Jaw aban dar i sel ur uh r esponden baik ister i, suami, maupun tokoh adat ialah ti dak ada k omitmen secar a li san yang di ungkapkan oleh suami
atau i ster i untuk jumlah anak dalam k el uar ga mer eka. Responden paling jauh member ikan jaw aban bahw a j uml ah anak yang ki ni mer ek a mili ki
ialah mer upak an pember ian dar i Allah sw t. Jaw aban yang pali ng menarik dar i per tanyaan i ni ialah k etik a
ditanyakan tentang pemak aian kontr asepsi yang dipilih oleh i bu. Sebagian besar dar i mereka mengaku memakai k ontr asepsi pil dan IUD hanya pada
saat dahul u disubsi di ol eh pemer intah. Ar tinya r entang penggunaan k ontr asepsi hanya pada saat pemer intah gencar menyebar luaskan Pr ogr am
KB. Kini mer eka mengak u tidak lagi menggunak an kontr asepsi. Tetapi fak ta menunjukk an bahw a k el ahi ran dar i ibu-i bu Kuta hingga kini tidak ber ubah.
Ketika ditanya lebih lanjut apakah ibu menggunak an car a l ain selain k ontr asepsi, mer eka mengaku tidak menggunak an car a apa pun. Bahkan
ada di antar a r umah tangga r esponden w alaupun tidak menggunakan car a k ontr asepsi apa pun hingga ak hir fase r epr oduksinya tidak dikar uni ai
anak. Untuk
kasus seper ti
ini , r esponden
sendir i menyatakan
k eher anannya. Padahal salah satu keluar ga yang tidak memili ki anak mengakui bahw a buyut mereka dulu katanya memiliki anak yang banyak.
3.3 Merekonstr uksi Citr a dan Menginter pretasi Realitas
Dalam pemapar an di atas t er gambar bahw a per empuan di Kampung Kuta sedikitnya memili ki dua per an penti ng, yaitu 1 dapat menyokong
per ekonomian keluar ga: mengolah nir a sampai menj adi gula yang siap
dipasar kan, 2 mempunyai hak ber pendapat dan ber suar a juga menentukan jumlah anak. Citr a inilah yang kemudian dibangun oleh par a
peneliti tentang posisi per empuan di Kampung Kuta. Namun, tentu r ealitas ter sebut dapat dibaca dengan car a yang ber beda. Di baw ah ini, kami akan
menginter pr et asi k edua r ealitas ter sebut
3.3.1 Melanggengkan
Keter gantungan ketika
Menyokong Ekonomi
Keluar ga
Di bawah ini adalah k r onologis pembuatan gula ar en sampai dipasar kan 1 Suami mempunyai tugas untuk menyadap dan memanen nir a dar i
pohon di kebun, 2 ister i ber tugas untuk mengol ah hasi l sadapan di rumah,
3 Gula dikemas untuk di jual kepada pengepul =pengumpul, istilah yang bi asa dipakai dal am tata ni aga tr adi sional,
4 Gula dijual k e luar Kampung Kuta. Peker jaan membuat gula dilakukan mulai pagi hingga menjelang si ang.
Setelah sel esai membuat gula, bi asanya ister i per gi k e l uar rumah untuk beker ja di ladang atau di sawah. Baru pada sor e hari suami, ister i, dan anak dapat ber kumpul
di rumah. Proses di atas t er jadi seolah-olah alamiah kar ena sudah ber langsung lama dan terus-mener us. Maril ah k ita cer mati lebih sak sama pr oses yang
k elihatannya alamiah dan sudah ber k embang dalam lingk up sosial masyar ak at Kampung Kuta.
Per empuan ber ada di posisi kedua yang ber tugas mengolah hasil sadapan di r umah. Dengan demikian, perempuan memi liki per anan dalam menyokong
per ekomian keluarga. Namun, posisi per empuan yang ber tugas mengolah hasil sadapan di r umah sangat bergantung pada adanya ni ra atau tidak. Dengan kata
l ain, per empuan bisa membuat gula bila ni r a sudah ada. Hal ini menjadik an posisi per empuan ber gantung sepenuhnya pada lak i-laki yang dapat menyadap dan
memanen nir a. Pada titik inilah hasil dar i suatu habitus sudah tampak nyata. Hasil habitus, menur ut Har yatmoko 2003 adalah sistem-sist em disposisi yang tahan
w aktu yang dapat diwar iskan, st r uk tur -str uk tur yang sudah dibentuk, yang dimaksudkan untuk str uk tur-struktur yang bisa membentuk . Ar tinya, ini menjadi
pri nsip pengger ak dan pengatur pr aktek-pr ak tek hidup dan r epr esentasi- r epr esentasi yang dapat disesuaikan dengan t ujuan-tuj uan tanpa mengandaik an
pengarahan tujuan secar a sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang per lu untuk mencapainya.
Per empuan di Kampung Kuta terbiasa bek er ja di k ebun atau di saw ah, tetapi untuk menyadap dan memanen nir a hanya dil akukan oleh laki-laki. Hal ini
tentu mer upak an pembiasaan habit us dar i str uk tur-struktur yang sudah lama dibentuk. Bour dieu menulis ”...pr insip yang t er simbol kan dengan cara ini
dit empat kan di luar jangkauan kesadar an sehingga t idak dapat di sentuh oleh
laki-laki m enyadap dan m em anen nira
dari pohon di kebun per em puan
m engolah hasil sadapan di dapur
Gula siap dijual Uang
t r ansfor masi suka r ela dan t i dak sengaja, bahkan t idak dapat dieksplisit kan ...”
Contoh yang dipakai Bourdieu untuk menjelask an poin ini adalah tingkah laku l aki -lak i dan perempuan di Kabyle. Politik gender ter bentuk dan muncul dalam
car a ber jalan, melihat, dan bahkan car a ber dir i. Ide tentang perempuan yang penuh k eseder hanaan dan mampu mengendal ikan dir i memak sa badannya
membungk uk, mengarah ke tanah. Jadi, kekuatan habitus berasal dar i k etidaklengk apan per ilaku dan habituasi, bukan pada atur an dan pr insi p yang
dipelaj ar i secar a sadar.
Gb. 6 Seor ang ibu tengah membuat gula ar en di dapur rumahnya Foto: Dadi
Dar i k onsep pembagian k er ja di masyar akat adat Kampung Kuta, peker jaan l aki -lak i dan pek er jaan per empuan adalah peri laku yang sesuai secar a sosi al. Hal
i ni disebabkan pr insi p yang dipelajar i secar a tidak sadar dan diproduk si secar a r uti n. Ketidak sadar an inilah yang k emudian meni mbulkan pelanggengan
k ekuasaan laki-lak i atas perempuan yang dibangun dengan mengekalk an ”k etergantungan”.
3.3.2 Mengeluark an Pendapat tanpa Hak Memutuskan
Per an per empuan di Kampung Kuta dalam ranah domesti k adalah diberi kan kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau menentukan jumlah
anak. Namun, keputusan ak hir at au yang bol eh mengambil keputusan adalah laki- laki. Hal ini j elas mer upak an k ek er asan simbolis. Di satu sisi diber i kebebasan
untuk mengeluar kan pendapat, tetapi di si si yang lain tidak di per k enank an untuk mengambi l k eputusan atas pendapat-pendapat nya.
Relasi gender seper ti di atas dinyatakan oleh Jor dan dan Weedon 1995 sebagai politik budaya cult ural polit ics yang menentukan siapa dan kelompok
mana yang memilik i kekuasaan dal am member i mak na t er hadap praktek-pr aktek sosial yang dilakuk an ol eh masyarakat. Dalam pandangan femini sme, r elasi gender
yang timpang dalam masyar ak at menempat kan per empuan dalam kelompok mar ginal.
Hal ini sej alan dengan Scoot 1986 yang membagi i deologi gender menjadi dua bagi an. Bagian per tama Scoot menyebutkan bahw a gender adalah nor ma-
nor ma dalam masyar akat yang mengatur hubungan sosial ber dasar kan pada per bedaan j eni s k elamin. Bi la dikaitkan dengan kondisi per empuan di Kampung
Kuta sejal an dengan pendapat Scoot bahw a institusi-insitusi dan or ganisasi- organi sasi sosi al dalam masyar akat yang ber per an dal am membentuk dan
menguk uhkan per an-per an gender . Mi salnya, stuktur k eluarga dal am masyarakat, pola-pol a pembagian k er ja dan per an ber dasar kan j eni s k elamin. Ideologi gender
dalam suatu masyar akat tidak dapat dilepask an dar i tatanan ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Itulah yang ter jadi pada per empuan di Kampung Naga yang k ar ena tat anan ek onomi, sosial, dan budaya “mengharusk an” per empuan
ditempatkan pada k ondisi seper ti di atas. Per lu ditambahk an pula di si ni, konsep Bour dieu tentang har ga dir i. Minat
Bour dieu dalam kontek s har ga di r i di k alangan masyar ak at Kabyl e mer upakan minat lama dalam per juangan status sosial dan pengej ar an modal simbolis
symbolic capital. Konsep ini bol eh jadi sej alan dengan k ondisi laki-laki di Kampung Kuta. Relasi kekuasaan melalui pr aktek-praktek di atas mer upakan
per juangan status sosialnya agar memilik i modal simbolis symbolic capit al k ar ena selama ini mereka sebenar nya tidak memi liki kapital simbolis yang
menjadikannya berhar ga.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN