Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

oleh

Muhamad Zainal Abidien

109013000075

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Motto:

ﹺﺢﹶﻠﺻَﻷﹾﺍ ﺪﻳﺪﹶﳉﹾﺎﹺﺑ ﹸﺬﺧَﻸﻟﹾﺍﻭ ﹺﺢﻟﺎﺼﻟﺍ ﹺﻢﻳﺪﹶﻘﻟﹾﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹸﺔﹶﻈﹶﻓﺎﺤﻤﹾﻟﺍ

Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”

ﹾﺍﹶﻔﻟ

ﻀ

ﹸﻞ

ﻟﹾﻠ

ﻤﺒ

ﺘﺪ

ﹺﺉ

ﻭﺍ

ﹾﻥ

ﹶﺍﺣ

ﺴ

ﻦ

ﹾﺍﹸﳌ

ﹾﻘﺘ

ﺪ

“Keutamaan bagi orang yang memulai, meskipun setelahnya itu lebih baik”

Persembahan:

Karya kecil ini dipersembahkan untuk semua pelestari budaya dan


(6)

ii

ABSTRAK

MUHAMAD ZAINAL ABIDIEN, 109013000075, “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., Januari 2014.

Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tangan yaitu ilmu filologi. Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah yang berbentuk hikayat. Hikayat dikaji secara filologi untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah nilai moral. Pembelajaran moral di sekolah dapat dilakukan dengan memberikan pembinaan dalam pembelajaran karya sastra. Salah satu hikayat yang bisa dijadikan pilihan dalam pembelajaran moral di sekolah adalah Hikayat Jaya Lengkara. Hal itu dikarenakan dalam hikayat ini sarat dengan nilai-nilai moral yang layak untuk dijadikan contoh oleh peserta didik.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini diarahkan pada analisis kajian filologi dalam Hikayat Jaya Lengkara dan nilai moral. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap isi cerita dan nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara sehingga dapat dibaca, dinikmati dan bermanfaat bagi masyarakat saat ini khususnya dalam bidang pendidikan.

Data penelitian yang dipakai berupa kalimat dan paragraf atau pernyataan yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang mengandung informasi tentang nilai moral. Adapun sumber data penelitian ini adalah Hikayat Jaya Lengkara tebal 31 halaman, berkode ML. 53, dan merupakan naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode naskah tunggal edisi standar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kajian filologi yang dilakukan secara mendalam, dapat mengungkap isi cerita dalam Hikayat Jaya Lengkara sehingga dapat dibaca dan dinikmati masyarakat saat ini. Nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral positif meliputi: sikap adil, kasih sayang, percaya, menolong, bertanggung jawab, hormat, bersyukur, pemberani dan sabar. Adapun nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral negatif meliputi: fitnah, iri, dengki, hasut, berbohong, tidak sabar, khianat, mencuri, menipu, penakut dan serakah. Kata kunci : filologi, hikayat, suntingan teks, dan nilai moral.


(7)

iii

karunia-Nya karena atas izin dan kasih-Nya penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral Serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw suri tauladan bagi semesta alam.

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu, motivasi, kasih sayang dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini; 3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

4. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar, disiplin, telaten, dan penuh tanggung jawab membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Syukron Katsiron, Jazakumullah Ahsanal Jaza.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan.


(8)

iv

7. Umi Yayah Ummu Adiyah dan Buya KH. Drs. Burhanuddin Marzuki beserta seluruh Asaatidz dan Asaatidzah Pondok Pesantren Qotrun Nada yang telah mendidik, membimbing, mendukung dan mendoakan penulis; 8. BUMN Peduli Pendidikan PT. Angkasa Pura II yang telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa program pendidikan Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

9. KH. Utob Tobroni, Lc. beserta seluruh musyrif dan musyrifah Ma’had UIN Syarif Hidayatullah serta Bagian Kemahasiswaan yang telah mendidik, membimbing, dan membantu penulis;

10.Seluruh keluarga penulis, Aa Andri, Teh May, Ka Khoir, Ka Mursit, Aa Afif, Teh Diah, Lala, Ziah yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

11.Seluruh teman seperjuangan penulis, PANDAWA dan SRIKANDI PBSI UIN Syarif Hidayatullah, khususnya Siti Nurfitriani, S.Pd., yang telah mendukung, memotivasi, membantu, dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

12.Sahabat karib penulis: Abang Arif, Boim, Bayu, Fadhlan, Tantowi, dan Zaki serta seluruh teman asrama Ma’had UIN Syarif Hidayatullah; Siroj, Habib, Joni, Zaki, Yusuf, Mas Arif dan lainnya yang telah membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

13.Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Amin.

Tangerang, Januari 2014


(9)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ……… . 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

H. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN TEORETIS ... 10

A. Hakikat Filologi ... 10

1. .. Pengertian Filologi ... 10

2. Dasar Kerja Filologi ... 11

3. Objek Filologi ... 12

B. Hikayat ... 14

1. Pengertian Hikayat ... 14

C. Nilai-nilai Moral ... 15

1. Pengertian Nilai ... 15

2. Pengertian Nilai Moral ... 15

3. Bentuk Penyampaian Moral ... 18


(10)

vi

BAB III HIKAYAT JAYA LENGKARA: NASKAH DAN TEKS ... 21

A. Tinjauan Naskah ... 21

1. Inventarisasi Naskah ... 21

2. Deskripsi Naskah ... 21

B. Suntingan Teks ... 22

1. Tanda-tanda Suntingan ... 22

2. Pemakaian Ejaaan ... 22

3. Pedoman Penulisan Kata-kata Arab ... 23

C. Teks Hikayat Jaya Lengkara ... 24

BAB IV HIKAYAT JAYA LENGKARA DAN NILAI-NILAI MORAL ... 41

A. Sinopsis Hikayat Jaya Lengkara ... 41

B. Unsur Instrinsik Hikayat Jaya Lengkara ... 43

1. Tema ... 43

2. Alur ... 43

3. Tokoh dan Penokohan ... 47

4. Latar ... 56

5. Sudut Pandang ... 60

6. Gaya Bahasa ... 60

7. Amanat ... 62

C. Nilai-nilai Moral Hikayat Jaya Lengkara ... 62

1. Nilai Moral Positif ... 64

a. Kasih Sayang ... 64

b. Adil ... 65

c. Tanggung Jawab ... 65

d. Tolong-Menolong ... 66

e. Beryukur ... 67

f. Sabar ... 68

g. Hormat ... 71


(11)

vii

2. Nilai Moral Negatif ... 74

a. Tidak Sabar ... 74

b. Hasud, Bohong, dan Fitnah ... 75

c. Khianat ... 77

d. Mencuri ... 78

e. Menipu ... 79

f. Penakut ... 79

g. Serakah ... 80

D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 82

BAB V PENUTUP ... 85

A. Simpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Naskah sebagai karya sastra klasik merupakan warisan kebudayaan hasil karya nenek moyang yang mempunyai peranan sangat besar dalam pembangunan mental spiritual bangsa. Bidang mental dan spiritual merupakan salah satu bidang yang penting peranannya dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Karya sastra lama juga mengandung berbagai macam gambaran kehidupan, ide-ide, ajaran budi pekerti, nasihat, aturan, pantangan, dan lain-lain, yang merupakan konvensi dan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Dengan mempelajari dan memahami karya sastra lama, kita dapat mengetahui pandangan dan cita-cita nenek moyang kita zaman dahulu yang digunakan sebagai pedoman hidup untuk mencapai keselamatan dan ketentraman. Sebab, nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kebudayaan yang tinggi nilai dan tarafnya. Melalui khazanah kebudayaan masa lampau itulah tempat berakar dan berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa dewasa ini.

Pengetahuan seseorang tentang kebudayaan bangsa pada masa lampau dapat digali melalui peninggalan-peninggalan nenek moyang. Kebudayaan nenek moyang yang sudah ada beberapa abad yang lampau dapat diketahui kembali dalam bermacam-macam bentuk peninggalan, antara lain dalam bentuk tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain, dan naskah-naskah. Selain itu, ada juga peninggalan yang berbentuk lisan. Naskah sebagai peninggalan kebudayaan merupakan dokumen bangsa yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama karena memiliki kelebihan, yaitu dapat memberi informasi yang luas dibandingkan peninggalan yang berbentuk puing


(13)

bangunan seperti candi, istana raja, dan lain-lain yang tidak dapat berbicara dengan sendirinya tetapi harus ditafsirkan.1

Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Hal ini selain karena bentuk tampilan yang kurang menarik, juga disebabkan keberadaannya yang pada umumnya tersimpan di lemari-lemari penduduk dan museum, serta sulit mengetahui maknanya tanpa penelaahan dengan disiplin ilmu khususnya.

Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tersebut yaitu ilmu filologi. Filologi dapat diartikan sebagai cinta pada ilmu dengan objek penelitiannya naskah. Tujuan filologi adalah untuk menemukan bentuk asal dan bentuk mula teks dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Naskah dapat diartikan sebagai semua bentuk tulisan tangan nenek moyang kita pada kertas, lontar, dan kulit kayu yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau.

