Para Pendukung Baru Kebudayaan Indis Setelah Tahun 1900

50 landasan bagi penegasan bersama yang berasal dari zaman VOC bahwa sekali seorang menikah dengan seorang Indis, selamanya mereka terikat dengan identitas Indis. 41 Pada abad ke-19, para pendatang baru yang juga disebut golongan totok tidak menempatkan dirinya berdiri sendiri sebagai kelas atas di Hindia-Belanda. Banyak pendatang baru dari kalangan kelas tinggi harus menyesuaikan posisinya dalam hukum Hindia-Belanda. Bahkan dalam konteks abad ke-19, ketika modal metropolitan pengaruhnya semakin terasa, para pendatang baru masih terserap dalam jaringan keluarga Indis. Jaringan sosial dan ekonomis Indis pada abad ke- 19 pada dasarnya merupakan jaringan keluarga. Keluarga yang memiliki posisi terbaik dalam ekonomi kolonial memiliki ikatan lama dengan Hindia-Belanda dan mereka jarang merupakan warga kulit putih yang asli totok . 42

2. Para Pendukung Baru Kebudayaan Indis Setelah Tahun 1900

Pada awalnya pendukung kebudayaan Indis adalah orang-orang Belanda baik yang totok maupun yang Indo, namun pada perkembangan selanjutnya golongan ini meluas sampai dengan penduduk pribumi. Di Semarang pada awal abad ke-20 bukan hanya golongan bangsawan saja yang menjadi pendukung kebudayaan Indis, golongan pengusaha atau pedagang juga mempunyai andil yang cukup besar dalam perkembangan budaya Indis. Perkembangan budaya Indis pada abad ke-20 didukung pula oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Adanya politk etis telah membuat golongan sosial baru pada masyarakat pribumi menjadi lebih dihargai. Golongan 41 Joost Cote dan Loes Westerbeek dalam Taufik Adhi Prasangka, op.cit, hlm 34-35. 42 Ibid, hlm 35. 51 sosial baru tersebut adalah para priyayi profesional yang mendapat pendidikan gaya Barat. Priyayi semula hanya mengacu pada golongan bangsawan yang turun- temurun, kemudian oleh penjajah Belanda mereka telah dilepas dari ikatan kerajaan dan dijadikan pegawai pemerintah yang diangkat dan digaji. Golongan ini tetap mempertahankan dan memelihara tradisi keraton yang halus, kesenian, dan mistik Hindu-Budha. Priyayi ini dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan dan dalam arti tertentu gelar tersebut berlaku secara turun- temurun. 43 Golongan ini sebelum tahun 1900 masih kuat dalam mempertahankan hubungan darah atau keturunan, namun menjelang tahun 1900 pembatasan ini mulai luntur sehingga sebutan priyayi bukan lagi berdasarkan keturunan tetapi dipandang dari fungsi sosial mereka. Masyarakat yang berkerja dalam kegiatan negara seperti pegawai administrasi Bumiputera telah mengembangkan golongan ini. Mereka semua mempunyai satu kesamaan yang umum yaitu pendidikan yang bergaya barat. Pendidikan tersebut membuka jalan bagi mereka pada dunia kolonial. Pada masa politik etis , modernitas menunjukkan sebuah kemajuan. Hal-hal yang berbau Barat sudah menjadi bagian dalam gaya hidup mereka. Di dalam novel “ Student Hidjo ”, bisa dicermati bahwa gaya hidup masyarakat pada masa tersebut sudah berbeda dengan gaya hidup sebelumnya. Dari gaya bicara dan percakapan, penggunaan bahasa Belanda yang dicampur dengan bahasa daerah menjadi percakapan mereka sehari-hari. Di pilihnya restauran sebagai tempat untuk berbincang-bincang adalah 43 Clifford Geertz, Abangan, santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa . Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hlm 307. 52 hal yang belum pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa tradisional. Percakapan mereka juga menunjukkan bahwa budaya Belanda kedudukannya lebih dominan, hal ini dikarenakan bangsa Belanda sebagai penguasa memiliki peranan yang sangat dominan sementara itu masyarakat pribumi hanya sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri dengan aparat. 44 Khususnya kaum muda yang telah mendapatkan pendidikan Barat melakukan hal- hal yang berbau modern dan berbau Belanda. Mereka menggunakan kata-kata Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka, mengenakan pakaian dan sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan minum limun, menonton film dan hal-hal yang berbau Barat lainnya. Kegiatan ini sering dilakukan oleh golongan priyayi termasuk mereka yang tinggal di kota-kota kecil. 45 Di awal abad ke-20 hal-hal yang berbau Eropa Belanda ternyata sudah masuk dalam keseharian keluarga priyayi, salah satunya adalah kebiasaan makan sehari-hari. Seperti layaknya orang-orang Belanda, para ambtenaren pribumi banyak yang meniru kebiasaan makan orang-orang Belanda. Golongan bangsawan lebih banyak lagi menyerap kebiasaan dan gaya hidup Belanda. Di awal abad 20 ini mereka sering mengadakan pesta-pesta pernikahan yang dikhususkan bagi mereka para pejabat Belanda bahkan ada yang menyelenggarakan lebih dari satu kali pesta untuk mereka. Pada pesta perjamuan, baik yang merupakan perjamuan makan malam biasa atau perjamuan yang lebih besar seperti pesta pernikahan didahului dengan toast minuman anggur. Hal yang tidak pernah ditemui dalam kebiasaan dan gaya hidup tradisional Jawa. 44 Djoko Soekiman, op.cit, hlm 39-40. 