Analisis Wilayah Perairan Teluk Pelabuhan Ratu untuk Kawasan Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung

(1)

ANALISIS WILAYAH PERAIRAN TELUK PELABUHAN

RATU UNTUK KAWASAN BUDIDAYA PERIKANAN SISTEM

KERAMBA JARING APUNG

PRAMA HARTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 % dan selebihnya sekitar 299 juta ton/tahun (60 %) dibutuhkan untuk bahan baku bagi industri farmasi, pakan dan sebagainya. Salah satu pemicu peningkatan kebutuhan tersebut adalah tingginya minat masyarakat dalam hal mengkonsumsi ikan. Di Indonesia, jumlah ikan yang dikonsumsi setiap orang pada tahun 2008 rata-rata 28 kg/tahun dan pada tahun 2010 dan 2030 diperkirakan akan naik menjadi 30 kg/tahun dan 45 kg/tahun. Di Filipina, Singapura dan Malaysia saat ini setiap orang mengkonsumsi ikan minimal 30 kg/tahun, Korea Selatan mengkonsumsi ikan sebanyak 60 kg/orang/tahun dan di Jepang mencapai 140 kg/orang/tahun. Secara umum, volume ikan yang dikonsumsi setiap penduduk dunia rata-rata 18,4 kg/tahun dengan jumlah penduduk sebanyak 6,5 miliar jiwa. Sebaliknya, jumlah ikan yang diproduksi ± 155,87 juta ton/tahun, bahkan di sejumlah negara seperti Jepang, China, Amerika Serikat serta kawasan Eropa, volume produksi cenderung turun menyusul diterapkannya kebijakan penghentian sementara (moratorium) penangkapan ikan (Dahuri, Media Indonesia 5 Agustus 2008; Wawa, Harian Kompas 13 Agustus 2007; DKP, 2005).

Sumberdaya perikanan laut mempunyai sifat yang spesifik yang dikenal dengan akses terbuka (open access) yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama (common property), oleh karena sifatnya yang demikian maka semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut sesuai dengan kemampuan masing-masing hingga nilai rente dari sumberdaya terbagi habis, sebaliknya tidak satupun pihak merasa berkewajiban untuk menjaga kelestariannya. Di satu pihak masing-masing akan berusaha untuk memaksimumkan hasil tangkapan, di lain pihak masing-masing mempunyai insentif untuk mempertahankan ataupun meningkatkan kelestarian sumberdaya yang pada akhirnya tetap merugikan nelayan lemah yang merupakan mayoritas penduduk setempat yang justru tidak


(3)

2

mendapatkan manfaat dari kekayaan sumberdaya wilayahnya sendiri (Gordon, 1954; Hartwick dan Nancy, 1998; Fauzi, 2005).

Untuk memenuhi kebutuhan produksi perikanan yang terus meningkat dan menjaga agar kegiatan penangkapan ikan laut di Indonesia tetap berkelanjutan, sudah saatnya peningkatan produksi perikanan beralih dari usaha penangkapan ke usaha budidaya baik di perairan tawar, payau maupun di laut. Berdasarkan potensi lahan budidaya dengan sistem yang berbeda (tambak, kolam, perairan umum, mina padi dan budidaya laut) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, ternyata kita memiliki areal seluas 11.806.392 ha yang baru dimanfaatkan baru sekitar 39 %. Khusus untuk budidaya laut pada tahun 2005 mencapai area seluas 8.363.501 ha yang tersebar di berbagai pulau besar dan kecil. Di wilayah Jawa Barat, luas lahan potensial untuk budidaya laut adalah 23.995 ha (DKP, 2006; Idris et al., 2007).

Sistem budidaya laut yang tepat untuk dikembangkan untuk wilayah pesisir Teluk Pelabuhan Ratu apabila dilihat dari kondisi topografinya adalah budidaya perikanan sistem keramba jaring apung. Beberapa keunggulan ekonomis usaha budidaya ikan dalam keramba yaitu: 1) Menambah efisiensi penggunaan sumberdaya; 2) Prinsip kerja usaha keramba dengan melakukan pengurungan pada suatu badan perairan dan memberi makan dapat meningkatkan produksi ikan; 3) Memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada nelayan dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan (Galapitage, 1986).

Meskipun Propinsi Jawa Barat memiliki lahan potensial yang luas untuk budidaya laut, sampai saat ini produksi perikanan berdasarkan data statistik Departemen Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat hanya terbatas pada budidaya kerang hijau dan rumput laut dengan kecendrungan yang terus meningkat mulai tahun 2004 – 2006 yang kemudian tidak lagi berproduksi pada tahun 2007 hingga sekarang (Lampiran 4). Sementara itu, data produksi berdasarkan jenis ikan (Lampiran 5) di Jawa Barat tahun 1999 – 2004 terutama ikan kerapu pada tahun 2000 mencapai produksi sebesar 107 ton dan ikan kakap mencapai produksi sebesar 736 ton pada tahun 1999 kemudian produksinya terhenti mulai tahun 2004 – 2008 (Statistik Perikanan DKP Jabar, 2008). Khusus untuk wilayah Teluk Pelabuhan Ratu, produksi ikan yang didaratkan mulai dari


(4)

3

tahun 2004 – 2007 terbatas pada cakalang, lisong, tuna abu-abu, banyar, albakor, yellow fin, eteman, tembang, layur, layang, peperek dan teri (Statistik Perikanan PPN Pelabuhan Ratu, 2007).

Teluk Pelabuhan Ratu yang terletak 60 km arah selatan dari kota Sukabumi, adalah sebuah kawasan yang terletak di pesisir selatan Jawa Barat, di Samudra Hindia. Wilayah pesisirnya terbentang dengan panjang garis pantai ± 200 km. Potensi wilayah pesisir Pelabuhan Ratu mencakup potensi sumberdaya hayati, non-hayati dan jasa-jasa lingkungan. Potensi sumberdaya hayati meliputi ekosistem pesisir, perikanan dan biota laut lainnya. Wilayah pesisir selatan ini secara umum aktivitas pembangunannya belum optimal, padahal tidak sedikit potensi pesisir selatan yang dapat dikembangkan, seperti pariwisata dan budidaya laut dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya (Kinerja Penataan Ruang Jawa Barat, 2006).

