebudayaan, agama, pendidikan seseorang tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor ini setidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu putusan. b Profesionalisme, yakni kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi putusannya. Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut. 84 Selanjutnya Antonius Sudirman mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi putusan seseorang yakni dinamika diri individu, dinamika para kelompok orang dalam organisasi, dinamika dari para lingkungan organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengaruh kebiasaan lama, adanya pengaruh sifat pribadi, adanya pengaruh dari kelompok luar, dan adanya pengaruh keadaan masa lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa keputusan seseorang dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai 83 Pontang Moerad, B.N., Op. Cit., hlm. 117-118. 84 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang hidup ditengah masyarakat yang ada dilingkungan sekitarnya. Nilai- nilai tersebut seperti: a nilai politis, yakni nilai dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu; b nilai organisasi, yaitu nilai dimana keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut oleh organisasi, seperti balas jasa dan sanksi yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. c nilai pribadi, yaitu nilai dimana keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. d nilai kebijaksanaan, yaitu nilai dimana keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan terhadap pertimbangan public. e nilai ideologi, yaitu nilai-nilai seperti nasionalisme yang dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan. 85

C. Kendala Kebebasan Hakim dalam Penemuan Kebenaran Materiil