Namun pada hakikatnya tidak ada peninggalan suatu bangsa yang lebih memadai untuk keperluan penelitian sejarah dan kebudayaan daripada kesaksian tertulis. Oleh sebab itu, naskah lama mempunyai kedudukan yang sangat penting. Lewat dokumen tertulis seperti itu dapat dipelajari secara lebih nyata dan seksama bagaimana cara berpikir bangsa yang menyusunnya. Naskah lama merupakan salah satu wujud dokumen sejarah yang banyak mengandung nilai-nilai budaya masa lampau.

Naskah klasik sudah pasti mempunyai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya biasanya mencakup berbagai aspek kehidupan, antara lain nilai sosial, nilai budaya, keagamaan, nilai estetis, nilai moral, nilai hiburan, dan masih banyak lagi nilai-nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

1

Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 86.


(14)

Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah hikayat. Hikayat adalah cerita tentang kehidupan seseorang. Salah satu hikayat yang mengandung nilai-nilai moral adalah Hikayat Jaya Lengkara. Sebagaimana naskah-naskah kuno lainnya yang pada umumnya tidak diketahui siapa pengarangnya atau anonim dan tidak diketahui asal muasalnya. Hal senada juga terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang tidak diketahui siapa pengarangnya dan dari mana asal muasalnya. Hikayat Jaya Lengkara ini merupakan naskah Melayu yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi. Hikayat ini termasuk ke dalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Di dalam hikayat tersebut banyak terdapat nilai-nilai moral yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah ini berangkat dari permasalahan bahwa sejauh yang penulis ketahui, belum adanya penelitian terhadap naskah lama di jurusan kependidikan. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya dengan belum adanya penelitian mengenai naskah lama di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Naskah lama yang ditulis dengan aksara Jawi menimbulkan kesulitan untuk membacanya bagi sebagian orang, apalagi untuk menelitinya. Begitu juga yang terjadi dengan naskah Hikayat Jaya Lengkara. Naskah ini ditulis dengan aksara Jawi, banyak orang yang tidak memahaminya, padahal penelitian terhadap naskah ini sangat bermanfaat. Hikayat Jaya Lengkara mengandung pesan-pesan yang baik, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah karena pada umumnya karya sastra lama itu bersifat didaktis instruktif, yaitu mengandung pengajaran dan bimbingan sosial. Di dalam karya sastra lama juga banyak mengandung pengajaran dan keteladanan, terutama tentang kearifan hidup, baik dalam bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama.

Hikayat merupakan salah satu bentuk sastra lama. Kegiatan pembelajaran sastra khususnya sastra lama seperti hikayat dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik terhadap sejarahnya, selain itu


(15)

juga nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat dapat bermanfaat bagi pembentukan karakter peserta didik. Oleh karena itu, pendidik harus pandai-pandai dalam memilih hikayat untuk dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan ajar pembelajaran sastra, khususnya sastra lama di sekolah. Jurang yang telah tumbuh antara sastra lama dan manusia modern akan bertambah besar bila tidak ada pemeliharaan yang terarah dalam bentuk pelajaran sekolah dan pengadaan buku mengenai sastra itu sendiri. Keasingan ini menyebabkan pula orang enggan mempelajarinya, yang mengakibatkan karya-karya sastra lama tidak dipelihara dan akhirnya punah.2

Hal inilah yang menggerakkan hati penulis untuk meneliti dan mengungkap nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya serta mengungkap implikasi nilai-nilai moral tersebut dalam bidang pendidikan. Selain itu hal ini juga merupakan suatu upaya untuk melestarikan nilai-nilai yang terdapat di dalam naskah lama agar masih dapat dibaca dan dihayati oleh manusia di masa kini, khususnya dalam bidang pendidikan yang merupakan benteng pertahanan untuk menyelamatkan tradisi, identitas, dan jati diri bangsa yang sedang dikepung arus modernisasi dan globalisasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat skripsi dengan judul Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”

B. Identifikasi Masalah

1. Naskah lama merupakan salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti.

2. Di dalam naskah lama banyak terdapat nilai-nilai moral, bersifat didaktis, penuh dengan keteladanan dan kearifan hidup namun tidak

2


(16)

semua orang dapat membaca dan mengkaji isi naskah lama karena untuk dapat membaca dan mengkajinya diperlukan ilmu khusus di antaranya filologi.

3. Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu dari sekian banyak naskah lama yang belum disunting dan ditransliterasikan ke dalam Bahasa Indonesia agar dapat dibaca, dikaji, dan dihayati nilai-nilai moral dan kearifan hidup yang terdapat di dalamnya oleh pembaca di masa kini.

4. Derasnya arus modernisasi, globalisasi, dan westernisasi yang datang bertubi-tubi berdampak serius bagi kelangsungan tradisi yang telah lama ada di bumi nusantara ini. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi identitas dan jati diri bangsa ini. Oleh karenanya harus ada upaya dari berbagai pihak terutama di bidang pendidikan untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi lama yang baik serta mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari hikayat-hikayat serta mengambil dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan masalah dapat difokuskan pada suntingan teks, analisis nilai-nilai moral yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dan implikasinya dalam pembelajaran sastra di Sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Bagaimana suntingan teks Hikayat Jaya Lengkara agar dapat dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas.

2. Bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hikayat Jaya Lengkara?


(17)

3. Bagaimana implikasi nilai-nilai moral Hikayat Jaya Lengkara dalam pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menyajikan suntingan teks Hikayat Jaya Lengkara agar dapat dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas.

2. Menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hikayat Jaya Lengkara.

3. Menjelaskan implikasi nilai-nilai moral Hikayat Jaya Lengkara dalam pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini secara teoretis dapat menjadi masukan dalam memberikan informasi mengenai hakikat Hikayat Jaya Lengkara terutama nilai moral yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah sumber pengetahuan khususnya pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini juga diharapakan dapat dipakai sebagai sumber referensi dan informasi bagi disiplin ilmu lainnya, misalnya bidang ilmu linguistik, sastra, budaya, dan lain sebagainya.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat secara praktis diharapkan dapat membantu pembaca yang belum mengerti dan memahami naskah lama yang ditulis dengan menggunakan aksara Arab Jawi dalam membaca, memahami dan mengkaji naskah lama tersebut yang sarat akan kearifan dan nilai-nilai kehidupan.


(18)

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara atau sistem kerja, sedangkan metodologi dapat dikatakan pula sebagai pengetahuan tentang apa saja yang merupakan cara untuk menerangkan atau meramalkan variabel konsep maupun definisi konsep yang bersangkutan dan mencari konsep tersebut secara empiris. Untuk itu metode filologi berarti pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian filologi.3

Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan penelitian filologi antara lain: inventarisasi naskah, deskripsi naskah, suntingan teks, dan interpretasi.

Tahap Pertama: Inventarisasi naskah yaitu suatu usaha dalam mencari sejumlah naskah dengan judul yang sama di tempat-tempat koleksi naskah. Inventarisasi naskah dilakukan dengan melihat judul-judul naskah yang sama dengan naskah yang akan diteliti di katalog-katalog yang berbeda.

Tahap Kedua: Deskripsi naskah yaitu menyajikan gambaran secara objektif dan sejujur-jujurnya terhadap identitas naskah yang meliputi aspek-aspek antara lain: judul naskah, nomor naskah, nama pengarang, tarikh penyusunan, tempat penyusunan, nama penyalin, aksara/huruf, bahasa, ukuran, jumlah baris setiap halaman, bahan naskah, jenis kertas, cap kertas, tebal naskah, jilid, penomoran halaman, pemilik naskah, dan lain sebagainya.

Tahap Ketiga: Suntingan Teks. Hikayat Jaya Lengkara merupakan naskah salinan dari Singapura. Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal. Namun setelah ditelusuri, ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah yang bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, berdasarkan kolofon yang terdapat dalam teks, naskah induk terdapat di Singapura. Mengingat jarak, tenaga, dan waktu yang terbatas, serta

3

Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1996), h. 70.


(19)

keterjangkauan naskah ini maka peneliti akhirnya memutuskan untuk menggunakan metode naskah tunggal dalam penelitian ini. Sebab, naskah yang terjangkau oleh peneliti hanya terdapat satu naskah saja di Indonesia, sehingga perbandingan naskah tidak mungkin dilakukan.

Dalam menyunting naskah Hikayat Jaya Lengkara digunakan metode edisi naskah tunggal. Menurut Djamaris, penggarapan naskah dengan metode naskah tunggal dapat dilakukan melalui dua cara, yakni edisi diplomatik dan edisi standar.4 Edisi standar dianggap peneliti paling sesuai dengan naskah Hikayat Jaya Lengkara ini. Hal ini sesuai dengan isi dari naskah sendiri dan juga analisis yang hendak dilakukan peneliti yakni menggali nilai-nilai moral dan implikasinya dalam dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Edisi Standar atau edisi kritis yaitu suatu usaha perbaikan dan penelusuran teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penelitian. Tujuan edisi ini adalah untuk menghasilkan suatu edisi teks baru yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, huruf besar dan kecil, penambahan dan pengurangan kata sesuai EYD, membuat penafsiran atau interpretasi setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan sehingga teks dapat mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca sebagai masyarakat modern.5

Edisi standar digunakan apabila isi naskah dianggap sebagai cerita biasa bukan cerita suci. Meskipun demikian, penggarapan naskah dengan edisi standar juga membutuhkan ketelitian dan kejelian.6 Adapun hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar menurut Djamaris adalah sebagai berikut: mentransliterasikan teks, membetulkan kesalahan teks, membuat catatan perbaikan atau perubahan, memberi komentar atau tafsiran

4

Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 11.