Pelabuhan Ratu merupakan lokasi yang sangat cocok untuk dikembangkannya kegiatan budidaya perikanan dengan sistem keramba jaring apung. Selain kemudahan penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan budidaya seperti transportasi dan komunikasi, bahan baku instalasi budidaya, ketersediaan benih serta kemudahan menjangkau lokasi, Teluk Pelabuhan Ratu merupakan kawasan wisata pantai yang menghendaki adanya bahan baku seafood

yang segar. Selain itu, Pelabuhan Ratu memiliki pelabuhan perikanan Nusantara yang merupakan tempat pelelangan ikan terbesar di Jawa Barat. Dengan demikian, pemasaran produk budidaya yang bersifat lokal dan nasional dipastikan tidak mengalami kesulitan. Letak Pelabuhan Ratu ± 180 km dari Ibu Kota Jakarta merupakan keunggulan lainnya dalam hal melakukan kegiatan ekspor ikan hidup ke mancanegara.

Dengan melihat fenomena berupa peluang dan tantangan tersebut, maka kajian kesesuaian lahan untuk budidaya dengan sistem keramba jaring apung sebagai alternatif usaha bagi para nelayan setempat dalam upaya memanfaatkan lahan pesisir mutlak harus dilakukan.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan lokasi dan seberapa luas yang dapat dikembangkan untuk budidaya ikan dengan sistem


(5)

4

keramba jaring apung yang berkelanjutan. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada parameter-parameter kualitas perairan, analisa spasial mengenai kesesuaian lahan, estimasi beban limbah yang dihasilkan serta analisa daya dukung lingkungan perairan berdasarkan flushing di Teluk Pelabuhan Ratu.

Secara spesifik manfaat penelitian ini diharapkan:

a. Dapat memberikan kontribusi kepada kelompok nelayan atau pengusaha pembudidaya perikanan laut tentang persyaratan dan kelayakan teknis kesesuaian lahan di Teluk Pelabuhan Ratu untuk pengembangan budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung dengan mutu akhir yang baik.

b. Melalui pengelolaan/pemanfaatan wilayah pesisir di Teluk Pelabuhan Ratu untuk budidaya ikan laut secara baik dan berkelanjutan diharapkan dapat menjaga konservasi perikanan laut, tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya lingkungan perairan teluk tersebut.

c. Dapat memberikan kontribusi dan rekomendasi pada instansi terkait sebagai pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perairan pesisir khususnya budidaya perikanan laut di daerah penelitian, guna peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir serta sebagai upaya pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan.

1.3. Kerangka Berpikir Penelitian

Alokasi sumberdaya perikanan budidaya yang tidak terkendali akan memicu penurunan kualitas lingkungan perairan dan berdampak pada proses biologi dalam sistem produksi perikanan budidaya, serta dampak ekologi yang lebih luas. Limbah atau polutan yang masuk kedalam perairan apabila masih berada dalam batas yang ditolerir tidak akan menimbulkan dampak yang negatif bagi perairan. Namun sebaliknya apabila konsentrasinya di perairan melebihi daya dukung akan menyebabkan terganggunya ekosistem perairan tersebut.

Pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi limbah yang dihasilkan dari kegiatan budidaya yang dilakukan sangat penting. Hal ini merupakan dasar utama untuk mengestimasi daya dukung lingkungan suatu perairan. Nilai estimasi ini akan menjadi acuan kedua dalam menentukan seberapa besar unit budidaya maksimal yang dapat diusahakan di suatu perairan serta menghindari terjadinya kerusakan lingkungan perairan yang menjadi lokasi usaha


(6)

5

budidaya dengan sistem keramba jaring apung. Kemampuan badan air dalam menerima limbah yang masuk sangat ditentukan oleh kemampuan pencucian (flushing) dari perairan tersebut.

Kegiatan budidaya laut dapat berlangsung secara berkelanjutan apabila kondisi lingkungan perairan sesuai dengan kriteria-kriteria/prasarat untuk pertumbuhan organisme yang akan dipelihara. Penelitian mengenai penentuan kesesuaian lahan, penghitungan daya dukung lingkungan serta estimasi penyebaran limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya keramba jaring apung yang dilakukan merupakan suatu kajian yang sangat penting agar tujuan dari upaya mencapai keberlanjutan budidaya dapat terwujud.

Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Faktor Biofisik

Lingkungan (fisika, kimia dan biologi)

Analisa Spasial dengan SIG

Peta Kesesuaian Lahan

Peta Tematik Dasar: - Hidrooseanografi - Batimetri

- Peta Rupa Bumi Pembobotan

(Pembandingan dgn Kriteria)

Pemanfaatan Wilayah Pesisir Teluk Pelabuhan Ratu untuk Kegiatan Budidaya Ikan dengan Sistem Keramba Jaring Apung Berkelanjutan

Estimasi Beban Limbah Organik Penentuan Daya

Dukung (10%)

Jumlah Unit Keramba

Masukan Bahan Organik Kegiatan KJA

dan Antropogenik

Waktu Flushing

Badan Perairan

Produksi Optimal


(7)

6

1.4. Perumusan Masalah

Melihat potensi yang dimiliki oleh perairan pesisir Teluk Pelabuhan Ratu dan rencana pengembangannya dimasa mendatang untuk budidaya laut, maka diperlukan kajian dari segi biofisik perairan apakah perairan Teluk Pelabuhan Ratu layak untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya perikanan laut dengan sistem keramba jaring apung. Kajian ini juga menghasilkan peta daerah mana saja dan seberapa luas area teluk yang layak untuk budidaya perikanan sistem keramba jaring apung.


