Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotika Pada Bedah Apendik Di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe Pada Tahun 2011

(1)

ANA

ALISIS E

ANTIBI

DI RU

CU

PROGR

UN

EFEKTI

IOTIKA

UMAH S

T MEUT

PAD

F

N

RAM EKS

FAK

NIVERSIT

IVITAS

A PADA

SAKIT U

TIA LH

DA TAH

SKRIP

OLEH

FITRI YA

NIM 1015

STENSI S

KULTAS F

TAS SUM

MEDA

2012

BIAYA

BEDAH

UMUM

OKSEU

HUN 201

PSI

H:

ANTI

524035

SARJANA

FARMAS

MATERA

AN

2

PENGG

H APEN

DAERA

UMAWE

1

A FARM

SI

UTARA

GUNAAN

NDIK

AH

E

MASI

N


(2)

ANA

Dia

ALISIS E

ANTIBI

DI RU

CU

ajukan untu gelar

PROGR

UN

EFEKTI

IOTIKA

UMAH S

T MEUT

PAD

uk melengk r Sarjana F Unive

F

RAM EKS

FAK

NIVERSIT

IVITAS

A PADA

SAKIT U

TIA LH

DA TAH

SKRIP

kapi salah s Farmasi pa ersitas Sum

OLEH

FITRI YA

101524

STENSI S

KULTAS F

TAS SUM

MEDA

2012

BIAYA

BEDAH

UMUM

OKSEU

HUN 201

PSI

satu syarat ada Fakulta matera Utar

H:

ANTI

035

SARJANA

FARMAS

MATERA

AN

2

PENGG

H APEN

DAERA

UMAWE

1

t untuk me as Farmasi ra

A FARM

SI

UTARA

GUNAAN

NDIK

AH

E

emperoleh i

MASI

N


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN

ANTIBIOTIKA PADA BEDAH APENDIK

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

PADA TAHUN 2011

OLEH:

FITRI YANTI NIM 101524035

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 4 Juli 2012

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Drs. David Sinurat, M.Si., Apt. Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 194912281978031002 NIP 195111021977102001

Pembimbing II, Drs. David Sinurat, M.Si., Apt.

NIP 194912281978031002

Drs. Wiryanto, M.S., Apt. Drs. Ismail, M.Si., Apt. NIP 195110251980021001 NIP 19506141980031001

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 195208241983031001

Medan, 4 Juli 2012 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotika Pada Bedah Apendik Di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe Pada Tahun 2011”. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Drs. David Sinurat, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Wiryanto, M.S., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta terutama Ayahanda H. Saifullah Alatif, Ibunda Hj. Zainabon serta kakak, abang dan adik yang telah mendoakan dan sabar serta setia memberikan dukungan doa, semangat dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun. ibu Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian. Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku Ketua penguji dan Bapak Drs. Ismail, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Saiful Bahri, M.Si., Apt., selaku


(5)

Anggota Penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini. Teman-teman mahasiswa/i Farmasi khususnya Ekstensi Farmasi 2010 yang selalu mendoakan dan memberi semangat, serta teman-teman yang lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.

Medan, 4 Juli 2012

Penulis


(6)

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA BEDAH APENDIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE PADA TAHUN 2011

ABSTRAK

Bedah apendik merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering dilakukan, apendisitis terjadi pada setiap usia namun paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Apendisitis adalah peradangan apendik yang mengenai semua lapisan apendik. Patogenesis utamanya disebabkan oleh penyumbatan apendik oleh pembesaran kelenjar limfoid, fekalit (feses keras yang disebabkan oleh kekurangan serat) dan benda asing seperti bji-bijian. Penyumbatan tersebut menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Pilihan antibiotika pada kasus bedah apendik sangat bervariasi, oleh karena itu diperlukan pertimbangan dari segi efektivitas biaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui antibiotika mana yang efektivitas biayanya lebih baik pada kasus bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dan mengetahui total biaya langsung medis yang dibutuhkan selama pasien menjalani perawatan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu dan menggunakan data yang lalu. Bahan dan sumber data diperoleh dari rekam medik, resep, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) dan informasi dari bagian pelayanan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Data diambil dari 42 pasien yang menjalani bedah apendik dengan menggunakan 11 golongan penggunaan antibiotika.

Berdasarkan perhitungan Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) diperoleh bahwa efektivitas biaya penggunaan antibiotika pada bedah apendik yang lebih baik adalah cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral Rp 80.450,00,- dengan rata-rata waktu kering luka operasi hari ke-3 dan rata-rata hari rawat inap 5,6 hari. Total biaya langsung medis yang efektivitasnya lebih baik adalah Rp 3.908.802,30,-. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral yang paling baik Cost Effectiveness.


(7)

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS THE USE OF ANTIBIOTIC FOR APPENDIC SURGERY AT RSUD

CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE ON THE YEAR 2011

ABSTRACT

Appendic surgery is a major surgery disease that most often done, appendicitis occur at any age but most commonly occurs in adolescence and young adulthood. Appendicitis is an inflammation on every layers of the appendic. Pathogenesis mainly caused by obstruction by bubonic, fekalit (hard feaces caused by lack fiber) and foreign body as cereals. The obstruction become media for bacteria growth. Choice of antibiotics in surgical cases the appendix is very variable, therefore required in terms of cost-effectiveness considerations. The objective of this research was to determine find out which one is better on the cost effectiveness of surgery cases of appendic at RSUD Cut Meutia Lhokseumawe and the total direct medical cost required for patients undergoing

antibiotic treatment

Cross-sectional and retrospective are used in this research. The research was done by way of approach, observation, collection data at once at a time and used past data. The data was taken from medical records, prescriptions, Ceiling Price List Drugs (DPHO) and information from the ministry's Health Insurance Acheh’s (JKA). Data was taken from 42 patients has gone through. Appendic surgery was used 11 group of antibiotic.

Based on the calculation of Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) found that the cost-effectiveness of antibiotic use in surgical appendix is better cefotaxim injection and oral cefadroksil Rp 80,450 with an average time of the wound dry of surgery in the third days and 5.6 days average of hospitalization. The total direct medical cost are the better on the cost effectiveness Rp 3,908,302. The result was concluded that used of cefotaxim injection and oral cefadroksil are the better on the cost effectiveness.

Keywords: Cost Effectiveness Analysis, Antibiotic, Appendic Surgery

           


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DARTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan ... 5

1.6 Manfaat ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Anatomi dan Histologi Apendik ... 7

2.1.1 Fisiologi Apendik ... 8

2.1.2 Apendisitis ... 8


(9)

2.1.4 Patofisiologi ... 9

2.1.5 Manifestasi klinis ... 11

2.1.6 Pemeriksaan ... 13

2.1.7 Komplikasi ... 14

2.2 Antibiotika ... 14

2.2.1 Defenisi Antibiotika ... 14

2.2.2 Klasifikasi Antibiotika ... 15

2.3 Farmakoekonomi ... 19

2.3.1 Pengertian Farmakoekonomi ... 19

2.3.2 Manfaat Farmakoekonomi ... 19

2.3.3 Metode Farmakoekonomi ... 20

2.4 Biaya Pelayanan Kesehatan ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 26

3.1.2 Waktu Penelitian ... 26

3.2 Sampel ... 27

3.3 Pengumpulan Data ... 27

3.4 Pengolahan Data ... 28

3.5 Analisis Data ... 28

3.6 Defenisi Operasional ... 28

3.7 Langkah-Langkah Penelitian ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30


(10)

4.2 Efektivitas Pengobatan ... 32

4.3 Biaya Langsung Medis ... 36

4.3.1 Biaya Langsung Medis Pada Bedah Apendik ... 36

4.4 Efektivitas Biaya ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Metode farmakoekonomi ... 21 Tabel 4.1 Karakteristik pasien pada bedah apendik

berdasarkan usia ... 30 Tabel 4.2 Jenis penggunaan antibiotika pada bedah apendik

di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 32 Tabel 4.3 Efektivitas pengobatan pada bedah apendik berdasarkan

rata-rata lama waktu kering luka operasi dan rata- rata lama hari rawat inap di RSUD Cut Meutia

Lhokseumawe .. ... 36 Tabel 4.4 Hasil perhitungan biaya obat pada bedah apendik

Di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 37 Tabel 4.5 Hasil perhitungan biaya kelas perawatan pada bedah

apendik di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 39 Tabel 4.6 Hasil perhitungan biaya laboratorium pada bedah apendik

di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 40 Tabel 4.7 Hasil perhitungan biaya tindakan medis pada bedah

apendik di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 41 Tabel 4.8 Total biaya langsung medis pada bedah apendik di

RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 42 Tabel 4.9 Perbandingan efektivitas biaya bedah apendik

di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe ... 43


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel

Terikat ... 4 Gambar 2.1 Lokasi apendik ... 7


(13)

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA BEDAH APENDIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE PADA TAHUN 2011

ABSTRAK

Bedah apendik merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering dilakukan, apendisitis terjadi pada setiap usia namun paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Apendisitis adalah peradangan apendik yang mengenai semua lapisan apendik. Patogenesis utamanya disebabkan oleh penyumbatan apendik oleh pembesaran kelenjar limfoid, fekalit (feses keras yang disebabkan oleh kekurangan serat) dan benda asing seperti bji-bijian. Penyumbatan tersebut menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Pilihan antibiotika pada kasus bedah apendik sangat bervariasi, oleh karena itu diperlukan pertimbangan dari segi efektivitas biaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui antibiotika mana yang efektivitas biayanya lebih baik pada kasus bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dan mengetahui total biaya langsung medis yang dibutuhkan selama pasien menjalani perawatan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu dan menggunakan data yang lalu. Bahan dan sumber data diperoleh dari rekam medik, resep, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) dan informasi dari bagian pelayanan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Data diambil dari 42 pasien yang menjalani bedah apendik dengan menggunakan 11 golongan penggunaan antibiotika.

