Persarafan Hidung Cavum Nasi Anatomi Sinus Paranasal

Fungsi Hidung • Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara air conditioning, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal Soetjipto dan Wardani, 2007. • Fungsi penciuman karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidung\fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang Soetjipto dan Wardani, 2007. • Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas Soetjipto dan Wardani, 2007. • Refleks nasal Soetjipto dan Wardani, 2007.

2.1.3 Persarafan Hidung Cavum Nasi

Nervus olfaktorius atau saraf penciuman, merupakan juluran sentral dari sel-sel saraf reseptor olfaktorius didalam membran mukosa bagian atas rongga hidung diatas konka nasalis superior. Berkas-berkas serabut saraf ini berjalan melalui lubang didalam lamina cribrosa os etmoidalis dan berakhir pada bulbus olfaktorius didalam fossa cranii anterior. Dari ujung posterior bulbus olfaktorius keluar sebuah pita putih yang disebut traktus olfaktorius yang berjalan kebelakang menuju ke area olfaktorius cortex cerebri Snell, 2006. Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi oftalmika dan maxillaris nervus trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari nervus etmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum Snell, 2006.

2.1.4 Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna, dibagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna diantaranya adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri Universitas Sumatera Utara sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri Fasialis Soetjipto dan Wardani, 2007. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, etmoid, labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach Little’s area. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis perdarahan hidung terutama pada anak Soetjipto dan Wardani, 2007. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena- vena dihidung tidak memiliki katup sehingga merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial Soetjipto dan Wardani, 2007.

2.2 Sinus Paranasal

2.2.1 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ostium ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. Universitas Sumatera Utara Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy Netter, F. H, 2006 Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1.1 Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. Universitas Sumatera Utara Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy Netter, F. H, 2006 Gambar 2.3 Anatomi Sinus Maksila Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1 Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar P1 dan P2, molar M1 dan M2, kadang-kadang juga gigi taring C dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. 2 Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. 3 Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum ialah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007. Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Kompleks Ostio-Meatal