(8)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan (ekologis) yang unik (Dahuri et al., 1996; Brown, 1996). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri

et al., 2001) (Gambar 2).

Gambar 2. Skema Batas Wilayah Pesisir

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa wilayah pesisir dimulai dari lingkungan daratan hingga perairan laut. Sehingga harus dikelola secara terpadu dan bukan secara terpisah. Sementara itu, menurut berbagai pustaka utama tentang pengelolaan wilayah pesisir, seperti Gartside (1988), Sorensen dan Creary (1990), Pernetta dan Elder (1993), Chua (1992), Clark (1996), Dahuri et al., (2001), dan


(9)

8

Brown (1996), bahwa penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia pada umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut:

1. Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau

shoreline). Republik Rakyat Cina mendefinisikan wilayah pesisirnya sebagai suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat mencakup lahan darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi perairan laut sejauh 15 km dari garis pantai (Zhijie dan Cote, 1990).

2. Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara bagian Washington, Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, batas ke arah laut dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar (coastal baseline) (Sorensen dan Mc.Creary, 1990).

3. Karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah Aliran Sungai (catchment area atau

watershed) (Rais et al., 2004; Chua, 2006). Ciri-ciri Wilayah Pesisir meliputi antara lain:

1. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat (Tulungen, 2001).

2. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis spesies organisme perairan (Tulungen, 2001; Dahuri et al., 2001)

3. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut (Tulungen, 2001; Dahuri et al., 2001; Idris

et al., 2007).

4. Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat berlibur atau rekreasi (UN, 2002a; UNEP, 2002a; da Silva, 2002).

Ekosistem alamiah (pada butir 3), seperti ekosistem pesisir dan lautan, menyediakan tempat fungsi utama yang sangat diperlukan bagi kesinambungan


(10)

9

pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri (Ortolano, 1984; de Groot, 1992). Pertama adalah sebagai penyedia sumberdaya alam dapat pulih (seperti hutan, ikan, dan energi matahari) dan sumberdaya alam tak dapat pulih (termasuk bahan tambang dan mineral) yang diperlukan untuk bahan baku pangan, papan, transportasi, industri dan kegiatan manusia lainnya.

Kedua sebagai penyedia ruang (space) untuk tempat tinggal (permukiman); melakukan kegiatan budidaya pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan dan peternakan) dan industri; rekreasi dan pariwisata; perlindungan alam; dan lain-lain.

Ketiga sebagai penampung atau penyerap limbah (residu) sebagai hasil samping dari kegiatan konsumsi, produksi (pabrikasi), dan transportasi yang dilakukan oleh manusia. Keempat sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenities) dan jasa-jasa pendukung kehidupan (life-suport services), seperti udara bersih, siklus hidrologi, siklus hara, keanekaragaman hayati (biodiversity), alur ruaya (migratory routes) berbagai jenis fauna dan lain sebagainya.

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta tempat berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga menjadi rusak. Di Indonesia kerusakan wilayah ini terutama disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi dan dinamika ekosistem. Padahal wilayah pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi tumpuan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya alam pesisir. Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang selama ini dilaksanakan secara


(11)

10

sektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan secara terpadu. (Dahuri, 1998; IOC, 1999; UNEP, 2002a).

Beberapa contoh kegiatan pembangunan yang banyak dikembangkan di wilayah pesisir adalah:

(1) Pengembangan kawasan pemukiman di pesisir. Sejalan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka semakin meningkat pula kebutuhan fasilitas tempat tinggal yang menuntut adanya pengembangan kawasan pemukiman. Kecenderungan yang ada saat ini bahwa pengembangan kawasan pemukiman banyak dilakukan di kawasan pesisir. Sayangnya pengembangan kawasan pemukiman yang dilakukan hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Dengan pengembangan kawasan pemukiman ini, maka dampak lain yang mungkin timbul adalah pencemaran perairan oleh limbah rumah tangga, jika tidak diantisipasi dengan pengembangan penanganan limbah secara terpadu (Dahuri et al., 2001; UN, 2002a; UNEP 2002a).

(2) Pengembangan lahan pertambakan. Pembukaan lahan mangrove menjadi kawasan pertambakan terjadi secara besar-besaran sejak tahun 1980 yang dipicu oleh membaiknya harga udang di pasar internasional dan dilarangnya penggunaan trawl di Indonesia. Kegiatan ini dilakukan baik dalam skala besar (industri) maupun skala kecil (masyarakat setempat). Kegiatan ini tidak hanya berdampak terhadap hilangnya fungsi fisik dan biologis ekosistem mangrove, tetapi juga kegiatan budidaya memberikan dampak terhadap kualitas perairan baik berupa peningkatan kekeruhan maupun peningkatan bahan-bahan organik dalam lingkungan perairan pesisir ((FAO, 2001; Dahuri et al., 2001; WRI, 2002).

(3) Kegiatan pengilangan minyak di wilayah pesisir. Kegiatan ini juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan pesisir. Beberapa kasus yang terjadi di wilayah pesisir menunjukkan tingginya pencemaran minyak yang berasal dari kegiatan ini, seperti yang terjadi di Teluk Balikpapan (Dahuri et al., 2001; UN, 2002a; Idris et al., 2007).