Berdasarkan perhitungan Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) diperoleh bahwa efektivitas biaya penggunaan antibiotika pada bedah apendik yang lebih baik adalah cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral Rp 80.450,00,- dengan rata-rata waktu kering luka operasi hari ke-3 dan rata-rata hari rawat inap 5,6 hari. Total biaya langsung medis yang efektivitasnya lebih baik adalah Rp 3.908.802,30,-. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral yang paling baik Cost Effectiveness.


(14)

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS THE USE OF ANTIBIOTIC FOR APPENDIC SURGERY AT RSUD

CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE ON THE YEAR 2011

ABSTRACT

Appendic surgery is a major surgery disease that most often done, appendicitis occur at any age but most commonly occurs in adolescence and young adulthood. Appendicitis is an inflammation on every layers of the appendic. Pathogenesis mainly caused by obstruction by bubonic, fekalit (hard feaces caused by lack fiber) and foreign body as cereals. The obstruction become media for bacteria growth. Choice of antibiotics in surgical cases the appendix is very variable, therefore required in terms of cost-effectiveness considerations. The objective of this research was to determine find out which one is better on the cost effectiveness of surgery cases of appendic at RSUD Cut Meutia Lhokseumawe and the total direct medical cost required for patients undergoing

antibiotic treatment

Cross-sectional and retrospective are used in this research. The research was done by way of approach, observation, collection data at once at a time and used past data. The data was taken from medical records, prescriptions, Ceiling Price List Drugs (DPHO) and information from the ministry's Health Insurance Acheh’s (JKA). Data was taken from 42 patients has gone through. Appendic surgery was used 11 group of antibiotic.

Based on the calculation of Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) found that the cost-effectiveness of antibiotic use in surgical appendix is better cefotaxim injection and oral cefadroksil Rp 80,450 with an average time of the wound dry of surgery in the third days and 5.6 days average of hospitalization. The total direct medical cost are the better on the cost effectiveness Rp 3,908,302. The result was concluded that used of cefotaxim injection and oral cefadroksil are the better on the cost effectiveness.

Keywords: Cost Effectiveness Analysis, Antibiotic, Appendic Surgery

           


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika diperoleh secara alami dan sintesis yang memiliki khasiat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas setinggi mungkin (Anonim1, 2010).

Apendik adalah ujung seperti jari kecil yang panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di dalam katup ileosekal. Apendik berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum, karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, apendik cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi yang disebut apendisitis. Apendisitis penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, yang menyebabkan bedah abdomen darurat, kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu bersamaan dalam hidup mereka, pria lebih sering terkena apendisitis dari pada wanita dan remaja lebih sering dari orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling sering terjadi pada usia 10 dan 30 tahun (Smeltzer dan Brenda, 2001).

Pada penelitian multietnik yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2007, dihasilkan data 4 dari 10.000 anak usia di bawah 14 tahun menderita apendisitis dan lebih dari 80.000 kasus apendisitis terjadi di Amerika Serikat dalam setahun. WHO memperkirakan insiden apendisitis tahun 2007 mecapai 7%


(16)

dari keseluruhan jumlah penduduk dunia. Hasil survei pada tahun 2008 angka kejadian apendisitis di sebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, pasien yang menderita penyakit apendisitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insiden apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya. Jumlah kasus apendisitis di Jawa Tengah tahun 2009 dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyebabkan kematian. Jumlah penderita apendisitis tertinggi ada di Kota Semarang, yakni 970 orang. Hal ini terkait dengan konsumsi serat yang kurang pada masyarakat modern (Taufik, 2011).

Bermacam-macam penyakit infeksi yang menyerang tubuh seperti apendisitis, kolesistitis, empiema dan gas gangren hanya disembuhkan sempurna dengan tindakan pembedahan. Ironis sekali, tindakan pembedahan yang dilakukan untuk maksud menyembuhkan penyakit infeksi ini ternyata dapat mengundang infeksi baru lagi terutama pada luka operasinya. Pada tahun 1899, Kohler melaporkan angka infeksi pada pembedahan dapat ditekan dengan ditemukan sediaan antimikroba seperti protonsil (sulfa) dan penisilin diharapkan bahwa infeksi yang senantiasa mengancam ini dapat diatasi sepenuhnya (Nasution dan Ronald, 1988).

Obat merupakan bagian penting dari pelayanan kesehatan terutama dalam rangka upaya peningkatan status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu dalam memilih obat untuk pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat rentan harus


(17)

dipikirkan penggunaan yang tepat; yaitu tepat jenis, jumlah dan kualitas. Disamping itu perlu dipertimbangkan perhitungan biaya sehingga terjangkau oleh masyarakat (Budiharto dan Soewarta, 2008).

Analisis cost effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/pengambil keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).

Hasil akhir perhitungan cost effectiveness dapat juga berupa cost effectiveness average ratio (CEA ratio) yaitu rasio antara perkiraan biaya program/kegiatan tertentu dengan jumlah efek atau hasil (out put). Jadi, keputusan akhir dalam memilih antara alternatif kegiatan adalah dengan membandingkan cost effectiveness average ratio (CEA ratio) dari tiap-tiap kegiatan (Phillips,

2009).

Penggunaan antibiotika yang tidak tepat akan meningkatkan pengeluaran biaya baik bagi pasien maupun bagi rumah sakit sendiri dan pemerintah. Hal ini memicu perlunya gambaran cost effectiveness pada pengobatan bedah apendik. Harga antibiotika termasuk mahal dibandingkan obat yang lain, jika pemberian dan penggunaan antibiotika tidak tepat malah akan memperparah dan memperlama kesembuhan pasien, sehingga memperbesar biaya rawatan pasien. Dari data dan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul


(18)

penelitian analisis efektivitas biaya penggunaan antibotika pada bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe.

1.2Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang efektivitas biaya penggunaan antibiotika pada bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe. Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 1.1. Skema yang menggambarkan kerangka pikir penelitian.

Variabel bebas adalah yang mempengaruhi variabel terikat. Pada penelitian ini variabel bebas adalah:

a. Jumlah total biaya langsung medis berupa biaya kelas perawatan (pasien yang menggunakan Jaminan Kesehatan Aceh dan dirawat di ruang bedah kelas III), biaya laboratorium (pemeriksaan urin dan darah rutin), biaya tindakan medis (pemeriksaan IGD, apendiktomi, pasang kateter, ganti verban dan skin test) dan biaya obat (termasuk biaya antibiotika)

b. Lama hari rawat inap c. Waktu kering luka operasi.

Variabel terikat adalah yang dipengaruhi oleh variabel bebas dan akan berubah karena variabel bebas (Saryono, 2008). Dalam hal ini variabel terikat adalah efektivitas biaya.

Efektivitas biaya Waktu kering luka operasi

Lama hari rawat inap

Jumlah total biaya langsung medis


(19)

1.3Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah penelitian adalah: apakah ada perbedaan efektivitas biaya diantara pasien pengguna antibiotika yang menjalani bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumaewe.

1.4Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

ada perbedaan efektivitas biaya diantara pasien pengguna antibiotika yang menjalani bedah apendik.

1.5Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dan menentukan jenis antibiotika mana yang mempunyai efektivitas biaya yang lebih baik.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui antibiotika mana yang efektivitas biayanya lebih baik pada bedah apendik

b. Mengetahui biaya antibiotika yang efektivitasnya lebih baik pada bedah apendik

c. Mengetahui total biaya langsung medis yang efektivitasnya lebih baik pada bedah apendik yang dibutuhkan selama pasien menjalani perawatan.


(20)

1.6Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah memberikan berbagai alternatif pilihan antibiotika dengan efektivitas biaya yang lebih baik pada bedah apendik.