45 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa . Jakarta: Balai pustaka, 1994, hlm 286. 53 Adanya pesta perjamuan makan maupun pesta didorong oleh adanya perkumpulan para priyayi atau warga keturunan yang sering berkumpul di satu tempat pertemuan. Di kota-kota kecil tempat pertemuan ini terkenal dengan nama soos , yang diambil dari bahasa Belanda sosieteit yaitu tempat pertemuan bangsa Belanda yang eksekutif. Di samping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah dan lain sebagainya. 46 Pada awalnya kegiatan seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda, namun pada perkembangannya banyak masyarakat pribumi yang melakukan kegiatan tersebut. Berawal dari sini, bisa dikatakan bahwa golongan intelektual ini merupakan golongan pendukung kebudayaaan Indis yang baru. Golongan pribumi yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan disarankan untuk memperkenalkan dan mendidik keluarganya dengan kebiasaan dan gaya barat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah diungkapkan di muka bahwa golongan lain yang memiliki peranan dan andil besar dalam perkembangan budaya Indis di awal abad 20 adalah golongan pedagang. Di dalam gaya hidupnya, para saudagar ini mengacu pada kehidupan para bangsawan kerajaan dan bangsa Eropa, namun dalam pembangunan rumah mereka mampu membangun rumah mewah layaknya rumah pejabat Belanda. Banyak bangunan rumah para saudagar ini dilengkapi dengan cermin di pendapa rumah, menggunakan tiang rumah yang kokoh dan berukir serta lantai dari marmer. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya akan dijumpai pintu gerbang bersusun seperti gerbang rumah para bangsawan di keraton dan pintu tersebut dilengkapi 46 Sartono Kartodirjo, A. Sudewa, Suhardjo Harmosuprobo, op.cit, hal 109. 54 dengan ukiran crown , semacam lambang mahkota kerajaan Belanda. 47 Dari struktur gerbang tersebut bisa dilihat adanya campuran ciri bangunan tradisional dengan ciri-ciri dari bangunan Belanda. Kebudayaan Indis bila disamakan dengan budaya “ priyayi baru ” atau priyayi bukan bangsawan memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan masyarakat yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukkan karakteristik priyayi. Akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa Belanda melahirkan gaya budaya campuran bazar cultuur yang terasa aneh bagi bangsa Eropa sendiri maupun masyarakat Jawa. 48 Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke-19, merupakan gerakan kolonialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya pada bidang politik dan sosial saja, namun juga memberi dampak pada kebudayaan di negara koloni mereka. Pengusaha perkebunan di tanah jajahan melahirkan kondisi lingkungan yang berbeda. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan lebih tertuju ke dunia luar menjadikan perkebunan seolah-olah terpisah sendiri dengan lingkungan agraris setempat. Dari latar belakang inilah pada mulanya kebudayaan Indis berkembang. Seiring dengan perkembangan abad 20, modernisasi dan hal-hal yang berbau Eropa telah mulai masuk dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bergesernya gaya hidup masyarakat serta kebudayaan Indis berkembang dengan subur. Serta didukung oleh golongan priyayi dan pedagang, kebudayaan Indis cukup memberikan warna yang lain dalam perkembangan kota Semarang. 47 Soedarmono, “Munculnya Kelompok Pengusaha Batik Di Laweyan Pada Awal Abad XX ”. Tesis, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1987, hlm 98. 48 Djoko Soekiman, op.cit, hlm 37. 55

BAB III ARSITEKTUR BANGUNAN INDIS DI SEMARANG

A. Perkembangan Arsitektur Indis di Semarang

Percampuran budaya Eropa Belanda dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya 1 , menimbulkan budaya baru yang didukung oleh sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat di Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal misalnya melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis karena rumah tempat tinggal merupakan tempat untuk ajang kegiatan sehari-hari. Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang. Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Di dalam pertemuan budaya terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut atau dapat juga ciri kebudayaan dari kelompok yang lain, dan dalam penggunaannya cenderung diartikan hanya terbatas pada pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain unilateral , misalnya dalam hal ini pengaruh kebudayaan 1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990, hlm 2.