(12)

11

(4) Kegiatan reklamasi di wilayah pesisir. Reklamasi seteliti apapun perencanannya, tetap akan mengubah kondisi dan ekosistem pesisir dan ekosistem buatan yang baru tentunya tidak akan sebaik yang alamiah. Secara garis besar reklamasi pantai memberikan dampak antara lain: Pertama, reklamasi pesisir demi memperoleh lahan lebih luas merupakan kegiatan paling buruk yang mengubah bentang alam asli pantai dan wilayah pesisir. Perubahan bentang alam ini akan berakibat pula terhadap perubahan hidro-oseanografi terutama arus dan gelombang laut yang tentunya akan menjadi ancaman besar bagi beberapa wilayah pesisir kota. Kedua, hilangnya potensi sumberdaya hayati pesisir terutama beberapa biota laut yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan, dan dampak selanjutnya adalah kemungkinan berkurangnya hasil tangkapan nelayan. Secara umum ekosistem seperti padang lamun, terumbu karang, dan lainnya diketahui memiliki fungsi ekologi yang sangat penting. Ekosistem-ekosistem ini menjadi urat nadi kehidupan sebagian besar biota laut seperti ikan, udang, moluska, dan lainnya, baik sebagai tempat bertelur (pemijahan) maupun tempat mencari makan (feeding ground) dan tempat pembesaran (nursery ground). Untuk itu, bila ekosistem pesisir ini rusak maka fungsi–fungsi tersebut di atas akan hilang, apalagi aktivitas seperti alih fungsi suatu wilayah pesisir, di mana secara fisik akan mengalami tekanan yang sangat besar dan dampaknya akan semakin luas dan kompleks. Ketiga, kemungkinan besar akan terjadi perubahan dan perpindahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah reklamasi. Pengerukan dan penimbunan dalam proses reklamasi pantai dapat menyebabkan perubahan arus laut sekitarnya yang selanjutnya akan mengubah pola sedimentasi. Keempat, reklamasi berdampak terhadap rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang, yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai (Bryant et al., 1998; Dahuri et al., 2001; WRI, 2001; Fortes, 2001). (5) Kegiatan industri yang dikembangkan di wilayah pesisir. Kegiatan ini

ditujukan untuk (a) meningkatkan dan memperkokoh program industrialisasi dalam rangka mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi nasional dari dominan primary based industry menuju secondary based industry dan


(13)

12

tertiary based industry; dan (b) menyediakan kawasan industri yang memiliki akses yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses produksi dan pembuangan limbah dan transportasi produk maupun bahan baku (Dahuri et al., 2001; UN, 2002a; Idris et al., 2007).

(6) Kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari yang banyak dikembangkan di wilayah pesisir (misalnya pengembangan wisata bahari di Taman Nasional Laut Bunaken yang juga berfungsi untuk kawasan lindung bagi biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang) akan dapat merusak ekosistem pesisir yang ada (UN, 2002a; da Silva, 2002).

(7) Kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan atas. Secara langsung atau pun tidak langsung akan memberikan dampak negatif terhadap wilayah pesisir. Pembukaan lahan untuk kegiatan ini akan meningkatkan laju sedimentasi di wilayah pesisir, khususnya di muara-muara sungai. Kegiatan pertanian juga meningkatkan kandungan nutrien ke dalam perairan. Apabila peningkatan ini cukup tinggi, maka akan berpotensi menimbulkan eutrofikasi di perairan pesisir (Seitzinger dan Kroeze 1998; Kroeze dan Seitzinger 1998; Dahuri et al.,

2001).

Konsentrasi kehidupan umat manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan disebabkan oleh tiga alasan ekonomis (economic rationality) yang kuat, antara lain:

1. Pertama, wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang dan estuaria berada di wilayah pesisir. Lebih dari 90% total produksi perikanan dunia (sekitar 82 juta ton), baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya, berasal dari wilayah pesisir (FAO, 1998).

2. Kedua, wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan pembangunan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat disediakan oleh daerah lahan atas (up-land areas). Kemudahan tersebut berupa media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin


(14)

13

(cooling water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, dan bahan baku industri lainnya (Anutha dan Johnson 1996). 3. Ketiga, wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang

dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih untuk berjemur, perairan pesisir untuk renang, selancar, berperahu, terumbu karang serta keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam dan snorkling (da Silva, 2002).

2.2. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Lautan

Prasetyawati (2001) memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat dari pengusahaan mereka, dengan demikian pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.

Dengan disahkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang telah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 18 ayat 4 tentang pengelolaan kawasan pesisir, maka kewenangan dan kewajiban pengembangan kawasan sekarang ini berada pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Peran Pemerintah Pusat adalah menyusun Norma, Standar, Pedoman dan Manual disamping memfasilitasi dan meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan adalah sangat luas, antara lain: 1) Menetapkan target pertumbuhan; 2) Menetapkan tahap dan langkah pembangunan kawasan dan kedaerahan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 3) Menetapkan persetujuan kerjasama regional di bidang perdagangan yang berlandaskan pada produksi lokal yang dihasilkan oleh sentra-sentra komoditas tertentu; 4) Melakukan berbagai macam negosiasi yang bertujuan mewujudkan konsepsi pertumbuhan ekonomi regional; 5) Menetapkan institusi-institusi pendukung kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi regional; 6) Mengembangkan sistem informasi untuk promosi kegiatan-kegiatan ekonomi regional.

Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia dewasa ini telah menganut sistem desentralisasi. Dasar desentralisasi pembangunan perikanan adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti


(15)

14

UU No. 22/1999. Pada pasal 18 ayat 1 dinyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut, diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut di wilayah laut. Sedangkan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya laut dijelaskan pada ayat 3 (tiga) meliputi: 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; 2) Pengaturan administratif; 3) Pengaturan tata ruang; 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; 5) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; 6) Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Selanjutnya menurut Sondita (2001) pengembangan dalam hal pembangunan ekonomi dampaknya dapat dilihat pada: 1) Industri perikanan tangkap; 2) Perikanan rakyat; 3) Wisata massal dan ekowisata serta wisata bahari; 4) Perikanan budidaya; 5) Perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan; 6) Pertambangan lepas pantai; 7) Penelitian kelautan; 8) Akses terhadap sumberdaya genétika.

