B. Sistem Perwakilan Proporsional

 Sistem ini mendorong terwujudnya sistem kepartaian yang lebih stabil karena partai- partai kecil kalah biasanya bergabung dengan partai lain yang menang.  Dapat menciptakan dominasi partai lokal dan mendorong adanya partai-partai yang berhaluan etnis.  Merupakan sistem pemilihan yang sederhana dan mudah dimengerti serta digunakan para pemilih, mudah pelaksanaannya Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS,

2005. B. Sistem Perwakilan Proporsional

Sistem Representasi Proporsional atau populer disebut proporsional atau perwakilan berimbang adalah metode transfer suara pemilih ke kursi di parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih. Dibanding dengan sistem distrik, sistem proporsional lebih banyak digunakan oleh negara-negara di dunia. Pertimbangan utama negara-negara yang mempergunakan sistem ini biasanya berangkat dari keberatan terhadap sistem distrik yang tingkat disproporsionalitasnya sangat tinggi. Cara kerja sistem PR adalah pertama, menentukan alokasi jumlah kursi pada satu distrik atau daerah pemilihan. Dalam sistem PR, daerah pemilihan ini lazimnya menggunakan dasar wilayah administrasi. Di Indonesia pada pemilihan parlemen nasional, daerah pemilihan didasarkan pada wilayah propinsi. Misalnya berapa jumlah kursi yang disediakan untuk daerah pemilihan Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dst. Jumlah kursi di masing-masing Universitas Sumatera Utara daerah biasanya tidak sama karena didasarkan pada jumlah penduduk di wilayah masing-masing. Kedua, menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa suara yang dibutuhkan partai politik agar mendapatkan satu kursi di parlemen. Besarnya kuota pada suatu daerah pemilihan tergantung pada besarnya jumlah penduduk yang menggunakan hak suaranya dan jumlah kursi yang diperebutkan oleh partai-partai politik. Umumnya penentuan kuota didasarkan pada rumus: m v q = dimana: q = kuota v = jumlah penduduk yang menggunakan suaranya m = jumlah kursi yang tersedia Aspek penting dari sistem ini adalah adanya hak politik yang disebut universal suffrage. Universal suffrage diartikan bahwa setiap warga negara yang telah memenuhi syarat menurut UU, memiliki hak yang sama tanpa dibedakan suku, agama, ras, golongan dan latar belakang sosial lainnya, kecuali bagi mereka yang cabut hak-hak politiknya. Di samping itu juga bisa membangkitkan partisipasi politik warganya. Varian dari sistem proporsional representatif ini meliputi: a. List Proportional Representation List PR; b. Mixed Member Proportional MMP; dan c. Single Transferable Vote STV. Sistem List Proportional Representative List PR pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu sistem daftar tertutup closed list system dan sistem daftar terbuka open list system. Dalam sistem daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai Universitas Sumatera Utara politik peserta pemilu, dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, para calon legislatif biasanya telah ditentukan dan diurutkan secara sepihak oleh partai politik yang mencalonkannya. Sementara pada sistem daftar terbuka open list system, para pemilih bukan hanya dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan sendiri calon legislatif yang disukainya. Dengan demikian, pemilih di samping memilih tanda gambar partai juga memilih gambar kandidat legislatif. Oleh sebab itu, partai politik tidak dapat menentukan secara sepihak calon-calon dan daftar urutan calon, karena hal itu sangat bergantung pada pemilih. Bagaimana mekanisme menstransfer suara pemilih ke dalam kursi di parlemen? Dalam sistem List PR, transfer bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu: a berdasarkan rata-rata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi devisor dan b suara sisa terbesar largest remainder atau lazim disebut dengan kuota 12 12 Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002 Universitas Sumatera Utara Metode-Metode Penghitungan List PR Devisor Metode devisor ada dua jenis yaitu: formula d’Hondt dan formula Sainte-Laque. Prosedur utama kedua formula tersebut adalah bahwa kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun berdasarkan bilangan pembagi. Prosedur ini terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis. Rata-rata yang dimaksud berbeda dengan istilah dalam statistik mean, melainkan seperangkat bilangan pembagi. d’Hondt, bilangan pembaginya merupakan urutan bilangan utuh  1, 2, 3, 4, 5, dst. Penggunaan formula d’Hondt lebih menguntungkan partai besar. Sainte-Laque, bilangan pembaginya dimulai dengan pecahan 1,4 dan diikuti secara berurut bilangan ganjil  1.4, 3, 5, 7, 9, dst. Penggunaan formula Sainte-Laque lebih menguntungkan partai kecil. Kuota Metode kuota yang sering digunakan yaitu: kuota Hare dan kuota Droop. Langkah-langkahnya adalah menentukan kuota suara. Setelah itu menentukan besarnya kursi yang diperoleh masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sementara sisa suara yang belum terbagi akan diberikan kepada parpol yang mempunyai jumlah sisa suara terbesar. Kuota Hare HQ dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah v dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik s. Penggunaan kuota Hare lebih menguntungkan partai-partai kecil s v HQ = Kuota Droop DQ dihitung dari jumlah total suara v dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik s ditambah 1. Penggunaan kuota Droop lebih menguntungkan partai-partai besar. 