5

Djamaris, op. cit., h. 15.

6


(20)

(informasi di luar teks), membagi teks dalam beberapa bagian, dan menyusun daftar kata sukar (glosari).7

Tahap Keempat: Interpretasi. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penelitian filologi, pada tahap ini dilakukan penafsiran atau penjelasan dalam hal ini mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

H.Sistematika Penulisan

Skripsi ini dimulai dengan pendahuluan pada bab pertama. Dalam pendahuluan terdiri atas delapan subbab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menunjukan garis besar masalah yang diangkat oleh penulis sebelum masuk ke dalam analisis atau data.

Selanjutnya masuk pada bab kedua yang berisi landasan teoritis mengenai hakikat filologi, pengertian filologi, objek filologi, dasar kerja filologi, hikayat, dan nilai-nilai moral.

Bab ketiga terdiri atas dua bagian. Bagian pertama tinjauan naskah yang berisi deskripsi naskah dan bagian kedua tinjauan teks yang berisi pengantar edisi dan teks Hikayat Jaya Lengkara

Bab keempat terdiri atas empat bagian yaitu sinopsis, unsur intrinsik, interpretasi nilai moral, dan implikasi nilai moral dalam pembelajaran sastra di sekolah. Bab kelima merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran.

7


(21)

10 A. Hakikat Filologi

1. Pengertian Filologi

Baried mengungkapkan, "pengertian filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.” Kata filologi menurut etimologi, filologi berasal dari kata Yunani philos yang berarti “cinta” dan kata logos yang berarti “kata”. Pada kata filologi, kedua kata tersebut membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Kemudian arti ini berkembang menjadi “senang belajar”, “senang ilmu”, dan “senang kebudayaan”.1

Filologi sebagai istilah mempunyai beberapa arti sebagai berikut:

a. Filologi pernah diartikan sebagai hermeneutik atau ilmu tafsir teks yang dihubungkan dengan bahasa dan kebudayaan masyarakat yang memiliki teks tersebut.

b. Filologi pernah diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.

c. Filologi pernah diartikan sebagai ilmu sastra karena yang dikaji karya sastra. Saat ini filologi ada yang mengartikan sebagai ilmu bantu sastra karena filologi menyiapkan teks-teks sastra, khususnya sastra klasik agar siap dikaji.

d. Filologi ada juga yang mengartikan sebagai studi bahasa atau linguistik.2

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Baried, Lubis menjelaskan “pengertian filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti

1

Baried, op.cit., h. 1.

2


(22)

luas yang mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan.”3 Sementara itu, Sudardi mengungkapkan pengertian “filologi adalah suatu disiplin ilmu yang meneliti secara mendalam naskah-naskah klasik dan kandungannya.”4

Jadi, menurut penulis, filologi yaitu ilmu yang mempelajari naskah disertai pembahasan dan penyelidikan kebudayaan bangsa berdasarkan naskah klasik. Dari naskah klasik itulah orang dapat mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat pada zaman lampau misalnya, adat istiadat, agama, kesenian, bahasa, pendidikan, dan sebagainya. Filologi juga merupakan usaha keras untuk menampilkan karya klasik dalam bentuk yang baru dan mudah dipahami.

2. Dasar Kerja Filologi

Berangkat dari latar belakang lahirnya filologi sebagai satu istilah bagi suatu bentuk studi, filologi diperlukan karena munculnya variasi-variasi dalam teks yang tersimpan dalam naskah. Gejala tersebut memperlihatkan gejala bahwa dalam penyalinan naskah, teks senantiasa mengalami perubahan sehingga lahirlah wujud teks yang bervariasi. Dengan demikian, adanya variasi-variasi untuk suatu informasi masa lampau yang terkandung dalam naskah itulah yang melahirkan kerja filologi. Dapat dikatakan bahwa kerja filologi didasarkan pada prinsip bahwa teks berubah dalam penurunannya. Jadi, filologi bekerja karena adanya sejumlah variasi.

Munculnya variasi memperlihatkan satu sifat penurunan suatu teks yang tidak pernah setia. Secara disengaja atau tidak disengaja penurunan yang dilakukan oleh manusia penyalin akan menimbulkan bentuk penyalinan yang tidak setia. Faktor manusia dengan berbagai keterbatasannya dan manusia dengan berbagai subjektivitasnya

3

Lubis, op.cit., h. 16.

4

Bani Sudardi, Dasar-dasar Teori Filologi (Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia, 2001), h. 1.


(23)

mempunyai peran yang penting dan menentukan terhadap wujud hasil salinannya.5

Variasi yang merupakan dasar kerja filologi pada awalnya dipandang sebagai kesalahan, satu bentuk korup (rusak), satu bentuk keteledoran si penyalin. Sikap terhadap variasi yang muncul dalam transmisi naskah pun, dalam perkembangannya juga berubah. Variasi dipandang tidak hanya sebagai kesalahan yang dibuat oleh penyalin, tetapi juga sebagai bentuk kreasi penyalin, yaitu hasil dari subjektivitasnya sebagai manusia penyambut teks yang disalin dan sebagai penyalinan yang menghendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya.

Sikap-sikap inilah yang kemudian melahirkan berbagai pandangan dalam filologi. 1). Sikap yang memandang variasi sebagai satu bentuk korup yang berarti sebagai wujud kelengahan dan kelalaian penyalin, melahirkan pandangan yang oleh beberapa orang disebut filologi tradisional. Dalam konsep ini, filologi memandang variasi secara negatif. Sebagai akibatnya, teks harus dibersihkan dari bentuk-bentuk korup dan salah satu itu. 2). Sikap yang memandang variasi sebagai bentuk kreasi melahirkan pandangan yang oleh sementara orang disebut filologi modern. Dalam konsep ini variasi dipandang secara positif, yaitu menampilkan wujud resepsi si penyalin. Dalam pandangan yang kedua ini, perlu diingat pula bahwa adanya gejala yang memperlihatkan keteledoran si penyalin tetap juga diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pembacaan.

3. Objek Filologi

Setiap ilmu mempunyai objek penelitian, tidak terkecuali filologi yang bertumpu pada kajian naskah dan teks klasik. Naskah-naskah yang menjadi objek material penelitian filologi adalah Naskah-naskah yang ditulis pada kulit kayu, bambu, lontar, dan kertas.

5


(24)

Sudardi mengungkapkan “objek penelitian filologi adalah teks dari masa lalu yang tertulis di atas naskah yang mengandung nilai budaya.”6 Adapun menurut Baried, “filologi mempunyai objek yaitu naskah dan teks.”7

a. Naskah

Baried mengungkapkan “naskah merupakan benda kongkret yang dapat dilihat atau dipegang, seperti semua bahan tulisan tangan yang disebut naskah (handschrift). Di Indonesia bahan naskah yaitu dapat berupa lontar, kayu, bambu, rotan, dan kertas Eropa.8 Sedangkan Ikram mengungkapkan, naskah adalah wujud fisik dari teks.9 Tulisan-tulisan pada kertas disebut naskah, dalam bahasa Inggris naskah disebut dengan istilah manuscript, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut handschrift.10 Jadi naskah ialah wujud fisik segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya disebut hasil karya sastra, yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik naskah.

b. Teks

Baried mengungkapkan, “teks adalah sesuatu yang abstrak. Teks ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan.” Teks lisan yaitu suatu penyampaian cerita turun-temurun lalu ditulis dalam bentuk naskah. Naskah itu kemudian mengalami penyalinan-penyalinan dan selanjutnya dicetak. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan (yang disebut naskah) dan tulisan cetakan.11

Sementara itu, Lubis mengungkapkan, “teks adalah kandungan atau isi naskah.” Isi teks mengandung ide-ide atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.

6

Sudardi, op.cit., h. 3.

7

Baried, op.cit., h. 3.

8

Ibid., h. 54.

9

Achdiati Ikram,

10

Djamaris, op.cit., h. 11.

11


(25)

Di dalam proses penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan ada tiga macam teks yaitu: teks lisan, teks tulisan, dan teks cetakan.12

B. Hikayat

1. Pengertian Hikayat

Secara etimologis, istilah “hikayat” berasal dari bahasa Arab, yakni ( ﻰﻜﺣ ) haka yang berarti menceritakan atau bercerita.13 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misalnya Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Seribu Satu Malam. Salah satu hasil sastra Melayu tradisional adalah hikayat. Hikayat menyampaikan kisah manusia (legendaris) dan seringkali juga tentang hewan yang bersifat manusia, seperti kemampuan berbicara.