Tertulis dalam naskah Pidato Presiden Republik Indonesia (2004) yang berisi bahwa pembangunan kelautan diarahkan untuk: 1) Mengelola dan mendayagunakan potensi sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara lestari berbasis masyarakat; 2) Membangun sistem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir yang disertai dengan penegakan hukum yang ketat; 3) Meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak, seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun dan estuaria; 4) Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar (danau, situ, perairan umum) dan pulau-pulau kecil; 5) Menjalin kerja sama regional dan internasional untuk menyelesaikan batas laut dengan negara tetangga; 6) Memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, SDM, kelembagaan dan peraturan perundangan; 7) Meningkatkan riset dan pengembangan teknologi kelautan; 8) Mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan kerja dan meminimalkan resiko terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 9) Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran


(16)

15

aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Kusumastanto (2000) agar pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir (nelayan), maka langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pembangunan desa pantai dan pemberian insentif kepada masyarakat pesisir untuk meningkatkan produktivitasnya. Insentif yang diberikan meliputi kemudahan terhadap pengembangan usaha seperti perizinan, subsidi, pinjaman dan menjaga kestabilan harga.

2. Pendekatan aktivitas sekunder seperti budidaya tambak, budidaya rumput laut dan industri pengolahan. Upaya untuk menggalakkan aktivitas sekunder tersebut juga harus disertai dengan kemudahan dalam pemberian perizinan, subsidi dan bantuan dana kemitraan dengan pengusaha besar dan pemasaran. 3. Pembentukan lembaga yang sesuai dengan karakteristik usaha dan

peningkatan kegiatan usaha nelayan, khususnya untuk pengembangan perikanan dan aktivitas-aktivitas sekunder yang mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraaan masyarakat pesisir atau nelayan.

4. Penataan perairan pesisir dan lautan secara lokal untuk menentukan daerah penangkapan antara perikanan skala kecil dan perikanan skala besar. Strategi penataan ruang perairan pesisir untuk daerah penangkapan adalah menetapkan zonasi atau peta operasional untuk setiap usaha perikanan berdasarkan kemampuan operasi (perikanan rakyat dan industri) yang dilengkapi aspek hukum, termasuk pengaturan dan sanksi.

Menurut WCED (1987); Anutha dan Johnson (1996) istilah pengembangan berkelanjutan berarti mengelola pengguna, mengembangkan dan melindungi sumberdaya fisik dan alami atau pada satu tingkatan dimana keberadaan seseorang dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, kesejahteraan budaya, kesehatan dan keamanan sewaktu: 1) menopang potensi sumberdaya alam dan fisik untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang; 2) perlindungan kebutuhan hidup berupa kapasitas udara, air, tanah dan ekosistem; 3) mencegah, memperbaiki atau memitigasi setiap dampak yang


(17)

16

kurang baik terhadap lingkungan. Tujuannya adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategik sampai kepada penerapannya di lapangan (Aryanto, 2003).

Pembangunan yang komprehensif menurut Asian Development Bank (ADB)

dalam Nikijuluw (1995) adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat setempat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM). Pemanfaatan secara lestari hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara baik, proporsional dan transparan. Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, alam, buatan dan sosial (Keraf, 2000).

Menurut Nikijuluw (1995) pendekatan pengelolaan sumberdaya alam sangat didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan bahari di Indonesia antara lain: (a) Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, (b) Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan lestari, (c) Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan, (d) Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.

Tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan dimensi-dimensi:

1. Environmental Sustainability: perlindungan untuk generasi mendatang. 2. Economic Sustainability: setiap pengembangan variabel secara ekonomi.

3. Socio-Cultural Sustainability: setiap inovasi harus harmoni antara pengetahuan lokal sosial-budaya, praktek, pengetahuan dan teknologi tepat guna (Hardin, 1985).

4. Political Sustainability: keterkaitan birokrasi (pemerintah) dan masyarakat. Para pemimpin formal dan informal untuk suatu sektor tertentu dalam masyarakat lokal harus mampu menjalin komunikasi dengan struktur-struktur


(18)

17

politik dan birokrasi. Hilangnya keterkaitan birokrasi terjadi karena tidak adanya perantara (interface).

Sama halnya dengan pendapat Fauzi dan Anna (2002) yang menyatakan bahwa konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek:

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistim menjadi fokus utama.

2. Socioeconomic sustainabilty (keberlanjutan sosioekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan fokus dalam kerangka keberlanjutan. 3. Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan

kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangunan perikanan yang berkelanjutan.

4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Arrow et al., (1995); Dahuri (1998) dan Lim (1998) tentang garis besar konsep pembangunan berkelanjutan yang memiliki empat dimensi, yaitu ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan untuk pemecahan masalah-masalah di wilayah pesisir.

2.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan

Salah satu pengertian yang lebih komprehensif tentang pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dapat digambarkan sebagai: suatu proses dinamis dalam mengambil keputusan untuk menggunakan, mengembangkan dan melindungi sumberdaya dan kawasan pesisir untuk mencapai kemakmuran bersama baik itu antara kelompok pengguna dan tingkat nasional serta daerah dan pusat. Pengelolaan pesisir yang berkelanjutan terkenal dengan karakter kawasan pesisir


(19)

18

yang berbeda seperti nilai sumberdayanya yang digunakan untuk generasi saat ini dan akan datang. Pengelolaan pesisir yang berkelanjutan berorientasi pada banyak tujuan, pengelolaan tersebut mencakup implikasi pengembangan, konflik antar pengguna, keterkaitan antara proses fisik dan aktivitas manusia serta mengedepankan hubungan dan harmonisasi antara sektor pesisir dan kegiatan yang ada di laut (Knecht et al., 1994; Anutha dan Johnson, 1996).