1 + = s v DQ Sumber: Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002 Dibandingkan formula list PR, perhitungan proporsionalitas Single Transferable Vote STV sedikit lebih rumit. Hal ini disebabkan para pemilih memberikan suaranya berdasarkan preferensinya berdasarkan daftar partai. Dengan begitu, para pemilih dalam sistem STV memilih para kandidat yang disukainya bahkan kemudian merankingnya. Oleh karena itu, transfer suara pemilih ke kursi di parlemen juga harus memperhitungkan peringkat suara yang diberikan oleh para pemilih. Prosedur dan penghitungan berdasarkan peringkat kandidat inilah yang tidak dijumpai pada sistem prosedur dan perhitungan list PR. Prosedur pertama yang harus dilakukan dalam menghitung STV setelah daftar preferensi pilihan pemilih tersusun adalah menentukan besarnya kuota. Pada prinsipnya, penentuan kuota STV hampir selalu menggunakan formula kuota Universitas Sumatera Utara Droop, yaitu DQ = vs + 1. Bedanya, pada kuota Droop hasil pembangian dibulatkan, sedangkan dalam STV hasil pembangian ditambah 1, jadi rumusnya: 1 1 +       + = s v DQ Prosedur selanjutnya adalah menentukan jatah kursi untuk masing-masing kandidat berdasarkan preferensi pilihan kandidat. Caranya, kandidat yang mempunyai atau berhasil mengumpulkan preferensi pilihan pertama sebanyak atau lebih dari jumlah kuota pada perhitungan pertama dapat otomatis terpilih dan berhak mewakili distriknya duduk di parlemen. Pada perhitungan kedua, sisa kelebihan suara kandidat yang telah terpilih dibagi rata ke kandidat urutan 2 dan 3, dengan catatan suara hasil pembagian ini diberikan hanya kepada suara yang kandidat yang sekelompok preferensi. Jika pada perhitungan ketiga tidak ada kelebihan suara yang dapat didistribusikan kepada kandidat-kandidat yang suaranya tidak mencapai kuota, maka penyelesaiaanya adalah dengan mengeliminasi atau mengeluarkan partai yang suaranya terkecil untuk ditransfer ke partai yang suaranya lebih besar. Namun pembagian suara ini diberikan juga kepada kandidat sekelompok preferensi. Mixed Member Proprotional MMP merupakan formula yang memberikan kompensasi kursi dari suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Misalnya, jika sebuah partai memperoleh suara 10 secara nasional, namun ia tidak memperoleh kursi dalam suatu distrik, maka partai tersebut akan memperoleh kompensasi kira-kira sampai 10 kursi di parlemen. Dari tujuh negara yang menerapkan sistem ini, kecuali Hungaria yang menggunakan Two- Round System, kursi dalam suatu distrik dipilih berdasarkan sistem FPTP. Di Universitas Sumatera Utara Italia misalnya, seperempat dari kursi parlemen disediakan untuk suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Sementara itu, di Venezuela, terdapat 102 kursi 50 yang dipilih berdasarkan sistem distrik, 87 kursi dipilih berdasarkan sistem proporsional, dan sisanya 15 kursi proportional yang disediakan sebagai kompensasi. Berikut disampaikan tabel kelemahan dan kelebihan sistem proporsional. Tabel 7 Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional Kelebihan Kelemahan  Sistem ini lebih cocok diterapkan dalam masyarakat majemuk dan merupakan sistem yang inklusif, memungkin badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang bersal dari berbagai macam kekutan politik dalam suatu negara.  Hubungan antara wakil rakyat dengan pemilih kurang akrab, khususnya dalam daftar tertutup, para pemilih tidak mempunyai pengaruh dalam menentukan wakilnya sehingga akuntabilitas para wakil terhadap para pemilihnya kurang..  Suara dari partai-partai kecil dapat digabung sehingga partai kecil punya peluang untuk memiliki wakilnya di lembaga legislatif.  Kandidat lebih memiliki hubungan kuat dengan partai daripada pemilih. Sehingga mendorong munculnya nepotisme dalam partai.  Sistem ini dianggap lebih representatif, karena dimugkinkan  Sistem ini akan mendorong munculnya multipartai. Universitas Sumatera Utara partai-partai kecil memiliki wakil di lembaga perwakilan.  Sistem ini cenderung menghalangi adanya dominasi regional partai besar.  Sistem ini mendorong timbulnya konflikperpecahan dalam diri partai politik  Beberapa bukti di negara Eropa, sistem ini ternyata juga menghasilkan pemerintahan yang efektif.  Mendorong bertahannya partai-partai ekstrim dan tidak mengakomodasi kandidat yang independen.  Menciptakan sharing kekuatan dan kerjasama konkrit antara partai dan pemerintah dan cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan menjadi presentase wakil yang dipilih.  Pemerintah yang terpilih kurang bertanggungjwab dengan karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan partai yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi pemerintah setelah pemilu. Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS, 2005.

