I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan industri yang begitu pesat telah memberikan berbagai dampak bagi kehidupan manusia. Karet vulkanisasi merupakan awal dari
perkembangan industri polimer dunia, ditemukan oleh Charles Goodyear
pada tahun 1839. Alexander Parkes menemukan plastik berbahan dasar selulosa
pada tahun 1860-an. Bahan baku plastik sintetik pertama kali ditemukan oleh Leo Hendrik Baekeland pada tahun 1907, polimer sintetik ini dikenal dengan
nama bakelite Anonim
a
, 2006. Secara umum perkembangan industri plastik sintetik telah memberikan
banyak keuntungan bagi kehidupan manusia. Sebagian besar peralatan yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan produk
plastik sintetik, dari mulai plastik kemasan, peralatan listrik, sepatu, sampai badan kendaraan bermotor sebagian besar terbuat dari bahan plastik. Dampak
negatif kemudian muncul pada saat produk tersebut sudah tidak terpakai lagi dan kemudian dibuang begitu saja ke lingkungan. Penguraian produk polimer
tersebut memerlukan waktu yang sangat lama oleh mikroba alami tanah menjadi molekul yang lebih sederhana. Limbah plastik ini lambat laun menjadi
masalah yang membutuhkan perhatian khusus untuk dicari jalan keluarnya. Bahan baku yang lebih ramah lingkungan mulai banyak dikembangkan
untuk mengurangi masalah pencemaran yang disebabkan oleh plastik. Polimer alami dapat menggantikan kegunaan polimer sintetik dengan beberapa
modifikasi kimia maupun fisik untuk memperbaiki sifat-sifatnya dan lebih dapat didegradasi bila dibuang ke lingkungan. Keuntungan lain dari bahan
baku alami ini selain lebih mudah terurai di lingkungan adalah sifatnya yang merupakan sumber daya alam yang dapat terbarukan, sehingga keberadaannya
di alam dapat terus dilestarikan. Beberapa contoh plastik biodegradable yang telah banyak
dikomersilkan antara lain terdiri dari bahan hasil sintesis kimia seperti poli asam glikolat, poli asam laktat, poli kaprolakton, dan poli vinil alkohol; hasil
kultivasi mikroba seperti golongan poliester dan polisakarida; dan yang
terakhir adalah dari hasil modifikasi kimia bahan-bahan alami seperti pati, selulosa, kitin, dan protein kedelai Huang dan Edelman dalam Scott dan
Gilead, 1995 Salah satu bahan polimer alami hasil kultivasi yang memiliki prospek
untuk dikembangkan lebih lanjut adalah dari golongan poli- β-hidroksialkanoat
PHA. Senyawa polimer ini termasuk ke dalam golongan poliester alami yang dapat diproduksi oleh mikroba tertentu. Salah satu mikroba yang yang dapat
menghasilkan PHA adalah bakteri Ralstonia eutropha. Pada kondisi tertentu yaitu sumber nutrisi ada dalam keadaan terbatas sedangkan sumber karbon
berlebih, bakteri ini akan menyimpan cadangan karbon di dalam sitoplasmanya dalam bentuk granula-granula PHA Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed,
1988. Sumber karbon yang dapat digunakan sebagai media kultivasi Ralstonia
eutropha dapat berupa D-glukosa, D-fruktosa, D-glukonat, asetat, adipat, dan itakonat John et al., 1994. Karbon dari asam lemak juga dapat digunakan
sebagai media kultivasi bagi R. eutropha untuk pembentukan PHA. Wicaksono 2005 telah melakukan kajian produksi PHA dengan menggunakan bakteri
Ralstonia eutropha dan hidrolisat minyak sawit sebagai sumber karbon pada sistem curah batch. Hasil optimasi pada bioreaktor skala dua liter didapatkan
konsentrasi PHA tertinggi sebesar 10,6685 gL 51,45 dari bobot kering sel. Sumber karbon lain yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi PHA
adalah hidrolisat pati sagu. Atifah 2006 telah meneliti pemanfaatan hidrolisat
pati sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik polihidroksialkanoat secara fed-batch oleh Ralstonia eutropha. Glukosa dan gula-gula sederhana
sebagai hasil hidrolisis polimer pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon pertumbuhan bakteri R. Eutropha. Berbeda dengan Wicaksono 2005
yang melakukan produksi PHA dengan kultivasi sistem curah batch, Atifah 2006 melakukan produksi PHA dengan sistem pengumpanan fed-batch
pada bioreaktor skala dua liter. Pengumpanan terbaik dilakukan pada awal fase stasioner menghasilkan konsentrasi sel dan konsentrasi PHA tertinggi, yaitu
sebesar 4,86 gL dan 3,72 gL 76,54 dari bobot biomassa kering.
Penggunaan PHA sebagai bahan baku plastik masih memiliki beberapa kekurangan, seperti mahalnya biaya produksi dan proses hilir untuk
memurnikan PHA, dan karakteristik mutu bioplastik PHA yang masih di bawah plastik dengan bahan baku petrokimia. Bioplastik PHA tanpa
penambahan bahan apapun memiliki sifat sangat kaku dan rapuh karena derajat kristalinitasnya yang cukup tinggi Akmaliah, 2003. Untuk memperbaiki
karakteristik bioplastik dari PHA diperlukan bahan tambahan lain seperti zat pemlastis yang biasa dipakai pada pembuatan plastik sintetis. Bioplastik PHA
dengan penambahan zat pemlastis diharapkan akan memiliki sifat yang lebih elastis dan tidak rapuh.
Secara umum pemlastis dapat didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan suatu polimer dengan tujuan membuat
polimer yang terbentuk menjadi lebih lentur dan elastis. Keberadaan pemlastis di dalam polimer bioplastik berfungsi seperti pelumas yang mengisi rongga
antar rantai polimer, sehingga dapat bergerak bebas bila diregangkan dan kembali seperti semula bila dilepaskan.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi pemlastis terhadap karaktristik bioplastik PHA yang dihasilkan
oleh R. eutropha dengan hidrolisat minyak sawit sebagai sumber karbon pada saat kultivasinya. Pemlastis yang dipakai antara lain dimetil ftalat Akmaliah,
2003 dan dietilen glikol Zahra, 2003. Pembuatan bioplastik dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan metode pencetakan larutan
solution casting. Juari 2006 menggunakan dimetil ftalat DMF sebagai pemlastis
poli-HB yang dihasilkan dari kultivasi Ralstonia eutropha secara fed-batch menggunakan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon. Konsentrasi DMF
yang diujikan adalah 0 kontrol; 12,5; 25; 37,5; dan 50 bb dari jumlah PHA. Konsentrasi DMF terbaik adalah 25, pada konsentrasi tersebut
bioplastik memiliki persentase perpanjangan putus terbesar yaitu 23. Senyawa kimia golongan ester dari asam ftalat biasa digunakan
sebagai pemlastis plastik PVC. Namun akhir-akhir ini golongan ftalat mulai jarang digunakan sebagai pemlastis, karena senyawa ini terbukti bersifat
karsinogen dan dapat menggangu kerja sistem endokrin tubuh Lawrence, 1999. Sama halnya dengan DMF, dietilen glikol juga disinyalir sebagai
senyawa beracun. Berbeda dengan kedua senyawa tersebut, polietilen glikol PEG lebih aman digunakan sebagai pemlastis karena tidak beracun dan tidak
bersifat karsinogen. Polietilen glikol telah banyak digunakan sebagai pemlastis poli-HB.
Kalnins et al. 1999 melakukan penelitian dengan membandingkan 3 jenis pemlastis yaitu dibutilsebakat DBS, dioktilsebakat DOS, dan polietilen
glikol PEG 300, dengan konsentrasi 20-30 bb dari bobot poli-HB. PHB didapatkan dari Azotobacter chroococcum yang dikultivasi dalam labu goyang
shake flasks selama 48 jam. Diketahui bahwa urutan pemlastis terbaik jika dilihat dari sifat mekanik bioplastiknya adalah DOS, PEG 300, dan DBS.
Polietilen glikol PEG merupakan polimer kondensasi dari etilen oksida. Rumus umum dari PEG adalah HOCH
2
CH
2 n
OH, dengan n merupakan jumlah dari unit berulang etilen oksida yang nilainya berkisar
antara 4-180. PEG biasa digunakan sebagai emulsifier, pelembab, pemlastis,
dan lubricant pada industri tekstil. PEG sebagai pemlastis memiliki beberapa kelebihan seperti tidak beracun, tidak berbau, tidak mengiritasi kulit, dan tidak
mudah menguap Anonim
b
, 2006. PEG memiliki sifat yang memungkinkan bioplastik PHA yang dihasilkan dapat digunakan pada industri makanan
maupun obat-obatan.
B. TUJUAN