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berfungsi untuk perencanaan kawasan, pengembangan dan pembangunan ekonomi, perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya, resolusi konflik, perlindungan keselamatan umum dan penataan pemilikan sumberdaya (Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Tetapi dalam implementasinya mengidentifikasi masalah-masalah seperti: (1) kurangnya pengetahuan mengenai pesisir dan lautan, (2) rendahnya penilaian (valuation) pada sumberdaya pesisir dan lautan, (3) kurangnya pemberdayaan masyarakat dan pengguna sumberdaya pesisir dan lautan, (4) ketidakjelasan wewenang pengelolaan, (5) rendahnya kapasitas kelembagaan, dan (6) kurangnya keterpaduan antar prakarsa (Dahuri dan Dutton, 2000).

Sumberdaya kawasan pesisir dan laut memiliki spesifikasi lokasi dengan karakteristik yang beragam baik lahan, komoditas maupun sumberdaya manusianya. Karena itu konsep pengembangan kawasan pesisir bertitik tolak dari meningkatkan kekuatan dan menurunkan kelemahan supaya kawasan pesisir mampu berlaku sebagai pelaku dan bukan sebagai obyek pembangunan dan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan harus didasarkan kepada karakteristik wilayah dan kebutuhan faktual dari masyarakat kawasan pesisir serta dapat mendukung upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan sekaligus tetap mendukung keberlanjutan produksi dan kelestarian sumberdaya perikanan (Dendi et al., 2005). Pengelolaan wilayah pesisir harus didasarkan pada pendekatan ekosistem yang meliputi interaksi yang bersifat fisika, kimia dan biologi antara berbagai variasi komponen yang berkaitan dengan hal yang bersifat alami dan masukan yang berasal dari kegiatan manusia, baik yang masuk, keluar dan alirannya kedalam system tersebut (Fabbri, 1998). Untuk pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan perlu kiranya kita menjelaskan kriteria yang relevan yang


(20)

19

merupakan bagian dari penelitian, seperti indikator yang bersifat site-specific yang mungkin secara signifikan untuk dievaluasi (OECD, 1993).

2.4. Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung

Pengembangan akuakultur di Indonesia diharapkan mampu menjawab empat isu penting antara lain: 1) keamanan pangan; 2) perikanan yang bertanggung jawab (pengembangan perikanan budidaya tidak boleh menimbulkan degradasi kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan mengganggu kesetimbangan ekologis lokal); 3) perdagangan global; 4) memiliki daya saing komperatif yang esensinya berupa peluang pasar bagi produk akuakultur kita (FAO, 1995; FAO Fisheries dan Aquaculture Department, 2006; Abdullah, 1997). Pengembangan budidaya laut di Indonesia untuk waktu yang akan datang adalah sangat penting artinya bagi pembangunan sub sektor perikanan, serta merupakan salah satu prioritas yang diharapkan menjadi pertumbuhan dari sub sektor perikanan. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:

a. Sumberdaya ikan di laut meskipun merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali, tetapi tetap ada batasan, apabila batas tersebut dilampaui akan sangat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (Dahuri, 1998; 2001).

b. Pemanfaatan sumberdaya ikan di laut di beberapa perairan sudah intensif dan menunjukkan gejala-gejala padat tangkap, sehingga pengembangan selanjutnya di wilayah perairan tersebut diarahkan ke kegiatan budidaya laut (Dahuri, 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007).

c. Potensi pengembangan budidaya laut yang dimiliki Indonesia sangat besar dengan garis pantai yang panjang, gugusan pulau-pulau, selat dan teluk yang sangat sesuai untuk lahan pengembangan budidaya laut (Idris et al., 2007). d. Budidaya laut merupakan jenis usaha baru yang bila dikembangkan dapat

menyerap tenaga kerja yang besar dari desa pantai atau desa yang umumnya masuk kategori desa tertinggal (FAO, 1995; Dahuri, 2007).

e. Kegiatan budidaya laut dapat diandalkan sebagai salah satu penyumbang devisa negara, karena komoditas budidaya laut ini mempunyai nilai ekonomis penting seperti ikan kerapu, kakap, tiram mutiara dan lain sebagainya (Dahuri, 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007).


(21)

20

f. Kegiatan budidaya laut berguna untuk mendidik nelayan ikan ikut memelihara lingkungan pantai dari kerusakan sumberdaya hayati seperti penggunaan alat dan bahan terlarang perusak ekosistem karang (Abdullah, 1997).

Budidaya memainkan peranan ekonomi penting melalui penciptaan kesempatan ekonomi baru (menciptakan lapangan kerja di suatu kawasan dimana ada beberapa alternatif pilihan usaha) dan penyediaan sumber kualitas makanan yang tinggi secara lokal dan kesempatan untuk menarik usahawan lokal untuk berinvestasi dalam perekonomian lokal, sehingga meningkatkan pengendalian pengembangan ekonomi secara keseluruhan. Budidaya tergantung pada input dari keanekaragaman makanan, pemrosesan, transportasi dan industri lainnya serta menghasilkan produk yang bernilai, buangan limbah perairan yang tidak terkontaminasi dan pengelolaan limbah perikanan yang kesemuanya dapat menjadi bagian yang penting dari sistem ekologi yang dapat direncanakan dan dikelola untuk produksi makanan akuatik yang berbasis masyarakat, rehabilitasi ekosistem alami, reklamasi dan peningkatan pemberdayaan dan bukan kerusakan (DFO, 2002; Costa-Pierce, 2008; Soto, 2008).

Peluang pengembangan usaha perikanan di Indonesia masih sangat besar, mengingat pemanfaatan perairan yang dimilikinya sampai saat ini masih relatif rendah. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di laut baru mencapai 65 %, atau baru 4,8 juta ton per tahun dari potensi sumberdaya ikan yang mencapai 6,4 juta ton per tahun (Ditjen. Perikanan, 2008). Sementara itu, kondisi global juga menyediakan peluang besar bagi pengembangan perikanan yang ditunjukkan antara lain oleh terus meningkatnya permintaan terhadap ikan dan produk perikanan, berubahnya pola makan dari daging merah (red meat) ke daging putih (white meat), gaya hidup yang lebih berorentasi pada makanan yang non-kolesterol dan lain sebagainya (Effendi, 2004 dan Cholik et al., 2005).

Budidaya laut merupakan suatu usaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dalam hal memelihara berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, rumput laut dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis penting. Pengertian lain mengenai budidaya laut adalah suatu kegiatan pada area tertentu di perairan pantai yang dicirikan dengan banyaknya terdapat kumpulan keramba jaring apung,


(22)

21

rakit kerang-kerangan atau rumput laut atau membudidayakan organisme laut dalam wadah atau area terbatas dan terkurung (Ismail et al., 2001).

Dirjen perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan fisik dan peralatan pendukung lainnya.

Teknologi budidaya ikan dengan sistem KJA telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Menurut Ismail et al., (1996), teknologi ini sudah diterapkan para petani di Indonesia sejak tahun 1940 di beberapa sungai besar dan perairan waduk. Kemudian dalam perkembangannya di tahun 1976, mulai dilakukan adopsi terhadap teknik dasar budidaya dengan menggunakan jaring apung yang dilakukan oleh petani di sekitar waduk Jatiluhur. Di tahun 1998, budidaya khususnya perikanan dengan sistem keramba jaring apung tersebut mulai dikembangkan di perairan pesisir.

Beberapa keunggulan ekonomis usaha budidaya ikan dalam keramba yaitu: 1) Menambah efisiensi penggunaan sumberdaya; 2) Prinsip kerja usaha keramba dengan melakukan pengurungan pada suatu badan perairan dan memberi makan dapat meningkatkan produksi ikan; 3) Memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada nelayan dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan (Galapitage, 1986). Menurut Rachmansyah et al., 1997 budidaya perikanan dengan sistem keramba jaring apung memiliki keunggulan komperatif diantaranya:

1. Efisien dalam penggunaan lahan dengan tingkat produktivitas tinggi dibandingkan tambak, tidak memerlukan pematang, saluran air dan pengolahan lahan sehingga dapat mengurangi biaya produksi.

2. Unit usaha dapat ditentukan sesuai kemampuan modal dengan menggunakan bahan rakit sederhana sesuai bahan yang tersedia disekitar lokasi budidaya. 3. Mudah dipantau karena wadah budidaya yang relatif terbatas, terhindar dari


(23)

22

4. Tidak memerlukan pengelolaan kualitas iar, karena adanya gerakan pasut sehingga efisien dalam biaya produksi.

5. Produksi mudah dicapai oleh armada penangkapan tuna dan cakalang sebagai sarana pemasaran.

Suatu organisme yang akan dibudidayakan dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan atau kriteria yaitu 1) Besarnya manfaat organisme bagi manusia, seperti untuk bahan makanan, bahan baku industri, obat-obatan dan sektor jasa; 2) Peluang untuk dapat diproduksi dengan teknologi dan biaya yang layak; 3) Pengaplikasian usaha budidaya tidak banyak menimbulkan gangguan terhadap kegiatan lain atau lingkungan (Dirjen Perikanan Budidaya DKP, 2001). Untuk keberhasilan dan kesinambungan usaha budidaya ikan dalam keramba jaring apung, maka beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan adalah pemilihan lokasi, konstruksi keramba jaring apung, ketersediaan benih, pembesaran ikan budidaya (padat tebar, pakan dan cara pemberian pakan), perawatan keramba, pengendalian hama penyakit dan pemasaran (Rochdianto, 1996 dan Sunyoto, 1996).

Beberapa faktor non teknis yang ikut andil dalam menentukan usaha budidaya sistem keramba jaring apung ini meliputi: 1) Dekat dengan daerah sumber benih ikan yang akan dibudidayakan; 2) Infrastruktur jalan cukup tersedia sehingga akses menuju lokasi dalam mobilisasi benih dan hasil panen dapat terjamin; 3) Terdapatnya sumber listrik untuk penerangan lokasi budidaya dalam kaitannya dengan keamanan, kemudahan operasional pemeliharaan ikan dan kenyamanan pekerja; 4) Tenaga kerja tersedia dengan cukup; 5) Kebijakan pemerintah daerah setempat dengan perangkat peraturan dan intensif bagi pengembangan usaha budidaya sistem keramba jaring apung yang ramah lingkungan (Sunyoto, 1993; Wardana, 1999).

Dahuri (2000); Effendi (2004) dan Cholik et al., 2005 menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan pemanfaatan potensi pesisir dan lautan, kegiatan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana serta pengelolaan kesehatan organisme dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas dan produksi usaha perikanan budidaya. Secara umum, kegiatan


(24)

23

budidaya perikanan dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan mariculture dan budidaya air payau (tambak).

Alasan yang mendorong perlu ditingkatkannya usaha budidaya perikanan laut didasarkan pada perhitungan konversi konsumsi ikan penduduk Indonesia pada tahun 2003 dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa dan tingkat konsumsi ikan sebesar 26,5 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan persediaan 5,5 juta ton ikan/tahun dan bila ditambah dengan volume ekspor 1,4 juta ton/tahun dan kebutuhan ikan untuk industri tepung ikan 0,3 juta ton/tahun, maka pada tahun 2003 terjadi kekurangan produksi ikan sebesar 2,3 juta ton/tahun dengan asumsi 4,9 juta ton kebutuhan ikan terpenuhi dari produksi penangkapan. Tingkat produksi budidaya saat ini 1,1 juta ton, dengan ini berarti untuk mencukupi kebutuhan ikan melalui budidaya yaitu sebesar 1,2 juta ton/tahun (Akbar, 2001).