C. Sistem Semi Proporsional

Sistem Semi Proporsional merupakan formula yang mencoba menjembatani antara sistem plurality-majority dengan proportional representative dengan cara mengkombinasikan kelebihan sistem PR dengan sistem plurality- majority. Beberapa kalangan menyebut sistem ini sebagai semi plurality. Sistem Universitas Sumatera Utara ini pada dasarnya memberikan representasi bagi kelompok-kelompok minoritas dengan prinsip utamanya adalah adanya suara kumulatif, pembatasan suara, dan single nontransferable vote. Suara kumulatif pada dasarnya mirip dengan prinsip pluaralitas di dalam suatu distrik dengan banyak kursi atau wakil multimember constituency, dimana masing-masing pemilih mempunyai suara sebanyak kursi yang tersedia kecuali para para pemilih itu dilarang untuk mengakumulasikan suara mereka. Pembatasan suara pada dasarnya sama dengan multimember plurality, yakni para pemilih diberi suara lebih kecil dari jumlah kursi yang tersedia di distrik tersebut. Penggunaan sistem campuran ini terutama tampak pada negara-negara yang oleh Huntington digolongkan dalam negara gelombang demokrasi ketiga. Sistem ini umumnya meliputi: a. Paralel b. Single Non Transferable Votes SNTV Sistem Paralel adalah sistem pemilihan campuran antara sistem daftar proporsional List PR dengan sistem distrik. Sebagian kursi parlemen dipilih berdasrkan sistem proporsional, dan sisanya dipilih berdasarkan sistem distrik. Caranya, pemilih mempunyai dua kertas suara, satu untuk memilih kandidat berdasarkan sistem distrik, dan satu kertas suara lagi untuk memilih partai berdasarkan sistem list PR. Single NonTransferable Vote SNTV adalah bentuk khusus pembatasan suara dimana masing-masing pemilih hanya mempunyai satu suara dalam suatu distrik yang umumnya tersedia tiga sampai lima wakil. Keuntungan sistem ini adalah partai-partai kecil lebih mungkin atau mudah untuk terpilih. Berdasarkan Universitas Sumatera Utara pengalaman Jepang yang menggunakan sistem ini dari 1947-1993, salah satu kelemahan dari sistem ini adalah adanya tingkat proposionalitas yang tidak sama antara distrik pedesaan dengan distrik perkotaan atau biasa disebut unusual eletoral system. Di distrik pedesaan umumnya sangat tinggi tingkat proporsionalitasnya overrepresented, sebaliknya di distrik perkotaan umumnya rendah tingkat proporsionalitasnya underrepresented.

