Pencegahan Infertilitas Respon Psikologis Pasangan yang Mengalami Infertilitas

memperhatikan penggunaan lubrikans saat coital, jangan yang mengandung spermatisida Ferrystoner, 2013

2.1.3. Pencegahan Infertilitas

a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi prostate, buah zakar, maupun saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi di daerah tersebut harus ditangani serius. b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitian menunjukkan pengaruh buruk rokok terhadap jumlah dan kualitas sperma. c. Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar hormon testosteron yang tentunya akan menganggu pertumbuhan sperma. d. Seringkali sebabkan oleh penyakit menular seksual, karena itu dianjurkan untuk menjalani perilaku seksual yang aman guna meminimalkan risiko kemandulan dimasa yang akan datang. e. Imunisasi gondonganmumps telah terbukti mampu mencegah gondongan dan komplikasinya pada pria orkitis. Kemandulan akibat gondongan bisa dicegah dengan menjalani imunisasi gondongan. f. Beberapa jenis alat kontrasepsi memiliki risiko kemandulan lebih tinggi misalnya IUD. IUD tidak dianjurkan untuk dipakai pada wanita yang belum pernah memiliki anak. Ferrystoner, 2013.

2.1.4. Respon Psikologis Pasangan yang Mengalami Infertilitas

Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan tanggungjawab perempuan. Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung Universitas Sumatera Utara dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat Anwar, 1997; Olds, London, Ladewig, 2000. Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu penyebabnya perempuan atau laki-laki. Masalah infertilitas juga menyebabkan stres pada laki-laki, namun stres lebih banyak dan lebih cepat dialami oleh perempuan Watkins Baldo, 2005. Tidak jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat ketidakadilan memandang masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya perempuan yang menjadi korban baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun psikososial Greil, 1997 dalam Benyamini, Gozlan Kokia, 2004; Gibson Myer, 2002 dalam Watkins Baldo, 2004; Old, London Ladewig, 2000. Isu ketidaksuburan secara fisik memang tidak mengancam kehidupan dan bukan merupakan suatu penyakit, namun dampak psikologis yang terjadi mungkin dapat sebanding dengan penyakit kronis Anwar, 1997; Benyamini, Gozlan Kokia, 2004. Adanya konflik-konflik emosional dan penghayatan perasaan akan dirinya berbeda dengan wanita yang memiliki anak akan mengurangi kegembiraan dan kebahagiaanya. Disisi lain, kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan seseorang merupakan indikator yang penting bagi kesehatan mental. Masalah kehamilan, melahirkan anak dan menjadi seorang ibu merupakan isu yang sangat kompleks dalam masyarakat. Perempuan yang mengalami infertilitas sering mendapat stigma yang berat. Hal tersebut disebabkan, secara tradisional ibu Universitas Sumatera Utara didefenisikan secara biologis yaitu perempuan yang hamil, melahirkan kemudian mengasuh sedangkan bapak lebih didefenisikan secara sosial,laki-laki membutuhkan anak sebagai ahli waris, penerus garis keluarga dan untuk menunjukkan maskulinitas mereka Hardy Makach, 2001; Widge, 2001. Pada umumnya perempuan akan menginternalisasi perannya sebagai ibu yang harus melahirkan anak, sehingga ketika pasutri menghadapi masalah infertilitas, maka perempuan akan merasa tidak mempunyai nilai, dan ditandai dengan timbulnya perasaan takut, cemas dan lain-lain. Masalah utama infertilitas secara sosial adalah berhubungan dengan kekeluargaan, warisan, pola perkawinan dan perceraian. Hal ini akan mengancam identitas kewanitaan, legalitas wanita sebagai istri, stabilitas perkawinan mereka, ikatan dan perannya dalam keluarga dan masyarakat, harga diripun menurun sehingga timbul frustasi dan perasaan tidak berdaya Lee, Sun Chao; Widge, 2001. Masalah psikologis yang terjadi pada wanita yang menghadapi infertilitas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lee 2001 terhadap yang mengalami infertilitas di Thailand memperoleh hasil terjadinya peningkatan kecemasan dan ketegangan pada perempuan yang mengalami infertilitas. Kecemasan dan ketegangan ini mengganggu dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya sikap curiga yang berlebihan ketika berbicara dengan orang lain dan mudah terpicunya emosi jika ada pernyataan orang lain yang dianggap menyinggung harga dirinya sebagai perempuan Anggraeni, 2009 Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Tabong and Adongo, 2013 di Ghana Utara, yang meneliti pengalaman pasangan infertil menunjukkan bahwa mereka merasa tertekan, frustrasi, menarik diri dari pergaulan, merasa terhina dan dianggap terkutuk bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Perempuan dilaporkan lebih khawatir tentang ketidakmampuan mereka untuk melahirkan anak daripada laki-laki. Perempuan tanpa anak-anak di usia tua mereka sering dicap sebagai penyihir dan ditinggalkan oleh keluarga mereka. Perempuan tersebut tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan anak-anak orang lain karena mereka dianggap bisa menyihir dan menyebabkan kematian anak- anak orang lain. Wanita infertil berbahaya bagi masyarakat di usia tua mereka karena mereka menjadi iri terhadap anak orang lain dan dapat menyebabkan kematian anak- anak orang lain. Ketidakbahagiaan mereka juga memiliki dampak langsung pada kehidupan seksual mereka yakni berkurangnya minat dalam aktivitas seksual dengan pasangan mereka. Beberapa reaksi psikologis pada pasangan yang mengalami infertilitas : 1. Shock Shock dan terkejut merupakan reaksi awal yang sering ditemui pada pasangan infertilitas, biasanya pada pasangan yang sehat berharap tidak ada masalah untuk bisa mempunyai keturunan. Reaksi mereka berbeda-beda tergantung dari kepribadian, citra diri dan kekuatan hubungan diantara pasangan. Universitas Sumatera Utara 2. Guilt Salah satu pasangan yang di diagnosa mengalami masalah infertilitas mungkin merasa bersalah karena dia yang menyebabkan tidak bisa mempunyai anak. Menyesali perilaku masa lalu yang ternyata mempengaruhi kesuburan mereka, seperti praktek seksual yang tidak sehat yang mengakibatkan infeksi pada organ reproduksi. 3. Isolation Pasangan yang mengalami masalah infertilitas seringkali merasa berbeda dari pasangan lain yang subur, mereka mungkin mengisolasi diri dari orang-orang, untuk menghindari rasa sakit emosional, dengan melakukan itu mereka juga mengisolasi diri dari sumber-sumber dukungan. 4. Depression Salah satu atau kedua pasangan yang mengalami infertilitas mungkin mengalami depresi, terutama jika terapi tidak berhasil dengan cepat. Harapan dan keputusasaan untuk hamil datang silih berganti di setiap siklus menstruasi, tetapi dalam jangka waktu panjang utuk mengurangi kekecewaan mereka mencoba untuk tidak terlalu berharap banyak. Dalam hal ini mungkin pasangan pun bisa marah dan menghakimi orang lain. Infertilitas memberikan dampak yang besar pada kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Proses pengobatan infertilitas merupakan metode invasif yang membutuhkan waktu yang lama dan merupakan prosedur yang membuat tidak nyaman. Universitas Sumatera Utara Banyak pasangan yang merasa ternoda dan malu karena mereka mengalami infertilitas. Pengalaman infertilitas membuat mereka terisolasi sehingga menimbulkan stres dan cemas dalam berbagai aspek kehidupan sehari- hari mereka. Tingkat keberhasilan pengobatan rendah, sehingga banyak pasangan yang mengalami kesedihan dan kehilangan yang berulang sehingga membuat depresi. Biaya pengobatan yang harus dikeluarkan juga dapat membuat stres pasangan yang sedang menjalani pengobatan. Masalah emosi yang muncul pada pasangan yang infertil yaitu, kehilangan harga diri, berkabung, ancaman, rasa bersalah, masalah perkawinan dan juga masalah kesehatan. 2.2. Mekanisme Koping 2.2.1. Pengertian Koping Koping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah pengatasan atau penanggulangan to cope with artinya mengatasimenanggulangi. Koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan. Koping sering dimaknai sebagai cara memecahkan masalah problem solving. Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga bersifat kognitif. Koping diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantanganlukakehilangan atau ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan- tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi Siswanto, 2007. Universitas Sumatera Utara