(21)

2.1. Anato

Ap diameter apendik s kerucut, d Hal ini me tersebut (S Se menyebab menggantu sekum, di apendik d Wim, 200

Gambar 2

omi dan Hi

pendik mer 0,5-1 cm d sempit dan di mana bag

erupakan sa Sjamsuhiday kitar 65% bkan apendi ungnya. Ap i belakang dapat mene 4). Lokasi a

2.1. Lokasi

TIN

istologi Ap

upakan org dan berpan melebar d gian pangka

alah satu fa yat dan Wim % apendik

ik dapat ber pendik juga kolon asen entukan ma apendik dap apendik. BAB I NJAUAN P endik gan berbent ngkal di se di bagian d al melebar d aktor insiden m, 2004). terletak rgerak sesu dapat terlet ndens, atau anifestasi k pat dilihat p

II PUSTAKA tuk tabung, ekum. Pada distal. Pada dan semakin nsi apendis di intrape uai dengan

tak di retrop di tepi late klinis apend ada Gamba

, panjang s a bagian pr a bayi, ape n menyemp

itis yang re

eritoneal. panjang me peritoneal, y eral kolon disitis (Sja ar 2.1. sekitar 3-15 roksimal, l endik berb pit ke arah u

endah pada

Kedudukan esoapendik yaitu di bela asendens. L amsuhidayat 5 cm, umen entuk ujung. umur n ini yang akang Letak t dan


(22)

Apendik tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendik, kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

2.1.1 Fisiologi Apendik

Apendik menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir di muara apendik berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendik, ialah imunoglobulin A (IgA). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendik tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah jaringan limfe yang terdapat di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendik sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlah jaringan limfe meningkat selama pubertas, menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Jumlah folikel limfoid mencapai puncaknya yaitu antara usia 12-20 tahun. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendik dan terjadi penghancuran lumen apendik komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior. Apendik bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2000).

2.1.2 Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan dari apendik dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000).


(23)

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan termasuk ke dalam bedah abdomen yang sering terjadi (Smeltzer dan Brenda, 2001).

2.1.3 Etiologi

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendik. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendik, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendik oleh parasit E. histolytica (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendik dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

2.1.4 Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendik oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit dan benda asing seperti biji-bijian (Mansjoer


(24)

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendik yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. Semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendik terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendik normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2000).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendik mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendik (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendik) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendik yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendik hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendik tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis


(25)

yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendik dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui penutupan apendik dengan omentum dan usus halus. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendik lebih panjang, dinding apendik lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).

2.1.5 Manifestasi klinis

Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan abdomen yang menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri beralih ke kuadran kanan, menetap dan diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak apendik yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri


(26)

somatik setempat. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Bila letak apendik retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Apendik yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendik tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).

Manifestasi klinis apendisitis akut (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004): a.tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau disertai mual dan anoreksi

b.nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney nyeri tekan dan nyeri lepas


(27)

c. nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

d.nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)

e.nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk dan mengedan

2.1.6. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Fisik meliputi (Anonim2, 2011):

1. Dengan pengamatan: akan tampak adanya pembengkakan rongga perut dimana perut tampak mengencang (distensi).

2. Perabaan: di daerah perut kanan bawah, sering kali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg Sign), ini merupakan kunci utama diagnosis apendisitis.

3. Dengan tindakan: tungkai kanan dan paha ditekuk kuat atau tungkai diangkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah.

4. Pada pemeriksaan tusuk dubur dan vagina menimbulkan rasa nyeri. 5. Suhu dubur (rectal) lebih tinggi dari pada suhu ketiak (axilla). b. Pemeriksaan Penunjang

1. CT scan pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin 2. Ultrasonografi untuk masa apendik dan jika masih ada keraguan untuk

menyingkirkan kelainan ovarium sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda

3. Foto polos perut: akan tampak adanya fekalit (Grace dan Borley, 2007).

c. Pemeriksaan Laboratorium


(28)

putih (Leukosit ) ± 10.000 – 18.000/mm³. Jika terjadi peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendik sudah mengalami perforasi (Anonim2, 2011).

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi apendisitis ialah keadaan yang terjadi akibat perforasi, seperti peritonitis generilisata, abses dan pembentukan fistula, pielofeblitis supuratif (radang dan thrombosis vena porta) dan abses hepar dan septikemia (Underwood, J.C.E, 1999).

2.2 Antibiotika

2.2.1 Defenisi Antibiotika

Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh organisme hidup atau diperoleh melalui sintesis, yang manifestasi aktivitasnya terjadi pada dosis yang sangat rendah secara spesifik melalui inhibisi proses vital tertentu pada mikroorganisme ataupun berbagai organisme bersel majemuk (Wattimena, dkk., 1991).

Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), Pada awalnya antibiotika diisolasi dari mikroorganisme, tetapi sekarang beberapa antibiotika telah didapatkan dari tanaman tinggi atau binatang. Antibiotika berasal dari sumber-sumber berikut, yaitu Actinomycetales (58,2 %), jamur (18,1 %), tanaman tinggi (12,1 %), Eubacteriales terutama Bacilli (7,7 %), binatang (1,8 %), pseudomonales (1,2 %) dan ganggang atau lumut (0,9 %).

Penggunaan antibiotika didasarkan pada (Sanjoyo, 2008): a. Penyebab infeksi

Proses pemberian antibiotika yang paling baik adalah dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun pada kenyataannya,


(29)

proses tersebut tidak dapat berjalan karena tidak mungkin melakukan pemeriksaan kepada setiap pasien yang datang karena infeksi, dan karena infeksi yang berat perlu penanganan segera maka pengambilan sampel bahan biologik untuk pengembangbiakan dan pemeriksaan kepekaan kuman dapat dilakukan setelah dilakukannya pengobatan terhadap pasien yang bersangkutan.

b. Faktor pasien

Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotika adalah fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui dan lain-lain.

2.2.2 Klasifikasi Antibiotika

Antibiotika dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya dalam zat-zat bakterisid atau bakteriostatis. Penggolongan tersebut adalah (Tjay dan Rahardja, 2002):

a. Zat-zat bakterisid adalah zat yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Contohnya penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, polimiksin B, kolistin, vankomisin, basitrasin, sikloserin, heksamin dan rifampisin.

b. Zat-zat bakteriostatis adalah zat yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya harus dilakukan oleh sistem tangkis tubuh sendiri dengan jalan fagositosis (dimakan oleh limfosit) contohnya adalah sulfonamid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, linkomisin, PAS dan asam fusidat.

Penggolongan lain juga sering digunakan adalah berdasarkan spektrum aktivitasnya (Siswandono dan Soekardjo 1995):


(30)

a. Antibiotika broad-spektrum (aktivitas luas) efektif terhadap kuman gram positif dan kuman gram negatif. Antara lain turunan tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, beberapa turunan penisilin seperti ampisilin, amoksisilin, karbenisilin dan sebagian besar turunan sefalosporin.

b. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Gram positif. Misalnya penisilin G, penisilin V, eritromisin (lebih peka terhadap gram positif dan larut dalam suasana basa), klindamisin, kanamisin dan asam fusidat

c. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Gram negatif. contohnya streptomisin, gentamisin, polimiksin B dan asam nalidiksat

d. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (antituberkulosis). Contoh : streptomisin, kanamisin, rifampisin, sikloserin dan viomisin

e. Antibiotika yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh: griseofulvin dan antibiotika polien seperti nistatin,amfoterisin B dan kandisidin.

Berdasarkan perbedaan morfologi dan fungsi biokimia sel-sel mikroba dan sel-sel host, pada prinsipnya ditemukan lima jenis aktivitas yang dapat dihalang oleh antibiotika. Penggolongan berdasarkan mekanisme tindakan ini adalah lebih mudah dimengerti dan sesuai menjadi pedoman untuk memahami tindakan (action) serta efektivitas antibiotika dan agen-agen kemoterapi. Berdasarkan sasaran tindakan antibiotika terhadap mikroba, maka antibiotika dapat digolongkan ke dalam lima golongan yaitu (Setiabudy dan Vincent, 1995):

a. Antibiotika penghambat sintesis dinding sel b. Antibiotika penghambat sintesis protein ribosom c. Antibiotika penghambat sintesis asam nukleat


(31)

d. Antibiotika pengganggu fungsi membran sel

e. Antibiotika penghambat metabolisme energi mikroba (antimetabolit)

Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel, diikuti berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh pensilin serta sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan dinding sel akan pecah atau lisis (Setiabudy dan Vincent, 1995).

Obat yang termasuk dalam kelompok menghambat sintesis protein mikroba adalah aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, pada bakteri ribosom terdiri dari dua sub unit yaitu ribosom 30S dan 50S (Setiabudy dan Vincent, 1995). Untuk berfungsi pada sintesis protein kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S. Streptomisin mengikatkan diri pada komponen ribosom 30S menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA sehingga dalam rekayasa ini terbentuk protein abnormal dan tak berfungsi bagi sel mikroba, gentamisin, kanamisin dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama. Tetrasiklin mengikatkan diri pada ribosom 30S dan menghalanginya masuknya kompleks tRNA-asam amino pada lokasi asam amino. Sedangkan


(32)

kloramfenikol mengikatkan diri pada ribosom 50S menghambat pengikatan asam amino oleh enzim peptidil transferase (Nasution dan Ronald, 1988).

Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba, yang termasuk dalam kelompok ini ialah rifampisin dan golongan kuinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang berfungsi menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga muat dalam sel kuman yang kecil (Nasution dan Ronald, 1988).

Antibiotika yang menggangu keutuhan membran sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin. Antibiotika seperti polimiksin mengandung 5 buah gugus NH2 bebas dalam molekulnya sehingga bersifat basa.

Polimiksin ini akan merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri gram positif karena kadar fosfor bakteri ini sangat rendah sedangkan pada bakteri gram negatif yang telah resisten terhadap antibiotika ini terhadap antibiotika ini ternyata telah mempunyai kadar fosfor yang rendah pula pada membran selnya (Nasution dan Ronald, 1988).

Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba. Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid, trimetropin, asam p-amino salisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila solfonamid atau sulfon menang bersaing dengan PABA maka terbentuklah analog asam folat yang non


(33)

fungsional. Akibatnya kehidupan mikroba akan terganggu. Untuk dapat bekerja dihidrofolat harus diubah menjadi asam tetrahidrofolat, Enzim dihidrofolat reduktase yang berperan di sini dihambat oleh trimetropim (Setiabudy dan Vincent, 1995).

2.3Farmakoekonomi

2.3.1 Pengertian Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan. Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan menganalisis biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik sebagai penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, risiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi adalah memperkirakan harga dari suatu produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang (Vogenberg, 2001).

2.3.2 Manfaat Farmakoekonomi

Tujuan dari farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama dan membandingkan pengobatan (treatment) yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Adapun prinsip farmakoekonomi adalah:

a. menetapkan masalah


(34)

c. menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat

d. mengidentifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi e. menilai biaya dan efektivitas

f. menginterprestasi dan pengambilan keputusan.

Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya terbatas, misalnya pada rumah sakit pemerintah dengan dana terbatas, sehingga sangat penting bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien (Vogenberg, 2001). Hasil analisis farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi pada saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan digunaka (Trisna, 2010).

2.3.3 Metode Farmakoekonomi

Ada lima jenis metode farmakoekonomi yang telah dikenal, yaitu: a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) c. Cost-Benefit Analysis (CBA) d. Cost-Utility Analysis (CUA) dan e. Cost of Illness (COI) .

Lima jenis metode farmakoekonomi yang telah dikenal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1


(35)

Tabel 2.1 Metode farmakoekonomi

No Metode Satuan Unit Satuan Hasil

1. Cost-Minimization Analysis (CMA) Mata Uang Hasil yang sama 2. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) Mata Uang Natural unit 3. Cost-Benefit Analysis (CBA) Mata Uang Mata uang 4. Cost-Utility Analysis (CUA) Mata Uang Kualitas hidup 5. Cost of Illness (COI) Mata Uang -

Sumber: Sanchez, L.A. (1994). Pharmacoeconomics: Principles, Methods, and Aplication. Hal. 5

a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

Cost-Minimization Analysis (CMA) adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997). Misalnya, terapi dengan menggunakan antibiotika generik dan antibiotika bermerek. Outcome klinik (efikasi dan efek samping sama) maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).

Pada pola ini perlu studi epidemiologis sebelumnya, yang mungkin menunjukkan bahwa dua intervensi atau lebih terhadap suatu kegiatan menghasilkan suatu luaran (output) yang sama (Fatma, 2009).

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

Cost-Effectiveness Analysis (CEA) adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, yang berpengaruh terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis CEA merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted


(36)

unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 1994).

Ketika menganalisis suatu penyakit, Analisis Cost-Effectiveness didasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Aplikasi Analisis Cost-Effectiveness, misalnya dua obat atau lebih digunakan untuk mengobati suatu indikasi yang sama tapi cost dan efikasi berbeda. Analisis Cost-Effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 1994). c. Cost-Benefit Analysis (CBA)

Cost-Benefit Analysis (CBA) merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan ukutan moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Contoh, membandingkan program penggunaan vaksin dengan program perawatan suatu penyakit. Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program perawatan penyakit dilakukan. Semakin tinggi benefit cost, maka program makin menguntungkan (Trisna 2010). Oleh karena Cost-Benefit Analysis (CBA) membantu untuk menentukan apakah sesuatu itu harus dilakukan, maka ada dua hal penting yang menjadi dasar CBA (Fatma, 2009) yaitu:

i. hanya mengerjakan sesuatu yang mempunyai manfaat lebih besar dari biayanya.


(37)

ii. jangan memilih mengerjakan sesuatu yang manfaatnya lebih kecil dari biayanya. Kedua hal ini diukur dalam uang.

d. Cost-Utility Analysis (CUA)

Disebut juga Analisis Biaya Kegunaan. Penetapan output dalam bentuk outcome, yaitu berupa peningkatan kualitas hidup. Seperti CEA, Cost-Utility Analysis (CUA) membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam CUA, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Dalam kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs. Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup, kekurangannya bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

e. Cost of Illness (COI)

COI mengidentifikasi dan memperkirakan biaya keseluruhan penyakit tertentu dalam suatu populasi. Metode evaluasi ini sering disebut sebagai beban penyakit. Dengan berhasil mengidentifikasi biaya langsung dan biaya tidak langsung dari suatu penyakit maka dapat ditentukan nilai relatif dari pengobatan atau strategi pencegahannya. Misalnya dengan menentukan biaya penyakit tertentu kepada masyarakat, biaya dari pencegahan dapat dikurangkan dari biaya yang harus dikeluarkan apabila sakit untuk menghasilkan keuntungan apabila dilakukan strategi pencegahannya. Evaluasi COI tidak digunakan untuk membandingkan alternatif pengobatan tetapi untuk memberikan estimasi beban


(38)

keuangan dari penyakit tertentu. Jadi, nilai dari biaya pencegahan dan pengobatan dapat diukur melalui COI (Shanchez, 1994).

2.4Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi enam kategori, (Vogenberg, 2001) yaitu:

1. Biaya langsung medis (direct medical cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama perawatan.

2. Biaya langsung non-medis (direct non-medical cost)

Biaya langsung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.

3. Biaya tidak langsung (indirect cost)

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang.

4. Biaya tak berwujud (Intangible cost)

Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar dikonversikan dalam nilai mata uang.

5. Opportunity Cost Jenis biaya ini mewakili manfaat ekonomi bila menggunakan suatu terapi


(39)

pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik berikutnya. Oleh karena itu, jika sumber daya telah digunakan untuk membeli program atau alternatif pengobatan, maka Opportunity Cost menunjukkan hilangnya kesempatan untuk menggunakannya pada tujuan yang lain. Dengan kata lain, Opportunity Cost adalah nilai yang dikorbankan. Misalnya, hilangnya kesempatan ataupun dikorbankannya penghasilan/pendapatan.

5. Incremental Cost

Disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan atas alternatif atau perawatan kesehatan dibandingkan dengan pertambahan manfaat, efek ataupun hasil (outcome) yang ditawarkan. Incremental Cost adalah biaya tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan efek tambahan dari suatu alternatif dan menyediakan cara lain untuk menilai dampak farmakoekonomi dari layanan kesehatan ataupun pilihan pengobatan dalam suatu populasi.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2010).

Bahan dan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari catatan rekam medis, resep, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) dan informasi dari bagian pelayanan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) untuk mengetahui biaya setiap tindakan yang diterima oleh pasien bedah apendik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe periode Januari 2011 - Desember 2011.

Ruang lingkup penelitian ini adalah pasien yang menjalani bedah apendik dan menggunakan antibiotika. Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen terhadap biaya langsung medis (direct medical cost) yang dibutuhkan selama rawat inap.

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe.

3.1.2 Waktu Penelitian


(41)

3.2 Sampel

Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Kriteria inklusi:

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Yang termasuk dalam kriteria inklusi meliputi

a. Pasien yang menjalani bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe

b. Pasien yang menjalani bedah apendik yang memakai Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)

c. Pasien yang menjalani bedah apendik dinyatakan sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.

Kriteria eksklusi:

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Yang termasuk kriteria eksklusi meliputi:

a. Pasien yang menjalani bedah apendik dengan penyakit lain

b. Data status pasien yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas terbaca c. Pasien yang pulang dengan status PAPS (pulang atas permintaan sendiri).

3.3 Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini adalah data dokumenter, yaitu data yang diperoleh dari dokumen berupa rekam medik, resep dan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO). Berdasarkan derajat sumbernya, data dalam penelitian ini adalah data sekunder (Chandra, 2008).


