Sistem ini mendorong terwujudnya sistem
kepartaian yang lebih stabil karena partai- partai kecil kalah biasanya bergabung
dengan partai lain yang menang.
Dapat menciptakan dominasi partai lokal dan mendorong adanya partai-partai yang
berhaluan etnis.
Merupakan sistem pemilihan yang
sederhana dan mudah dimengerti serta digunakan para pemilih, mudah
pelaksanaannya Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS,
2005. B. Sistem Perwakilan Proporsional
Sistem Representasi Proporsional atau populer disebut proporsional atau perwakilan berimbang adalah metode transfer suara pemilih ke kursi di parlemen
sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih. Dibanding dengan sistem distrik, sistem proporsional lebih banyak digunakan oleh negara-negara di dunia.
Pertimbangan utama negara-negara yang mempergunakan sistem ini biasanya berangkat dari keberatan terhadap sistem distrik yang tingkat
disproporsionalitasnya sangat tinggi. Cara kerja sistem PR adalah pertama, menentukan alokasi jumlah kursi
pada satu distrik atau daerah pemilihan. Dalam sistem PR, daerah pemilihan ini lazimnya menggunakan dasar wilayah administrasi. Di Indonesia pada pemilihan
parlemen nasional, daerah pemilihan didasarkan pada wilayah propinsi. Misalnya berapa jumlah kursi yang disediakan untuk daerah pemilihan Jawa Timur, Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dst. Jumlah kursi di masing-masing
Universitas Sumatera Utara
daerah biasanya tidak sama karena didasarkan pada jumlah penduduk di wilayah masing-masing. Kedua, menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa
suara yang dibutuhkan partai politik agar mendapatkan satu kursi di parlemen. Besarnya kuota pada suatu daerah pemilihan tergantung pada besarnya jumlah
penduduk yang menggunakan hak suaranya dan jumlah kursi yang diperebutkan oleh partai-partai politik. Umumnya penentuan kuota didasarkan pada rumus:
m v
q =
dimana: q = kuota
v = jumlah penduduk yang menggunakan suaranya m = jumlah kursi yang tersedia
Aspek penting dari sistem ini adalah adanya hak politik yang disebut universal suffrage. Universal suffrage diartikan bahwa setiap warga negara yang
telah memenuhi syarat menurut UU, memiliki hak yang sama tanpa dibedakan suku, agama, ras, golongan dan latar belakang sosial lainnya, kecuali bagi mereka
yang cabut hak-hak politiknya. Di samping itu juga bisa membangkitkan partisipasi politik warganya. Varian dari sistem proporsional representatif ini
meliputi: a.
List Proportional Representation List PR; b.
Mixed Member Proportional MMP; dan c.
Single Transferable Vote STV. Sistem List Proportional Representative List PR pada dasarnya ada dua
bentuk, yaitu sistem daftar tertutup closed list system dan sistem daftar terbuka open list system. Dalam sistem daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai
Universitas Sumatera Utara
politik peserta pemilu, dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, para calon legislatif biasanya telah ditentukan dan diurutkan secara sepihak oleh
partai politik yang mencalonkannya. Sementara pada sistem daftar terbuka open list system, para pemilih
bukan hanya dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan sendiri calon legislatif yang disukainya. Dengan
demikian, pemilih di samping memilih tanda gambar partai juga memilih gambar kandidat legislatif. Oleh sebab itu, partai politik tidak dapat menentukan secara
sepihak calon-calon dan daftar urutan calon, karena hal itu sangat bergantung pada pemilih.
Bagaimana mekanisme menstransfer suara pemilih ke dalam kursi di parlemen? Dalam sistem List PR, transfer bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu:
a berdasarkan rata-rata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi devisor dan b suara sisa terbesar largest remainder atau lazim disebut dengan kuota
12
12
Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002
Universitas Sumatera Utara
Metode-Metode Penghitungan List PR
Devisor Metode devisor ada dua jenis yaitu: formula d’Hondt dan formula Sainte-Laque. Prosedur utama kedua
formula tersebut adalah bahwa kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun
berdasarkan bilangan pembagi. Prosedur ini terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis. Rata-rata yang dimaksud berbeda dengan istilah dalam statistik mean, melainkan seperangkat bilangan pembagi.
d’Hondt, bilangan pembaginya merupakan urutan bilangan utuh 1, 2, 3, 4, 5, dst. Penggunaan formula d’Hondt lebih menguntungkan partai besar.