5.2. Perwakilan Politik

Dalam tulisannya mengenai teori perwakilan politik, Alfred De Grazia mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan yang diwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan yang diwakili. 13 Perwakilan dalam pengertian bahwa seseorang ataupun sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik yang diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain. 14 Dalam sistem perwakilan politik, seorang warga Negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seseorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Suatu keputusan dalam demokrasi ialah bagaimana menyelenggarakan pemilihan. Kajian akademis Perwakilan politik diartikan sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga legislatif. 13 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hal. 1. 14 Arbi Sanit, Ibid., hal. 23. Universitas Sumatera Utara mengenai demokrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis. 15 Partai politik juga turut ambil bagian di dalam proses perwakilan, dalam merekrut, mencalonkan dan berkampanye untuk memilih pejabat pemerintah, menyusun program kebijakan untuk pemerintah jika mereka menjadi mayoritas; menawarkan kritik dan kebijakan alternatif jika mereka menjadi oposisi; menggalang dukungan Demokrasi minimalis atau dalam wacana Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi prosedural dikenakan kepada sistem-sistem politik yang melaksanakan perubahan kepemimpinan secara regular melalui suatu mekanisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka, dan melibatkan masa pemilih yang universal. Bagi konsepsi maksimalis pelaksanaan pemilihan umum saja tidaklah cukup bagi suatu sistem politik untuk mendapatkan gelar demokrasi, karena konsepsi ini yang di Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi substantif mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah pluralisme yang mendasar. Secara konsepsional, perwakilan politik berawal dari pemilihan umum. Artinya, pemilihan umum yang diadakan merupakan proses seleksi pemimpin akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik dikalangan masyarakat luas. Dan untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan warga Negara maka dibentuk badan perwakilan rakyat yang berfungsi; membuat undang-undang, menyusun anggaran penerimaan dan belanja Negara, mengawasi pelaksanaan undang-undang dan penerimaan serta penggunaan anggaran Negara. 15 Muladi, dkk. edt. “Pemilu dan Demokrasi”, dalam Jurnal Demokrasi dan Ham, Pemilu 2004: Semakin Terkonsolidasikah Demokrasi Kita, Vol. 4, No. 1, THC, Surabaya, 2004, hal. Editor. Universitas Sumatera Utara bagi kebijakan umum diantara berbagai kelompok kepentingan; menyediakan struktur dan aturan debat politik masyarakat. Pemilihan umum merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dari lembaga perwakilan dan partai politik. Pemilu sebagai salah satu cara pelaksanaan demokrasi, sebagaimana pada zaman modern ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu Negara pun yang melaksanakan demokrasinya secara langsung. Hal ini disebabkan karena terlalu luasnya wilayah dan begitu besarnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, adapun demokrasi yang digunakan adalah demokrasi perwakilan, dimana hak-hak rakyat untuk dapat ikut dalam menentukan haluan Negara dilakukan oleh sebagian kecil dari seluruh rakyat menempati lembaga perwakilan yang disebut parlemen, yang dipilih melalui proses pemilihan umum.

5.3. Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili

Duduknya seseorang di lembaga Perwakilan, baik itu karena pengangkatan maupun melalui pemilihan umum, senantiasa berakibat timbulnya hubungan si wakil dengan yang diwakili, hubungan tersebut dapat dilihat melalui teori yang dikemukakan oleh Prof. Hoogerwerf dan Gilbert Abcarian, Menurutnya ada 4 tipe mengenai hubungan antara si wakil dengan yang diwakili yaitu: 16 1. Si Wakil bertindak sebagai wali Trustee. Disini si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya. 2. Si Wakil bertindak sebagai utusan Delegate. Disini si wakilbertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu mengikuti 16 Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilu di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1987, hal. 85. Universitas Sumatera Utara instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya. 3. Si Wakil bertindak sebagai Politico. Disini si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali Trustee dan ada kalanya bertindak sebagai utusan Delegate. Tindakannya tergantung dari issue materi yang dibahas. 4. Si Wakil bertindak sebagai Partisan. Disini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai organisasi si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya yang diwakilinya maka lepaslah hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulailah hubungannya dengan partai organisasi yang mencalonkannya dalam pemilu tersebut.

5.4. Korelasi Sistem Pemilu dengan Hubungan Wakil dengan Yang diwakili.

Dalam teori politik ada beberapa macam sistem pemilu. Tetapi umumnya berkisar pada prinsip pokok antara sistem distrik dan sistem proporsional 17 Dalam sistem distrik, wakil yang terpilih berasal dari daerahnya sehingga ada kedekatan secara emosional dengan rakyat pemilih. Pemilih juga langsung memilih wakil, bukan tanda gambar partai. Hal itu merupakan dasar berlangsungnya komunikasi politik secara lebih intensif. Namun sistem ini bukan . Sistem distrik memilih satu wakil dalam satu daerah pemilihan. Sedangkan sistem proporsional memilih beberapa wakil dalam satu daerah pemilihan. Menentukan sistem pemilu ini berkaitan dengan bagaimana mencari model hubungan wakil dengan yang diwakili sehingga hubungan tersebut dapat berjalan lebih baik. 17 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1999, hal. 243. Universitas Sumatera Utara tidak mengandung kelemahan. Justru para ahli banyak mengkritik sistem ini karena menghasilkan banyaknya suara yang terbuang dari suara pendukung yang kalah, meski kemenangan calon yang unggul persentase suaranya tidak lebih dari 50 persen. Kelemahan ini dapat dihindari dalam sistem proporsional karena proporsi jumlah perolehan suara secara nasional sama dengan jumlah kursi yang diperoleh dalam lembaga perwakilan. Dengan sistem ini pula heterogenitas masyarakat dapat lebih dihargai. Sistem proporsional ini juga memiliki banyak macam dalam cara pencoblosannya. Ada sistem proporsional daftar mengikat dimana pemilih hanya memilih tanda gambar parpol, bukan nama atau gambar wakil. Sistem ini digunakan dalam pemilu di Indonesia pasca pemilu 1955 hingga pemilu 1997. Sistem lainnya adalah proporsional daftar bebas dimana pemilih memilih tanda gambar calon. Ini telah dilakukan pada pemilu di Indonesia tahun 1955. Pemilihan anggota dewan tahun 2004 lalu juga menggunakan model ini meski masih setengah terbuka. Dalam kaitannya dengan hubungan antara rakyat dengan wakil dalam sistem proporsional seringkali dianggap lemah karena tidak mewakili daerah pemilihan. Sistem proporsional daftar bebas sebenarnya telah memungkinkan rakyat melakukan pemilihan langsung pada calon. Hal ini sudah merupakan modal awal kedekatan emosional pemilih dengan wakil. Setidaknya dapat dipertanggung jawabkan bahwa wakil yang terpilih benar-benar hasil pilihan rakyat, bukan hasil lobi-lobi politik dalam partai atau antar partai politik. Beberapa model sistem pemilu itu telah memberikan gambaran bagaimana hubungan rakyat dengan wakilnya. Sungguhpun demikian, membangun hubungan yang intens antara rakyat dengan wakil tidak hanya berlangsung saat pemilu atau Universitas Sumatera Utara masa kampanye. Komunikasi adalah proses politik yang terus berlangsung selama sebuah Negara masih tetap ada. Maka, lebih mudahnya melihat bagaimana proses komunikasi itu berlangsung adalah dari hasil kerja yang telah dilakukan oleh para wakil rakyat. Hubungan rakyat dengan parpol sebatas dalam kerangka kepentingan partai sesuai dengan program yang diajukannya. Tetapi hubungan antara rakyat dengan wakil di lembaga legislatif merupakan hubungan kepentingan yang lebih luas menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.

6. Hipotesis

Dokumen yang terkait

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

0 44 152

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI DPRD KABUPATEN SUKOHARJO PERIODE 2004 – 2009)

0 8 85

PENEGAKAN KODE ETIK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH OLEH BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (Studi pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi Periode 2004-2009).

0 0 6

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 18

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 24

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 18