(42)

Proses pengumpulan data dimulai dari observasi laporan di bagian Rekam Medik secara retrospektif untuk kasus bedah apendik pada bulan Januari 2011 sampai Desember 2011. Data yang diperlukan dicatat pada lembar pengumpul data, meliputi nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis pekerjaan, lama perawatan, antibiotika yang digunakan (jenis, jumlah, dosis), jenis penggunaan obat dan perincian biaya terapi di ruang perawatan (biaya antibiotika, biaya tindakan, biaya rawat inap, biaya obat lain, dan biaya total perawatan).

3.4 Pengolahan Data

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Exel dan disajikan dalam bentuk Tabel.

3.5 Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis dengan analisis deskriptif. Besarnya biaya dihitung untuk memperoleh ada atau tidaknya perbedaan efektivitas biaya pada pasien yang menjalani bedah apendik. Analisis efektivitas biaya dihitung melalui rasio efektivitas dengan rumus:

Rasio efektivitas =

/

3.6 Defenisi Operasional

Defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:

a. Bedah apendik adalah proses pembedahan untuk mengangkat apendik yang mengalami apendisitis

b. Dinyatakan sembuh apabila luka operasi telah kering yang diketahui setelah pasien menjalani GV (ganti verban) dan dinyatakan pulang oleh dokter.


(43)

c. Lama hari rawat inap adalah waktu yang diperlukan pasien pada pengobatan bedah apendik sampai dinyatakan sembuh oleh dokter dan diizinkan pulang d. Jumlah total biaya langsung medis adalah jumlah seluruh biaya yang

dibutuhkan pasien selama menjalani pengobatan meliputi biaya kelas perawatan, biaya laboratorium, biaya tindakan medis (pemeriksaan di instalasi gawat darurat, biaya operasi, pasang kateter, ganti verban, dan skin test) dan biaya obat

e. Efektivitas biaya adalah total biaya yang dibutuhkan selama pasien menjalani pengobatan sampai dinyatakan sembuh oleh dokter.

3.7 Langkah-Langkah Penelitian

Langkah penelitian yang dilaksanakan:

a. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe

b. Menghubungi direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dan bagian pelayanan asuransi kesehatan (ASKES) untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas

c. Melaksanakan penelitian di bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dan di bagian pelayanan asuransi kesehatan (ASKES), dengan mengambil data periode Januari 2011-Desember 2011


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari buku data yang ada di ruang operasi Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe periode Januari 2011 -Desember 2011 diperoleh data seluruh pasien yang menjalani bedah apendik sebanyak 66 orang. Data yang didapatkan dari rekam medik pasien memenuhi kriteria inklusi sebanyak 42 orang sedangkan 24 orang tidak memenuhi syarat sebagai subjek (eksklusi), sehingga total subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 42 pasien, yang terdiri dari pasien laki-laki 19 pasien dan pasien wanita berjumlah 23 pasien. Karakteristik pasien bedah apendik berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 karateristik pasien bedah apendik berdasarkan usia

No Usia (Tahun) Jumlah Pasien %

1 11-20 15 35,71

2 21-30 18 42,86

3 31-40 5 11,91

4 41-50 2 4,76

5 51-60 1 2,38

6 61-70 0 0

7 71-80 1 2,38

Total 42 100

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien yang berusia 11-20 tahun ada 15 pasien atau persentase 35,71%, pasien yang berusia 21-30 ada 18 pasien atau persentase 42,86 %, pasien yang berusia 31-40 tahun ada 5 pasien atau persentase 11,91 %, pasien berusia 41-50 tahun ada 2 pasien atau persentase 4,76%, pasien yang berusia 51-60 tahun ada 1 pasien atau persentase 2,38% dan pasien berusia 71-80 tahun ada 1 pasien, dari data tersebut dapat dilihat bahwa


(45)

pada kasus apendisitis banyak terjadi pada pasien yang berusia di bawah 30 tahun atau pada pasien remaja dan dewasa muda, sedangkan pada pasien dewasa tua atau lansia kasus apendisitis jarang terjadi. Bedah apendik merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering dilakukan, walaupun apendisitis dapat terjadi pada setiap usia namun paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda (Price dan Lorraine, 2005). Apendisitis penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, apendisitis dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling sering terjadi pada usia 10 dan 30 tahun (Smeltzer dan Brenda, 2001).

Pada penelitian analisis efektivitas biaya penggunaan antibiotika pada bedah apendik tidak hanya biaya antibiotika yang dihitung tetapi total biaya langsung medis meliputi biaya kelas perawatan, biaya laboratorium, biaya tindakan dan biaya obat (termasuk biaya antibiotika).

4.1 Jenis Antibiotika yang Digunakan

Antibiotika adalah salah satu komponen biaya pada bedah apendik, semua pasien bedah apendik yang diteliti dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe menggunakan antibiotika. Jenis antibiotika yang digunakan pada terapi pasien bedah apendik di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia sangat bervariasi yaitu terdiri dari antibiotika kombinasi dan antibiotika tunggal.

Hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe menunjukkan bahwa pada bedah apendik dengan jumlah pasien 42 orang ada 11 alternatif penggunaan antibiotika. Jenis penggunaan antibiotika pada bedah apendik dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(46)

Tabel 4.2 Jenis penggunaan antibiotika pada bedah apendik di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe

No Jenis Antibiotika Jumlah

(Injeksi-Oral) Pasien

1 Cefo (Inj) + Cipro + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 7

2 Cefo (Inj) – Cipro (Oral) 10

3 Cefo + Cefta (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4

4 Ceftri(Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 1

5 Cefo (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4

6 Cefo + Genta (Inj) + Cipro (Inf) – Cipro (Oral) 3

7 Cefo (Inj) – Cefa (Oral) 3

8 Cefo (Inj) + Metro (Inf) - Cefa (Oral) 2

9 Cefo (Inj) + Metro(Inf) - Amox (Oral) 5

10 Cefo + Genta (Inj) – Cipro (Oral) 2

11 Cefo + Genta (Inj) + Metro (Inf) - Cipro (Oral) 1

Total 42

Keterangan:

a. Cefo : Cefotaxim g. Cefa : Cefadroksil b. Cipro : Ciprofloksasin h. Amox : Amoxicillin c. Metro : Metronidazole i. (+) : Kombinasi

d. Cefta : Ceftazidin j. (-) :Pembeda injeksi dengan oral e. Ceftri : Ceftriakson k. Inj : Injeksi

f. Genta : Gentamisin l. Inf : Infus

4.2 Efektivitas Pengobatan

Berdasarkan data dari rekam medik ada satu pasien dengan nomor rekam medik 25.82.41 yang lamanya hari rawat inap selama 14 hari, hal ini disebabkan karena kondisi pasien yang kurang stabil sehingga pasien tidak memenuhi syarat-syarat operasi, pasien baru dioperasi pada hari ke-11 rawat inap sehingga biaya yang dibutuhkan selama menjalani perawatan menjadi lebih besar dibandingkan pasien lainnya yaitu Rp 5.772.677,00-, bila pasien hanya dirawat 1 hari sebelum operasi maka biaya yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu Rp 3.461.777,00- dengan biaya obat selama 4 hari adalah Rp 143.777,00-.

Pada penelitian ini efektivitas pengobatan dinilai berdasarkan lamanya hari rawat inap hingga pasien dinyatakan sembuh oleh dokter, lama waktu kering luka operasi dan adanya tanda-tanda infeksi setelah operasi. Seperti diketahui invasi


(47)

bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala infeksi sering muncul dalam 2–7 hari setelah pembedahan berupa adanya purulent (nanah, cairan radang yang terdiri dari leukosit), peningkatan drainase (pengaliran genangan cairan dalam luka dengan memasukkan pipa kuras ke dalam rongga abses), nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih (Suparyanto, 2011; Ramali dan Pamoentjak, 2005).

Pada penelitian tidak ada data mengenai gejala infeksi ini disebabkan pasien bedah apendik tidak menunjukkan tanda infeksi pasca operasi apendik. Sedangkan perubahan suhu selain merupakan vital sign yang harus selalu diukur dan ditulis di rekam medik juga merupakan salah satu tanda gejala infeksi. Karena harus ditulis maka data mengenai perubahan suhu pasti terdapat dalam rekam medik.

Berdasarkan pengamatan pada rekam medik pasien yang menjalani bedah apendik periode Januari 2011-Desember 2011, ada dua pasien dengan nomor rekam medik 29.15.86 dan 03.21.71 yang mengalami peningkatan suhu tubuh di hari pertama rawat inap dan kembali normal pada hari ke-2 setelah pemberian parasetamol. Peningkatan suhu sebelum operasi merupakan gejala klinis dari apendisitis baik akut maupun kronik. Ada 1 pasien yang mengalami peningkatan suhu tubuh pada hari ke-2 setelah mengalami pembedahan yaitu pada nomor rekam medik 02.93.65 Suhu tubuh pasien pada hari ke-1 setelah operasi adalah 36 meningkat menjadi 38 pada hari ke- 2 dan 1 pasien dengan nomor rekam medik 03.19.34 yang mengalami peningkatan suhu tubuh pada hari ke-1 setelah pembedahan, suhu tubuh pasien sebelum operasi 36 meningkat menjadi 38,5 .


(48)

Secara normal luka akan mengalami inflamasi pada hari ke-2 sampai hari ke-3 pasca bedah (Potter dan Anne, 2005). Pada fase inflamasi biasanya didapati demam (Sjamsuhidajat dan Wim, 2004).

Suhu tubuh kedua pasien kembali normal menjadi 36 pada hari ke-3 disebabkan selain pemberian parasetamol juga karena pasien telah melewati waktu kritis penyembuhan luka antara 24 sampai 72 jam setelah pembedahan (pasien telah melewati fase inflamasi). Jika suhu tubuh tetap di atas 38 setelah melewati masa kritis ini, maka pasien kemungkinan terkena infeksi pasca operasi karena infeksi terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pembedahan (Potter dan Anne, 2005).

Berdasarkan uraian di atas maka pada bedah apendik tidak terdapat pasien yang mengalami infeksi pasca operasi, sehingga efektivitas pengobatan dinilai berdasarkan rata-rata waktu kering luka operasi dan rata-rata lama hari rawat inap.

Pengobatan yang efektif dinilai berdasarkan kecepatan waktu kering luka operasi (≤ 72 jam setelah operasi) dan rata-rata lama hari rawat inap. Waktu kritis penyembuhan luka adalah 24 sampai 72 jam setelah pembedahan (Potter dan Anne, 2005). Rata-rata waktu kering luka operasi tidak lebih dari 72 jam menunjukkan antibiotika yang digunakan efektif, sedangkan jika lebih dari 72 jam kurang efektif karena setelah melewati waktu kritis penyembuhan luka maka ada kemungkinan luka mengalami infeksi, biasanya infeksi terjadi 3-6 hari setelah pembedahan (Potter dan Anne, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka hasil penelitian ini menunjukkan waktu kering luka operasi pada hari ke-3 (tidak lebih dari 72 jam) adalah penggunaan antibiotika cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral, yang menurut Potter bahwa


(49)

antibiotika ini telah terbukti efektif karena waktu kering luka operasi adalah pada hari ke-3 (tidak lebih dari 72 jam). Sedangkan penggunaan antibiotika lainnya kurang efektif karena waktu kering luka operasi lebih dari 72 jam.

Menurut Suparyanto (2011), waktu kering luka operasi tidak hanya dipengaruhi oleh antibiotika yang digunakan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu usia, nutrisi, sirkulasi, oksigenasi, hematoma, iskemia dan diabetes. Meskipun dalam penelitian ini tidak meneliti mengenai faktor yang mempengaruhi waktu kering luka operasi, tetapi menurut Schwartz bahwa faktor nutrisi mempengaruhi waktu kering luka operasi. Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu fase-fase proses penyembuhan luka operasi. Pasien dengan status nutrisi kurang memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan (Schwartz, 2000). Perbedaan status nutrisi akan menyebabkan perbedaan lama waktu kering luka operasi meskipun pasien yang berbeda menggunakan antibiotika yang sama.

Pada penelitian ini pasien dinyatakan sembuh dan dapat pulang karena luka operasi telah kering sehingga waktu kering luka operasi akan mempengaruhi lama hari rawat inap. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata waktu kering luka operasi dan rata-rata lama hari rawat inap diperoleh efektivitas pengobatan yang lebih baik pada bedah apendik adalah penggunaan cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral, dengan rata-rata waktu kering luka operasi pada hari ke 3 dan rata-rata lama hari rawat inap 5,6 hari. Efektivitas pengobatan pada bedah apendik ditunjukkan pada Tabel 4.3.


(50)

Tabel 4.3 Efektivitas pengobatan pada bedah apendik berdasarkan rata-rata lama waktu kering luka operasi dan rata-rata lama hari rawat inap di RSUD Meutia Lhokseumawe

No

Jenis Antibiotik (Injeksi-Oral)

Rata-rata Rata-rata

Waktu Kering Lama

Luka Operasi Hari Rawat

(Hari ke-) Inap (hari)

1 Cefo (Inj) + Cipro + Metro (inf) – Cipro (oral) 3,42 6,42

2 Cefo (Inj) – Cipro (Oral) 3,3 6,3

3 Cefo + Cefta (Inj) + Metro (inf) – Cipro (Oral) 3,25 6

4 Ceftri (inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4 7

5 Cefo (inj) + Metro (inf) – Cipro (Oral) 3,5 6,75

6 Cefo + Genta (Inj) + Cipro (inf) – Cipro (Oral) 3,6 7,33

7 Cefo (Inj) – Cefa (Oral) 3 5,6

8 Cefo (Inj) + Metro (Inf) – Cefa (Oral) 3,5 7

9 Cefo (inj) + Metro (Inf) – Amox (Oral) 3,6 6,8

10 Cefo + Genta (Inj) – Cipro (Oral) 4 7,5

11 Cefo + Genta (Inj) + Metro (inf) – Cipro (oral) 3 14

4.3 Biaya Langsung Medis

4.3.1 Biaya Langsung Medis pada Bedah Apendik

Berdasarkan literatur jenis – jenis kuman yang terdapat pada jaringan apendik yaitu Escherichia coli, Bacteriodes fragillis, Klebsiella pneumaniae, Klebsiella ozaenae, Proteus mirabilis, Citrobacter diversus, Pseudomonas aeroginosa, Alkaligenes faecalis, Providensia rettgeri, Enterobacter aerogeness dan Providensia alcalifaciens, semua kuman tersebut peka terhadap golongan

sefalosporin (Astrawinata dan Elly, 1993). Total biaya obat (termasuk biaya antibiotika) pada kasus bedah apendik yang dirawat di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe adalah 7,65% - 12,38% dari total biaya langsung medis. Namun pemilihan obat yang tidak tepat akan memperlama kesembuhan pasien sehingga akan meningkatkan biaya perawatan. Hasil penelitian pada pasien bedah apendik terdapat perbedaan rata-rata harga obat yang dibutuhkan dari berbagai antibiotika yang digunakan, dari data tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan cefotaxim injeksi dan cefadroksil oral paling murah yaitu Rp 299.135,70,-


(51)

dengan biaya antibiotika sebesar Rp 80.450,00,- sedangkan untuk pasien yang menggunakan jenis antibiotika jenis lain dibutuhkan rata-rata biaya obat yang lebih besar yaitu Rp 324.087,60,- sampai Rp 704.677,00,- dengan rata-rata biaya antibiotika yaitu Rp 86.340,00,- sampai Rp 280.477,50,-. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan harga dari jenis dan jumlah obat yang digunakan. Harga antibiotika metronidazol infus (Rp 6.990,00/botol), cefotaxim injeksi (Rp 5.400,00/vial), ceftriakson injeksi (Rp 5.250,00/vial) dan gentamisin injeksi (Rp 2.375,00/ ampul) tentu lebih murah dibandingkan siprofloksasin infus (Rp 31.500,00/botol) dan ceftazidin injeksi (Rp 33.250,00/vial). Harga antibiotika oral yang paling murah yaitu siprofloksasin kaplet (Rp 264,00/kaplet) dibandingkan dengan harga amoxicillin kaplet (Rp 333,00/kaplet) dan cefadroksil kapsul (Rp 665,00/kapsul). Harga metronidazole infus, cefotaxim dan gentamisin yang murah menyebabkan biaya obat untuk antibiotika ini juga menjadi lebih murah. Adapun hasil perhitungan biaya obat pada bedah apendik ditunjukkan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil perhitungan biaya obat pada bedah apendik di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe

No

Jenis Antibiotika Jumlah Total Rata-rata Rata-rata

(Injeksi-Oral) Pasien Biaya Biaya Biaya

(Orang) Obat (Rp) Obat (Rp) biotik(Rp)

1 Cefo(Inj)+Cipro+Metro(Inf)-Cipro (Oral) 7 2.727.006 389.572,28 185.797,28

2 Cefo (inj)- Cipro (Oral) 10 3.243.502 324.350,20 86.340,00

3 Cefo+Cefta(Inj)+Metro(Inf)-Cipro(Oral) 4 2.007.303 519.325,75 280.447,50

4 Ceftri(Inj)+Metro(Inf)-Cipro(oral) 1 476.600 476.600,00 109.350,00

5 Cefo(Inj)+Metro(Inf)-Cipro (Oral) 4 1.487.520 371.880,00 131.120,00

6 Cefo+Genta(Inj)+Cipro(Inf)-Cipro (Oral) 3 1.353.381 451.127,00 216.690,00

7 Cefo (Inj)- Cefa (Oral) 3 897.407 229.135,70 80.450,00

8 Cefo (Inj)+Metro(Inf)- Cefa (Oral) 2 782.901 391.450,50 118.790,00

9 Cefo(Inj)+Metro(Inf)-Amox(Oral) 5 1.629.828 325.965,60 105.811,80

10 Cefo+Genta(Inj)-Cipro(Oral) 2 767.199 383.599,50 91.515,00


(52)