Sainte-Laque, bilangan pembaginya dimulai dengan pecahan 1,4 dan diikuti secara berurut bilangan ganjil 1.4, 3, 5, 7, 9, dst. Penggunaan formula Sainte-Laque lebih menguntungkan partai kecil.
Kuota Metode kuota yang sering digunakan yaitu: kuota Hare dan kuota Droop. Langkah-langkahnya adalah
menentukan kuota suara. Setelah itu menentukan besarnya kursi yang diperoleh masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sementara sisa suara yang belum terbagi akan diberikan kepada
parpol yang mempunyai jumlah sisa suara terbesar.
Kuota Hare HQ dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah v dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik s. Penggunaan kuota Hare lebih menguntungkan partai-partai kecil
s v
HQ =
Kuota Droop DQ dihitung dari jumlah total suara v dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik s ditambah 1. Penggunaan kuota Droop lebih menguntungkan partai-partai besar.
1 +
= s
v DQ
Sumber: Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002
Dibandingkan formula list PR, perhitungan proporsionalitas Single Transferable Vote STV sedikit lebih rumit. Hal ini disebabkan para pemilih
memberikan suaranya berdasarkan preferensinya berdasarkan daftar partai. Dengan begitu, para pemilih dalam sistem STV memilih para kandidat yang
disukainya bahkan kemudian merankingnya. Oleh karena itu, transfer suara pemilih ke kursi di parlemen juga harus memperhitungkan peringkat suara yang
diberikan oleh para pemilih. Prosedur dan penghitungan berdasarkan peringkat kandidat inilah yang tidak dijumpai pada sistem prosedur dan perhitungan list PR.
Prosedur pertama yang harus dilakukan dalam menghitung STV setelah daftar preferensi pilihan pemilih tersusun adalah menentukan besarnya kuota.
Pada prinsipnya, penentuan kuota STV hampir selalu menggunakan formula kuota
Universitas Sumatera Utara
Droop, yaitu DQ = vs + 1. Bedanya, pada kuota Droop hasil pembangian dibulatkan, sedangkan dalam STV hasil pembangian ditambah 1, jadi rumusnya:
1 1
+
+
= s
v DQ
Prosedur selanjutnya adalah menentukan jatah kursi untuk masing-masing kandidat berdasarkan preferensi pilihan kandidat. Caranya, kandidat yang
mempunyai atau berhasil mengumpulkan preferensi pilihan pertama sebanyak atau lebih dari jumlah kuota pada perhitungan pertama dapat otomatis terpilih
dan berhak mewakili distriknya duduk di parlemen. Pada perhitungan kedua, sisa kelebihan suara kandidat yang telah terpilih dibagi rata ke kandidat urutan 2 dan
3, dengan catatan suara hasil pembagian ini diberikan hanya kepada suara yang kandidat yang sekelompok preferensi.
Jika pada perhitungan ketiga tidak ada kelebihan suara yang dapat didistribusikan kepada kandidat-kandidat yang suaranya tidak mencapai kuota,
maka penyelesaiaanya adalah dengan mengeliminasi atau mengeluarkan partai yang suaranya terkecil untuk ditransfer ke partai yang suaranya lebih besar.
Namun pembagian suara ini diberikan juga kepada kandidat sekelompok preferensi.
Mixed Member Proprotional MMP merupakan formula yang
memberikan kompensasi kursi dari suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Misalnya, jika sebuah partai memperoleh suara 10 secara nasional,
namun ia tidak memperoleh kursi dalam suatu distrik, maka partai tersebut akan memperoleh kompensasi kira-kira sampai 10 kursi di parlemen. Dari tujuh
negara yang menerapkan sistem ini, kecuali Hungaria yang menggunakan Two- Round System, kursi dalam suatu distrik dipilih berdasarkan sistem FPTP. Di
Universitas Sumatera Utara
Italia misalnya, seperempat dari kursi parlemen disediakan untuk suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Sementara itu, di Venezuela, terdapat 102
kursi 50 yang dipilih berdasarkan sistem distrik, 87 kursi dipilih berdasarkan sistem proporsional, dan sisanya 15 kursi proportional yang disediakan sebagai
kompensasi. Berikut disampaikan tabel kelemahan dan kelebihan sistem proporsional.
