BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
1. Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili di DPRD Sumatera Utara
Hubungan antara wakil dengan yang diwakili hingga saat ini masih mengalami berbagai kendala yang mengakibatkan tidak optimalnya performance
lembaga perwakilan di Indonesia. Anggota DPR dan DPRD terkesan berada pada posisi sebagai wakil partai ketimbang sejatinya sebagai wakil rakyat. Hubungan
wakil dengan yang diwakili hanya tampak tatkala pemilihan umum yakni ketika mereka memilih wakil rakyat atau gambar partainya.
Pasca pemilu, hubungan tersebut hilang dan wakil rakyat langsung menjalankan tugasnya di gedung dewan atas nama rakyat. Tidak adanya
mekanisme yang menetapkan dan mengukuhkan bahwa wakil rakyat tetap sebagai bagian dari rakyat yang tidak terlepas dari problem-problem kerakyatan. Kondisi
ini diperparah dengan sistem pemilu dan susunan serta kedudukan wakil rakyat yang mengakibatkan terputusnya hubungan rakyat dengan wakilnya. Dalam
konteks ini jelas bahwa suara rakyat dalam pemilu hanya sebagai legitimasi bagi wakil rakyat untuk menduduki kursinya di parlemen. Wakil rakyat pada akhirnya
lebih sebagai wakil partai akibat hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan partai politik.
Pemilu legislatif 2004 telah menghasilkan perubahan peta kekuatan politik di tingkat nasional. Partai Golkar, yang pada pemilu 1999 terpuruk, kini keluar
sebagai pemenang pemilu 2004 sementara itu PDIP harus puas dengan posisi kedua. Perubahan peta kekuatan politik di tingkat nasional tersebut terjadi pula di
Universitas Sumatera Utara
tingkat lokal, dengan pengecualian beberapa daerah yang menjadi basis kuat bagi masing-masing partai politik, bila pada pemilu 1999 yang menjadi pemenang
pemilu adalah PDIP maka pada pemilu 2004 partai Golkar yang menjadi pemenang.
Perubahan peta kekuatan politik hasil pemilu 2004 tersebut tentu melahirkan harapan di kalangan masyarakat, mengingat kinerja wakil-wakil
rakyat di legislatif produk pemilu 1999 yang mengecewakan akibat sebagian anggota DPRD terlibat kasus korupsi, dengan kondisi yang seperti itu tentu saja
masyarakat sangat kecewa. Kekecewaan itu bertambah dengan kinerja anggota dewan yang buruk. Dalam konteks itu lalu muncul harapan agar kinerja dan
akuntabilitas dewan lebih baik bertumpu pada DPRD produk pemilu 2004. Dalam konteks itu, penelitian ini mencoba menjelaskan dan menganalisis
perubahan pola hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara. Secara khusus penelitian ini ingin melihat: 1 pola hubungan antara anggota
legislatif dengan konstituen, dengan melihat akuntabilitas DPRD yang tampak dalam proses pembuatan kebijakan baik dalam membuat Perda maupun
penyusunan APBD dan komunikasi politik melalui kunjungan ke konstituen baik masa reses maupun mekanisme partai 2 apa sajakah yang menjadi faktor yang
mempengaruhi hubungan wakil dengan yang diwakili.
A. Akuntabilitas DPRD
Hubungan wakil dengan yang diwakili di Indonesia secara umum tidak jauh berbeda di tingkat lokal, hal ini terlihat di DPRD sumatera Utara. Salah satu
yang kerap menjadi sorotan masyarakat Sumatera Utara tentang hubungan wakil dengan yang diwakili adalah masalah akuntabilitas.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini untuk mengukur akuntabilitas anggota DPRD Sumatera Utara ialah dengan melihat proses dan hasil kebijakan yang dihasilkan oleh DPRD
Sumatera Utara baik berupa Perda maupun APBD, dalam pembuatan Perda misalnya, DPRD sebagai wakil rakyat harus memasukkan aspirasi dari
kepentingan masyarakat yang diwakilinya dalam pasal-pasal peraturan yang dihasilkan. Ditinjau dari proses pembuatan kebijakan, terutama Perda-perda,
sejauh ini DPRD dapat dikatakan belum melibatkan komponen masyarakat yang terkait. Proses pembuatan kebijakan cenderung masih di monopoli secara
bersama-sama antara DPRD dan Gubernur, pada umumnya masyarakat tidak tahu apa-apa dan bagaimana melibatkan diri dalam proses pembuatan kebijakan. Oleh
karena itu pula tidak mengherankan jika proses pembuatan kebijakan seperti Perda-perda yang ditetapkan oleh DPRD sejauh ini pada dasarnya relatif belum
melibatkan partisipasi masyarakat. partisipasi masyarakat masih cenderung diatas- namakan oleh partai-partai politik yang duduk di DPRD, sementara partai-partai
itu sendiri pada umumnya masih pada tahap melayani kepentingan pemerintah daerah ketimbang kepentingan masyarakat setempat.