Pada kasus bedah apendik setiap pasien dirawat di ruang bedah kelas III. Tarif biaya kelas perawatan di Rumah Sakit Umum Daearah Cut Meutia Lhokseumawe adalah Rp. 175.000,00/ hari, tarif ini seragam dan tidak tergantung dari jenis antibiotika apa yang diberikan. Total biaya kelas perawatan adalah biaya perhari dikalikan dengan total hari rawatan. Semua pasien yang menggunakan antibiotika dengan jenis yang sama dijumlahkan total biaya kelas perawatannya lalu dibagi dengan total pasien yang menggunakan antibiotika tersebut untuk diperoleh rasio efektivitas biaya kelas perawatan untuk setiap jenis antibiotika yang digunakan. Adapun biaya pasang infus, ganti selang infus dan vital sign termasuk dalam biaya rawatan perhari atau biaya akomodasi. Perbedaan lama hari rawatan disebabkan adanya perbedaan efektivitas pengobatan yang dinilai berdasarkan waktu kering luka operasi. Efektivitas pengobatan pada bedah apendik pada Tabel 4.3. Dengan adanya perpendekan hari rawatan, maka terjadi pengurangan biaya kelas perawatan. Biaya kelas perawatan cefotaxim injeksi dengan cefadroksil oral adalah yang paling murah dibandingkan dengan penggunaan antibiotika yang lain yaitu Rp991.666,70,-. Hal ini disebabkan rata-rata hari rawat inap pasien yang menggunakan antibiotika cefotaxim injeksi dengan cefadroksil oral lebih singkat dibandingkan dengan penggunaan antibiotika yang lain, yaitu 5,6 hari. Adapun hasil perhitungan biaya kelas perawatan pada bedah apendik ditunjukkan pada Tabel 4.5.


(53)

Tabel 4.5 Hasil perhitungan biaya kelas perawatan pada bedah apendik di RSUD

Cut Meutia Lhokseumawe No

Jenis Antibiotika Jumlah Total Rata-rata

(Injeksi-Oral) Pasien Biaya Pera- Biaya Pera-

(Orang) watan (Rp) watan (Rp)

1 Cefo (Inj) + Cipro + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 7 7.875.000 1.125.000

2 Cefo (Inj) – Cipro (Oral) 10 11.025.000 1.102.500

3 Cefo + Cefta (Inj) + Metro (Inf) – Cefa (Oral) 4 4.200.000 1.050.000

4 Ceftri (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 1 1.225.000 1.225.000

5 Cefo (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4 4.725.000 1.181.250

6 Cefo + Genta (Inj) + Cipro (Inf) – Cipro (Oral) 3 3.850.000 1.283.333,3

7 Cefo (Inj) – Cefa (Oral) 3 2.975.000 991.666,7

8 Cefo (Inj) + Metro (Inf) - Cefa (Oral) 2 2.450.000 1.225.000

9 Cefo (inj) + Metro (Inf) - Amox (Oral) 5 5.950.000 1.190.000

10 Cefo + Genta (Inj) – Cipro (Oral) 2 2.625.000 1.312.500

11 Cefo + Genta (Inj) + Metro (Inf) - Cipro (Oral) 1 2.450.000 2.450.000

Berdasarkan hasil penelitian pada bedah apendik yang didapatkan dari rekam medik, pasien yang akan menjalani operasi diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setiap pasien akan melakukan pemeriksaan urin dan darah rutin agar pasien dapat memenuhi syarat-syarat operasi. Pemeriksaan urin rutin meliputi pemeriksaan protein, glukosa, volume, warna, kejernihan dan berat jenis urin. Sedangkan pemeriksaan darah rutin meliputi hemoglobin, laju endap darah (LED), masa pendarahan, glukosa darah dan leukosit. Pemeriksaan leukosit sangat bermanfaat sebelum dilakukan apendiktomi, karena menurut Schwartz (2000), leukosit antara 10.000 – 18.000/mm3 menunjukkan terjadinya apendisitis, tetapi bila kadar leukosit lebih dari 18.000/mm3 kemungkinan apendik telah mengalami perforasi (pecah) bila apendik telah mengalami perforasi maka harus dilakukan pembedahan secara apendiktomi dan laparatomi. Biaya laboratorium pasien yang menggunakan cefotaxim injeksi + siprofloksasin + metronidazol infus dengan siprofloksasin oral, cefotaxim injeksi dengan siprofloksasin oral, cefotaxim+ceftazidin injeksi + metronidazole infus dengan siprofloksasin oral,


(54)

ceftriaxone injeksi+metronidazol infus dengan siprofloksasin oral dan cefotaxim injeksi + metronidazole infus dengan siprofloksasin oral lebih mahal dibandingkan dengan yang lain mungkin disebabkan kondisi pasien yang kurang baik/stabil sehingga pasien melakukan dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan darah dan urin rutin serta pemeriksaan kadar albumin. Hasil perhitungan biaya laboratorium pada bedah apendik ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil perhitungan biaya laboratorium pada bedah apendik di RSUD

Cut Meutia Lhokseumawe NO

Jenis Antibiotika Jumlah Total Biaya Rata-rata

(Injeksi-Oral) Pasien Labora- Biaya labora-

(Orang) torium (Rp) torium (Rp)

1 Cefo (Inj) + Cipro + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 7 300.000,00 42.857,14

2 Cefo (Inj) – Cipro (Oral) 10 420.000,00 42.000,00

3 Cefo + Cefta (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4 180.000,00 45.000,00

4 Ceftri (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 1 60.000,00 60.000,00

5 Cefo (Inj) + Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4 180.000,00 45.000,00

6 Cefo + Genta (Inj) + Cipro (Inf) – Cipro (Oral) 3 120.000,00 40.000,00

7 Cefo (Inj) – Cefa (Oral) 3 120.000,00 40.000,00

8 Cefo (Inj) + Metro (Inf) - Cefa (Oral) 2 80.000,00 40.000,00

9 Cefo (inj) + Metro (Inf) - Amox (Oral) 5 200.000,00 40.000,00

10 Cefo + Genta (Inj) – Cipro (Oral) 2 80.000,00 40.000,00

11 Cefo + Genta (Inj) + Metro (Inf) - Cipro (Oral) 1 40.000,00 40.000,00

Berdasarkan hasil penelitian jenis tindakan yang diterima pasien bedah apendik adalah pemeriksaan di instalasi gawat darurat (IGD), apendiktomi, ganti verban, pasang kateter dan skintest. Pasien dengan diagnosa apendisitis harus dilakukan apendiktomi secepat mungkin karena penundaan pengangkatan apendik yang mengalami apendisitis akan mengalami perforasi, sehingga biaya yang diperlukan untuk apendik perforasi lebih besar yaitu Rp 12.500.000,00-. Berdasarkan informasi dari bidang pelayanan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe perhitungan biaya


(1)

Tabel 4.8 Total biaya langsung medis pada bedah apendik di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe

No Jenis Antibiotika (Injeksi-Oral) Total Biaya Total Biaya Total Biaya Total Biaya Total Biaya Pera- watan (Rp) Labora- torium (Rp) Tindakan Medis (Rp) Obat (Rp) Langsung Medis (Rp) 1 Cefo(Inj)+Cipro+Metro(Inf)-Cipro (Oral) 7.875.000 300.000 18.046.000 2.727.006 28.948.006 2 Cefo(Inj)-Cipro (Oral) 11.025.000 420.000 25.780.000 3.243.502 40.468.502 3 Cefo+Cefta(Inj)+Metro(Inf)-cipro (Oral) 4.200.000 180.000 10.312.000 2.077.303 16.769.303 4 Ceftri(Inj)+Metro(Inf)-Cipro (Oral) 1.225.000 60.000 2.578.000 476.600 4.339.600 5 Cefo(Inj)+Metro(Inf)-cipro (Oral) 4.725.000 180.000 10.312.000 1.487.520 16.704.520 6 Cefo+Genta(Inj)+Cipro (Inf)-Cipro(Oral) 3.850.000 120.000 7.734.000 1.353.381 13.057.381

7 Cefo(Inj)-Cefa (Oral) 2.975.000 120.000 7.734.000 897.407 11.726.407 8 Cefo(Inj)+Metro(Inf)-Cefa (Oral) 2.450.000 80.000 5.156.000 782.907 8.468.901 9 Cefo(Inj)+Metro(Inf)-Amox(Oral) 5.950.000 200.000 12.890.000 1.629.828 20.669.828 10 Cefo+Genta(Inj)-Cipro(Oral) 2.625.000 80.000 5.156.000 767.199 8.628.199 11 Cefo+Genta(Inj)+Metro(Inf)-Cipro(Oral) 2.450.000 40.000 2.578.000 704.677 5.772.677

Hasil perhitungan total biaya langsung medis digunakan dalam perhitungan rasio efektivitas biaya, dapat dilihat pada Tabel 4.9.