Tabel 7 Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional
Kelebihan Kelemahan
Sistem ini lebih cocok diterapkan
dalam masyarakat majemuk dan merupakan sistem yang inklusif,
memungkin badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang bersal dari
berbagai macam kekutan politik dalam suatu negara.
Hubungan antara wakil rakyat dengan
pemilih kurang akrab, khususnya dalam daftar tertutup, para pemilih
tidak mempunyai pengaruh dalam menentukan wakilnya sehingga
akuntabilitas para wakil terhadap para pemilihnya kurang..
Suara dari partai-partai kecil dapat
digabung sehingga partai kecil punya peluang untuk memiliki
wakilnya di lembaga legislatif.
Kandidat lebih memiliki hubungan kuat dengan partai daripada pemilih.
Sehingga mendorong munculnya nepotisme dalam partai.
Sistem ini dianggap lebih
representatif, karena dimugkinkan
Sistem ini akan mendorong munculnya multipartai.
Universitas Sumatera Utara
partai-partai kecil memiliki wakil di lembaga perwakilan.
Sistem ini cenderung menghalangi
adanya dominasi regional partai besar.
Sistem ini mendorong timbulnya
konflikperpecahan dalam diri partai politik
Beberapa bukti di negara Eropa,
sistem ini ternyata juga menghasilkan pemerintahan yang
efektif.
Mendorong bertahannya partai-partai ekstrim dan tidak mengakomodasi
kandidat yang independen.
Menciptakan sharing kekuatan
dan kerjasama konkrit antara partai dan pemerintah dan cukup
akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan
menjadi presentase wakil yang dipilih.
Pemerintah yang terpilih kurang
bertanggungjwab dengan karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai
dari kekuasaan. Bahkan partai yang tidak populer dapat bertahan dalam
koalisi pemerintah setelah pemilu.
Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS, 2005.
C. Sistem Semi Proporsional
Sistem Semi Proporsional merupakan formula yang mencoba menjembatani antara sistem plurality-majority dengan proportional representative
dengan cara mengkombinasikan kelebihan sistem PR dengan sistem plurality- majority. Beberapa kalangan menyebut sistem ini sebagai semi plurality. Sistem
Universitas Sumatera Utara
ini pada dasarnya memberikan representasi bagi kelompok-kelompok minoritas dengan prinsip utamanya adalah adanya suara kumulatif, pembatasan suara, dan
single nontransferable vote. Suara kumulatif pada dasarnya mirip dengan prinsip pluaralitas di dalam
suatu distrik dengan banyak kursi atau wakil multimember constituency, dimana masing-masing pemilih mempunyai suara sebanyak kursi yang tersedia kecuali
para para pemilih itu dilarang untuk mengakumulasikan suara mereka. Pembatasan suara pada dasarnya sama dengan multimember plurality, yakni para
pemilih diberi suara lebih kecil dari jumlah kursi yang tersedia di distrik tersebut. Penggunaan sistem campuran ini terutama tampak pada negara-negara yang oleh
Huntington digolongkan dalam negara gelombang demokrasi ketiga. Sistem ini umumnya meliputi:
a. Paralel
b. Single Non Transferable Votes SNTV
Sistem Paralel adalah sistem pemilihan campuran antara sistem daftar proporsional List PR dengan sistem distrik. Sebagian kursi parlemen dipilih
berdasrkan sistem proporsional, dan sisanya dipilih berdasarkan sistem distrik. Caranya, pemilih mempunyai dua kertas suara, satu untuk memilih kandidat
berdasarkan sistem distrik, dan satu kertas suara lagi untuk memilih partai berdasarkan sistem list PR.