Hikayat dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) jenis rekaan, misalnya Hikayat Malim Dewa dan Hikayat Si Miskin; (2) jenis sejarah, misalnya Hikayat Patani dan Hikayat Raja-raja Pasai; (3) jenis biografi, misalnya Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dan Hikayat Abdullah.

Hikayat sekarang mengacu ke bentuk karya sastra beragam prosa yang berisi kisah fantastik dan penuh dengan petualangan. Kata hikayat merupakan bentuk serapan dari bahasa Arab, di dalam bahasa asalnya semata-mata berarti narrative, tale, story.14

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hikayat adalah karya sastra Melayu lama yang berbentuk prosa berisi kisah

12

Lubis, op.cit., h. 30.

13

E. Kosasih, Khazanah Sastra Melayu Klasik (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 57.

14


(26)

kemanusian. Biasanya hikayat menyampaikan kisah manusia dan seringkali juga tentang binatang yang bersifat seperti manusia.

C. Nilai-Nilai Moral 1. Pengertian Nilai

Secara umum, nilai berarti sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai hakikatnya.15 Istilah “nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan.16 Dengan kata lain, nilai dapat dipandang sebagai sesuatu

yang berharga, memiliki kualitas tinggi atau rendah. 2. Pengertian Nilai Moral

Secara etimologis kata “moral” berasal dari bahasa Latin, yaitu mos (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup).. Kata moral mempunyai arti yang sama dengan kata etos (Yunani) yang menurunkan kata etika. Di dalam bahasa Arab, moral berarti akhlak sama dengan pengertian budi pekerti, sedangkan dalam konsep Indonesia, moral berarti kesusilaan.17

Elizabeth Hurlock mengungkapkan dalam bukunya Child Development:

True morality is behaviour wich conforms to social standards and wich is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and consiste of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary Consideration to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to aposition of secondary importance.

15

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi III, h. 783.

16

Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 29.

17


(27)

Pokok-pokok isi yang terpenting dari kutipan di atas ialah, moralitas yang sungguh-sungguh itu sebagai berikut:

a. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar).

b. Kelakuan yang disertai dengan rasa tanggung jawab atas tindakan itu.

c. Tindakan yang mendahulukan kepentingan umum daripada keinginan atau kepentingan pribadi.18

Norma-norma moral merupakan tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.19 Menurut Nainggolan, ditinjau dari sudut bahasa, moral sebagai kata benda yang berarti berhubungan dengan prinsip baik dan buruk dari satu cerita dan kisah atau pengalaman.20

Selanjutnya, Atkinson dalam Sjarkawi mengemukakan “moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar atau salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan.”21 Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Krammer dalam Darmodihardjo yang dikutip oleh Nurgiantoro, mengatakan bahwa “moral merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun peraturan peraturan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Moral disebut juga kesusilaan yang berarti keseluruhan dari berbagai kaidah dan

18

Dr. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 8.

19

Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), h. 19.

20

Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Tentang Moral Pancasila Moral Barat dan Moral Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), h. 21.

21


(28)

pengertian yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik dalam suatu golongan (masyarakat).”22

Dengan kata lain, nilai moral merupakan sesuatu yang berharga yang berisi aturan-aturan, baik lisan maupun tulisan yang mengatur tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan manusia yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, moral merupakan suatu aturan atau ajaran yang di dalamnya mengatur sebuah nilai, baik itu nilai baik maupun nilai buruk yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dalam bertingkah laku.

Adapun Kenny (dalam Nurgiyantoro) mengungkapkan, moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.23

Nilai moral dalam karya sastra selalu dalam pengertian yang baik. Artinya, jika dalam sebuah karya sastra seorang pengarang menampilkan sikap dan tingkah laku dari seorang tokoh antagonis yang cenderung negatif, bukan berarti pengarang memberikan pendidikan yang kurang baik kepada pembaca. Penokohan tersebut hanya dimaksudkan sebagai sebuah model atau contoh saja, agar pembaca mampu mengetahui mana yang baik dan yang kurang baik. Pembaca diharapkan mampu menganalisis perbuatan yang layak untuk dicontoh dan yang tidak layak dicontoh. Dengan begitu, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tokoh “jahat” tersebut.

22

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengakajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), h. 11.

23


(29)

Eksistensi dari sesuatu yang baik biasanya justru akan lebih mencolok jika dihadapkan dengan sesuatu yang bertentangan. Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai moral merupakan sesuatu yang dianggap berharga dalam diri manusia yang di dalamnya terdapat aturan-aturan tertentu yang harus ditaati oleh manusia tersebut. Nilai moral erat hubungannya dengan tingkah laku manusia.

Dalam bertingkah laku, hendaknya manusia mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Pengarang dalam karyanya, mengajak pembaca untuk lebih teliti dalam menganalisis nilai moral yang disampaikan dalam karya yang diciptakannya. Pembaca diharapkan mampu menemukan nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang tersebut. Selain itu, pembaca juga diharapkan mampu menerapkan nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Ajaran moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ajaran moral bersifat praktis sebab dapat ditampilkan, atau ditemukan dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.24

3. Bentuk Penyampaian Moral

Secara umum, bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi dapat disampaikan secara langsung ataupun tidak secara langsung. Hal tersebut dikembalikan pada tujuan pengarang dalam menciptakannya. Ada beberapa pengarang yang secara langsung memperlihatkan pesan yang ingin disampaikan dengan cara langsung menonjolkan dalam karya sastra. Akan tetapi, ada juga pengarang yang ingin menyampaikan pesan namun tidak secara langsung ditonjolkan dalam karyanya tetapi ia sampaikan melalui simbol-simbol tertentu sehingga dibutuhkan ketelitian untuk menganalisis pesan tersebut.

24


(30)

Adapun “pengelompokan nilai moral tersebut dapat berbentuk penyampaian langsung dan tidak langsung.”25 Penjabarannya adalah sebagai berikut:

a.Bentuk penyampaian langsung

Bentuk penyampaian langsung merupakan bentuk penyampaian pesan moral yang dilukiskan secara langsung dalam teks. Misalnya dalam pelukisan watak tokoh, dilukiskan secara langsung dengan teknik uraian, telling, penjelasan atau expository. Pada intinya, dalam bentuk penyampaian secara langsung, pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dilukiskan secara langsung atau eksplisit. Apabila dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, teknik penyampaian langsung ini bisa dikatakan komunikatif. Karena dalam hal ini, pembaca akan mudah memahami pesan yang akan disampaikan olehpengarang. Pembaca tidak akan mengalami kesulitan dalam menafsirkan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. b.Bentuk penyampaian tidak langsung

Bentuk penyampaian tidak langsung merupakan bentuk penyampaian pesan moral yang dilakukan oleh pengarang secara tidak langsung. Pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca dilukiskan secara tersirat dalam teks cerita. Pengarang tidak sertamerta menunjukkan secara jelas pesan yang hendak disampaikannya kepada pembaca. Oleh karena itu, ketika pembaca membaca teks cerita tersebut, diperlukan ketelitian tinggi untuk menemukan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca dipaksa untuk merenungkan, menghayati secara intensif makna yang tersirat dalam cerita.

Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan nilai moral dalam suatu karya sastra, dapat dilakukan dengan menggunakan kedua bentuk penyampaian moral di atas. Akan tetapi,

25


(31)

dalam penelitian ini penulis hanya akan berpedoman pada satu bentuk penyampaian moral di atas yaitu bentuk penyampaian moral secara langsung dengan langsung menganalisa pesan moral dalam hikayat Jaya Lengkara yang dapat dianalisis secara langsung.

D. Penelitian yang Relevan

Adapun Hikayat Jaya Lengkara belum pernah ada yang meneliti atau menjadikan objek kajian filologi sebelumnya. Akan tetapi skripsi kajian filologi dengan objek-objek lainnya baik berupa hikayat maupun syair sudah banyak ditemukan, yang dapat penulis ketahui diantaranya: 1). Syair Peladuk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat (Kajian Filologis) oleh Ulis Sa’diyah dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya mengambil fokus naskah klasik berupa syair.26 2). Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral oleh Wikurnia dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya mengambil fokus naskah klasik berupa hikayat.27

Dari kedua pengkajian naskah lama yang pernah dilakukan tersebut, penulis mencoba mengkaji sesuatu yang berbeda dalam hal objek kajian maupun implikasinya . Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya pencontekan hasil karya orang lain. Untuk itu, dalam penelitian kali ini, penulis melakukan pengkajian dalam aspek nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara serta implikasinya dalam bidang pendidikan.

26

Ulis Sa’diyah, “Syair Peaduk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat (Kajian Filologis).” Skripsi pada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan.

27

Wikurnia, Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral. Skripsi Skripsipada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan.