4.4 Efektivitas Biaya

Pada penelitian ini perhitungan efektivitas biaya dilakukan dengan menghitung total biaya langsung medis dibagi dengan hasil pengobatan dari masing-masing antibiotika tersebut, disebut juga rasio efektivitas biaya. Kriteria penilaian antibiotika yang akan dipilih adalah antibiotika dengan rasio efektivitas yang terendah (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).

Pada bedah apendik penggunaan cefotaxim injeksi dengan cefadroksil oral memiliki rasio efektivitas biaya yang paling rendah yaitu Rp 3.908.802,30,-. Ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika ini adalah yang paling cost effective dalam arti memiliki efektivitas biaya dan efektivitas pengobatan yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan antibiotika lain.


(2)

untuk penggunaan antibiotika ini memang lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk penggunaan jenis antibiotika lain. Hal ini disebabkan adanya perpendekan lama hari rawat inap yang tentu saja akan mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh pasien meliputi biaya kelas perawatan dan biaya obat. Perbandingan efektivitas biaya penggunaan antibiotika pada bedah apendik dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Perbandingan efektivitas biaya bedah apendik di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe

No Jenis Antibiotika

(Injeksi-Oral)

Total Biaya Langsung Medis (Rp)

Jumlah Pasien Rasio

Efektivitas Sembuh Tidak

Biaya (Rp)

1 Cefo(Inj)+Cipro+Metro(Inf) – Cipro (Oral) 28.948.006 7 - 4.135.429,40

2 Cefo (Inj) – Cipro (Oral) 40.468.502 10 - 4.046.850,20

3 Cefo+Cefta (Inj)+Metro(Inf) – Cipro (Oral) 16.769.303 4 - 4.192.325,70

4 Ceftri(Inj)+Metro (Inf) – Cipro (Oral) 4.339.600 1 - 4.339.600,00

5 Cefo(Inj)+Metro(Inf) – Cipro (Oral) 16.704.520 4 - 4.176.130,00

6 Cefo+Genta (Inj)+Cipro(Inf) – Cipro (Oral) 13.057.381 3 - 4.352.460,30

7 Cefo (Inj) – Cefa (Oral) 11.726.407 3 - 3.908.802,30

8 Cefo (Inj)+Metro (Inf) - Cefa(Oral) 8.468.901 2 - 4.234.450,50

9 Cefo (Inj)+Metro (Inf) - Amox (Oral) 20.669.828 5 - 4.133.965,60

10 Cefo+Genta (Inj) – Cipro (Oral) 8.628.199 2 - 4.314.099,50

11 Cefo+Genta (Inj)+Metro (Inf) –Cipro (Oral) 5.772.677 1 - 5.772.677,00

Dari seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis efektivitas biaya merupakan salah satu cara untuk menilai dan memilih program terbaik bila terdapat beberapa program berbeda dengan tujuan yang sama untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih adalah berdasarkan rasio efektivitas dari masing-masing alternatif program yang tersedia sehingga program yang mempunyai rasio efektivitas terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/pengambil keputusan (Phillips, 2009).


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: a. Antibiotika dengan efektivitas biaya lebih baik pada bedah apendik adalah

cefotaxim injeksi dengan cefadroksil oral

b. Biaya antibiotika yang efektivitasnya lebih baik pada bedah apendik adalah Rp 80.450,00,-

c. Total biaya langsung medis dengan efektivitasnya lebih baik pada bedah apendik adalah Rp 3.908.802,30,-

5.2 Saran

Disarankan kepada penelitian selanjutnya agar:

a. Meneliti lebih lanjut mengenai penggunaan antibiotika tunggal pada bedah apendik karena penggunaan antibiotika tunggal dapat menghemat biaya

b. Meneliti lebih lanjut mengenai efektivitas biaya antibiotika pada pasien bedah apendik pasca operasi yang melakukan berobat jalan

c. Diharapkan kepada tenaga medis yang berwenang untuk mengatur waktu tunggu preoperasi di rumah pasien karena waktu tunggu preoperasi di Rumah Sakit yang lama dapat meningkatkan biaya perawatan bedah apendik dan mengurangi kesempatan pada pasien lainnya yang membutuhkan rawat inap d. Melakukan uji resistensi antibiotika yang akan digunakan pada bedah apendik


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim1. (2010). Bahaya Resistensi Antibiotika.

http://medicastore.com./artikel/302/Bahaya_Resistensi _Antibiotika.html Diakses tanggal 13 Juni 2012.

Anonim2. (2011). Peradangan Usus Buntu (Appendiksitis).

http://xa.yimg.com/kq/groups/22382890/1734181084/name/Peradangan+U sus+Buntu.pdf. Diakses 2 Mei 2012.

Astrawinata, D.A.W., dan Elly, S. (1993). Efektivitas Antibiotika Turunan Sefalosporin Terhada Kuman Di Jaringan Apendiks. Cermin Dunia Kedokteran. 89(4): 11-15.

Budiharto, M., dan Soewarta, K. (2008). Peranan Farmako-Ekonomi Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.11(4). Halaman 337-340.

Chandra, B. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC. Halaman 6-7.

Fatma, A.L. (2009). Ekonomi Kesehatan. Medan: USU Press. Hal. 125-131. Grace, P.A., dan Borley, N.R. (2007). At a Glance Ilmu Bedah. Edisi III. Jakarta:

Erlangga. Halaman 107.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., dan Setiowulan, W. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 307-310.

Nasution, E., dan Ronald, S. (1988). Masalah Infeksi Dalam Pembedahan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Halamaan

44-45.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Rhineka Cipta. Halaman 27, 37.

Orion. (1997). Pharmacoeconomics Primer and Guide Introduction to Economic Evaluation. Virginia: Hoesch Marion Rousel Incorporation. Dalam: BAB II Tinjauan Pustaka.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24744/4/Chapter%20II.pdf Diakses tanggal 5 Mei 2012.

Phillips, C. (2009). What is Cost-Effectiveness.


(5)

Potter, P.A., dan Anne, G.F. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi IV. Jakarta: EGC. Halaman 1846, 1862. Priece, S.A., dan Lorraine, M.W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC. Halaman 448.

Ramali, A., dan Pamoentjak, S.T. (2005). Kamus Kedokteran. Cetakan ke - 26. Jakarta: Penerbit Djambatan. Halaman 99, 292.

Sanchez, L.A. (1994). Pharmacoeconomics: Principles, Methods, and Aplication. http://www.pharmacotherapyonline.com. Diakses tanggal 5 Mei 2012 Sanjoyo, R. (2008). Obat (Biomedik Farmakologik.

http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/obat.pdf. Diakses tanggal 11 Juni 2012

Saryono. (2008). Metodoligi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendika Press. Halaman 34.

Schwartz, S. (2000). Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi VI. Jakarta: EGC. Halaman 50-51.

Setiabudy dan Vincent, H.S. (1995). Pengantar Antimikroba Farmakologi Dan Terapi. Editor Ganiswarna, S.G. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. Halaman 571-573.

Siswandono dan Soekardjo, B. (1995). Kimia Medisinal.Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 351-352.

Sjamsuhidajat, R., dan Wim, D.J. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC. Halaman 235.

Smeltzer, S.C., dan Brenda, G.B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Edisi VIII. Jakarta: EGC. Halaman 1097.

Suparyanto. (2011). Infeksi Luka Operasi. http://dr-suparyanto.blogspot.com.Diakses tanggal 2 April 2012. Taufik. (2011). Pendahuluan Kti Appendiktomi.

http://bluesteam47.blogspot.com/2011/06/pendahuluan-ktiappendiktomi.html. Diakses tanggal 6 Februari 2012.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi V. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Halaman 54-64.


(6)

Trisna, Y. (2010). Aplikasi Farmakoekonomi.

http://www.ikatanapotekerindonesia.com. Diakses tanggal 5 Mei 2012. Underwood, J.C.E. (1999). Patologi Umum Dan Klinik. Edisi II. Jakarta: EGC.

Halaman 15.

Vogenberg, F.R. (2001). Introduction To Applied Pharmacoeconomics. USA: Mc Graw-Hill Companies. Dalam: BAB II Tinjauan Pustaka.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24744/4/Chapter%20II.pdf Diakses tanggal: 5 Mei 2012.

Wattimena, J.R., Nelly, C.S., Mathilda, B.W., Elin, Y.S., Andreanus, A.S., dan Anna, R.S. (1991). Farmakodinami dan Terapi Antibiotika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 18.