Salah satu tolok ukur keberhasilan DPRD sebagai lembaga legislatif adalah kemampuan para anggota dewan menghasilkan produk kebijakan dalam
bentuk Perda yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Berikut disampaikan tabel rekapitulasi Perda Sumatera Utara Tahun 2005-2007.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8 Rekapitulasi Peraturan Daerah Sumatera Utara Tahun 2005-2007
NO. NOMOR PERDA
NAMA PERDA KET
1 1 Tahun 2005
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Sumatera
Utara 2
2 Tahun 2005 APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran
2005 3
3 Tahun 2005 Perhitungan APBD Sumatera Utara Tahun
Anggaran 2004 4
4 Tahun 2005 Perubahan APBD Sumatera Utara Tahun
Anggaran 2005 5
1 Tahun 2006 APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran
2006 6
2 Tahun 2006 Retribusi Pengujian Laik Tangkap Kapal
Perikanan 7
3 Tahun 2006 Retribusi Tempat Pelelangan Ikan
8 4 Tahun 2006
Retribusi Tempat Pendaratan Kapal 9
5 Tahun 2006 Perhitungan APBD Sumatera Utara Tahun
Anggaran 2005 10
6 Tahun 2006 Perhitungan APBD Sumatera Utara Tahun
Anggaran 2005 11
7 Tahun 2006 Bantuan Kepada Partai Politik
12 8 Tahun 2006
RPJM 13
1 Tahun 2007 APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran
2007 14
2 Tahun 2007 Perusahaan Daerah Prasarana dan Sarana
Sumatera Utara 15
3 Tahun 2007 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
16 4 Tahun 2007
Penggantian Biaya Cetak Peta 17
5 Tahun 2007 Tempat PenginapanPesanggrahanVilla
18 6 Tahun 2007
Retribusi Pelayanan Pengujian Mutu Barang 19
7 Tahun 2007 Pengawasan Pengadaan dan Peredaran
Garam di Sumatera Utara 20
8 Tahun 2007 Retribusi Izin Penyelenggaraan Angkutan
Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum 21
9 Tahun 2007 Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan
Barang 22
10 Tahun 2007 Pengendalian Emisi Gas Baang Kendaraan
Bermotor 23
11 Tahun 2007 Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Universitas Sumatera Utara
Pimpinan dan Anggota DPRD Sumatera Utara
24 12 Tahun 2007
Hymne dan Mars Sumatera Utara 25
13 Tahun 2007 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Tahun Anggaran 2006 26
14 Tahun 2007 Perubahan APBD Tahun Anggaran 2007
Sumber : Diolah dari Sekwan DPRD Sumatera Utara Kalau dilihat pada tabel diatas dari segi jumlah atau kuantitas produk
Perda yang dihasilkan sampai penelitian ini dilakukan dapat dikatakan DPRD cukup produktif, sama dengan DPRD pada periode yang lalu cukup banyak Perda
yang dihasilkan. Tetapi Perda yang dihasilkan sedikit sekali yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. bahkan sebaliknya, banyak Perda yang keluar
“menyengsarakan” masyarakat dengan cara menaikkan pajakretribusi. Sehingga dapat dikatakan Perda yang dihasilkan oleh DPRD belum memihak kepada
kepentingan rakyat. Hal tersebut diakui oleh salah seorang anggota DPRD Sumatera utara dari Partai PPP yaitu Bpk. H. Rizal Sirait, beliau mengatakan
bahwa: “Sumatera Utara masih membutuhkan lebih banyak Perda, terutama yang
menyangkut kepentingan publik, sampai saat ini Perda-perda yang sudah diterbitkan belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan rakyat karena
Perda masih dalam upaya peningkatan pendapatan daerah untuk menutupi kebutuhan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.”
26
Dengan kata lain, kinerja DPRD tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah atau kuantitas produk kebijakan yang dihasilkan, melainkan juga sangat
ditentukan oleh kualitas Perda-perda itu sendiri. Artinya, sejauhmana sesungguhnya berbagai kebijakan yang dihasilkan secara bersama-sama oleh
DPRD dan Gubernur benar-benar berorientasi kepada kepentingan masyarakat. karena itu kalau ditinjau dari aspek kualitas produk kebijakan yang dihasilkan
26
Wawancara dengan Bpk. Drs. H. Rizal Sirait, Kamis, 21 Pebruari 2008.
Universitas Sumatera Utara
DPRD periode 2004-2009 dan 1999-2004, secara umum dapat dikatakan bahwa Perda-perda yang ditetapkan oleh dewan belum berorientasi pada kepentingan
masyarakat karena masih berorientasi pada upaya pemerintah daerah meningkatkan dan memperluas sumber-sumber pendapatan dalam rangka
memperbesar pendapatan asli daerah PAD. Begitu juga dalam membuat dan menyusun APBD, DPRD harus
melibatkan masyarakat. Memang secara formal proses pembahasan RAPBD menjadi APBD di DPRD diawali dengan penyerahan RAPBD oleh kepala daerah
kepada sidang paripurna DPRD dalam bentuk nota keuangan. Setelah itu dilakukan pembahasan oleh DPRD. Dalam proses pembahasan ini bekerjalah tiga
alat kelengkapan dewan, yaitu 1 Fraksi; 2 Komisi; 3 Panitia Anggaran. Fraksi berwenang memberikan pendapat akhir fraksi atas RAPBD yang diusulkan dalam
bentuk penerimaan atau penolakan. Komisi akan melakukan pembahasan anggaran dengan dinasinstansi terkait di pemerintah daerah yang kemudian
melaporkan hasil pembahasannya kepada fraksi. Panitia Anggaran, yang terdiri dari Panitia Anggaran Eksekutif PAE dan Panitia Anggaran Legislatif PAL,
mengkonsolidasikan RAPBD dari pemerintah daerah dan rencana belanja DPRD. Berikut disampaikan skema proses pembahasan APBD di DPRD.
Universitas Sumatera Utara
Skema 2 Proses Pembahasan APBD di DPRD
Sumber : Diolah dari Sekwan DPRD Sumatera Utara Secara prosedural, pembahasan RAPBD di DPRD Sumatera Utara periode
2004-2009 dan 1999-2004 sesuai dengan tahap-tahap pembahasan sebagaimana skema diatas. Namun secara substansial pembahasan RAPBD di DPRD Sumatera
Utara kurang terpenuhi sebab RAPBD yang dibahas; 1 tidak melibatkan masyarakat; dan 2 anggarannya kurang berorientasi kepada masyarakat. tidak
adanya pelibatan masyarakat dalam merumuskan APBD, menurut seorang anggota DPRD Sumatera Utara dari Partai PAN yang bernama Bpk Ir.
Kamaluddin Harahap, beliau mengatakan bahwa: “Pelibatan publik dalam merumuskan APBD sudah dilakukan saat
eksekutif menyusun RAPBD. Pelibatan masyarakat itu dilakukan melalui apa yang dinamakan dengan Jaring Asmara Penjaringan Aspirasi
Masyarakat. Dalam mekanisme jaring asmara ini, unsur-unsur masyarakat diundang untuk memberikan pendapat dan masukan terhadap
RAPBD, akan tetapi dalam menentukan anggaran pendapatan, masyarakat sama sekali tidak terlibat dalam menyusun kebijakan terkait anggaran
pendapatan misalnya, menentukan objek pajak, tariff pajak, dsb”.
27
27
Wawancara dengan Bpk. Ir. Kamaluddin Harahap, Jumat, 22 Pebruari 2008.
Pengantar Nota Keuangan
Kepala Daerah Pandangan
Umum Fraksi- fraksi
Pembahasan Komisi dengan
DinasKantorBadan
Jawaban Eksekutif
Pembahasan oleh PAE
PAL Pendapat Akhir
Fraksi-fraksi Penetapan RAPBD
Menjadi APBD
Universitas Sumatera Utara
Padahal, APBD adalah produk kebijakan publik dan diperuntukkan untuk publik.
Oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam pembahasan APBD di DPRD adalah suatu keharusan. Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pembahasan RAPBD
di DPRD menunjukkan kurangnya akuntabilitas DPRD terhadap masyarakat. Berikut disampaikan tabel perbandingan APBD Sumatera Utara Tahun 2002
dengan Tahun 2007.
Tabel 9 Perbandingan APBD Sumatera Utara Tahun 2002 dengan Tahun 2007
APBD 2002 APBD 2007
Pendapatan : Rp. 242.199.604.000 Anggaran Rutin : Rp. 218.353.842.066
Aggrn Pembangunan: Rp. 23.845.761.934 Pendapatan : Rp. 2.717.858.565.879
Anggaran Rutin : Rp. 2.339.213.058.416 Aggrn Pembangunan : Rp. 378.645.507.463
Jumlah : Rp. 242.199.604.000 Jumlah : Rp.2.717.858.565.879
Sumber : Diolah dari Sekwan DPRD Sumatera Utara Mencermati tabel diatas terlihat bahwa belanja publik pembangunan
relatif masih lebih kecil dibandingkan dengan belanja rutin pegawai seperti kita lihat di APBD Sumatera Utara Tahun 2002 dengan Tahun 2007 tersebut. hal ini
diakibatkan oleh struktur kelembagaan daerah yang gemuk membutuhkan pegawai negeri sipil yang banyak sehingga untuk gaji PNS menelan lebih banyak
APBD akibatnya pelayanan publik hanya kebagian sisa dari APBD tersebut. dengan melihat perbandingan antara biaya rutin dengan biaya untuk publik
tersebut, tampak jelas bahwa skala prioritas anggaran APBD baik pada tahun 2002 maupun 2007, masih kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam anggaran APBD tersebut, dana terbesar tetap terserap untuk belanja pegawai dan rutin, sedangkan untuk belanja pembangunan atau kepentingan
publik masih relatif kecil. Dengan demikian, orientasi anggaran DPRD dalam menyusun APBD, masih belum mengedepankan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, tetapi lebih pada kepentingan birokrasi.
B. Komunikasi Politik
Hubungan wakil dengan yang diwakili dalam penelitian ini dapat juga dilihat dari pola komunikasi politik yang dibangun, pada umumnya pola yang
dikembangkan berdasarkan daerah pemilihan. Dalam membangun hubungan dengan konstituennya itu anggota DPRD mengunakan dua instrumen. Pertama,
melalui momentum reses DPRD. Dalam masa sidang selama satu tahun, DPRD melakukan dua kali reses, masing-masing selama sekitar satu minggu. Kedua,
melalui mekanisme partai dimana setiap partai memiliki aturan tersendiri dalam membina hubungan dengan konstituennya. Dalam pola hubungan melalui
mekanisme reses, setiap anggota dewan berkunjung ke daerah pemilihannya untuk menyerap aspirasi konstituennya. Setelah itu mereka kemudian melaporkan
temuannya ke masing-masing komisi dimana mereka bergabung. Komisi lalu memberikan laporan dan temuannya ke pimpinan dewan dalam rapat paripurna.
Tujuan utama adanya reses adalah untuk berdialog dengan masyarakat pemilih mereka dimasing-masing daerah pemilihan. Sebuah model komunikasi
politik yang dipilih oleh anggota DPRD diantara berbagai model komunikasi yang ada dalam demokrasi perwakilan. Hal ini juga telah diadopsi secara resmi dalam
tata tertib DPRD sebagai sebuah perangkat aturan internal bagi anggota DPRD.
Universitas Sumatera Utara
Masa reses memang seharusnya menjadi suatu hal yang ditunggu oleh masyarakat yang telah mempercayakan suaranya dalam pemilu. Sebab, dalam masa reses
inilah masyarakat berkesempatan berkomunikasi dengan para wakilnya dalam menyampaikan masalah-masalah yang seharusnya diurusi oleh Negara, namun
sayangnya, harapan ini nampaknya masih dalam angan-angan. Bukan rahasia lagi bahwa beberapa anggota Dewan tidak pernah melakukan kunjungan ke konstituen
pada masa reses. Atau, kalaupun mereka pulang ke daerah pemilihan, tidak lebih hanya untuk mengunjungi sanak saudara atau relasi mereka.
Sebenarnya tidak pernah jelas terungkap dari kalangan DPRD sendiri, apakah keengganan mereka melakukan kunjungan yang efektif karena memang
tidak ada relevansinya dengan kebutuhan mereka atau memang tidak ada anggaran yang cukup dari Negara? dari 7 orang anggota DPRD yang
diwawancarai hampir semua memberi alasan kurangnya kunjungan ke konstituen oleh karena masalah dana. Berdasarkan pengamatan Formappi, Negara sudah
menyediakan anggaran khusus untuk itu.
28
Namun menjadi berbahaya kalau alasannya adalah “tidak perlu”. Kalau sudah begini, maka ada atau tidak ada anggaran, para wakil rakyat tetap tidak akan
melakukan “kewajiban politiknya”. Memang, ketentuan berkunjung ke daerah pemilihan yang diatur dalam tata tertib DPRD tidak merinci lebih jauh mengenai
pertanggungjawaban dan sanksi bila tidak melakukannya. Akibatnya, kunjungan ke konstituen tidak berjalan dengan efektif dan tidak banyak yang ditindaklanjuti.
