BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang No 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Aisah, 2010.
Perkawinan merupakan wujud menyatunya pria dan wanita ke dalam satu tujuan yang sama, dan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seorang
individu. Menurut Duval dan Miller 2001 perkawinan adalah suatu hubungan yang diakui secara sosial antara pria dan wanita, yang mensahkan adanya hubungan
seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Widarjono 2007 mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagian yang langgeng
bersama pasangan hidup. Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia
dalam siklus kehidupannya. Memiliki keturunan sebagai penerus generasi dirasakan sebagai satu keharusan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Keberadaan anak
dianggap mampu menyatukan dan menjaga agar suatu keluarga dan pernikahan tetap utuh Wirawan, 2004 dalam Aisah, 2010.
Dalam tatanan kehidupan berkeluarga, keberadaan anak mempunyai nilai penting. Begitu bermaknanya keberadaan seorang anak dalam sebuah keluarga
Universitas Sumatera Utara
sehingga muncul anggapan dalam masyarakat bahwa keluarga baru dapat dikatakan lengkap bila pasangan tersebut mampu menghasilkan anak Pranata, 2009.
Diperolehnya keturunan sangat didambakan oleh tiap pasangan suami istri Hidayah, 2005. Memiliki anak yang baik dapat merupakan kebanggaan tersendiri
dan secara ekonomi juga dianggap menguntungkan sebagai infestasi masa tua. Anak mempunyai peranan sosial yang sangat penting, keberadaan anak menyebabkan
ikatan keluarga menjadi kokoh, tidak mudah goyah, anak merupakan sumber motivasi keluarga menata masa depan yang lebih baik. Kebanyakan masyarakat
Indonesia akan memandang “belum sempurna dan belum lengkap“ bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak Samsulhadi, 2005.
Norma budaya masih menghendaki wanita harus menjadi ibu Albrecht, dkk, 1997. Payne dalam Burns dan Covington, 1999, menegaskan anggapan kultural
yang sangat kuat bahwa masyarakat sering menanyakan “berapa jumlah anak yang dimiliki” dan “kapan mempunyai anak” kepada pasangan suami istri daripada
menanyakan “apakah mereka ingin mempunyai anak”. Dalam realisasinya tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di tengah
gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran Keluarga Berencana di berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami istri yang justru
mengalami kesulian untuk memperoleh anak atau infertilitas Kasdu, 2001. Infertilitas dalam bahasa awam disebut tidak subur tetapi bukan kemandulan.
Infertilitas didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih
Universitas Sumatera Utara
dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu BKKBN, 2012.
Di seluruh dunia, lebih dari 70 juta pasangan menderita infertilitas , mayoritas terjadi pada penduduk di negara berkembang Tabong and Adongo, 2013.
Berdasarkan studi WHO dan laporan lainnya, diamsusikan bahwa secara konservatif 8-12 pasangan yang mengalami infertilitas selama masa reproduktif mereka. Di
Amerika Serikat, sekitar 2.1 juta pasangan yang sudah menikah mengalami kesulitan mempunyai anak Gibson, Donna Myers, Jane E, 2002. Di Australia, 15 atau 3
juta pasangan bermasalah dengan kesuburan Ried and Alfred, 2013. Di negara Sub Sahara Afrika didapatkan jumlah pasangan infertil tertinggi
mencapai 30 persen atau lebih pada beberapa area Mogobe, 2005. Di Ghana, infertilitas merupakan masalah kesehatan yang dialami 15 persen dari pasangan usia
subur Afr J Reprod Health, 2009. Di Indonesia, kejadian infertilitas menurut Inspektorat Pelayanan dan Statistik Nasional hasil pendataan tahun 2000
menunjukkan jumlah pasangan usia subur PUS di Indonesia adalah sebanyak 38.783.347 pasangan. 15 atau sekitar 5.812.502 PUS di Indonesia mengalami
infertilitas atau kesulitan untuk mempunyai anak Samsulhadi, 2005. Angka infertilitas di Indonesia yang dikemukakan oleh Sumapraja 2005
berkisar 12-15 persen. Banyaknya pasangan infertil di Indonesia dapat diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak
yang masih hidup. Menurut sensus penduduk terdapat 12 persen, baik di desa ataupun di kota atau sekitar 3 juta pasangan infertil tersebar di seluruh Indonesia Sarwono,
Universitas Sumatera Utara
2005, dari jumlah tersebut terdapat perempuan infertil 15 pada usia 30-34 tahun, 30 pada usia 35-39 tahun, dan 64 pada usia 40-44 tahun Hestiantoro, 2008.
Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita mengetahui ketidakharmonisan rumah tangga karena tidak adanya anak sebagai buah dari suatu perkawinan. Tidak
jarang kondisi tersebut kemudian berakhir dengan terjadinya poligami dan perceraian. Secara statistik belum ditemukan data yang mengemukakan besaran
kejadian poligami dan perceraian karena alasan tidak punya anak. Namun studi yang dilakukan Rahmani dan Abrar 1999 menunjukkan keterkaitan perceraian dengan
faktor ketidakadaan anak dalam keluarga. Dikemukakan bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan untuk melakukan perceraian berkaitan dengan faktor ketidakadaan
anak. Ketidakhadiran seorang anak dalam rumah tangga tentunya akan mempunyai konsekuensi tersendiri. Kondisi yang tidak menggembirakan adalah satu kenyataan
bahwa kasus infertil dalam suatu lingkungan sosial budaya mengandung bias jender Pranata, 2009.
Pasangan suami istri yang mengalami infertilitas sering kali mengalami perasaan tertekan terutama pihak wanita yang pada akhirnya dapat jatuh pada
keadaan depresi, cemas dan lelah yang berkepanjangan. Perasaan yang dialami para wanita tersebut timbul sebagai akibat dari hasil pemeriksaan, pengobatan dan
penanganan yang terus menerus tidak membuahkan hasil. Hal inilah yang mengakibatkan wanita merasa kehilangan kepercayaan diri serta perasaan tidak enak
terhadap diri sendiri, suami dan keluarga ataupun lingkungan dimana wanita itu
Universitas Sumatera Utara
berada. Keadaan wanita yang lebih rileks ternyata lebih mudah hamil dibandingkan dengan wanita yang selalu dalam keadaan stress Ferrystoner, 2013.
Bagi masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga, yaitu ada ayah, ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang
budaya dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki beberapa fungsi. Pertama, anak sebagai simbol kesuburan dan keberhasilan. Filosofi yang berkembang adalah
banyak anak banyak rejeki. Keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar. Kedua, anak sebagai pelanjut keturunan. Ketiga, anak sebagai teman
dan penghibur. Keempat, anak merupakan amanat dan anugerah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. Kelima, anak yang saleh akan mendoakan dan menolong
orangtuanya di dunia dan akhirat Moelok, 1986 dalam Aisah, 2010. Hasil penelitian Anggraeni, 2009 tentang dukungan sosial yang diterima oleh
perempuan yang belum berhasil dalam pengobatan infertilitas menunjukkan bahwa perempuan yang infertil memiliki pandangan negatif terhadap dirinya sendiri dengan
mengganggap bahwa penyebab belum ada anak dalam pernikahannya adalah hanya karena adanya masalah pada diri perempuan, para perempuan juga merasa bersalah
karena belum bisa memberi keturunan untuk suami dan keluarga besarnya, mereka menjadi mudah tersinggung, sensitif dan merasa tidak nyaman dan menghindari
pembicaraan ataupun pertanyaan seputar keberadaan anak yang belum juga hadir dalam pernikahannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Tirtaonggana 2005 menunjukkan meskipun infertilitas merupakan stressor yang berat namun tidak semua pasangan memiliki
Universitas Sumatera Utara
sikap yang negatif, terdapat pasangan yang semakin menguatkan komitmen pernikahan, mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menguatkan agar sabar, mencari
alternatif sebagai solusi terhadap masalah ketidakhadiran seorang anak dengan cara bertanya terhadap tenaga kesehatan yang menangani masalahnya dan berbagai
dengan pasangan lain yang memiliki masalah yang sama. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh positif dukungan yang diberikan kepada perempuan
dengan masalah infertilitas Tirtaonggana, 2005 dalam Anggraeni, 2009. Jika individu berada pada posisi stress, manusia akan menggunakan berbagai
cara untuk mengatasinya. Memiliki strategi koping sangat penting untuk melanjutkan hidup tanpa anak-anak. Mekanisme koping dapat digunakan individu untuk
memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari
stress yang berkepanjangan Tabong and Adongo, 2013.
Studi tentang mekanisme koping pada penderita infertilitas menunjukkan bahwa mekanisme koping memiliki keterkaitan dengan respon individu dalam
menghadapi masalah, hasil studi menunjukkan bahwa perempuan penderita infertilitas mengalami respon kesedihan, cemas, cemburuiri, isolasi dan marah.
Dalam mengatasi masalah berkaitan dengan infertilitas pasangan menggunakan mekanisme koping dengan cara melakukan pengobatan secara medis maupun non
medis, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mengambil hikmah dari kondisi dan mencari dukungan keluarga, teman serta menceritakan masalah
kepada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal. Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam
keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya Koentjaraningrat, 1999. Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal
yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini
berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya. Pada suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah bertahun-
tahun membina rumah tangga, ada upacara yang dipercayai dan dilakukan orang Karo untuk memperoleh keturunan yaitu Upacara Nengget. Nengget adalah upacara
yang dilakukan dengan memberikan kejutan sengget, ke suatu keluarga dengan alasan tertentu dan dengan tujuan tertentu, tidak boleh diketahui sebelumnya oleh
keluarga yang akan di sengget dan dianggap batal dan tidak berhasil jika mereka mengetahuinya. Kegiatan ini juga akan dilakukan jika keluarga tersebut hanya
memiliki anak perempuan saja karena dianggap belum sempurna Tarigan, 2010. Perempuan pada suku Karo dianggap sebagai tanah ataupun lahan yang akan
ditanami. Jika tidak dapat memiliki keturunan dianggap tanah itu tandus dan gersang sehingga jika ditanam bibit yang bagus sekalipun pasti tidak akan pernah tumbuh.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan cara melakukan komunikasi personal terhadap seorang perempuan suku Karo berinisial BS, yang bercerai
dengan suaminya pada tahun keempat perkawinan mereka. Hal ini terjadi karena selama pernikahan mereka, ibu BS tidak dapat memberikan keturunan kepada
Universitas Sumatera Utara
suaminya. Pada awal perkawinan suami dan mertuanya sangat sayang dan perhatian terhadap ibu BS, karena merupakan menantu perempuan satu-satunya di keluarga dan
statusnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil. Memasuki tahun kedua perkawinan, mertuanya khawatir dan mulai terlihat tidak menyukai ibu BS karena belum ada
tanda-tanda hamil. Suaminya yang selama ini sabar dan mendukungnya juga mengalami perubahan, selalu menyalahkan ibu BS atas keadaan yang terjadi, karena
sejak gadis memang siklus haid ibu BS tidak teratur karena ada kista di rahimnya tetapi pada bulan keenam perkawinan mereka sudah diobati dan dinyatakan sembuh
oleh dokter. Ibu BS mengatakan bahwa belum mempunyai anak merupakan stresor bagi
dirinya dan pasangan. Adanya pertanyaan dari keluarga, tetangga dan teman dekat akan kehadiran anaknya semakin menimbulkan rasa sedih, hal yang paling membuat
sedih kalau mengingat mertuanya yang selalu sengaja menyakiti hatinya dengan mengingatkan mantan-mantan pacar anaknya yang semuanya sudah memiliki anak,
seakan-akan menyesal memiliki menantu BS dan selalu berusaha agar ibu BS terlihat buruk di mata suaminya.
Suami BS yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dan selama ini dekat sekali dan patuh kepada ibunya lebih memilih ibunya dibanding ibu BS, suaminya
mengatakan tidak perlu lagi berobat kemana-mana karena ibu BS pasti penyebabnya karena BS adalah perempuan mandul. Karena kondisi keluarganya yang tidak pernah
akur, BS memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, dia mengatakan bahwa tanpa
Universitas Sumatera Utara
suami kehidupannya justru lebih nyaman, tidak tertekan, lebih bebas dan menjadi lebih pemberani Komunikasi interpersonal BS, tanggal 8 Februari 2013.
Dengan melihat uraian diatas, penelitian ini akan mempelajari secara mendalam tentang mekanisme koping perempuan yang mengalami infertilitas yang
dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo serta mendapatkan informasi secara detail dan jelas tentang bermacam upaya untuk
menanggulangi permasalahannya. Terlebih lagi, adanya perspektif baru dalam memandang masalah kesehatan dan penyakit yang tidak hanya melibatkan aspek
biologis, melainkan juga aspek psikologis dan sosial, maka sangat terasa kebutuhan untuk menggali informasi yang lebih kaya tentang sumbangan aspek psikologis
terhadap kesehatan.
1.2. Perumusan Masalah