2.3. Karakteristik Kebisingan dan Tanggapan Masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan, tiap individu memiliki subjektivitas terhadap noise, begitupun sesungguhnya tiap individu juga memiliki subjektivitas terhadap kebisingan.
Toleransi manusia terhadap kebisingan bergantung pada faktor akustikal dan non- akustikal Sander dan McCormik, 1987. Faktor akustikal meliputi: tingkat kekerasan
bunyi, frekuensi bunyi, durasi munculnya bunyi, fluktuasi kekerasan bunyi, fluktuasi frekuensi bunyi, dan waktu munculnya bunyi. Sementara faktor non akustikal meliputi:
pengalaman terhadap kebisingan, kegiatan, perkiraan terhadap kemungkinan munculnya kebisingan, manfaat objek yang menghasilkan kebisingan, kepribadian, lingkungan dan
keadaan. Semua faktor tersebut harus diperhitungkan setiap kali mengukur tingkat kebisingan pada suatu tempat, sehingga data yang dihasilkan menjadi sahih dan solusi
yang diterapkan lebih tepat. Kebisingan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: kebisingan tunggal dan
kebisingan majemuk. Kebisingan tunggal dihasilkan oleh sumber bunyi berbentuk garis. Tingkat gangguan kebisingan dapat diukur menggunakan skala berdasarkan apa yang
dirasakan manusia, seperti merasakan adanya kebisingan, merasa terusik, merasa terganggu, sampai merasa sangat terganggu atau tidak tahan.
2.4. Bising Auditorium.
Pengendalian bising auditorium harus mulai dengan perencanaan letak site yang baik dengan memisahkan auditorium-auditorium sebanyak mungkin dari semua bising
eksterior dan interior dan sumber-sumber getaran, seperti lalu-lintas kenderaan yang bising, lalu-lintas udara, lalu-lintas bawah tanah, daerah parkir atau bongkar muat barang,
Universitas Sumatera Utara
peralatan mekanis, ruang elektronik atau bengkel. Pentingnya menempatkan auditorium sejauh mungkin dari sumber bising eksterior dan interior yang potensial tak cukup
ditekan, karena ini selalu terbukti merupakan tindakan pengendalian bising yang paling ekonomis dan paling efisien.
Perancangan ruang-ruang penahan yang melindungi auditorium dari sumber bising eksterior secara baik akan menyebabkan penggunaan dinding-dinding insulatif
yang lebih sedikit, artinya lebih murah, sekeliling auditorium. Kalau dalam pengendalian bising daerah tempat tinggal, kantor, hotel, rumah
sakit, rumah makan dan lain-lain, penggunaan bising latar belakang yang kontinu, tak dikenal dan tak terlalu keras sebagai efek penyelimut tidak hanya diboleh dilakukan
tetapi sering bahkan diinginkan, maka dalam akustik auditorium bising pada umumnya tak diinginkan. Sistem ventilasi dan pengondisi udara untuk suatu auditorium harus
dirancang sedemekian hingga tingkat bising yang dihasilkan sistem adalah 5 sampai 15 dB di bawah tingkat bising latar belakang yang ditentukan dalam kriteria bising. Hal ini
penting untuk mencengah gangguan bising mekanis terhadap inteligibilitas pembicaran atau kenikmatan musik.
Masalah pengendalian bising dalam akustik auditorium langsung berhubungan dengan pengadaan kekerasan yang cukup karena bila tingkat bising latar belakang dalam
ruang telah direduksi dengan sejumlah decibel yang cukup, maka kekerasan subjektif dari isi acara dengan sendirinya akan bertambah dengan jumlah yang sama.
Masalah bising yang umum dalam akustik ruang, timbul pada rancangan auditorium yang dapat dibagi dalam ruang-ruang dan auditorium serbaguna. Sebelum
merancang dan memilih partisi yang dapat dipindahkan dalanm auditorium yang dapat
Universitas Sumatera Utara
dibagi kedalam ruang-ruang, penggunaan ruang-ruang yang terbagi-bagi tersebut harus dijelaskan untik menentukan dugaan intensitas dalam acara bunyi. Doelle.Leslie
L.1993. a. Akustika Luar Ruangan Eksterior.
Penyelesaian desain akustik luar ruangan diperlukan agar pada akhirnya kita mendapatkan kualitas akustik dalam ruangan auditorium yang maksimal. Terlebih lagi
bila auditorium terletak pada lokasi dengan tingkat kebisingan tinggi. Perancangan secara eksterior meliputi pengendalian kebisingan disekitar bangunan auditorium, agar
kebisingan tersebut tidak masuk atau mengganggu aktivitas didalam auditorium. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, prinsip perancangan akustik secara
eksterior meliputi: •
Usaha-usaha untuk menjauhkan bangunan dari sumber kebisingan. Hal ini dapat diterapkan dengan meletakkan bangunan pada bagian belakang lahan. Sisa lahan
dibagian depan dapat dengan sengaja dimanfaatkan untuk area parkir. •
Bila kebisingan dari jalan didepan lahan telah sedemikian tinggi, maka seyogyanya dibangun penghalang atau barrier dalam wujud yangn tidak
mengganggu fasa bangunan secara keseluruhan. Agar penghalang yang dibangun tidak terlampau tinggi.
• Selanjutnya kita memilih konstruksi bangunan auditorium dari bahan yang
memiliki tingkat insulasi tinggi, sekaligus menempatkan model vertilasi yang mampu mengurangi kemungkinan masuknya kebisingan ke dalam bangunan.
Universitas Sumatera Utara
b. Akustika Dalam Ruangan Interior. Sebelum membahas lebih mendalam mengenai akustik dalam ruang auditorium. Perlu
kiranya kita tinjau kembali keberadaan ruang-ruang yang dibutuhkan di dalam bangunan auditorium. Secara garis besar ruang-ruang didalam auditorium dapat dibedakan menjadi
3 ruang : 1.
Ruang-ruang utama, yang meliputi: ruang panggung dan ruang penonton, baik ruang penonton lantai satu maupun lantai balkon.
2. Ruang-ruang pendukung, yang meliputi: ruang persiapan pementasan, toilet,
kafetaria, hall, ruang tiket, dan lain-lain. 3.
Ruang-ruang servis, yang meliputi: ruang generator, ruang pengendali udara, gudang peralatan, dan lain-lain.
Keberadaan ketiga kelompok ruang tersebut saling mendukung untuk menampung aktivitas yang terjadi dalam auditorium, namum demikian, hanya ruang utamalah yangn
membutuhkan penyelesaian akustik secara mendalam. Kebisingan dari ruang-ruang pendukung masih berada pada taraf yang dapat dikontrol oleh pengelolah auditorium.
Oleh karenanya, peletakan yang berdekatan dianggap tidak menimbulkan kebisingan yang berarti. Peletakan ini juga akan sangat memudahkan penyaji dan pengunjung ketika
mereka membutuhkan ruang-ruang tersebut. 2.4.1. Penyelesaian Akustik Plafon Panggung.
Ketinggian plafon panggung sangat bermacam-macam dan biasanya bergantung pada dimensi ruang auditorium secara keseluruhan. Peletakan plafon yang terlalu rendah
kurang baik bagi lantai penonton yang dibuat bertrap, demikian pula bagi lantai penonton
Universitas Sumatera Utara
yang menggunakan balkon, sebab sudut pandang penonton pada trap tertinggi atau pada lantai balkon ke arah panggung menjadi kurang leluasa.
Plafon ruang pangngung sebaiknya diselesaikan ruang panggung sebaiknya diselesaikan dengan bahan yang memantulkan, agar pada keadaan tanpa bantuan
peralatan elektronik sound system suara dari penyaji dapat disebarkan ke arah penonton. Pemantulan yang terjadi akan memperkuat suara asli, selama munculnya suara pantulan
tidak lebih lama dari 120 detik suara asli. 2.4.2. Penyelesaian Akustik Lantai Area Penonton.
Lantai penonton dapat diselesaikan sebagai lantai mendatar. Keuntungan dari penyelesaian lantai mendatar adalah kemungkinan digunakannya auditorium untuk
berbagai aktivitas kemultifungsian. Namun pada lantai semacam ini, terutama ketika jumlah penonton cukup banyak, sebagian besar penonton akan mendapat kualitas visual
yang amat rendah. Jumlah ideal kursi penonton untuk ditata sejajar adalah 12 sampai 15 buah,
dengan asumsi bahwa penonton yang duduk ditengah-tengah tidak menempuh perjalanan terlalu jauh kearah selasar utama. Pemabatasan ideal jumlah kursi yang dijajar ini
menyebabkan terbentuknya selasar atau lorong-lorong sirkulasi pada area penonton. Jarak antara kursi dalam baris depan-belakang standarnya adalah 86 cm, namun untuk
kenyamanan penonton yang kemungkinan besar keluar masuk dari kursinya, maka antar kursi dalam baris dapat dibuat jarak 115 cm, sehingga penonton tidak perlu berdiri ketika
ada penonton lain yang hendak melewatinya. Seperti gambar 2.3 berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Jarak antar baris temapat duduk
2.5. Pengendalian Kebisingan