(32)

21 A. Tinjauan Naskah

1. Inventarisasi Naskah

Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini tidak banyak. Pertama, naskah yang terkenal dan tersimpan di Perpustakaan Kebangsaan Singapura. Kedua, ialah Hikayat Makdam dan Makdim yang tersimpan di SOAS-London yang merupakan satu versi dari hikayat ini yang salah satu fragmennya tersimpan di Jakarta. Adapun naskah Hikayat Jaya Lengkara yang akan dijadikan objek penilitian adalah salah satu koleksi naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Salemba Raya 28A Jakarta dengan nomor ML. 53. 2. Deskripsi Naskah

Naskah Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu koleksi yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. naskah Hikayat Jaya Lengkara berbahasa Melayu aksara Jawi. Naskah tersebut berbentuk prosa yang berupa hikayat. Judul dalam teks adalah ‘Ini Alamat Hikayat Jaya Lengkara Namanya’ dengan menggunakan aksara Jawi dan ‘Djaja-Langkara’ dengan menggunakan aksara bahasa Indonesia (h-1). Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini termasuk kedalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Naskah ini merupakan salinan dari naskah Singapura yang disalin pada 15 hb. Rabiul Awal H. 1237 (1863). Pemiliknya ialah seorang bernama Muhaidin dari Kampung Melaka.1

Naskah terdiri atas 31 halaman. Naskah ini tidak diberi nomor halaman. Secara fisik, naskah mempunyai ukuran sampul dan halaman

1

Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 210.


(33)

yang sama yaitu 14 x 18,5 cm, sedangkan ukuran blok teks ialah 10,5 x 15 cm. Setiap halaman naskah rata-rata memuat 13 baris tulisan. Keadaan naskah masih baik, walaupun kertas terdapat tanda bekas terkena air. Tulisan dengan tinta hitam dalam naskah masih jelas terbaca. Naskah dijilid dengan karton marmer warna cokelat. Kertas yang dipakai untuk menyalin naskah yaitu dari bahan kertas Eropa.

B. Suntingan Teks

Hikayat Jaya Lengkara merupakan naskah salinan dari Singapura. Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal. Namun setelah ditelusuri, ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah yang bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Mengingat jarak, tenaga, dan waktu yang terbatas, serta keterjangkauan naskah ini maka peneliti akhirnya memutuskan untuk meneliti naskah yang ada di PNRI.

Pengantar edisi atau suntingan teks ini merupakan panduan dalam membaca dan memahami suntingan naskah Hikayat Jaya Lengkara. Penulis membuat suatu edisi yang baru dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, huruf besar dan kecil, pembubuhan tanda baca, membuat penafsiran (interpretasi), dan sebagainya, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca masa kini.

1. Tanda-tanda Suntingan

Sebelum penulis menyunting teks Hikayat Jaya Lengkara, terlebih dahulu penulis memaparkan tanda-tanda yang terdapat di dalam suntingan teks. Adapun tanda-tanda dalam suntingan teks sebagai berikut:

a) < > = Tambahan dari penyunting b)/ / = Nomor halaman naskah c) [ ] = Penghilangan huruf atau kata 2. Pemakaian Ejaan

Pada dasarnya, ejaan yang dipergunakan dalam tulisan ini menggunakan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Bagi


(34)

penulisan teks yang menggunakan bahasa Melayu ini, kadang-kadang penerapan EYD secara sempurna sulit dilaksanakan. Kesulitan terutama karena konvensi bahasanya yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini untuk beberapa hal EYD tidak dapat dilaksanakan, misalnya penulisan huruf besar pada kata-kata tertentu yang mengawali kalimat yang dalam bahasa Indonesia hal ini tidak dibenarkan. Contoh: “dan”, “sehingga”, “maka”, “sedang” dan sebagainya yang merupakan kata-kata dalam bahasa Indonesia tidak dibenarkan menjadi pembuka kalimat.

Selain itu, penulis juga memberikan tanda hubung (-) untuk kata-kata ulang (repetition) yang biasanya dalam penulisan naskah ditulis dengan angka (2). Contoh: “kira2” menjadi “kira-kira”, “kuma2” menjadi “kuma-kuma”, “mengguling2kan” menjadi “mengguling-gulingkan”, dan sebagainya.

3. Pedoman Penulisan Kata-Kata Arab

Teks Hikayat Jaya Lengkara menggunakan aksara Arab. Aksara Arab menurut Pigeaud (1967) sudah dipakai untuk menulis bahasa Melayu untuk segala macam keperluan praktis di Nusantara sejak abad ke-16. Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa suku-suku bangsa saat ini biasa disebut aksara Jawi, Pegon, atau aksara Arab Gundul. Aksara Arab yang digunakan sebelumnya disesuaikan dengan tata fonem masing-masing bahasa.2

Kata-kata arab yang sudah dipandang umum dalam naskah ditulis mengikuti pedoman ejaannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Contoh: “masygul”, “barakat”, “fikih”, dan sebagainya.

Pedoman transliterasi Arab yang penulis gunakan sebagai berikut:

2


(35)

Arab Melayu Arab Melayu Arab Melayu

١ A ﺱ S ﻝ L

ﺏ B ﺵ SY ﻡ M

ﺕ T ﺹ SH ﻥ N

ﺙ S ﺽ DH ﻭ W

ﺝ J ﻁ TH ﻩ H

ﺡ H ﻅ ZH ﻱ Y

ﺥ KH ﻉ ‘ ﻙ G

ﺩ D ﻍ GH ﻉ NG

ﺫ Z ﻑ P ﻱ NY

ﺭ R ﻕ Q ﭺ C

ﺯ Z ﻙ K ١ﻭ O/U

١ﻯ E ١ﻱ I

C. Teks Hikayat Jaya Lengkara

/1/ Wa bihi nasta’inu bi ‘l-lahi ‘ala ini hikayat menyatakan cerita orang yang dahulu kala ada seorang raja terlalu besar kerajaannya lengkap dengan hulu balang menterinya segala menghadap raja Saiful Muluk muda negerinya dan nama negerinya Ajam Saukat. Maka sudah daripada itu maka negeri itupun terlalu juga ramai negerinya akan orang lah, segenap negeri sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin. Maka tiada juga berapa lamanya baginda diyasa3 tahta kerajaan. Maka baginda pun baharu juga beristri seorang bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum, baginda itu raja meski akan tetapi baginda itu tiada beranak barang seorang maka itu sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak maka raja itu pun pikir dalam hatinya hendak/2/ beristri seorang lagi bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang.

Maka dengan takdir Allah wa ta’ala maka tuan putri pun hamillah maka dengan beberapa lamanya tuan putri itu pun beranaklah dua orang

3

Di-ya-sa, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(36)

laki-laki dinamai baginda Makdim kemudian Makdam dan yang muda itu dikasih baginda anak dua lagi istri, dan istri baginda yang lama itu tiada dikasihani seperti dahulu kala <la>gi,4 maka tuan putri pun pikir dalam hatinya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri Sa<ka>nda5 Cahaya bermohon doa kepada Allah subhanahu wata’ala demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri meminta doa kepada Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamillah. Setelah genap bulannya tuan Putri Sakanda Cahaya Rum beranak pula seorang laki-laki yang elo rupanya kikang6 gemilang seperti bulan purnama empat belas kepada goa tiga cuci7 cahaya muka, dan lagi suatu alamat pada mukanya seperti kandil yang terang kepada malam, demikianlah alamat yang di kepalanya itu. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat, kemudian lagi buah-buahan pun terlalu jadi, dan padi beras pun terlalu murahnya. Daripada barakat baginda itu juga dan segala dagang pun terlalu banyak pergi datang terlalu lebih daripada dahulu maka terlalu sekali indah-indah dilihat sebelum anakda baginda pun jaya. Belum pernah daripada zaman dahulu kala tiada demikian itu adanya seperti zaman baharu ini. Dan tuan-tuan pun terlalu banyak dan barang yang fakir dan miskin banyak mengambil sedekah.

4

gi  <la>gi

Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.

5

Sanda  Sa<ka>nda

‘sanda’ merupakan kata yang tidak mempunyai makna, kata ini terjadi karena kekeliruan penyalin naskah. Kata ini seharusnya adalah ‘Sakanda’ karena melihat kata-kata yang terdapat sebelumnya.

6

Ki-ka-ng,kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

7

Go-a-ti-ga-cu-ci, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh

karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(37)

Maka baginda pun pikir dalam hatinya sebab/4/ anakku yang bernama Jaya Lengkara kah atau tiadakah? Adapun segala rakyat dia di negeri itupun semuanya membawa persembahannya kebu8 duli baginda Jaya Lengkara. Maka tiada beberapa lamanya persatu anakdalah bernama Jaya Lengkara maka baginda pun menghimpunkan segala hulubalang dan segala nujum dan seisi negeri semuanya pun datang menghadap baginda baginda itu, maka baginda pun bertitah kepada segala hulubalang dan ahli nujum “Hai tuan-tuan sekalian, adapun hamba[h]9 ini hendak bertanyakan hal anakku yang bernama Jaya Lengkara itu apakah artinya jaya apa artinya lengkara itu apakah artinya? ku minta lihat kepada nujum sekalian.”