Kalau memang metode semacam ini akan banyak memakan biaya, harusnya dipikirkan metode-metode lain yang
murah tapi tidak menyulitkan masyarakat.
28
Lihat Formappi, Awasi Parlemen, Edisi Juni 2002 dalam www.parlemen.net.
Universitas Sumatera Utara
Padahal tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara untuk membiayai kepergian anggota DPRD ke daerah pemilihannya masing-masing.
Dalam hubungan dengan konstituen, bagi partai Golkar dan PAN, di setiap daerah pemilihan ada penanggung jawab atau koordinatornya. Untuk partai
Golkar, mereka yang menjadi penanggung jawab yang disebut koordinator wilayah korwil yang sebelumnya telah ditetapkan DPD Golkar Sumut. Korwil
bisa berasal dari pengurus partai ataupun anggota dewan, namun di Sumut umumnya mereka adalah anggota dewan. Sedangkan di PAN, setiap anggota
DPRD otomatis menjadi penanggung jawab di daerah pemilihannya. Bila suatu daerah pemilihan tidak ada wakilnya, maka yang menjadi penanggung jawab
adalah mantan caleg di daerah pemilihan tersebut. Berikut disampaikan tabel pola hubungan DPRD Sumut dengan konstituen periode 1999-2004 dan periode 2004-
2009.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 10 Pola Hubungan DPRD Sumut dengan Konstituen
Partai Politik DPRD Sumut
Pola Hubungan
Golkar • Per daerah pemilihan
• Selain reses ada kunjungan ke konstituen tapi tergantung kebutuhan flexibel
• Setiap daerah pemilihan ada koordinator wilayah PDIP
• Per daerah pemilihan • Selain reses ada kunjungan ke konstituen tapi
tergantung kebutuhan flexibel PPP
• Tidak per daerah pemilihan • Selain reses ada kunjungan ke konstituen tapi
tergantung kebutuhan flexibel PAN
• Per daerah pemilihan • Selain reses ada kunjungan ke konstituen tapi
tergantung kebutuhan flexibel • Setiap daerah pemilihan ada koordinator wilayah
Sumber: Diolah dari wawancara dengan para anggota DPRD dari Partai Golkar, PDIP, PPP, dan PAN, Pebruari 2008.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kunjungan ke konstituen yang dilakukan oleh DPRD sangatlah minim karena hanya dua kali dalam setahun yang
ditetapkan selebihnya kunjungan ke konstituen hanya melihat kebutuhan dalam artian tidak ada aturan yang menetapkan. Dengan kondisi hubungan yang minim
Universitas Sumatera Utara
tersebut akibatnya DPRD tidak akan tahu permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pemilihnya. Sehingga tidak heran selama ini,
masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya kerap melalui demonstrasi. Persoalannya, bila setiap menyalurkan aspirasi selalu melalui demonstrasi tentu
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak benar dengan mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat, ada yang macet dan tidak berfungsi. DPRD sebagai wadah
penyalur aspirasi mungkin tidak dilaksanakan. Akibatnya kemudian masyarakat melakukan demonstrasi dan tidak jarang bersifat represif yang akhirnya berujung
pada kekerasan. Secara teoritis untuk mengetahui hubungan masyarakat dengan DPRD
atau hubungan wakil dengan yang diwakili dapat dilihat dari tipe wakil rakyat sebagaimana yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, yaitu tipe wali, tipe
delegasi, tipe politico, dan tipe partisan. Dari keempat tipe wakil rakyat tersebut bila dikaitkan dengan sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia yaitu sistem
pemilu proporsional baik pada pemilu 1999 maupun pemilu legislatif 2004 maka akan melahirkan tipe wakil rakyat wali dan tipe partisan.
Dengan melahirkan tipe wali dan tipe partisan maka wakil rakyat DPRD akan jauh dengan rakyat. Hal ini karena si wakil anggota dewan akan bertindak
atas nama sendiri atau atas nama partai, bukan atas nama rakyat yang diwakili. Dengan demikian maka hubungan antara rakyat dengan dewan akan jauh dan
renggang, tidak ada ikatan apapun. Dampak dari hal tersebut yang lahir adalah tidak adanya akuntabilitas anggota dewan terhadap rakyat yang diwakilinya.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili di DPRD Sumatera Utara