Single NonTransferable Vote SNTV adalah bentuk khusus pembatasan suara dimana masing-masing pemilih hanya mempunyai satu suara dalam suatu
distrik yang umumnya tersedia tiga sampai lima wakil. Keuntungan sistem ini adalah partai-partai kecil lebih mungkin atau mudah untuk terpilih. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
pengalaman Jepang yang menggunakan sistem ini dari 1947-1993, salah satu kelemahan dari sistem ini adalah adanya tingkat proposionalitas yang tidak sama
antara distrik pedesaan dengan distrik perkotaan atau biasa disebut unusual eletoral system. Di distrik pedesaan umumnya sangat tinggi tingkat
proporsionalitasnya overrepresented, sebaliknya di distrik perkotaan umumnya rendah tingkat proporsionalitasnya underrepresented.
5.2. Perwakilan Politik
Dalam tulisannya mengenai teori perwakilan politik, Alfred De Grazia mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak,
yaitu wakil dengan yang diwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya
dengan yang diwakili.
13
Perwakilan dalam pengertian bahwa seseorang ataupun sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan
baik yang diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain.
14
Dalam sistem perwakilan politik, seorang warga Negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seseorang calon wakil rakyat atau partai
politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Suatu keputusan dalam demokrasi ialah bagaimana menyelenggarakan pemilihan. Kajian akademis
Perwakilan politik diartikan sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga legislatif.
13
Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hal. 1.
14
Arbi Sanit, Ibid., hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
mengenai demokrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis.
15
Partai politik juga turut ambil bagian di dalam proses perwakilan, dalam merekrut, mencalonkan dan berkampanye untuk memilih pejabat pemerintah, menyusun
program kebijakan untuk pemerintah jika mereka menjadi mayoritas; menawarkan kritik dan kebijakan alternatif jika mereka menjadi oposisi; menggalang dukungan
Demokrasi minimalis atau dalam wacana Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi prosedural dikenakan kepada sistem-sistem politik yang melaksanakan
perubahan kepemimpinan secara regular melalui suatu mekanisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka, dan melibatkan masa pemilih yang universal. Bagi
konsepsi maksimalis pelaksanaan pemilihan umum saja tidaklah cukup bagi suatu sistem politik untuk mendapatkan gelar demokrasi, karena konsepsi ini yang di
Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi substantif mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah
pluralisme yang mendasar. Secara konsepsional, perwakilan politik berawal dari pemilihan umum.
Artinya, pemilihan umum yang diadakan merupakan proses seleksi pemimpin akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik dikalangan masyarakat luas. Dan
untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan warga Negara maka dibentuk badan perwakilan rakyat yang berfungsi; membuat undang-undang, menyusun anggaran
penerimaan dan belanja Negara, mengawasi pelaksanaan undang-undang dan penerimaan serta penggunaan anggaran Negara.
15
Muladi, dkk. edt. “Pemilu dan Demokrasi”, dalam Jurnal Demokrasi dan Ham, Pemilu 2004: Semakin Terkonsolidasikah Demokrasi Kita, Vol. 4, No. 1, THC, Surabaya, 2004, hal. Editor.
Universitas Sumatera Utara
bagi kebijakan umum diantara berbagai kelompok kepentingan; menyediakan struktur dan aturan debat politik masyarakat.
Pemilihan umum merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dari lembaga perwakilan dan partai politik. Pemilu sebagai salah satu cara pelaksanaan
demokrasi, sebagaimana pada zaman modern ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu Negara pun yang melaksanakan demokrasinya secara langsung. Hal ini
disebabkan karena terlalu luasnya wilayah dan begitu besarnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, adapun demokrasi yang digunakan adalah demokrasi perwakilan,
dimana hak-hak rakyat untuk dapat ikut dalam menentukan haluan Negara dilakukan oleh sebagian kecil dari seluruh rakyat menempati lembaga perwakilan
yang disebut parlemen, yang dipilih melalui proses pemilihan umum.
5.3. Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili
Duduknya seseorang di lembaga Perwakilan, baik itu karena pengangkatan maupun melalui pemilihan umum, senantiasa berakibat timbulnya hubungan si
wakil dengan yang diwakili, hubungan tersebut dapat dilihat melalui teori yang dikemukakan oleh Prof. Hoogerwerf dan Gilbert Abcarian, Menurutnya ada 4 tipe
mengenai hubungan antara si wakil dengan yang diwakili yaitu:
16
1. Si Wakil bertindak sebagai wali Trustee. Disini si wakil bebas bertindak
atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.