Maka setelah dilihat nujum sekalian, maka sembah segala hulubalang dan ahli nujum sekalian itu pun masing-masing berdatang sembah, demikian bunyinya surat/5/ mengatakan kepadanya maka semuanya mengucap syukur “Alhamduli l-lahi Rabbil ‘alamin segala puji-puji bagi Allah subhanahu wata’ala juga memberi hambanya kebesaran dan kemuliaan atas hambanya yang di dalam dunia ini. Maka hamba segala hulung10 dan ahli nujum adapun semua ini tiada tahu akan artinya anakda Jaya Lengkara itu.” maka sabda baginda kepada segala nujum “Adapun aku hendak akan artinya Jaya itu apakah artinya dan Lengkara itu a[w]rtinya11”. Maka sembah segala hulu balang dan ahli nujum “Ya Tuanku Syah Alam, adapun duli tuanku hendakkan artinya paduka anak dinama itu baik dan jahatnya itu, duli Tuanku menyuruh bertanya kepada tuan kadi, karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih adapun fikih itulah yang mengetahui segala yang tiada dapat oleh orang lain maka/6/

8

Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

9

Hambah  hamba[h]

Penghilangan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.

10

Hulung <hulubalang>

‘hulung’ merupakan kata yang tidak mempunyai makna, kata ini terjadi karena kekeliruan penyalin naskah. Kata ini seharusnya adalah ‘hulubalang’ karena melihat kata-kata yang terdapat sebelumnya.

11

Awrtinya  a[w]rtinya


(38)

diketahuinya itu yang boleh, makruh, yakin, segala nama seorang-seorang Ya Tuanku”. Maka raja pun diamlah mendengar sembah sekalian itu.

Hatta maka beberapa lamanya maka raja pun memanggil anaknya dua orang bernama Makdam dan Makdim, Itupun segera datanglah menghadap pada ayahanda baginda. Maka titah baginda kepada anaknya “Hai anakku, itu Jaya apakah artinya dan Lengkara apakah artinya itu? dan cahaya hal saudaramu itu supaya kita ketahui baik dan jahatnya”. Maka Makdam dan Makdim pun bermohon kepada ayahanda, maka iapun berbualan12 mendapatkan kadi. Maka dilihat kadi Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya, diarakan oleh seperti adat anak raja-raja. Maka kadi pun berkata “Ya tuanku, pengalah tuk13 kepada rumah patik yang hina ini, selamanya belum pernah /7/ anakku datang kemari ini”. karena maka kata titah Makdam dan Makdim “Adapun hamba ini datang karena dititah oleh duli Stah Alam pergi kepada tuan kadi bertanya akan hal adinda yang baharu jadi itu, karena anakda baginda itu tatkala dia jadi maka suatu alamat kepada ububan-ububannya14 adinda itu seperti cahaya kandil yang terpasang kepada malam bercahaya-cahaya, demikianlah alamatnya kepada adinda itu.” maka ujar tuan kadi “Ya tuanku siapalah namanya adinda itu?” maka ujar Makdam dan Makdim “Ya kadi, adapun nama adinda itu Jaya Lengkara” maka tuan kadi pun membuka kitabnya dan tafsirnya. Surat sudah dilihatnya kepada kitabnya dan tafsirnya maka tuan kadi pun terus-terus serta mengucap syukur Alhamduli ‘l-lahi Rabbil ‘Alamin. Maka Makdam dan Makdim pun berkata “Ya Tuan /8/ kadi, mengapakah tuan hamba berkata syukur Alhamduli ‘l-lahi Rabbil ‘alamin itu?” maka sembah kadi “Ya tuanku,

12

Ber-bu-al-an, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

13

Pe-nga-lah-tuk, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

14

U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh

karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(39)

adapun alamat menjadi raja besar terlalu sangat saktinya, insya Allah ta’ala negeri ini pun akan murah makan makanan dan segala raja-raja yang gagah berani semuanya takluk pada adinda itu dan sekalian orang takut akan adinda itu” maka kata Makdam dan Makdim “Hai tuan kadi apakah alamatnya yang kepada ububan-ububannya15 Jaya Lengkara?” maka ujar kadi “Adapun alamatnya itulah alamat bulan dan matahari, karena bulan itu akan membuka segala keji dan matahari itu kan menerangkan segala alam, itulah alamat adinda itu. Artinya Lengkara Jaya itu terlalu sekali baiknya” maka kata Makdam dan Makdim “Hai tuan kadi, apakah artinya maka kata kadi ya tuanku adapun artinya Jaya Lengkara itu suda<h>16 barang dikehendaknya jadi. Dan/9/ Jaya artinya dan lengkara itu yang tiada dapat oleh orang lain, maka dapat olehnya sebabnya bernama Jaya Lengkara. Artinya Jaya Lengkara, adapun jika ia hendak berjalan di darat pun boleh dan jika ia hendak berjalan di laut pun boleh juga degan karenanya Allah subhanahu wata’ala kepada adinda itu. Maka adinda itu tiada dapat dilawan orang dan segala jin pun tiada dapat melawan dia”.

Maka Makdam dan Makdim pun segan hatinya mendengarkan kadi demikian itu sarat ia pulang bermohon kepada kadi. Maka Makdim pun berkata di tengah jalan itu “Hai kakanda apakah kata kita pada raja sekarang ini?” maka kata Makdam “Hai adinda, kata itu janganlah disusahkan kata kadi manda17 tadi adalah kepada aku” maka itupun berjalanlah mendapatkan ayahanda baginda sarat ia pun sampai kepada raja dengan tangisnya maka titah raja “Hai anakku, mengapakah engkau mena/10/ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya tuanku, adapun patik dititah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi kepada anakda kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat

15

U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh

karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

16

Suda  Suda<h>

Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.

17

Man-da, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(40)

anakda yang baharu jadi itu maka kata kadi kepada anakda kedua tadi “Adapun alamat adinda yang kepada ububan-ububannya18 Jaya Lengkara anakda itu besar celakanya padi, beras, segala buah-buahan akan mahal karena sebab besar celakanya. Dan segala rakyat di dalam negeri pun banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku” maka patik menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah sebab-sebab patik menangisi adinda. Maka baginda medengar samabda anakda kedua itu, maka bagindapun terlalu masygul sarat dengan percayaannya.

Hatta beberapa lamanya maka bagindapun berjalan ke rumah Jaya Lengkara. Maka baginda pun berkata kepada/11/ istrinya tuan Sakanda Cahaya Rum “Hai adinda bua<h>19 hatiku cermin mataku, adapun anak kita Jaya Lengkara itu kakanda pinta kepada adinda dahulu” maka sembah bunda Jaya Lengkara “Iya kakanda, mengapa tuanku bekata demikian itu?” maka kata raja “Hai adinda, adapun maka kakanda berkata demikian karena anak kita itu hendak kakanda bunuh karena terlalu amat celakanya besar sangat, itulah maka kakanda hendak membunuh dia!” maka sembah bunda Jaya Lengkara “Ya tuanku, adapun jikalau anak hamba ini dibunuh maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali!” maka kata raja “Hai adinda, mengapakah adinda berkata demikian itu?” maka kata bunda Jaya Lengkara “Ya tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak hamba dibunuh itu, karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba turut akan” maka raja pun diamlah mendengar kata istrinya. Baginda itupun mengalah serasa hatinya.

Maka samabda Makdam dan/12/ Makdim “Ya tuan, jikalau demikian baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera tuanku membuangkan dia karena mereka orang yang celaka itu! apakah

18

U-bu-ban-nya,kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh

karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

19

Bua  bua<h>


(41)

gunanya kalau negeri duli tuanku bilanya? karena negeri ini belum lagi jauh inilah sembah patik dua bersaudara. Jangan anak lagi kecil, jika patik sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga. Gunanya puluh anak lagi kecil demikian tuanku sayangkan demikian sembah hamba. Tuanku, mana harga anak tuanku seorang sama dengan harga rakyat duli tuanku seisi negeri! karena segala raja-raja itu, jikalau kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat apalah akan gunanya?” maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti kata anakku itu. Maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya.

Hatta maka mangkubumi pun berjalanlah ke dalam hutan rimba dan padang/13/belantara membawa Jaya Lengkara <ber>dua20 dengan bundanya itu. Maka kira-kira tujuh hari tujuh malam perjalanan itu disanalah Jaya Lengkara ditinggalkan dengan bundanya oleh mangkubumi maka mangkubumi pun <pu>langlah21. Maka Jaya Lengkara pun diamlah di dalam hutan itu berdua dengan bundanya, maka beberapa lamanya di dalam hutan itu maka pikir dalam hatinya bunda Jaya Lengkara isyarat dengan tangisnya bercitakan dirinya. Maka ia pun pikir dalam hatinya “Adapun aku juga duduk pada tempat ini kalau-kalau ada juga kehendak raja kepada anaku ini niscaya didapatnya juga aku dan anaku ini, baiklah aku lari daripaada tempat ini membuangkan diriku.” Serta ia berjalan maka kira-kira sembilan hari sembilan malam perjalanan itu, maka ia pun bertemu dengan suatu goa terlalu besar, maka maka di dalam goa itu terlalu banyak dalamnya seperti harimau rupanya dan ular dan kala maka semuanya/14/ itupun sujud menyembah kepada bunda Jaya Lengkara.

Maka bunda Jaya Lengkara pun diamlah di sana di dalam goa itu, maka beberapa lamanya segala peristiwa Jaya Lengkara pun hendak

20

dua  <ber>dua

<ber-> merupakan perfiks pembentuk verba. Jadi, perlu ditambahkan perfiks <ber-> pada kata dua, karena menyatakan jumlah.

21

langlah  <pu>langlah


(42)

menyusu pada bundanya tiada berair, maka bundanya pun teteslah air matanya. Maka kata bundanya “Hai anakku, apalah dayaku akan engkau, karena aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tiada makan dan tiada minum air, dimanakah ada air susuku!” maka Jaya Lengkara pun sangatlah menangis mengguling-gulingkan dirinya di atas batu, maka dengan takdir Allah subhanahu wata’ala maka keluarlah air daripada sebelah batu itu. Maka bundanya pun heranlah melihat airnya serta diminumnya oleh bundanya dengan takdir Allah subhanahu wata’ala, maka Jaya Lengkara pun diberi oleh bunda menyusu. Maka Jaya Lengkara pun suda pulih rasanya tubuhnya.

Hatta beberapa lamanya, maka Jaya Lengkara/15/ pun besarlah, tahu bermain-mainan panah di dalam hutan itu sehari-sehari memanah kambing menjangan, setiap hari bermain-main di dalm hutan tiada lain pekerjaannya Jaya Lengkara itu.

Hatta beberapa lamanya, maka tersebutlah perkataan raja Ajam Saukat sepeninggal Jaya Lengkara itu, maka ia pun sakit terlalu sangat. Tabib di dalam negeri ini dipanggil mengobati raja itu tiada juga sembuh, makin sangat payahnya raja itu. Maka Makdam dan Makdim pun sangat masygul akan dirinya, maka ia pun memangil ahli nujum pun dengan nujumnya serta menggerak-gerakan kepalanya serta berdatang sembuh. “Ya tuanku, adapun penyakit ayahanda itu terlalu keras, jika tiada lekas baik penyakit baginda itu, maka menjadi melarat mata” maka kata Makdam dan Makdim “apalah/16/ akan obatnya baginda itu?” maka samabda ahli nujum “Ya tuanku, kembang kuma-kuma putih di puncak gunung Mesir itulah akan obatnya baginda itu, maka baik penyakitnya baginda itu!” maka Makdam dan Makdim kembali daripada ahli nujum itu serta menyuruh kan orang mencari kembang kuma-kuma putih itu. Maka seorangpun tiada beroleh sampai kepada gunung Mesir itu beberapa lamanya 15 laskasa.22

22

Lak-sa-sa, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan


(43)

Maka tersebut perkataan, seorang raja negeri Madinah pun terlalu sakit penyakitnya. Adapun beberapa lamanya sakit baginda itu beberapa dukun dan tabib dipanggilkan mengobati baginda itu tiada juga baik, makin sangat sakitnya. Maka anaknya yang bernama tuan Putri Ratna Kasina pun sangat masygulnya, orang di dalam Madinah pun sangat juga/17/masygulnya, karena sekalian rakyat di dalam negeri tiada mengobatinya baginda itu. Maka anakda tuan putri pun tidur, lalu bermimpi melihat ada seorang perempuan datang kepada tuan putri Ratna Kasina, maka kata tuan Putri Ratna Kasina maka kata orang perempuan tua itu kepada tuan putri Ratna Kasina maka katanya “Ya tuanku putri Ratna Kasina, adapun kan obatannya ayahanda ini kembang kuma-kuma putih di puncak gunung Mesir tempatnya, itulah kan obatnya ayahanda itu maka yang kan daripada ayahanda itu” maka tuan putri Ratna Kasina pun terlihat daripada tidurnya itu, maka ia lalu memanggil mangkubumi, maka mangkubumi pun datang mengadap tuan putri maka kata tuan putri “Hai ninik23 ku mangkubumi, suruhkan titahku segala rakyat kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka sembah/18/ Mangkubumi “Ya tuanku, dimanakah tempatnya kuma-kuma putih itu?” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai ninik,24 aku pun tidak tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih itu, karena aku beralpalah daripada mimpiku juga”

Hatta berapa lamanya mangkubumi menyuruhkan rakyat beberapa ribu orang berjalan dan berlayar mencari kembang kuma-kuma putih itu, seorang pun tiada mendapat kembang itu dan lagi pun orang yang disuruh itu semuanya tiada tahu akan kembang-kembang itu. Jangankan melihat rupanya kembang itu, mendengarnya pun baharu inilah. Maka putri Ratna Kasina terlalu kasian kan ayahandanya,

aslinya.

23

Ni-ni-k, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.

24

Ni-ni-k,kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(44)

baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum. Maka pikir tuan putri “Jika aku hidup, sekalipun dengan seorang diriku apakah gunanya jika ayahku sudah mati. Maka jadi piatulah aku”

Hatta tuan putri Ratna Kasina /19/ pun berjalan dengan segala rakyat, dan mangkubumi pun mengerahkan rakyat dua ribu orang rakyat berjalan mengiringkan tuan putri Ratna Kasina itu. Maka beberapa lamanya naik gunung turun gunung berjalan itu, beberapa lamanya melalui hutan dan rimba padang, beberapa banyak mati di dalam hutan itu karna perjalanan itu terlalu jauh. Maka sembah mangkubumi “Ya tuanku, apalah hal rakyat duli tuanku sekalian ini? beberapa rakyat yang mati kelaparan dan kepanasan dan letih daripada berjalan terlalu jauhnya!” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai tuanku mangkubumi, jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tidalah aku mau kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu tiada ku balik” maka mangkubumi pun tiadalah mau pulang. Maka tuan putri pun berjalan dengan mangkubumi dan dan segala rakyat beberapa lamanya berjalan terlalu lagi panas /20/ dan dahaga air maka tuan putri Ratna Kasina pun menangis-nangis karena ia ditinggal seorang dirinya, maka berjalan isyarat dengan tangisnya sebab ia membuat dirinya berapa lamanya sekira-kira tujuh hari tujuh malam. Maka tuan putri Ratna Kasina pun bertemulah dengan sebuah goa, maka ia pun masuk ke dalam goa itu. Adalah dilihatnya ramai <se>ekor25 naga terlalu besarnya seperti bukit, maka tuan putri pun sangat gemetar tubuhnya karena takut melihat naga itu. Maka kata naga “Ya tuan putri, janganlah tuan takut karena hamba ini kebu26 duli tuanku” maka kata tuan putri “Hai naga, jika demikian minta tolong kepadamu!” maka kata naga “Iya tuanku, mengapalah duli tuanku bertitah demikian itu kepada patik ini

25

Ekor  <se>ekor

Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. Penggunaan ‘se’ pada kata ‘ekor’ dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kata yang dimaksud bukan ekornya tetapi binatangnya.

26

Ka-bu,kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(45)

karena patik ini hamba kebu27 duli tuanku” maka kata tuan putri “Jika demikian itu /21/ baiklah hai naga, adapun aku ini datang kepadamu karena aku hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat ayahku sakit!” maka sembah naga “Ya tuanku hendak kan kembang kuma-kuma putih itu, insya Allah ta’ala duli tuanku peroleh juga dengan barakat tuanku Jaya Lengkara” maka pikir tuan putri dalam hatinya juga maka katanya “Siapa gerangan yang bernama Jaya Lengkara itu?” maka kata naga “Ya tuanku, diam juga tuanku dahulu disini karena tuanku hendak mengambil kembang kuma-kuma itu” maka kata tuan putri “Apakah kerjaku diam disini?” maka sembah naga “Disini juga dahulu, karena ada seorang laki-laki yang bernama Jaya Lengkara inilah yang boleh mendapat kembang kuma-kuma putih itu, Ya tuanku nanti juga dahulu, manakala datang ia kemari disanalah tuanku turut bersama-sama berjalan mengambil kuma-kuma putih itu” maka tuan putri Kasina pun diamlah di dalam mulut naga itu menanti datang Jaya Lengkara itulah adanya.

Alkisah, maka tersebutlah perkataan/22/ Makdam dan Makdim beberapa lamanya menyuruhkan rakyatnya, maka tiada juga sampai kepada gunung itu maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, marilah kita berjalan!” maka Makdam dengan Makdim pun berjalanlah ke dalam hutan. Maka berlamanya berjalan itu, maka ia pun bertemu dengan Jaya Lengkara di dalam hutan itu, maka didapatnya Jaya Lengkara lagi bermain panah-panahan kijang dan menjangan, maka tanya “Hai orang muda, orang manakah tuan hamba ini?” maka kata Jaya Lengkara “Hamba orang hutan, maka diam di dalam hutan inilah” maka ujar Makdam dan Makdim “Hai orang muda, jika tuan hamba diam di dalam hutan ini, mintalah air hamba ini telalu dahaga” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita pada tempat hamba diam” maka ia masuklah goa itu mengambil air di dalam kendi, maka [maka] Makdam

27

Ka-bu,kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(46)

dan Makdim pun heranlah melihat goa itu, maka Jaya Lengkara pun keluarlah serta memberikan kendi itu/23/ kepada Makdam dan Makdim, maka disambut oleh Makdam dan Makdim kendi itu lalu diminumnya oleh Makdam dan Makdim. Maka kata Jaya Lengkara “Hai bundaku mintalah anakda sayur” maka bundanya Jaya Lengkara membawa sayur di dalam bokor. Maka [maka] ia melihat Makdam dan Makdim, maka katanya “Dari manakah anakku datang ini dan hendak kemanakah anaku ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Hai ibuku, adapun hamba datang ini hendak mencari kembang kuma-kuma putih itu” maka kata bunda Jaya Lengkara “Hai anakku, apalah gunanya kembang kuma-kuma putih itu? maka sembah Makdam dan Makdim “Ya tuanku, akan obat sri paduka baginda sakit terlalu sangat, karena empat puluh hari tiada makan dan tiada minum air. Maka sebab inilah mulanya maka patik dua bersaudara datang kemari ini” maka kata Jaya Lengkara “Hai ibuku, jika demikian hamba ini [ini] anak raja manakah?” maka kata bundanya “Hai anakku, adapun anakku ini anak raja di negeri Ajam Saukat” maka kata Jaya Lengkara/24/ “Hai ibuku, apalah mulanya maka kita ke dalam hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya Makdam dan Makdim.

Maka saudaranya dua itu pun heran melihat rupa Jaya Lengkara karena rupanya Jaya Lengkara itu terlalu sekali elok parasnya elok parasnya seperti bulan empat belas hari goa tiga cuci.28 Maka Makdam dan Makdim pun sujud pada kakinya Jaya Lengkara, maka kata “Hai ibuku, orang ini kenapalah? maka kata ibunya “Hai anakku, inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah bernama Makdim anak raja Ajam Saukat <da>ri istrinya yang muda. Karena ia hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat ayahandamu sakit, maka kata Jaya

28

Go-a-ti-ga-cu-ci, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh

karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.


(47)

Lengkara “Jikalau demikian hai kakanda Makdam dan Makdim, dimanakah tempat kembang itu?” maka kata Makdam dan Makdim “Hai saudaraku karena kakanda pun tiada juga tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih/25/ itu” maka kata Makdim “Adapun dalam kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka Makdam dan Makdim pun terlalu suka hatinya mendengar kata Jaya Lengkara demikian itu. Makdam dan Makdim “Hai adinda, marilah kita berjalan mencari lekas-lekas sekarang ini juga!” maka kata Jaya Lengkara “Hai kakanda tunggu dahulu, karena ibu hamba lagi hendak menjamu kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam” maka Makdam dan Makdim pun menanti jua beberapa lamanya makan dan minum yang amatlah nikmatnya jua rasanya maka Makdam dan Makdim pun terlalu suka hatinya dijamu oleh saudaranya itu. Maka setelah sudah makan dan minum itu, maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, baiklah kita lekas berjalan mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka kata Jaya Lengkara “Alhamduli ‘l-lahi rabbil ‘alamin” maka pikir Makdam/26/ dan Makdim dimana gerangan dia beroleh makanan di dalam hutan ini seperti makan makanan raja di dalam negeri rupanya. Maka Jaya Lengkara pun berjalan tiga bersaudara, maka bundanya diringgalkanlah seorang dirinya di dalam hutan itu.

Beberapa lamanya berjalan itu, berapa melalui gunung turun gunung, melalui rimba padang, maka Makdam dan Makdim pun terlalu letih serta ia berkata “Hai adinda, adapun hamba ini sangat dahaga hendak minum air” maka Jaya Lengkara pun mencari akan kakanda air ke sana ke sini maka tiada juga mendapat air barang sedikit pun tiada juga beroleh. Maka Makdam dan Makdim pun tiada sadar dibawah pohon kayu beringin terlalu besarnya, maka dilihat oleh Jaya Lengkara Makdam dan Makdim itu tidur seperti orang mati rupanya. Maka Jaya Lengkara pun naik ke atas pokok beringin itu, maka ditotoknya pucuk


(48)

beringin itu maka dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala maka keluarlah air seperti air pancoran dari/27/ pucuk beringin itu. Maka Jaya Lengkara pun membangunkan saudaranya, maka katanya “Hai kakanda bangunlah minum air” Makdam dan Makdim pun terkejutlah daripada tidurnya, serta dilihat oleh Makdam dan Makdim itu pun heranlah melihat hikmat Jaya Lengkara itu, maka Makdam dan Makdim pun minumlah air itu, maka baharulah sadar tubuhnya.

Maka tiada berapa lama Jaya Lengkara pun berjalanlah dengan Makdam dan Makdim maka sekira-kira tiga hari tiga malam perjalanannya itu. Maka bertemu dengan raksa dan harimau, maka Makdam dan Makdim sangat gemetar tubuhnya serta berlindung disamping Jaya Lengkara maka katanya “Hai adinda, hidup-hiduplah nyawa kakanda dua ini” serta dengan tangisnya, maka Jaya Lengkara “Hai kakanda janganlah takut, karena sudah adad kita anak laki-laki” maka Makdam dan Makdim pun menangislah makin sangat menangis, maka ujar Jaya Lengkara “Hai raksa dan harimau, baiklah engkau pergi dari sini karena kakanda ini sangat melihat engkau” maka kata raksa dan harimau “Ya tuanku Jaya/28/ Lengkara, hamba ini sahaja hendak mengiringkan duli tuanku berjalan pada tempat kuma-kuma putih itu” maka kata Jaya Lengkara “Hai harimau dan raksa, apakah salahnya jika aku sendiri ini, karenaku dengan kakanda kedua sangat takutnya kepadamu” maka raksa pun lari serta harimau. Maka Makdam dan Makdim pun diamlah, maka ia pun baharu berjalan bersama-sama tiga orang dengan Jaya Lengkara. Beberapa lamanya berjalan itu maka ia pun bertemu dengan suatu goa tempat naga goa itu, maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita masuk ke dalam goa itu!” maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena sangat takut cahaya ini, karena siapa tahu barangkali ada harimau dan raksa atau ular dan kala kah!” maka Jaya Lengkara pun masuk juga seorang ke dalam goa itu dengan seorang dirinya, maka iapun melihat


(1)

13. Sabda = 1. kata-kata atau perkataan yang diucapkan oleh nabi atau rasul 2. Kata atau perkataan (bagi raja dsb) 3. Kata atau perkataan yang diucapkan oleh wazir wazir.

14. Semabda = serba cukup, kuat, kaya patut, pan tas, cocok

15. Kuma-kuma = 1. BM stigma (daripada crocus berbunga ungu) yang berwarna jingga, berbau kuat, dan dikeringkan, digunakan untuk mewarnai dan memberi perisai kepada makanan 2. Kunyit.

16. Patik = sl saya (dipakai sewaktu bercakap dengan raja); hamba 17. Jadi = lahir, dilahirkan.


(2)

LAMPIRAN : NASKAH HIKAYAT JAYA LENGKARA

Cover Hikayat Jaya Lengkara


(3)

Bagian Depan Hikayat Jaya Lengkara


(4)

(5)

(6)

PROFIL PENULIS

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIEN, yang biasa dipanggil Zain merupakan anak keempat dari enam bersaudara ini lahir di Tangerang, 15 Januari 1990. Ia telah berhasil menuntaskan pendidikannya di MI Hidayaturrahman (2001), SMP Negeri 1 Teluknaga (2004), dan MA Qotrun Nada (2008). Setelah itu ia memilih melanjutkan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pria manis berlesung pipit, berkumis tipis, berbadan atletis, berkulit tropis ini suka sekali menulis, cenderung melankolis, sedikit apatis namun selalu optimis. Olahraga terutama sepakbola adalah kekasih keduanya, berpetualang adalah kegemarannya, coklat adalah makanan kesukaannya dan bermain game PES adalah hobinya. Pemilik tempat pencucian motor “Zain Motor Steam” ini suka sekali berwirausaha. Sedari kecil ia sudah berani berjualan berbagai macam komoditas seperti: es, pempek, pastel, jajanan, dan sebagainya. Bahkan selagi kuliah pun ia pernah jualan keripik singkong bersama Tita, Arif, dan Fitri. Menjadi pengusaha sukses merupakan idamannya.

Pemeran utama “Jenny” dalam drama “Waria KM 25” ini mempunyai pengalaman menarik ketika awal pertama masuk kuliah yaitu ia sampai tiga kali keluar masuk kelas yang sama karena salah melihat jadwal kuliah yang harusnya Selasa malah dilihat Senin dan akhirnya ia pun menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Selasa, 1 September 2009 merupakan awal mulanya ia bergulat dan berkutat di Ciputat.

Selama kuliah, penerima Beasiswa BUMN Peduli Pendidikan PT. Angkasa Pura II ini pernah menjadi delegasi untuk mengikuti berbagai macam kegiatan diantaranya: Debat Bahasa Mahasiswa Se-JABODETABEK di Pusat Bahasa Jakarta, Workshop Wirausaha Muda Mandiri di Jakarta Convention Center, Pelatihan Da’i Muda Lazuardi Birru di Jakarta, dan lain sebagainya. Mahasiswa yang lebih dominan menggunakan otak kirinya ini sangat menyukai filologi dan Alhamdulillah telah berhasil menyusun skripsi dengan kajian filologi berbahasa Indonesia pertama di almamaternya.