Analisis Tingkat Kebisingan Pada Ruang Auditorium Multifungsi Di Universitas Sumatera Utara

(1)

ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN PADA RUANG AUDITORIUM

MULTIFUNGSI DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelas sarjana

LATIFA HANUM SIREGAR 040801011

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN

AUDITORIUM MULTIFUNGSI DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : LATIFA HANUM SIREGAR

Nomor Induk Mahasiswa : 040801011

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA

Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan , 10 agustus 2009

Diketahui

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing Ketua

Drs.Marhaposan Situmorang Drs.Muhammad Firdaus MSi NIP : 130 810 771 NIP: 195406071983031001


(3)

PERNYATAAN

ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN PADA RUANG AUDITORIUM

MULTIFUNGSI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengaku bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan summbernya.

Medan, 10 Agustus 2009

LATIFA HANUM SIREGAR 040801011


(4)

PENGHARGAAN

“Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat ALLAH SWT yang maha pengasih dan penyayang dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan”.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Muhammad Firdaus MSi selaku pembimbing yang telah memberika banyak waktu, kritik dan sarannya dalam penyusunan tugas akhir ini. Ketua dan Sekretaris Departemen Fisika, Dr. Marhaposan Situmorang dan Dra. Justinon MSi. Dekan dan pembantu dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU. Bapak kepala BTKL-PPM Sumut dan seluruh stap pegawainya, yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan penelitian.

Tidak terlupa Ucapan terima kasih saya penuh cinta kepada ayahanda Lampo Siregar dan ibunda Rosida Nasution, adinda Aisyah, Fitri dan Iqbal yang ku sayangi. Serta sahabat ku oie, listy ray, aisyah, lina, devi, heni dan keluarga besarku lainnya yang selalu memberi dorongan dan motivasi juga bantuan baik material maupun do’anya.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ... i

Pernyataan ... ii

Penghargaan ... iii

Daftar Isi ... iv

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 2

1.3. Batasan Masalah ... 2

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

1.6. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 3

1.7. Metode Penelitian ... 3

1.8. Sistematika Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Kebisingan ... 6


(6)

2.1.1. Pengertian gelombang ... 6

2.1.2. Terjadinya Bunyi... 7

2.1.3. Gelombang Bunyi ... 8

2.1.4. Decibell (dB)... 13

2.1.5. Sound Level Meter ... 15

2.2. Polusi Suara atau Kebisingan ... 17

2.2.1. Pengaruh Bising Terhadap Manusia ... 20

2.3. Karakteristik Kebisingan dan Tanggapan Masyarakat ... 23

2.4. Bising Auditorium ... 23

2.4.1. Penyelesaian Akustik Plafon Panggung ... 26

2.4.2. Penyelesaian Akustik Lantai Area Penonton ... 27

2.5. Pengendalian Kebisingan ... 28

2.5.1. Metode Pengendalian Bising lingkungan ... 28

2.5.2. Penekanan Bising di Sumbernya ... 28

2.5.3. Perencanaan Tempat (Site Planning) ... 29

2.5.4. Pengendalian terhadap Penerima Bising ... 29

2.6. Tinjauan Umum Kesehatan Lingkungan ... 29

2.6.1. Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan... 29

2.7. Baku Kebisingan ... 32

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian... 33


(7)

3.1.2. Pengumpulan Data di Lapangan ... 35 3.2. Peralatan Yang Digunakan... 35 3.3. Tahapan Pengambilan Data ... 36

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengolahan Data ... 39 4.2. Korelasi antara Jarak Pengukuran dan Kebisingan ... 43

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan ... 47 5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49 Lampiran A

Lampiran B Lampiran C


(8)

ABSTRAK

Kebisingan didefenisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki manusia. Salah satu sumber utama bising auditorium multifungsi adalah tingkat bising latar belakang dan pengaruh AC. Penelitian ini untuk memperoleh besar tingkat kebisingan ekivalen akibat sumber bunyi di dalam auditorium multifungsi USU dengan variabel jarak pengukuran 0 meter, 5 meter, 10 meter, 15 meter, dan 20 meter. Kebisingan ekivalen yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar kesehatan sesuai dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-48/MENHL/XII/1996 untuk memperoleh jarak yang ideal untuk digunakan.


(9)

ANALYSIS OF MULTIFUNGSIONAL AUDITORIUMS AT UNIVERSITY SOUNTH SUMATERA

ABSTRACK

Noise is defined as unwanted sound the people. Any main resource multifungsional auditoriums sound is background noise level and of outdoor condensing. The study aim to obtained the multifungsional auditoriums at university sounth sumatera with variabel 0 m, 5 m, 10 m, 15 m, and 20 m. The value of equivalent noise that be obtained will be compared with the noise standard level base of KEP-48/MENHL/XII/1996 to obtained the value of distance ideal to using.


(10)

ABSTRAK

Kebisingan didefenisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki manusia. Salah satu sumber utama bising auditorium multifungsi adalah tingkat bising latar belakang dan pengaruh AC. Penelitian ini untuk memperoleh besar tingkat kebisingan ekivalen akibat sumber bunyi di dalam auditorium multifungsi USU dengan variabel jarak pengukuran 0 meter, 5 meter, 10 meter, 15 meter, dan 20 meter. Kebisingan ekivalen yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar kesehatan sesuai dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-48/MENHL/XII/1996 untuk memperoleh jarak yang ideal untuk digunakan.


(11)

ANALYSIS OF MULTIFUNGSIONAL AUDITORIUMS AT UNIVERSITY SOUNTH SUMATERA

ABSTRACK

Noise is defined as unwanted sound the people. Any main resource multifungsional auditoriums sound is background noise level and of outdoor condensing. The study aim to obtained the multifungsional auditoriums at university sounth sumatera with variabel 0 m, 5 m, 10 m, 15 m, and 20 m. The value of equivalent noise that be obtained will be compared with the noise standard level base of KEP-48/MENHL/XII/1996 to obtained the value of distance ideal to using.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Auditorium merupakan tempat untuk menyaksikan suatu pertunjukan tertentu seperti theater harus dapat memberi kepuasan kepada setiap penonton di berbagai tempat agar dapat mendengar dengan jelas aktivitas percakapan aktor, sehingga nuansa dan efek dramatis yang ditampilkan dapat ditangkap dan dicerna oleh penonton. Dalam pertunjukan musik, aktivitas musik dan mimik aktor bukan merupakan hal yang utama. Namun yang terpenting adalah hal penonton dari berbagai lokasi harus dapat mendengar dan menikmati musik tersebut dengan baik.

Kebanyakan auditorium mempunyai masalah pada tingkat bising latar belakang (background noise level) melebihi kriteria kebisingan (noise criteria) yang disyaratkan sehingga mempengaruhi kinerja akustik auditorium. Performa kualiltas bunyi yang baik dalam suatu auditorium dipengaruhi pula oleh faktor-faktor subjektif, misalnya: lantai, dinding pembatas, dan plafon. Serta faktor objektif yang dipengaruhi oleh kapasitas maksimun penonton. (Mediastika, christina, 2005)

Kriteria akustik ruang auditorium menyatakan kemampuan auditorium tersebut untuk menjalankan fungsinya, yaitu bagaimana pendengar dapat menangkap memahami dengan baik dan utuh suara yang telah dipancarkan oleh pembicara atau pemusik.

Salah satu tujuan dalam mendesain ruang auditorium adalah mencapai suatu tingkat kejelasan yang tinggi sehingga diharapkan agar setiap pendengar pada semua posisi menerima tingkat tekanan bunyi yang sama. Suara yang di pancarkan oleh


(13)

pembicara atau pemusik di upayakan dapat menyebar merata dalam auditorium, agar para pendengar dengan posisi yang berbeda-beda dalam auditorium tersebut memiliki penangkapan dan pemahaman yang sama akan informasi yang disampaikan oleh pembicara dan pemusik.

Syarat agar pendengar dapat menangkap informasi yang disampaikan meskipun dalam posisi berbeda adalah selisih antara tingkat tekanan bunyi terjauh dan terdekat tidak lebih dari 6 dB. Jika dalam satu ruangan yang relatif kecil dimana sumber bunyi dengan tingkat suara yang normal telah mampu menjangkau pendengar terjauh, maka hampir dapat di pastikan bahwa distribusi tingkat tekanan bunyi dalam ruangan tersebut merata.

Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki atau disenangi dapat terjadi oleh karena penilaian tergantung temperamen/watak seseorang dan kebiasaan dalam mendengar bunyi.

1.2. Permasalahan.

“Bagaimana pengaruh jarak terhadap tingkat kebisingan ruangan auditorium pada auditorium multifungsi Universitas Sumatera Utara?”

1.3. Batasan Masalah.

a. Menggunakan alat pengukur tingkat kebisingnan yaitu Sound Level Meter

b. Membandingkan tingkat kebisingan dengan standar kesehatan sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-4/MENLH/11/1996.


(14)

1.4. Tujuan Penelitian.

a. Untuk menentukan tingkat kebisingan auditorium serba guna.

b. Untuk mengamati pengaruh volume suara dan jarak terhadap tingkat kebisingan. c. Menganalisa kondisi kenyamanan auditorium.

1.5. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi berbagai pihak yang terkait dan masyarakat yang memakai auditorium dalam berbagai acara.

1.6. Waktu dan Lokasi Penelitian.

Di auditorium multifungsi Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan Balai Teknis Kesehatan Lingkungan-Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM) Medan Departemen Kesehatan RI.

1.7. Metode Penelitian.

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengukuran besar tingkat kebisingan pada auditorium multifungsi. Sound Level Meter (SLM) adalah Suatu alat pengukuran tingkat kebisingan. Pengukurannya dilakkukan 2 hari pada waktu siang hari (traffic peak hour) dalam kondisi kosong sebagai data background dan pada saat ada acara. Pengambilan data dilakukan 3 jenis pengukuran yang dilakukan yaitu volume suara, jarak pengukuran dan kebisingan.


(15)

1.7. Sistematika Penelitian.

Sistematika penelitian masing-masing bab adalah sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan.

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, waktu dan lokasi penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab 2 Tinjauan Pustaka.

Bab ini membahas tentang teori bunyi dan kebisingan, polusi suara dan pengaruhnya terhadap manusia, tingkat bising latar belakang kinerja akustik auditorium multifungsi.

Bab 3 Metodologi Penelitian.

Bab ini membahas pelaksanaan penelitian yang dilakukan mulai dari survei awal, penelitian lapangan dengan mengukur volume suara, jarak pengukuran dan kebisingan dilakukan selama 2 hari pada siang hari antara 09.30 – 12.30.

Bab 4 Analisa Data.

Membahas tentang penelitian serta analisis data yang mencakup analisis pengaruh volume suara, jarak pengukuran terhadap kebisingan dan besarnya kebisingan ekivalen.


(16)

Bab 5 Kesimpulan dan Saran.

Menyimpulkan hasil-hasil yang di dapatkan dari penelitian dan memberikan saran untuk penelitian lebih lanjut.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Kebisingan.

2.1.1. Pengertian Gelombang.

Gelombang ditimbulkan oleh adanya pergeseran suatu bagian medium elastis dari kedudukan normalnya (Medium elastis adalah suatu medium yang dapat mengalami deformasi, contohnya air, udara). Karena sifat elastis medium, maka gangguan tersebut akan ditransmisikan dari suatu lapis ke lapis berikutnya. Pada udara contohnya dari kipas angin.

Sebagai akibatnya, gangguan atau gelombang ini akan bergerak maju melalui medium tersebut, sedangkan medium itu sendiri tidak secara keseluruhan bergerak, air digerakkan sehingga timbul gelombang. Bila diperhatikan, maka terlihat bahwa sesungguhnya air bergerak sedikit ke atas dan bawah, serta ke depan dan ke belakang. Sedangkan gelombang mencapai objek, maka gelombang akan membuat objek bergerak, yang berarti gelombang memindahkan tenaga ke benda.

Gelombang yang membutuhkan medium untuk perambatannya disebut gelombang mekanis, contohnya gelombag air, dan gelombang suara, sedangkan gelombang yang tidak membutuhkan medium untuk perambatannya disebut gelombang elektromagnetik, contohnya gelombang cahaya. (Halliday dan Resnick,1978).

Berdasarkan perambatannya gelombang mekanis terbagi dua yaitu gelombang transversal adalah gelombang yang terjadi apabila getaran partikelnya tegak lurus pada


(18)

arah rambatan gelombang. Gelombang longitudinal adalah gelombang yang terjadi jika partikelnya bergetar atau bergerak sepanjang arah perambatan gelombang. (Sears dan Zemansky,1962).

2.1.2. Terjadinya Bunyi.

Bunyi terjadi karena adanya benda yang bergetar yang menimbulkan gesekan dengan zat di sekitarnya. Semua bunyi yang terjadi disekitar kita selalu berasal dari objek yang bergetar, mulai dari bunyi mangkok tukang bakso, bunyi kenderaan bermotor, bahkan suara manusia sendiri. Mangkok bakso berbunyi ketika dipukul oleh sendok, pukulan ini menyebebkan mangkok bergetar. Mesin kenderaan bermotor mengubah energi dari hasil pembakaran menjadi energi mekanis yang selanjutnya dipakai untuk menggerakkan kenderaan. Sumber getaran dapat berupa objek yang bergerak, dan dapat juga berupa udara yang bergerak. Contoh dari udara yang bergerak terjadi pada terompet yang di tiup.

Getaran atau gerakan objek atau udara tersebut kemudian menyentuh partikel zat yang ada di dekatnya. Zat itu berupa gas, cairan atau padatan, tergantung letak objek yang bergetar. Partikel zat yang pertama tersentuh (yang paling dekat dengan objek) akan meneruskan energi yang diterimanya ke partikel disebelahnya. Demikian seterusnya partikel-partikel zat akan saling bersentuhan sehingga membentukn rapatan dan regangan yang dapat digambarkan sebagai gelombang yang merambat. (Mediastika, Christina, 2005).

Oleh karena itu, keberadaan zat disekitar objek yang bergetar seringkali disebut sebagai sumber bunyi, telah berhenti bergetar, pada keadaan tertentu perambatan


(19)

gelombangnya masih terus berjalan sampai pada keadaan tertenntu dari objek tersebuit. Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan partikel-partikel udara bergerak ke arah luar, yaitu karena penyimpangan tekanan. Ini sama dengan penyebaran gelombang air pada permukaan suatu kolam dari titik dimana batu dijatuhkan. Partikel-partikel udara yang meneruskan gelombang bunyi tidak berubah posisi normalnya. (Dolle. Leslie 1993)

2.1.3. Gelombang Bunyi.

Sama halnya dengan gelombang lainnya, gelombang bunyi dapat diukur dalam satuan panjang gelombang, frekuensi, dan kecepatan rambat. Mari kita tinjau satu-persatu. Panjang gelombng yang dinotasikan sebagai lambda ( λ ) adalah jarak antara dua titik pada posisi yang saling berurutan, misalnya jarak antara dua puncak gunung, atau jarak antara dua lembah. Panjang gelombang diukur dalam satuan meter (m) dan merupakan elemen yang menunjukkan kekuatan bunyi. Semakin panjang gelombangnya, semakin kuat pula bunyi tersebut, dalam arti, semakin jauh bunyi mampu merambat. Hal ini diperkuat oleh peneliti yang menunjukkan bahwa dalam medium udara, serepan udara pada bunyi dengan gelombang yang pendek (Templeton dan Saunders, 1987). Pada tingkat kecepatan rambat yang sama (dalam medium yang sama), bunyi dengan gelombang panjang identik dengan frekuensi rendah, dan demikian pula sebaliknya. ( mediastika, Christina 2005)

Gelombang longitudinal merupakan gelombang yang terdengar sebagai bunyi bila masuk ke telinga. Gelombang longitudinal yang masuk dan terdengar sebagai bunyi pada teliga manusia pada frekuensi 20 – 20.000 Hz atau disebut jangkauan suara yang dapat di


(20)

dengar (addible sound). Bunyi-bunyi yang muncul pada frekuensi dibawah 20 Hz disebut bunyi infrasonik, sedangkan yang muncul di atas 20.000 Hz disebut ultrasonik, dalam rentang 20 Hz sampai 20.000 Hz tersebut, bunyi masih dibedakan lagi menjadi bunyi-bunyi dengan frekuensi rendah (dibawah 1000 Hz), frekuensi sedang (1000 Hz sampai 4000 Hz) dan frekuensi tinggi (diatas 4000 Hz). Penelitian menunjukkan bahwa manusia lebih nyaman mendengarkan bunyi-bunyi dalam frekuensi rendah. (mediastika,Christina 2005).

Gelombang yang terdengar oleh telinga berasal dari tali – tali yang bergetar (biola, pita suara manusia), kolom udara yang bergetar (orgel, clarinet), dan plat serta selaput yang bergetar (tambur, pengeras suara, mesin). Suara yang di hasilkan elemen tersebut bergetar ke depan dan merenggangkan udara sewaktu bergerak ke belakang. Udara kemudian mentransmisikan gangguan-gangguan yang ke luar dari sumber tersebut sebagai gelombang. Sewaktu memasuki telinga, gelombang-gelombang ini menimbulkan sensasi bunyi. (Halliday dan Resnick,1978)

1. Sumber Bunyi.

Sumber bunyi adalah benda yang bergetar atau benda yang mendapat gangguan. Getaran dari benda itu merambat melalui zat penghantar sampai ke telinga. Benda yang bergetar adalah zat padat, zat cair dan zat gas. Demikian pula yang merupakan zat penghantar bunyi adalah zat padat, cair dan gas.

Pada saat suatu benda dipukul, kita mendengar bunyi, air terjun kita dengar bunyinya, tetapi bunyinya berbeda dengan bunyi senar atau suling. Bunyi senar gitar enak di dengar dan bunyi yang demikian disebut nada. Bunyi alat-alat musik termasuk nada. Perbedaan bunyi itu termasuk nada atau bunyi biasa disebabkan oleh jenis getaran dari


(21)

benda yang bergetar. Kalau getaran benda merupakan getaran selaras atau mendekati getaran selaras, maka bunyi yang dihasilkannya menjadi nada.

Bunyi garfu tala dapat di katakan murni sinusoidal seperti gambar 2.1a. Bunyi terompet tidak murni sinusoidal tetapi masih enak di dengar (gambar 2.1b)

a.bunyi garfu tala b.bunyi terompet Gambar 2.1.Grafik dari nada

2. Keras-lemah dan tinggi-rendahnya bunyi.

Keras bunyi (loudness) sangat dipengaruhi oleh sensasi yang ditimbulkan pada pendengaran seseorang. Jadi, bersifat subjektif, berbeda pada tiap-tiap orang, dan tidak dapat diukur secara langsung dengan suatu alat, berbeda dengan intensitas bunyi yang objektif, dan dapat di ukur dengan alat. Keras bunyi bertambah jika intensitas meningkat, tetapi pertambahan ini tidak terjadi secara linier. (Sears dan Zemansky 1962)

Makin besar amplitudo suatu getaran, makin keras bunyi yang di hasilkannya. Hal ini sesuai dengan energi getaran


(22)

K = konstanta pegas A = Amplitudo

Energi dari benda yang bergetar dirambatkan oleh bunyi melalui zat penghantar sampai ke telinga dan selaput telinga kita bergetar. Energi getaran bergantung pada amplitudo, juga bergantung pada frekuensi getaran. Energi getaran akan menentukan kesan pendengaran pada telinga yang normal. Makin besar energi getaran, makin kuat kesan pendengaran yang tertangkap oleh telinga. (Mundilarto, dkk 1992).

3. Tingkat Intensitas.

Intensitas adalah jumlah energi bunyi tiap detiknya menembus tegak lurus bidang seluas satu satuan luas. Karena luasnya daerah intensitas bunyi yang dapat diterima telinga manusia, penggunaan skala logaritma akan mempermudah pembacaan harga intensitas bunyi. Tingkat intensitas suara (L) dihitung dalam skala logaritmik yang dinyatakan dalam satuan bel atau decibel (dB). Hubungan antara intensitas (I) dengan tingkat intensitas suara dinyatakan dengan:

L = 10 log 10 (I / Io)……….(2.3)

Dimana :

L = Tingkat intensitas bunyi (sound pressure level) (dB) I = Intensitas suara (watt/m2)


(23)

Pada pengukuran intensitas bunyi dengan menggunakan tekanan, dikenal istilah

sound pressure level (SPL), yaitu nilai yang menunjukkan perubahan tekanan didalam

udara karena adanya perambatan gelombang bunyi. (mediastika,Christina.2005)

SPL = 20 log P/Po………(2.4)

Dimana :

SPL = Sound Pressure Level (SPL)

P = tekanan dalam Pa atau bars ( 1 Pa = 10 ubars) Po = tekanan acuan (20 uPa)

2.1.4. decibell (dB).

Beberapa model pengukuran tingkat kekuatan bunyi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa pada beberapa hal, pengukuran menjadi tidak nyaman dan sulit dilakukan karena menggunakan angka-angka yang terlalu kecil, demikian pula pengukuran tingkat kekuatan bunyi dengan bantuan ambang bawah dan ambang atas telinga pun tidak selalu mudah dilakukan karena terlaku jauh selisihnya, yaitu dari 1 x 10-10 watt/m2 sampai 100 watt/m2, atau dari 2 x 10-5 Pa sampai 200 Pa.

Oleh karena itu, dipakailah model pengukuran dengan sistem rasio atau perbandingan di antara dua nilai tekanan. Perbandingan ini dilakukan dengan sistem logaritmik dan selanjutnya di hitung dalam satuan decibell (yang secara umum ditulis decibell). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:


(24)

IL = 10 log 10 I2/I1 = 10 log 10 (p2/p11)2………...(2.5)

Dimana :

IL = adalah intetnsitas bunyi (dB)

I2 dan I1 = intensitas akhir dan awal bunyi yang di bandingkan P2 dan P1 = tekanan akhir dan awal yang diperbandingkan

Meski menggunakan cara pengukuran yang berbeda, dalam kenyataan dilapangan, baik SPL maupun IL adalah model pengukuran yang berbasiskan 0 dB sebagai level terendahnyna (hearing threshold). Kedua-keduanya dapat dipakai sebagai standar pengukuran tingkat kekuatan bunyi, meski sebenarnya, intensitas aktual dan tekanan aktual yang ditunjukkan oleh kedua model melalui angka yang sama memiliki arti yang berbeda-beda dalam ukuran dan satuan.

Angka tunggal tingkat kebisingan dijumpai dilapangan bergantung pada faktor: 1. Bahwa tekanan bunyi umumnya mengalami fluktuasi setiap waktu.

2. Adanya perbedaan karakteristik tiap-tiap bunyi pada kondisi tekanan yang berbeda.

Terlepas dari adanya faktor yang menurunkan tingkat kebenaran pengukuran bunyi dalam dB, pengukuran kekuatan bunyi dangan satuan dB memudahkan manusia untuk mengetahui ambang batas bawah dan atas dari kekuatan bunyi yang mampu di dengar, sebagaimana digambarkan pada tabel 2.1.


(25)

Tabel 2.1.Ambang batas pendengaran manusia (dalam dB) Sound Pressure

(Pa)

Sound Level (dB) Contoh keadaan 200 20 2 0,2 0,02 0,002 0,0002 0,00002 140 130 120 110 100 90 80 70 60 30 s.d.50 20 0 s.d.10

Ambang bataas atas pendengaran Pesawat terbang tinggal landas Diskotik yang amat gaduh Diskotik yang gaduh Pabrik yang gaduh Kereta api yang jalan Pojok perempatan jalan

Mesin penyedot debu umumnya Percakapan dengan berteriak Percakapan normal

Desa yang tenang,angin berdesir Ambang batas bawah pendengaran

2.1.5. Sound Level Meter.

Tingkat kekuatan atau kekerasan bunyi diukur dengan alat yang disebut Sound

Level Meter (SLM). Alat ini terdiri dari: mikrofon, amplilfier, weighting network dan

layar display dalam satuan dB. Layar dapat berupa layar manual yang ditunjukkan dengan jarum dan angka seperti halnya jam manual, ataupun berupa layar digital seperti halnya jam digital. SLM sederhana hanya dapat mengukur tingkat kekerasan bunyi dalam satuan dB, sedangkan SLM yang canggih sekaligus mampu menunjukkan frekuensi bunyi yang diukur. Proses kerja SLM sederhana diilustrasikan dalam gambar 2.2.


(26)

amplifier

atau Skala-dB

Filter oktaf-band

Monitor hasil

Gambar 2.2.Sistem kerja Sound Level Meter

SLM yang amat sederhana biasanya hanya dilengkapi dengan bobot pengukuran A {dB(A)} dengan sistem pengukuran seketika (tidak dapat menyimpan dan mengolah data), sedangkan yang sedikit lebih baik, dilengkapi pula dengan skala pengukuran B dan C. Beberapa SLM yang lebih canggih dapat sekaligus dipakai untuk menganalisis tingkat kekerasan dan frekuensi bunyi yang muncul selama rentang waktu (misalnya tingkat kekerasan selama 1 menit, 10 menit, atau 8 jam), dan mampu menggambarkan gelombang yang terjadi. Beberapa produsen menamakannya Hand Held Analyser (HHA), ada pula dalam model Desk Analyser (DA).

Meski nampak canggih dan rumit, sesungguhnya menggunakan SLM untuk mengukur tingkat kekerasan bunyi tidaklah sulit. Yang terpenting adalah menaati pedoman atau standar yang telah ditetapkan agar hasil pengukurannnya menjadi sahih. Adapun persyaratan tersebut adalah:

1. Agar posisi pengukuran stabil, SLM sebaiknya dipasang pada tripod. Setiap SLM, bahkan yang paling sederhana, idealnya dilengkapi dengan lubang untuk mendudukkanya pada tripod. SLM yang diletakkan pada tripod lebih stabil posisinya dibandingkan yang dipegang oleh tangan


(27)

dekat dengan SLM juga dapat mengganggu penerimaan bunyi oleh SLM karena tubuh manusia mampu memantulkan bunyi. Peletakan SLM pada papan, seperti meja atau kursi, juga dapat mengurangi kesahihan hasil pengukuran karena sarana tersebut akan memantulkan bunyi yang diterima.

2. Operator SLM setidaknya berdiri pada jarak 0,5 m dari SLM tidak terjadi efek pemantulan.

3. Untuk menghindari terjadinya pantulan dari elemen-elemen permukaan disekitarnya, SLM sebaiknya ditempatkan pada posisi 1,2 m dari atas permukaan lantai; 3,5 m dari permukaan dinding atau objek lain yang akan memantulkan bunyi.

4. Untuk pengukuran di dalam ruangan atau bangunan, SLM berada pada posisi 1 m dari dinding-dinding pembentnuk ruangan. Bila diletakkan dihadapan jendela maka jaraknya 1,5 m dari jendela tersebut. Agar hasil lebih sahih, karena adanya kemungkinan pamantulan oleh elemen pembentuk ruang, pengukuran dengan SLM dalam ruang sebaiknya dilakukan pada tiga titik berbeda dengan jarak antar titik lebih kurang 0,5m.


(28)

5. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang sahih dan mampu mencatat semua fluktuasi bunyi yang terjadi, SLM dipasang pada posisi slow

responsse.

2.2. Polusi Suara atau Kebisingan.

Suara atau kebisingan didefenisikan semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau belajar) dianggap sebagai bising. Sebagai defenisi standar, tiap bunyi yang tak diinginkan oleh penerima dianggap sebagai bising. (Doelle. Leslie L.1993)

Kebisingan yang terjadi di sekitar kita dapat berasal dari berbagai sumber. Sumber ini dibedakan menjadi sumber yang diam dan sumber yang bergerak. Contoh yang diam adalah industri/pabrik dan mesin-mesin konstruksi. Sedangkan contoh dari sumber yang bergerak misalnya kenderaan bermotor, kereta api, dan pesawat terbang.

- Kebisingan Industri/Pabrik.

Industri modern yang telah menggunakan peralatan-peralatan bermesin merupakan sumber kebisingan diam yang sangat potensial. Kebisingan yang dihasilkan oleh mesin-mesin didalam pabrik juga dapat merambat ke luar bangunan pabrik, sehingga selain dirasakan secara langsung oleh pekerja pabrik, Kebisingan itu juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik. Mesin-mesin pabrik umumnya menghasilkan bunyi berfrekuensi rendah, sehingga selain menghasilkan bunyi bising mesin-mesin tersebut juga menghasilkan getaran. Oleh karena itu idealnya bangunnan pabrik di rancang sebagai bangunan yang mampu meredam getaran agar tidak merambat keluar, sehingga bangunan disekitar pabrik cukup didesain untuk menahan kebisingan saja.


(29)

Sementara itu, para pekerja pabrik yang selalu berdekatan dengan mesin-mesin berbunyi keras, sebaiknya menggunakan earprotection saat bekerja

- Kebisingan Kereta Api.

Kebisingan dari kereta api juga memiliki wujud ganda berupa bunyi dan getaran akibat adanya gesekan roda kereta api dari bahan keras dengan rel kereta api yang juga terbuat dari bahan keras. Kebisingan yang muncul datang dari mesin kereta api, klakson, dan gesekan antara roda dan rel yang sering kali menghasilkan bunyi berdecit. Kebisingan dari kereta api dirasakan oleh mereka yang berada dalam stasiun kerta api dan bangunan yang dibangun disekitar jalur kereta api. Oleh karena itu, idealnya, bangunan disepanjang jalur kereta api didesain dengan akustik yang baik untuk mengurangi masuknya kebisingan dan didesain dengan redaman yang baik untuk mengurangi masuknya kebisingan dan didesain dengan redaman yang baik untuk mengurangi masuknya getaran ke dalam bangunan.

- Kebisingan Pesawat Terbang.

Bunyi-bunyi yang muncul pada pesawat terbang memiliki bobot yang berbeda dengan bunyi mesin-mesin lain yaitu pada bobot D, sebagaimana diuraikan dalam Bab 1. kebisingan yang terjadi dari pesawat terbang umumnya diderita oleh bangunan yang berlokasi dekat dengan pelabuhan udara dan beberapa ratus meter dari pelabuhan udara tersebut (ketika pesawat tinggal landas dan mendarat, serta saat pesawat terbang pada ketinggian yang rendah). Ketika pesawat telah mencapai posisinya pada ketinggian tertentu, maka kebisingan yang dihasilkan sepanjang jalur perjalannya tidak akan menggangu bangunan dibawahnya karena jaraknya sangat jauh. Redaman kebisingan


(30)

melalui dinding dan atap bangunan yang dibuat sedemikia rupa dapat mengurangi kebisingan pesawat saat tinggal landas, medarat, dan terang rendah.

- Kebisingan Jalan Raya.

Kebisingan jalan raya disebabkan oleh pemakaian kendaraan bermotor, baik yang beroda dua, yang beroda empat, maupun beroda lebih dari beroda dari empat. Dengan begitu banyaknya sumber kebisingan di atas permukaan jalan, maka jalan raya pun ditetapkan sebagai sumber kebisingan utama dewasa ini. Setiap jenis kendaraan bermotor memiliki frekuensi tertentu.Menurut dan Walker (1982) kendaraan bermotor umumnya memiliki tingkat kebisingan maksimum pada frekuensi antara 100 Hz sampai 7000 Hz. Sumber kebisingan kendaraan bermotor berasal dari mesin, tranmisi rem, klakson, knalpot, dan gesekan ban dengan jalan (White dan Walker !982). Kareana gesekan yang terjadi antara ban dengan jalan adalah gesekan antara benda lunak dan keras, dan berat kendaraan pada umumnya jauh di bawah berat kereta api dan pesawat terbang, maka kebisingan dari jalan umumnya berupa bunyi dan hanya sedikit yang berupa bunyi dan getaran. Oleh karena itu, idealnya, bangunan ditepi jalan cukup didesain untuk meredam masuknya bunyi ke dalam bangunan.

2.2.1. Pengaruh Bising Terhadap Manusia.

Timbulnya bising bunyi dikenakan intensitas yang tinggi, sumber bunyi yang beraneka ragam, bunyi yang ireguler maka akan memberi dampak/efek yang negatif terutama pada proses pendengaran, misalnya bisa tuli sementara atau tuli permanen. (Gabriel.1997 ) 1. Pengaruh pada pendengaran antara lain:


(31)

a. Kenaikan ambang pendengaran yang mennyebabkan secara sementara (temporary

hearing loss). Apabila seseorang yang memasuki tempat yang bising, gangguan hanya

terasa diawal saja tetapi lama kelamaan kebisingan tersebut tidak lagi terasa sebagai gangguan.

Kemampuan pendengaran pada umumnya dapat pulih seperti semula dalam waktu beberapa menit sampai beberapa minggu tergantung dari lamanya orang tersebut berada ditempat bising tersebut, besar tingkat yang diterima dan kerentanan individu tersebut. Keadaan tersebut dikenal dengan sebutan kehilangan pendengaran sementara. Pada kondisi ini teliga masih dapat di atasi dengan obat atau dengan pembedahan.

b. Kenaikan ambang pendengaran yang berkurangnya daya pendengaran secara permanen (permanent hearing loss).

Apabila seseorang mendengar kebisingan yang tinggi dan berulang dalam waktu lama (10-15 tahun), maka akan terjadi penurunan ambang pendengaran yang bersifat tetap (permanent hearing loss). Pada umumnya perubahan ambang pendengaran yang bersifat tetap ini merupakan efek gabungan dari kebisingan yangn didengar dan proses penuaan dari orang yang bersangkutan.(Wiyadi, 1979)

2. Pengaruh pada hal-hal lain: a. Gangguan tidur.

Kebisingan dapat mengganggu dan menghentikan jalannya tidur. Pada gangguan tidur tidak akan terjadi jika bising berada dibawah 35 dB (A). Bila tingkat bising mencapai 40 dB (A) kemungkinan terbangun adalah 5% dan meningkatkan menjadi 30% pada 70 dB (A), Serta menjadi 100 % pada saat bising mencapai 100 dB (A) ke atas. (Croone, 1982) b. Gangguan kesehatan.


(32)

Gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh kebisingan antara lain: ketegangan otot, penyempitan pembuluh darah, kenaikan tekanan darah, meningkatnya debaran jantung, mual, pusing, dan muntah bila suara mencapai lebih dari 130 dB (A) Selain itu bising juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan, penurunan kecermatan dalam pekerjaan, gangguan konsentrasi dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada manusia.(Croone,1982) Hubungan antara tingkat suara/bising dengan reaksi manusia dapat dilihat pada tabel.2.2 berikut:

Jenis suara Tingkat bising (dB)

Efek pada manusia

Mesin pesawat, jet, sirene 140 Sangat menyakitkan Pesawat jet lepas landas,

diskotik, truk sampah, pemancangan tiang

100-130 Kemampuan mendengar

pembicaraan maksimum Truk besar (50 ft), mesin

pemotong rumput

90 Sangat mengganggu Bunyi alarm (jarak 2 ft), hair

dryer, lalu lintas kota sibuk, restoran yang sibuk, lalu lintas jalan bebas hambatan

70 Sulit untuk berbicara

ditelepon

Bunyi AC (jarak 100 ft) 50 Sunyi

Lalu lintas ringan (jarak 100 ft) 50 Sunyi Ruang tamu, ruang tidur, kantor

yang sepi, lalu lintas ringan kota malam hari

40

Perpustakaan, bisikan halus, lalu lintas luar kota malam hari

30 Sangat pelan

Studio penyiaran 20

0-10 Batas pendengaran Sumber: Papacostas,1993


(33)

2.3. Karakteristik Kebisingan dan Tanggapan Masyarakat.

Sebagaimana telah diuraikan, tiap individu memiliki subjektivitas terhadap noise, begitupun sesungguhnya tiap individu juga memiliki subjektivitas terhadap kebisingan. Toleransi manusia terhadap kebisingan bergantung pada faktor akustikal dan non-akustikal (Sander dan McCormik, 1987). Faktor non-akustikal meliputi: tingkat kekerasan bunyi, frekuensi bunyi, durasi munculnya bunyi, fluktuasi kekerasan bunyi, fluktuasi frekuensi bunyi, dan waktu munculnya bunyi. Sementara faktor non akustikal meliputi: pengalaman terhadap kebisingan, kegiatan, perkiraan terhadap kemungkinan munculnya kebisingan, manfaat objek yang menghasilkan kebisingan, kepribadian, lingkungan dan keadaan. Semua faktor tersebut harus diperhitungkan setiap kali mengukur tingkat kebisingan pada suatu tempat, sehingga data yang dihasilkan menjadi sahih dan solusi yang diterapkan lebih tepat.

Kebisingan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: kebisingan tunggal dan kebisingan majemuk. Kebisingan tunggal dihasilkan oleh sumber bunyi berbentuk garis. Tingkat gangguan kebisingan dapat diukur menggunakan skala berdasarkan apa yang dirasakan manusia, seperti merasakan adanya kebisingan, merasa terusik, merasa terganggu, sampai merasa sangat terganggu atau tidak tahan.

2.4. Bising Auditorium.

Pengendalian bising auditorium harus mulai dengan perencanaan letak (site) yang baik dengan memisahkan auditorium-auditorium sebanyak mungkin dari semua bising eksterior dan interior dan sumber-sumber getaran, seperti lalu-lintas kenderaan yang bising, lalu-lintas udara, lalu-lintas bawah tanah, daerah parkir atau bongkar muat barang,


(34)

peralatan mekanis, ruang elektronik atau bengkel. Pentingnya menempatkan auditorium sejauh mungkin dari sumber bising eksterior dan interior yang potensial tak cukup ditekan, karena ini selalu terbukti merupakan tindakan pengendalian bising yang paling ekonomis dan paling efisien.

Perancangan ruang-ruang penahan yang melindungi auditorium dari sumber bising eksterior secara baik akan menyebabkan penggunaan dinding-dinding insulatif yang lebih sedikit, artinya lebih murah, sekeliling auditorium.

Kalau dalam pengendalian bising daerah tempat tinggal, kantor, hotel, rumah sakit, rumah makan dan lain-lain, penggunaan bising latar belakang yang kontinu, tak dikenal dan tak terlalu keras sebagai efek penyelimut tidak hanya diboleh dilakukan tetapi sering bahkan diinginkan, maka dalam akustik auditorium bising pada umumnya tak diinginkan. Sistem ventilasi dan pengondisi udara untuk suatu auditorium harus dirancang sedemekian hingga tingkat bising yang dihasilkan sistem adalah 5 sampai 15 dB di bawah tingkat bising latar belakang yang ditentukan dalam kriteria bising. Hal ini penting untuk mencengah gangguan bising mekanis terhadap inteligibilitas pembicaran atau kenikmatan musik.

Masalah pengendalian bising dalam akustik auditorium langsung berhubungan dengan pengadaan kekerasan yang cukup karena bila tingkat bising latar belakang dalam ruang telah direduksi dengan sejumlah decibel yang cukup, maka kekerasan subjektif dari isi acara dengan sendirinya akan bertambah dengan jumlah yang sama.

Masalah bising yang umum dalam akustik ruang, timbul pada rancangan auditorium yang dapat dibagi dalam ruang-ruang dan auditorium serbaguna. Sebelum merancang dan memilih partisi yang dapat dipindahkan dalanm auditorium yang dapat


(35)

dibagi kedalam ruang-ruang, penggunaan ruang-ruang yang terbagi-bagi tersebut harus dijelaskan untik menentukan dugaan intensitas dalam acara bunyi. (Doelle.Leslie L.1993).

a. Akustika Luar Ruangan (Eksterior).

Penyelesaian desain akustik luar ruangan diperlukan agar pada akhirnya kita mendapatkan kualitas akustik dalam ruangan auditorium yang maksimal. Terlebih lagi bila auditorium terletak pada lokasi dengan tingkat kebisingan tinggi. Perancangan secara eksterior meliputi pengendalian kebisingan disekitar bangunan auditorium, agar kebisingan tersebut tidak masuk atau mengganggu aktivitas didalam auditorium. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, prinsip perancangan akustik secara eksterior meliputi:

• Usaha-usaha untuk menjauhkan bangunan dari sumber kebisingan. Hal ini dapat diterapkan dengan meletakkan bangunan pada bagian belakang lahan. Sisa lahan dibagian depan dapat dengan sengaja dimanfaatkan untuk area parkir.

• Bila kebisingan dari jalan didepan lahan telah sedemikian tinggi, maka seyogyanya dibangun penghalang atau barrier dalam wujud yangn tidak mengganggu fasa bangunan secara keseluruhan. Agar penghalang yang dibangun tidak terlampau tinggi.

• Selanjutnya kita memilih konstruksi bangunan auditorium dari bahan yang memiliki tingkat insulasi tinggi, sekaligus menempatkan model vertilasi yang mampu mengurangi kemungkinan masuknya kebisingan ke dalam bangunan.


(36)

b. Akustika Dalam Ruangan (Interior).

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai akustik dalam ruang auditorium. Perlu kiranya kita tinjau kembali keberadaan ruang-ruang yang dibutuhkan di dalam bangunan auditorium. Secara garis besar ruang-ruang didalam auditorium dapat dibedakan menjadi 3 ruang :

1. Ruang-ruang utama, yang meliputi: ruang panggung dan ruang penonton, baik ruang penonton lantai satu maupun lantai balkon.

2. Ruang-ruang pendukung, yang meliputi: ruang persiapan pementasan, toilet, kafetaria, hall, ruang tiket, dan lain-lain.

3. Ruang-ruang servis, yang meliputi: ruang generator, ruang pengendali udara, gudang peralatan, dan lain-lain.

Keberadaan ketiga kelompok ruang tersebut saling mendukung untuk menampung aktivitas yang terjadi dalam auditorium, namum demikian, hanya ruang utamalah yangn membutuhkan penyelesaian akustik secara mendalam. Kebisingan dari ruang-ruang pendukung masih berada pada taraf yang dapat dikontrol oleh pengelolah auditorium. Oleh karenanya, peletakan yang berdekatan dianggap tidak menimbulkan kebisingan yang berarti. Peletakan ini juga akan sangat memudahkan penyaji dan pengunjung ketika mereka membutuhkan ruang-ruang tersebut.

2.4.1. Penyelesaian Akustik Plafon Panggung.

Ketinggian plafon panggung sangat bermacam-macam dan biasanya bergantung pada dimensi ruang auditorium secara keseluruhan. Peletakan plafon yang terlalu rendah kurang baik bagi lantai penonton yang dibuat bertrap, demikian pula bagi lantai penonton


(37)

yang menggunakan balkon, sebab sudut pandang penonton pada trap tertinggi atau pada lantai balkon ke arah panggung menjadi kurang leluasa.

Plafon ruang pangngung sebaiknya diselesaikan ruang panggung sebaiknya diselesaikan dengan bahan yang memantulkan, agar pada keadaan tanpa bantuan peralatan elektronik (sound system) suara dari penyaji dapat disebarkan ke arah penonton. Pemantulan yang terjadi akan memperkuat suara asli, selama munculnya suara pantulan tidak lebih lama dari 1/20 detik suara asli.

2.4.2. Penyelesaian Akustik Lantai Area Penonton.

Lantai penonton dapat diselesaikan sebagai lantai mendatar. Keuntungan dari penyelesaian lantai mendatar adalah kemungkinan digunakannya auditorium untuk berbagai aktivitas (kemultifungsian). Namun pada lantai semacam ini, terutama ketika jumlah penonton cukup banyak, sebagian besar penonton akan mendapat kualitas visual yang amat rendah.

Jumlah ideal kursi penonton untuk ditata sejajar adalah 12 sampai 15 buah, dengan asumsi bahwa penonton yang duduk ditengah-tengah tidak menempuh perjalanan terlalu jauh kearah selasar utama. Pemabatasan ideal jumlah kursi yang dijajar ini menyebabkan terbentuknya selasar atau lorong-lorong sirkulasi pada area penonton. Jarak antara kursi dalam baris (depan-belakang) standarnya adalah 86 cm, namun untuk kenyamanan penonton yang kemungkinan besar keluar masuk dari kursinya, maka antar kursi dalam baris dapat dibuat jarak 115 cm, sehingga penonton tidak perlu berdiri ketika ada penonton lain yang hendak melewatinya. Seperti gambar (2.3) berikut ini:


(38)

Gambar 2.3. Jarak antar baris temapat duduk

2.5. Pengendalian Kebisingan

2.5.1. Metode pengendalian Bising Lingkungan

Bermacam-macam cara dapat dilakukan untuk mengeliminasi atau mereduksi bising dengan efektif didalam maupun diluar bangunan. Telah menjadi sangat jelas bahwa perjuangan melawan sejumlah bising yang merusak dan senantiasa bertambah hanya akan membawa hasil yang memuaskan bila semua orang yang berhubungan dengan perancangan dan penggunaan lingkungan baik didalam maupun diluar, bekerja bersama-sama untuk mencapai sasaran tersebut.

Pengendalian bising dapat juga diperoleh lewat cara lain diluar perancangan, misalnya, lewat modifikasi tertentu dari sumber atau jejak perambatan atau dengan pengaturan kembali seluruh daerah bising dengan sebaiknya-baiknya. Usaha-usaha ini ada dalam tangan pengusaha-pengusaha pabrik, manajemen kantor, dan lain-lain.

2.5.2. Penekanan Bising di Sumbernya.

Tindakan pengendalian bising yang paling ekonomis adalah menekan bising tepat disumbernya dengan memilih mesin-mesin dan peralatan yang relatif tenang dengan memakai proses-proses pabrik atau metode kerja yang tidak menyebabkan tingkat bising yang menggangu, contoh bising yang disebabkan bantingan pintu dapat di hindari dengan


(39)

menggunakan penahan pintu karet-busa. Perubahan dari mengeling menjadi mengelas atau dari memalu menjadi penekanan hidrolik akan meniadakan beberapa bising yang paling kuat di pabrik.

2.5.3. Perencanaan Tempat (site planning).

Pengalaman menunjukkan bahwa sekali suatu sumber bising diluar ada di suatu daerah, maka sulit untuk menghilangkannya. Karena itu adalah penting bahwa-gedung-gedung yang membutuhkan lingkungan bunyi yang tenang (sekolah, rumah sakit, lembaga penelitian, dan lain-lain) diletakkan pada tempat yang tenang, jauh dari jalan raya, daerah industri, dan bandar udara.

Gedung-gedung yang tidak mudah dapat menerima bising dapat digunakan sebagai penahan bising (noise baffles) dan dapat diletakkan antara sumber bising dan daerah-daerah yang membutuhkan ketenangan.

2.5.4. Pengendalian terhadap Penerima Bising.

Strategi pengendalian terhadap penerima bising yang dapat dilakukan antara lain melalui perencanaan tata guna lahan, disain bangunan yang dapat mengurangi penerimaan bising (misalnya dengan memberikan lapisan peredam suara pada bangunan dan mengngunakan bahan bangunan yang dapat meredam suara). Meningkatkan pengertian dan pemahaman masyarakat terhadap pengendalian kebisingan, memberikan kompensasi terhadap penerima bising, dan membuat peraturan-peraturan pengendalian kebisingan. (Papacostas,1993)

2.6. Tinjauan Umum Kesehatan Lingkungan.

2.6.1. Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan. 1. Lingkungan.


(40)

Bagaimanapun lingkungan itu dikelompokkan, pada prinsipnya, lingkungan (air, udara, tanah, sosial, dan lain-lain) tidak dapat dipisah-pisahkan, karena itu mempunyai batas yang nyata dan merupakan suatu kesatuan ekosistem. Benda hidup tak dapat dipisahkan dari benda mati.

Bagi manusia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun abstrak, termasuk manusia lainnyna, serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen-elemen dialam tersebut. Lingkungan itu sangat luas, oleh karenanya seringkali di kelompokkan untuk mempermudahan pemahamanya.

Lingkungan dapat diklasifikasi dengan berbagai cara sebagai berikut:

1. Lingkungan yang hidup (biotis) dan lingkungan tidak hidup (abiotis). 2. Lingkungan alamiah dan lingkungan buatan (manusia).

3. Lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal 4. Lingkungan biofisis dan lingkungan psikososial.

5. Lingkungan air (hidrosfir), lingkungan udara (atmosfir), lingkungan tanah (litosfer), lingkungan biologis (biosfer), dan lingkungan sosial (sosiosfir). 6. Kombinasi dari klasifikasi-klasifikasi teresebut.

2. Serapan Udara.

Udara disekitar kita, yang menjadi medium perambatan gelombang bunyi, sesungguhnya mampu menyerap sebagian kecil kekuatan gelombang bunyi yang melewatinya. Kemampuan serapan udara tersebut bergantung pada suhu dan kelembabannya. Serapan yang lebih besar akan terjadi lebih baik pada udara dengan kelembaban relatif yang rendah, dibandingkan pada udara dengan kelembaban relatif


(41)

tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pada udara yang bersuhu rendah, molekulnya lebih stabil dan rapat sehingga gesekan yang terjadi ketika ada gelombang bunnyi yang merambat menjadi lebih besar (dengan demikian kekuatannya akan menurun). Bunyi merambat lebih cepat pada udara yang bersuhu tinggi karena molekulnya lebih renggang (sehingga bunyi bisa merambat dengan halangan minimal. Sementara itu pada udara yang memiliki kelembaban relatif tinggi, titik-titik air terkandung di udara akan mengurangi terjadinya gesekan saat ada gelombang bunyi yang merambat, sehingnga penurunan kekeatan gelommbang bunyi juga tidak besar. (Meastika,Christina. 2005)

Selain karena suhu dan kelembaban, tingkat serapan juga berbeda-beda tergantung pada frekuensi bunyi yang merambat. Pada suatu ruang tertutup, kemampuan serapan udara terhadap ggelombang bunyi yang merambat adalah 4 mV. Dengan m adalah koefisien serapan udara dalam ruangan yang sangat tergantung pada frekuensi dan kelembaban dan V adalah volume ruangan tertutup tersebut (Templeton dan Saunders, 1987).

3. Angin.

Pengaruh angin dalam mengurangi kekuatan bunyi adalah fenomena yang belum dapat dipahani sepenuhnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin. Pada kondisi angin bertiup dari sumber bunyi menuju suatu titik, maka titik tersebut akan menerima bunyi dengan lebih cepat, dalam kekuatan yang cukup besar. Namun sebaliknya, bila angin bertiup menuju arah yang berlawanan, menjauhi titik, maka titik tersebut akan menerima bunyi dengan kekuatan yang lemah.


(42)

2.7. Baku Kebisingan.

Menyadari dampak yang ditimbulkan oleh kebisingan, Pemerintah negara maju telah mengupayakan agar permasalahan kebisingan dipahami oleh masyarakat umum dan diatur dalam perundangan yang ketat disertai sanksi bagi yang menghasilkan kebisingan tersebut.

Pemerintah Indonesia memiliki aturan kebisingan dalam Undang-Undang No. 16/2002 mengenai Bangunan Gedung (UUBG). Dalam UUBG, peraturan kebisingan hanya dimasukkan dalam pasal mengenai kenyamanan, belum sampai pada pasal mengenai kesehatan.

Kebisingan juga diatur dalam peraturan Menkes No.718/MenKes/Per/XI/87 dan keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) No.70-I/PP.03.04.LP. Dari peraturan tersebut, diperolehlah bakuan tingkat kebisingan menurut pintakat peruntukan (zone) sebagaimana tercantum pada tabel. 2.3.

Tabel 2.3. Pintakat peruntukan

(Peraturan MenKes No. 718/MenKes/Per/XI/87, dalam Lutfi, 1995)

Pintakat Peruntukan Tingkat Kebisingan (Dba) maksimum di dalam bangunan

A. Laboratorium, rumah sakit, panti perawatan

B. Rumah, Sekolah, tempat rekreasi C. Kantor, pertokoan

D. Industri, terminal, stasiun KA

Dianjurkan Diperbolehkan

35 45

45 55

50 60


(43)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN.

Penelitian ini dilaksanakan dengan dua tahap yaitu pertama pengambilan data lapangan di auditorium multifungsi di Universitas Sumatera Utara, kedua dilakukan pengolahan data untuk memperoleh besar kebisingan ekivalen.

Prosedur awal sampai pengelolahan terlihat pada diagram 3.1:

METODE PENELITIAN

STUDI LITERATUR PENELITIAN

SURVEI AWAL

PEMILIHAN LOKASI

PEMILIHAN ALAT PENENTUAN WAKTU

PELAKSANAAN

PENELITIAN LAPANGANAN

VOLUME SUARA JARAK PENGUKURAN ALAT PENGUKURAN KEBISINGAN

PENGUKURAN II PENGUKURAN

KEBISINGAN I

TINGKAT KEBISINGAN HUBUNGAN BISING

DENGAN VOLUME DAN JARAK

ANALISA DATA

LAPORAN


(44)

Kegiatan pengambilan data dilapangan meliputi: 3.1.1. Survei awal.

Terdiri dari: a. Pemilihan alat.

Bertujuan untuk menentukan alat-alat apa saja yang akan digunakan pada saat pengambilan data di lapangan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Stop

watch, meteran atau roda ukur dan sound level metar.

b. Pemilihan lokasi.

Pemilihan lokasi untuk menentukan tempat pengambilan data. Lokasi yang dipilih adalah Auditorium Multifungsi di Universitas Sumatera Utara. Lokasi penelitian dipilih di tempat yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan.

c. Penentuan waktu pelaksanaan.

Bertujuan untuk memilih hari dan dan waktu pelaksaan dilapangan. Hari yang di pilih untuk pengambilan data adalah hari-hari pada jam sibuk, saat kondisi ruangan kosong dan di variasikan pada saat di gunakan.

d. Penentuan interval dan durasi waktu penelitian.

Gunanya untuk mendapatkan jumlah sampel yang cukup banyak untuk di olah dan memperoleh kebisingan ekivalen.


(45)

3.1.2. Pengumpulan Data di Lapangan Terdiri dari:

a. Survei volume.

Tujuan pengambilan data volume ini adalah untuk mendapatkan seberapa besar pengaruh AC dan sumber bising lain yang di hidupkan terhadap kebisingan auditorium.

b. Jarak pengukuran.

Bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh jarak terhadap besar kebisingan yang diterima oleh pendengar. Sesuai dengan jarak pengukuran yang sudah ditentukan.

c. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan dilakukan dengan mengukur tingkat bising latar belakang. Skala kebisingan yang di gunakan adalah dalam satuan dB (A) dan alat disetel dalam fast

response karena karakteristik bunyi bising auditorium multifungsi sangat cepat dan

tinggi.

3.2. PERALATAN YANG DIGUNAKAN.

Dalam penelitian ini digunakan peralatan sebagai berikut: 1. Stop watch, sebanyak 2 buah.

2. Sound level meter, merk QUEST sebanyak 1 buah (Lampiran C). 3. Roda ukur atau meteran, sebanyak 1 buah.


(46)

3.3. TAHAPAN PENGAMBILAN DATA.

Pengambilan data untuk mengetahui tingkat kebisingan di auditorium multifungsi ini harus dilakukan secara serentak / bersamaan baik itu pengambilan data volume suara dan kebisingan. Dengan waktu pelaksanaan Senin, 25 Mei 2009 dan Rabu 10 Juni 2009. Waktu pelaksanaan pada waktu siang hari (traffic peak hour) yaitu pada pukul 09.30 sampai dengan 12.30 dalam waktu kosong divariasikan pada waktu digunakan.

Prosedur pengambilan data dilapangan adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan data dan volume.

Pengambilan data volume dilakukan selama ± 2 jam setiap hari. Pengambilan data volume dilakukan 2 orang. Data volume diambil pada auditorium multifungsi Universitas Sumatera Utara, dimana volume pada kondisi ruangan kosong dan pada saat digunakan. Data volume diambil dengan menggunakan alat Handy counter yang di hitung komulatif setiap periode 5 menit.

2. Jarak pengukuran.

Jarak pengukuran yang diambil yaitu sejauh 0, 5, 10, 15, dan 20 m. Jarak terhadap pendengar. Jarak yang diambil ini di sesuaikan dengan kondisi di ruangan auditorium. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran atau roda ukur.


(47)

Sound system Auditorium USU

Titik pengukuran I(0 m)

Titik pengukuran 2(5 m)

Titik pengukuran 3(10m)

Titik pengukuran 4(15m)

Titik pengukuran 5(20m)

Gambar 3.2. Sketsa Lokasi Pengukuran Kebisingan

4. Pengukuran kebisingan.

Pengukuran kebisingan dilakukan menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) merk

QUEST. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Fase sebelum pengambilan data.

1. Menentukan interval pengambilan sampel dan durasi waktu pengukuran yang akan dilakukan. Interval pengambilan sampel yaitu 4 detik, sedangkan durasi waktu pengukuran adalah 15 menit.

2. ”Fast” response pada alat SLM digunakan jika puncak kebisingan akan diambil, jika tidak digunakan “Slow” response.


(48)

4. Informasi tambahan, seperti volume suara sebaiknya diambi bersamaan dengan penelitian kebisingan.

b. Fase penelitian lapangan.

1. Titik-titik tempat pengambilan data dilapangan ditandai. Jarak titik dari pinggir yaitu 0 m, 5 m, 10 m, 15 m, dan 20 m.

2. Alat dipasang pada satuan dB (A)

3. Data atau informasi tentang lokasi penelitian dicatat

4. Nilai dasar (base level) dipilih dan dicatat. Pada alat pengukur kebisingan tipe QUEST base levelnya adalah 20-80, 40-100, 60-120, dan 80-140 dB (A). Untuk penelitian ini

base level yang dipilih adalah 60-120 dB (A) karena tingkat kebisingan yang terjadi pada

auditorium multifungsi mencapai 60 dB (A).

5. Alat diatur pada “fast response” atau “ slow response” sesuai kebutuhan 6. Waktu saat penelitian dimulai dicatat.

7. Penelitian dilakukan dengan SLM menggunakan skala dB (A) dengan interval dan durasi yang telah ditentukan.

8. Waktu akhir pengambilan data dicatat, kondisi alat dicek kembali dan semua informasi yang telah diambil dicatat.

c. Fase setelah penelitian lapangan:

1. Data yang telah diperoleh dicek kembali.

2. Jumlah data yang doperoleh dihitung dan ditabulasikan.

3. Tingkat kebisingan ekivalen dan jarak antara sumber bunyi dengan pendengar pada ruang.


(49)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengolahan Data.

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel dalam sampel-sampel data untuk masing-masing tabel dilakukan kedalam kolom dilembaran Microsoft

Excel.

Untuk pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap yaitu :

1. Data – data sampel disusun dalam sebuah tabel menurut jarak pengukuran dan waktu (Lampiran A).

2. Sampel dikelompokkan sesuai lampiran B berdasarkan range atau interval sebagai berikut:

• 35 – 39,9 dB (A)

• 40 – 44,9 dB (A)

• 45 – 49,9 dB (A)

• 50 – 54,9 dB (A)

• 55 – 59,9 dB (A)

• 60 – 64,9 dB (A)

• 65 – 69,9 dB (A)

• 70 – 74,9 dB (A)

• 75 – 79,9 dB (A)


(50)

3. Nilai Tengah (NT) dicari dari masing-masing range (kolom 1).

4. Besar (NT) dari masing-masing range dikalikan dengan 0,1 (kolom 2).

5. Diperoleh frekuensi tabulasi atau banyak sampel dan berdasarkan range (kolom 3).

6. Hasil kali dari kolom 2 dipangkatkan dengan bilangan 10 (kolom 5).

7. Data pada kolom 3 dikalikan dengan data pada kolom 5 dan didapatkan jumlah data. (kolom 6).

8. Jumlah pada kolom 6 dibagikan dengan jumlah pada kolom 3 (data 7). 9. Dicari besar nilai logaritma dari data tersebut (data 8).

10.Hasil dari logaritma data tersebut dikalikan dengan 10 dan diperoleh besar ekivalen.

11.Kemudian dicari besar data minimum (Min), kebisingan rata-rata (L rata-rata), data maksimum (Max)

Tahap diatas dilakukan untuk setiap tabel data sehingga diperoleh untuk masing-masing data adalah sebagai berikut:

1. LAeq (kebisingan ekivalen). 2. Min (nilai terendah sampel). 3. Lrata-rata (kebisingan rata-rata). 4. Max (nilai tertinggi sampel).

Setelah dilakukan pengolahan data dengan bantuan program Microsoft Excel, maka diperoleh hasil perhitungan kebisingan ekivalen auditorium multifungsi di Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut:


(51)

1. Rabu, 10 Juni 2009:

a) Jarak 0 meter : - kanan : 72,42 dB (A) - kiri : 75,63 dB (A) - tengah : 57,55 dB (A)

b) Jarak 5 meter : - kanan : 59,65 dB (A)

- kiri : 63,23 dB (A) - tengah : 64,00 dB (A)

c) Jarak 10 meter : - kanan : 63,00 dB (A) - kiri : 65,91 dB (A) - tengah : 57,46 dB (A) d) Jarak 15 meter: - kanan : 57,91 dB (A) - kiri : 58,79 dB (A) - tengah : 57,68 dB (A) e) Jarak 20 meter : - kanan : 58,04 dB (A) - kiri : 58,25 dB (A) - tengah : 60,69 dB (A)


(52)

1. Rabu, 10 Juni 2009:

a. Jarak 0 meter = 72,42 + 75,63 + 57,55

3 = 68,53 dB (A)

b. Jarak 5 meter = 59,65 + 63,23 + 64,00 3

= 62,29 dB (A)

c. Jarak 10 meter = 63,00 + 65,91 + 57,46 3

= 62,12 dB (A)

d. Jarak 15 meter = 57,91 + 58,79 + 57,68 3

= 58,12 dB (A)

e. Jarak 20 meter = 58,04 + 58,25 + 60,69 3


(53)

4.2. Korelasi antara Jarak Pengukuran dan Kebisingan.

Kebisingan ekivalen yang diperoleh akan dikolerasikan dengan jarak pengukuran selama pengukuran dilakukan.

1. Sebelah Kanan. Rabu, 10 Juni 2009.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 77,17

2 5 61,18

3 10 63,75

4 15 58,01

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu


(54)

2. Sebelah kiri.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 77,14

2 5 65,06

3 10 61,26

4 15 59,75

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu


(55)

3. Sebelah Tengah.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 57,94

2 5 58,25

3 10 57,92

4 15 57,67

5 20 62,47

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu


(56)

4. Kurva Kebisingan ekivalen.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 57,59

2 5 57,50

3 10 57,52

4 15 57,60

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu


(57)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN.

1. Besar kebisingan ekivalen rata-rata adalah:

• Rabu, 10 Juni 2009

a. Jarak 0 meter = 68,53 dB (A) b. Jarak 5 meter = 62,29 dB (A) c. Jarak 10meter = 62,12 dB (A) d. Jarak 15meter = 58,12 dB (A) e. Jarak 20meter = 58,99 dB (A)

• Senin, 7 Juni 2009

a. Jarak 0 meter = 57,59 dB (A) b. Jarak 5 meter = 57,50 dB (A) c. Jarak 10meter = 57,52 dB (A) d. Jarak 15meter = 57,60 dB (A) e. Jarak 20meter = 57,59 dB (A)

2. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kebisingan dalam auditorium masih tetap tinggi yaitu berkisar antara 54 – 80 dB(A).


(58)

5.2. SARAN.

1) Pengukuran tingkat kebisingan auditorium multifungsi perlu diperhatikan ketelitian dalam membaca skala.

2) Pengambilan data kebisingan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Pengambilan data didalam auditorium multifungsi perlu dilakukan beberapa sumber bunyi yang yang bervariasi untuk membandingkan tingkat kebisingan yang mengganggu pendengaran manusia.

3) Pada penelitian selanjutnya perlu diteliti faktor-faktor material yang mempengaruhi kebisingan pada auditorium multifungsi.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Dolle, Leslie.1993. “Akustika Lingkungan”. Erlangga, Jakarta

Halliday, and Resnick. 1978. “Physics”.3 edition. Jhon Wiley & sons Inc.New York. Hemond,Jr and Conrad J. 1983.”Engineering Acoustics and Noise Control”. Prentice-

Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey.

Hansen, and Bies. 1925.”Engineering Noise Control Theory and Practice”.Boston sydney wellington. London.

Ishaq, Mohamad. 2006.”Fisika Dasar”.Cetakan Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Mediastika, Chistina. 2005.”Akustika bangunan: Prinsip-prinsip dan Penerapannya di Indonesia”. Erlangga, Bandung.

Mundilarto,dkk. 1992.”Fisika Dasar II”.Universitas Terbuka, Depdikbud. Jakarta.

Sears, and Zemansky. 1962.”Physics”. Addison wesley publishing co.Inc.Reading Massachusetts.

Sutrisno. 1984.”Fisika Dasar: Gelombang dan Optik”. ITB. Bandung.

Vernando Lumbanraja, 2008.”Analisis Tingkat Kebisingan Lalu-Lintas pada Jalan Tol Ruas Amplas-Tanjung Morawa”. Medan.

Http/www.Menlh.go.id/apec.vc/asaka/eastjava/noise_id1/index.html.diakses tgl 25 oktober 1996


(60)

LAMPIRAN C

ALAT PENGUKURAN KEBISINGAN (Sound Level Meter)

Spesifikasi Alat :

1. Standar : ANSI 1,4 – 1983 – Type 2 IEC 651 – 1979 Type 2 2. Microphone : 0,83 (21 mm)

3. Output : AC dan DC untuk chart recorder 4. Range-freq : 4 Hz – 50 KHz

5. Display : 3,5 digit LCD 6. dB Range : 20 – 140 dB 7. Ukuran : 84 x 208 x 47 mm3 8. Berat : 680 gr


(1)

3. Sebelah Tengah.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 57,94

2 5 58,25

3 10 57,92

4 15 57,67

5 20 62,47

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu


(2)

4. Kurva Kebisingan ekivalen.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 57,59

2 5 57,50

3 10 57,52

4 15 57,60

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu


(3)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN.

1. Besar kebisingan ekivalen rata-rata adalah: • Rabu, 10 Juni 2009

a. Jarak 0 meter = 68,53 dB (A) b. Jarak 5 meter = 62,29 dB (A) c. Jarak 10meter = 62,12 dB (A) d. Jarak 15meter = 58,12 dB (A) e. Jarak 20meter = 58,99 dB (A) • Senin, 7 Juni 2009

a. Jarak 0 meter = 57,59 dB (A) b. Jarak 5 meter = 57,50 dB (A) c. Jarak 10meter = 57,52 dB (A) d. Jarak 15meter = 57,60 dB (A) e. Jarak 20meter = 57,59 dB (A)

2. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kebisingan dalam auditorium masih tetap tinggi yaitu berkisar antara 54 – 80


(4)

5.2. SARAN.

1) Pengukuran tingkat kebisingan auditorium multifungsi perlu diperhatikan ketelitian dalam membaca skala.

2) Pengambilan data kebisingan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Pengambilan data didalam auditorium multifungsi perlu dilakukan beberapa sumber bunyi yang yang bervariasi untuk membandingkan tingkat kebisingan yang mengganggu pendengaran manusia.

3) Pada penelitian selanjutnya perlu diteliti faktor-faktor material yang mempengaruhi kebisingan pada auditorium multifungsi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Dolle, Leslie.1993. “Akustika Lingkungan”. Erlangga, Jakarta

Halliday, and Resnick. 1978. “Physics”.3 edition. Jhon Wiley & sons Inc.New York. Hemond,Jr and Conrad J. 1983.”Engineering Acoustics and Noise Control”. Prentice-

Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey.

Hansen, and Bies. 1925.”Engineering Noise Control Theory and Practice”.Boston sydney wellington. London.

Ishaq, Mohamad. 2006.”Fisika Dasar”.Cetakan Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Mediastika, Chistina. 2005.”Akustika bangunan: Prinsip-prinsip dan Penerapannya di Indonesia”. Erlangga, Bandung.

Mundilarto,dkk. 1992.”Fisika Dasar II”.Universitas Terbuka, Depdikbud. Jakarta.

Sears, and Zemansky. 1962.”Physics”. Addison wesley publishing co.Inc.Reading Massachusetts.

Sutrisno. 1984.”Fisika Dasar: Gelombang dan Optik”. ITB. Bandung.

Vernando Lumbanraja, 2008.”Analisis Tingkat Kebisingan Lalu-Lintas pada Jalan Tol Ruas Amplas-Tanjung Morawa”. Medan.

Http/www.Menlh.go.id/apec.vc/asaka/eastjava/noise_id1/index.html.diakses tgl 25 oktober 1996


(6)

LAMPIRAN C

ALAT PENGUKURAN KEBISINGAN (Sound Level Meter)

Spesifikasi Alat :

1. Standar : ANSI 1,4 – 1983 – Type 2 IEC 651 – 1979 Type 2 2. Microphone : 0,83 (21 mm)

3. Output : AC dan DC untuk chart recorder 4. Range-freq : 4 Hz – 50 KHz

5. Display : 3,5 digit LCD 6. dB Range : 20 – 140 dB 7. Ukuran : 84 x 208 x 47 mm3 8. Berat : 680 gr