2. Si Wakil bertindak sebagai utusan Delegate. Disini si wakilbertindak
sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu mengikuti
16
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilu di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1987, hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya.
3. Si Wakil bertindak sebagai Politico. Disini si wakil kadang-kadang
bertindak sebagai wali Trustee dan ada kalanya bertindak sebagai utusan Delegate. Tindakannya tergantung dari issue materi yang dibahas.
4. Si Wakil bertindak sebagai Partisan. Disini si wakil bertindak sesuai
dengan keinginan atau program dari partai organisasi si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya yang diwakilinya maka lepaslah
hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulailah hubungannya dengan partai organisasi yang mencalonkannya dalam pemilu tersebut.
5.4. Korelasi Sistem Pemilu dengan Hubungan Wakil dengan Yang diwakili.
Dalam teori politik ada beberapa macam sistem pemilu. Tetapi umumnya berkisar pada prinsip pokok antara sistem distrik dan sistem proporsional
17
Dalam sistem distrik, wakil yang terpilih berasal dari daerahnya sehingga ada kedekatan secara emosional dengan rakyat pemilih. Pemilih juga langsung
memilih wakil, bukan tanda gambar partai. Hal itu merupakan dasar berlangsungnya komunikasi politik secara lebih intensif. Namun sistem ini bukan
. Sistem distrik memilih satu wakil dalam satu daerah pemilihan. Sedangkan sistem
proporsional memilih beberapa wakil dalam satu daerah pemilihan. Menentukan sistem pemilu ini berkaitan dengan bagaimana mencari model hubungan wakil
dengan yang diwakili sehingga hubungan tersebut dapat berjalan lebih baik.
17
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1999, hal. 243.
Universitas Sumatera Utara
tidak mengandung kelemahan. Justru para ahli banyak mengkritik sistem ini karena menghasilkan banyaknya suara yang terbuang dari suara pendukung yang
kalah, meski kemenangan calon yang unggul persentase suaranya tidak lebih dari 50 persen. Kelemahan ini dapat dihindari dalam sistem proporsional karena
proporsi jumlah perolehan suara secara nasional sama dengan jumlah kursi yang diperoleh dalam lembaga perwakilan. Dengan sistem ini pula heterogenitas
masyarakat dapat lebih dihargai. Sistem proporsional ini juga memiliki banyak macam dalam cara pencoblosannya. Ada sistem proporsional daftar mengikat
dimana pemilih hanya memilih tanda gambar parpol, bukan nama atau gambar wakil. Sistem ini digunakan dalam pemilu di Indonesia pasca pemilu 1955 hingga
pemilu 1997. Sistem lainnya adalah proporsional daftar bebas dimana pemilih memilih tanda gambar calon. Ini telah dilakukan pada pemilu di Indonesia tahun
1955. Pemilihan anggota dewan tahun 2004 lalu juga menggunakan model ini meski masih setengah terbuka.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara rakyat dengan wakil dalam sistem proporsional seringkali dianggap lemah karena tidak mewakili daerah
pemilihan. Sistem proporsional daftar bebas sebenarnya telah memungkinkan rakyat melakukan pemilihan langsung pada calon. Hal ini sudah merupakan modal
awal kedekatan emosional pemilih dengan wakil. Setidaknya dapat dipertanggung jawabkan bahwa wakil yang terpilih benar-benar hasil pilihan rakyat, bukan hasil
lobi-lobi politik dalam partai atau antar partai politik. Beberapa model sistem pemilu itu telah memberikan gambaran bagaimana
hubungan rakyat dengan wakilnya. Sungguhpun demikian, membangun hubungan yang intens antara rakyat dengan wakil tidak hanya berlangsung saat pemilu atau
Universitas Sumatera Utara
masa kampanye. Komunikasi adalah proses politik yang terus berlangsung selama sebuah Negara masih tetap ada. Maka, lebih mudahnya melihat bagaimana proses
komunikasi itu berlangsung adalah dari hasil kerja yang telah dilakukan oleh para wakil rakyat. Hubungan rakyat dengan parpol sebatas dalam kerangka
kepentingan partai sesuai dengan program yang diajukannya. Tetapi hubungan antara rakyat dengan wakil di lembaga legislatif merupakan hubungan
kepentingan yang lebih luas menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
6. Hipotesis