Ismail et al., (2001) menyebutkan bahwa pemilihan lokasi yang tepat merupakan hal yang sangat menentukan, mengingat kegagalan dalam pemilihan lokasi akan berakibat resiko yang permanen dalam kegiatan produksi. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan karakteristik biofisik (persyaratan hidup) bagi jenis ikan yang dibudidayakan. Lebih lanjut Ismail et al., (2001) menyebutkan beberapa syarat pemilihan lokasi budidaya antara lain: 1) Harus terlindung dari pengaruh arus kuat dan angin musim; 2) Tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar; 3) Perairan harus benar-benar bebas dari pencemaran baik industri maupun rumah tangga.

Aspek sosial dan ekonomi yang penting diperhatikan dalam memilih lokasi usaha budidaya dengan sistem keramba jaring apung yaitu tersedianya prasarana jalan yang memadai, keamanan terjamin, mudah mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang wajar, merupakan daerah pengembangan budidaya ikan, sesuai dengan tata ruang dan kebijaksanaan pemerintah (Rochdianto, 1996 dan Sunyoto, 1996).

2.5. Kualitas Air untuk Budidaya Ikan di Laut

Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah


(25)

24

perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya (Boyd, 1982).

Menurut Ismoyo (1994) kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan perikanan, rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.

Menurut Mc Gauhey (1968) beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kualitas air: 1) Tingkat pemanfaatan dari penggunaan air; 2) Faktor kualitas alami sebelum dimanfaatkan; 3) Faktor yang menyebabkan kualitas air bervariasi; 4) Perubahan kualitas air secara alami; 5) Faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kualitas air; 6) Persyaratan kualitas air dalam penggunaan air; 7) Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air; 8) Perkembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas air; 9) Kualitas air yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik, dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual, penciuman, peraba dan perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air dapat diketahui secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air, selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera perasa). Hasil indikasi dari panca indera ini hanya dapat dijadikan indikasi awal karena bersifat subyektif, bila diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu, misal kualitas air tersebut telah menurun atau tidak harus dilakukan analisis pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis yang telah ditentukan. Sedangkan parameter kimia yang didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air. Selanjutnya secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003). Secara singkat


(26)

25

kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budidaya dengan sistem KJA

Parameter yang Diukur Kisaran Nilai

Arus 20 – 30 cm/det

Suhu 25 – 32 0C (untuk wilayah tropis)

Kecerahan ≥ 3 m

Salinitas 28 – 32 ppt

DO 5 – 10 mg/l

pH 7,0 – 8,5

Nitrogen < 0,5 mg/l

Posfat 10 – 110 mg/l

Sumber: Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati (2001).

Tabel 1 menampilkan parameter kunci yang dianggap paling berpengaruh dalam keberlanjutan usaha budidaya sistem keramba jarring apung. Di dalam penelitian ini, penulis menampilkan parameter kualitas air yang dianggap paling mendukung bagi kehidupan organisme yang dibudidayakan serta ditambah dengan parameter penunjang untuk keefisiensian penempatan instalasi budidaya ikan dalam keramba jaring apung, baik itu berupa parameter fisika, kimia maupun biologi.

2.5.a DO (Oksigen Terlarut)

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu, 1991).

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Asmawi (1983) menyatakan O

2 terlarut yang baik adalah

5–10 mg/l, CO


(27)

26

baik adalah kurang dari 1 mg/l. Pada kadar NH

3 0,053-0,280 mg/l kondisi larva

udang masih cukup baik. Gangguan NH

3 terhadap larva mulai terlihat pada kadar

0,6 mg/l, kandungan NH

3 yang baik untuk pertumbuhan ikan kurang dari 1 mg/l

dan CO

2 berkisar 0,0-15,0 mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).

Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun, konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995; Akbar, 2001).

2.5.b. Salinitas

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas adalah berat garam dalam gram per kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan air laut dengan satuan pro mil (0/00), salinitas merupakan parameter penunjuk

jumlah bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang membentuk garam adalah:

1. Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan

Magnesium (Mg).

2. Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen

(O2).

3. Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).

4. Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air Raksa/ Merkuri (Hg).

Menurut Holiday (1967), salinitas mempunyai peranan penting untuk kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun faktor genetik spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang


(28)

27

menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji, 2007).

Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah-daerah yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air (King, 1963 dalam Presetiahadi, 1994).

Salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3),

sementara itu salinitas dinyatakan dalam satuan gr/l atau permil (0/00) (Effendi,

2003). Biota estuaria biasanya mempunyai toleransi terhadap variasi salinitas yang besar (eury-haline). Contohnya Chanos chanos (bandeng), Mugil (belanak) dan Tilapia (mujair). Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat perkembangbiakan dan pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah jenis-jenis kerang yang hidup di daerah estuaria. Variasi salinitas alami estuaria di Indonesia berkisar antara 15–32 psu. Hasil penelitian yang dilakukan pada kerang hijau memberikan petunjuk bahwa salinitas yang lebih rendah dari 15 psu dapat menyebabkan kematian kerang tersebut. Keberhasilan benih kerang darah untuk menempel pada kolektor tergantung pada salinitas. Pada salinitas 18 psu, keberhasilan menempel lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan salinitas yang lebih rendah daripada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah estuaria maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup di perairanpantai dan muara sungai. Rumput laut hidup di daerah terumbu karang. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu karang di Indonesia 31 psu (Romimohtarto, 1985).

2.5.c. Suhu Perairan

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung


(29)

28

didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi kimia meningkat; 3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati.

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997).

Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al.,

2001). Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Brown dan Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme yang dapat menyebabkan kematian.

Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia


(30)

29

sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik et al., 2005).

2.5.d. pH

pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH = 7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).

Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974).

pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air

berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik,

semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian

pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Cholik et al., 2005).

2.5.e. Kecepatan Arus

Penyebaran kualitas air di badan air penerima, baik sungai, waduk dan laut, sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus dan debit air. Semakin cepat arus dan semakin besar debit air maka penyebaran kualitas air semakin cepat dan semakin


(31)

30

luas. