Eksistensi dari sesuatu yang baik biasanya justru akan lebih mencolok jika dihadapkan dengan sesuatu yang bertentangan. Dari pemaparan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai moral merupakan sesuatu yang dianggap berharga dalam diri manusia yang di dalamnya terdapat
aturan-aturan tertentu yang harus ditaati oleh manusia tersebut. Nilai moral erat hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Dalam bertingkah laku, hendaknya manusia mengikuti aturan- aturan yang berlaku dalam masyarakat. Pengarang dalam karyanya,
mengajak pembaca untuk lebih teliti dalam menganalisis nilai moral yang disampaikan dalam karya yang diciptakannya. Pembaca
diharapkan mampu menemukan nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang tersebut. Selain itu, pembaca juga diharapkan mampu
menerapkan nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Ajaran moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti
sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ajaran moral bersifat praktis sebab dapat ditampilkan, atau ditemukan dalam kehidupan nyata,
sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.
24
3. Bentuk Penyampaian Moral Secara umum, bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi
dapat disampaikan secara langsung ataupun tidak secara langsung. Hal tersebut dikembalikan pada tujuan pengarang dalam menciptakannya.
Ada beberapa pengarang yang secara langsung memperlihatkan pesan yang ingin disampaikan dengan cara langsung menonjolkan dalam karya
sastra. Akan tetapi, ada juga pengarang yang ingin menyampaikan pesan namun tidak secara langsung ditonjolkan dalam karyanya tetapi ia
sampaikan melalui simbol-simbol tertentu sehingga dibutuhkan ketelitian untuk menganalisis pesan tersebut.
24
Ibid., h. 321.
Adapun “pengelompokan nilai moral tersebut dapat berbentuk penyampaian langsung dan tidak langsung.”
25
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
a. Bentuk penyampaian langsung Bentuk
penyampaian langsung
merupakan bentuk
penyampaian pesan moral yang dilukiskan secara langsung dalam teks. Misalnya dalam pelukisan watak tokoh, dilukiskan secara
langsung dengan teknik uraian, telling, penjelasan atau expository. Pada intinya, dalam bentuk penyampaian secara langsung, pesan
moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dilukiskan secara langsung atau eksplisit. Apabila dilihat dari segi kebutuhan
pengarang yang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, teknik penyampaian langsung ini bisa dikatakan komunikatif. Karena dalam
hal ini, pembaca akan mudah memahami pesan yang akan disampaikan olehpengarang. Pembaca tidak akan mengalami kesulitan
dalam menafsirkan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. b. Bentuk penyampaian tidak langsung
Bentuk penyampaian tidak langsung merupakan bentuk penyampaian pesan moral yang dilakukan oleh pengarang secara tidak
langsung. Pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca dilukiskan secara tersirat dalam teks cerita. Pengarang tidak sertamerta
menunjukkan secara jelas pesan yang hendak disampaikannya kepada pembaca. Oleh karena itu, ketika pembaca membaca teks cerita
tersebut, diperlukan ketelitian tinggi untuk menemukan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca dipaksa untuk
merenungkan, menghayati secara intensif makna yang tersirat dalam cerita.
Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan nilai moral dalam suatu karya sastra, dapat dilakukan dengan
menggunakan kedua bentuk penyampaian moral di atas. Akan tetapi,
25
Ibid., h. 335-342.
dalam penelitian ini penulis hanya akan berpedoman pada satu bentuk penyampaian moral di atas yaitu bentuk penyampaian moral secara
langsung dengan langsung menganalisa pesan moral dalam hikayat Jaya Lengkara yang dapat dianalisis secara langsung.
D. Penelitian yang Relevan
Adapun Hikayat Jaya Lengkara belum pernah ada yang meneliti atau menjadikan objek kajian filologi sebelumnya. Akan tetapi skripsi
kajian filologi dengan objek-objek lainnya baik berupa hikayat maupun syair sudah banyak ditemukan, yang dapat penulis ketahui diantaranya: 1.
Syair Peladuk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat Kajian Filologis oleh Ulis
Sa’diyah dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya mengambil
fokus naskah klasik berupa syair.
26
2. Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral
oleh Wikurnia dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya
mengambil fokus naskah klasik berupa hikayat.
27
Dari kedua pengkajian naskah lama yang pernah dilakukan tersebut, penulis mencoba mengkaji sesuatu yang berbeda dalam hal objek
kajian maupun implikasinya . Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya pencontekan hasil karya orang lain. Untuk itu, dalam penelitian kali ini,
penulis melakukan pengkajian dalam aspek nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara serta implikasinya dalam bidang pendidikan.
26
Ulis Sa’diyah, “Syair Peaduk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat Kajian Filologis.” Skripsi pada UNS,
Semarang
, 200
6,
tidak dipublikasikan
.
27
Wikurnia, Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral. Skripsi Skripsi pada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan.
21
BAB III HIKAYAT JAYA LENGKARA:
NASKAH DAN TEKS
A. Tinjauan Naskah
1. Inventarisasi Naskah Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini tidak banyak. Pertama,
naskah yang terkenal dan tersimpan di Perpustakaan Kebangsaan Singapura. Kedua, ialah Hikayat Makdam dan Makdim yang tersimpan
di SOAS-London yang merupakan satu versi dari hikayat ini yang salah satu fragmennya tersimpan di Jakarta. Adapun naskah Hikayat
Jaya Lengkara yang akan dijadikan objek penilitian adalah salah satu koleksi naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia di Jalan Salemba Raya 28A Jakarta dengan nomor ML. 53. 2. Deskripsi Naskah
Naskah Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu koleksi yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. naskah
Hikayat Jaya Lengkara berbahasa Melayu aksara Jawi. Naskah tersebut berbentuk prosa yang berupa hikayat. Judul dalam teks adalah
‘Ini Alamat Hikayat Jaya Lengkara Namanya’ dengan menggunakan aksara Jawi dan ‘Djaja-Langkara’ dengan menggunakan aksara
bahasa Indonesia h-1. Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini termasuk kedalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Naskah ini merupakan
salinan dari naskah Singapura yang disalin pada 15 hb. Rabiul Awal H. 1237 1863. Pemiliknya ialah seorang bernama Muhaidin dari
Kampung Melaka.
1
Naskah terdiri atas 31 halaman. Naskah ini tidak diberi nomor halaman. Secara fisik, naskah mempunyai ukuran sampul dan halaman
1
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta: Erlangga, 2003, h. 210.
yang sama yaitu 14 x 18,5 cm, sedangkan ukuran blok teks ialah 10,5 x 15 cm. Setiap halaman naskah rata-rata memuat 13 baris tulisan.
Keadaan naskah masih baik, walaupun kertas terdapat tanda bekas terkena air. Tulisan dengan tinta hitam dalam naskah masih jelas
terbaca. Naskah dijilid dengan karton marmer warna cokelat. Kertas yang dipakai untuk menyalin naskah yaitu dari bahan kertas Eropa.
B. Suntingan Teks
Hikayat Jaya Lengkara merupakan naskah salinan dari Singapura. Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal. Namun setelah ditelusuri,
ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah yang bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Mengingat jarak, tenaga, dan
waktu yang terbatas, serta keterjangkauan naskah ini maka peneliti
akhirnya memutuskan untuk meneliti naskah yang ada di PNRI.
Pengantar edisi atau suntingan teks ini merupakan panduan dalam membaca dan memahami suntingan naskah Hikayat Jaya Lengkara.
Penulis membuat suatu edisi yang baru dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, huruf besar dan kecil, pembubuhan tanda baca, membuat
penafsiran interpretasi, dan sebagainya, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca masa kini.
1. Tanda-tanda Suntingan Sebelum penulis menyunting teks Hikayat Jaya Lengkara,
terlebih dahulu penulis memaparkan tanda-tanda yang terdapat di dalam suntingan teks. Adapun tanda-tanda dalam suntingan teks sebagai
berikut: a
= Tambahan dari penyunting b
= Nomor halaman naskah c [ ]
= Penghilangan huruf atau kata 2. Pemakaian Ejaan
Pada dasarnya, ejaan yang dipergunakan dalam tulisan ini menggunakan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan EYD. Bagi
penulisan teks yang menggunakan bahasa Melayu ini, kadang-kadang penerapan EYD secara sempurna sulit dilaksanakan. Kesulitan terutama
karena konvensi bahasanya yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini untuk
beberapa hal EYD tidak dapat dilaksanakan, misalnya penulisan huruf besar pada kata-kata tertentu yang mengawali kalimat yang dalam
bahasa Indonesia hal ini tidak dibenarkan. Contoh: “dan”, “sehingga”, “maka”, “sedang” dan sebagainya yang merupakan kata-kata dalam
bahasa Indonesia tidak dibenarkan menjadi pembuka kalimat. Selain itu, penulis juga memberikan tanda hubung - untuk
kata-kata ulang repetition yang biasanya dalam penulisan naskah ditulis dengan angka 2. Contoh: “kira2” menjadi “kira-kira”, “kuma2”
menjadi “kuma-kuma”, “mengguling2kan” menjadi “mengguling- gulingkan”, dan sebagainya.
3. Pedoman Penulisan Kata-Kata Arab Teks Hikayat Jaya Lengkara menggunakan aksara Arab. Aksara
Arab menurut Pigeaud 1967 sudah dipakai untuk menulis bahasa Melayu untuk segala macam keperluan praktis di Nusantara sejak abad
ke-16. Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa suku- suku bangsa saat ini biasa disebut aksara Jawi, Pegon, atau aksara Arab
Gundul. Aksara Arab yang digunakan sebelumnya disesuaikan dengan tata fonem masing-masing bahasa.
2
Kata-kata arab yang sudah dipandang umum dalam naskah ditulis mengikuti pedoman ejaannya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia KBBI. Contoh: “masygul”, “barakat”, “fikih”, dan sebagainya.
Pedoman transliterasi Arab yang penulis gunakan sebagai berikut:
2
Elis Suryani, Filologi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012, h. 127.