Gaya Hidup Golongan Indis Sebelum Tahun 1900

47 kota menjadi semakin sempit. 37 Lahan-lahan untuk pertanian menjadi berkurang, namun di lain pihak penduduk pribumi mulai mencari mata pencaharian lain, misalnya dengan berdagang kulit. Khususnya di daerah yang terkenal dengan sebutan kampung Kulitan. Adanya pekerjaan baru itulah mereka memperoleh keuntungan yang besar sehingga mampu membangun rumah-rumah yang besar dan mewah menyerupai bangunan-bangunan rumah tinggal para pejabat pemerintah kolonial Belanda. Para pengusaha dan pedagang inilah yang merupakan salah satu golongan yang berperan besar dalam perkembangan arsitektur gaya Indis di Semarang.

C. Pendukung Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidupnya

1. Gaya Hidup Golongan Indis Sebelum Tahun 1900

Kelompok pendukung kebudayaan pada masa ini kebanyakan adalah para pejabat kolonial, pemilik perkebunan dan para bangsawan. Seiring dengan masuknya modal swasta pada bidang-bidang pertanian maka budaya Indis tumbuh subur di lingkungan perkebunan. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pribumi memungkinkan mereka untuk dapat bergaya hidup mewah. Di daerah pedalaman yaitu di kota-kota besar di Jawa, khususnya masyarakat Indis di Semarang dalam hidupnya mengacu pada kehidupan para raja dan bangsawan Jawa. Mereka berupaya menjaga prestise dan kedudukannya melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok 37 Takhashi Shiraishi, ibid, hlm 27. 48 masyarakat lainnya. Pandangan hidup mereka sehari-hari dipengaruhi oleh pandangan hidup yang berakar pada dua budaya yaitu budaya Eropa dan Jawa. Kewibawaan, kekayaan dan kebesaran status mereka ditampilkan agar nampak lebih daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan mereka sebagai penguasa di Nusantara. 38 Di dalam membedakan status, kedudukan serta prestise dengan masyarakat kebanyakan hal ini dapat terlihat dengan gaya pembangunan rumah dan gaya hidup mereka sehari-hari. Pada pembangunan rumah tempat tinggal, bangsa Belanda pada awalnya mempunyai susunan tersendiri yang secara umum mirip dengan negeri asalnya. Sementara itu rumah-rumah peristirahatan di daerah pertanian dibangun menyesuaikan kondisi lingkungan alam sekitar. Hal ini menghasilkan suatu bentuk campuran budaya antara budaya arsitektur rumah Belanda dengan rumah tradisional Jawa. Bentuk campuran tersebut pada akhirnya menghasilkan rumah-rumah bergaya Indis. Rumah bergaya Indis ini mempunyai ciri bentuk bangunan ukuran yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias yang terdapat di rumah dan ditambah dengan penataan halaman serta lingkungan sekeliling dengan rapi dan kelengkapan berbagai macam perabot rumah tangga. Semua itu bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung mewah tersebut dijadikan sebagai sebuah lambang status sosial yang tinggi. Daya tarik khas Indis dan tradisi Eropa nampak dalam bangunan tiang- 38 Djoko Soekiman, op.cit, hlm 127. 49 tiang dan dinding berplester tebal bergaya neo-klasik, sedangkan pengaruh Asia dapat dilihat dalam beranda depan, belakang dan samping serta taman luas yang melatarinya. 39 Salah satu bagian rumah yang dianggap cukup penting artinya dari bangunan Indis adalah beranda rumah. Beranda cukup penting artinya karena di tempat inilah ikatan keluarga Indis terjalin. Masyarakat Indis memiliki kebiasaan untuk berkumpul dan minum teh di sore hari dan beranda rumah adalah salah satu tempat yang selalu digunakan. Kebiasaan pada pagi hari setelah bangun tidur mereka minum teh di serambi belakang dengan masih mengenakan pakaian tidur dan yang pria mengenakan baju ta kwa dengan celana atau sarung batik. Perempuannya mengenakan sarung batik dan baju tipis warna putih berhiaskan renda putih, 40 tetapi bila mereka berpergian untuk sebuah acara resmi pakaian Eropa tetap menjadi sebuah kewajiban. Di dalam urusan perkawinan, para pemilik perkebunan Indis mendidik anak-anak perempuan dengan hati-hati untuk menikah dengan seseorang dari lingkungannya sendiri atau dengan seseorang pendatang baru. Pendatang tersebut biasanya tidak memiliki harta kekayaan namun mereka sering kali membanggakan diri pada pendidikannya yang tinggi sebagai perwira tentara, pendeta, praktisi umum atau pegawai sebuah perusahaan dagang. Pernikahan tersebut diharapkan dapat membantu memperkuat ikatan dengan pusat kolonial serta juga untuk menyerap para pendatang baru ke dalam komunitas Indis. Hal ini menjadi 39 Joost Cote dan Loes Westerbeek, dalam Taufiq Adhi Prasangka, ”Pengaruh Budaya Indis terhadap Perkembangan Arsi tektur di Surakarta Awal Abad XX”. Skripsi, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah, UNS, Surakarta, hlm 33-34 . 40 Djoko Soekiman, op.cit, hlm 253. 50 landasan bagi penegasan bersama yang berasal dari zaman VOC bahwa sekali seorang menikah dengan seorang Indis, selamanya mereka terikat dengan identitas Indis. 41 Pada abad ke-19, para pendatang baru yang juga disebut golongan totok tidak menempatkan dirinya berdiri sendiri sebagai kelas atas di Hindia-Belanda. Banyak pendatang baru dari kalangan kelas tinggi harus menyesuaikan posisinya dalam hukum Hindia-Belanda. Bahkan dalam konteks abad ke-19, ketika modal metropolitan pengaruhnya semakin terasa, para pendatang baru masih terserap dalam jaringan keluarga Indis. Jaringan sosial dan ekonomis Indis pada abad ke- 19 pada dasarnya merupakan jaringan keluarga. Keluarga yang memiliki posisi terbaik dalam ekonomi kolonial memiliki ikatan lama dengan Hindia-Belanda dan mereka jarang merupakan warga kulit putih yang asli totok . 42

2. Para Pendukung Baru Kebudayaan Indis Setelah Tahun 1900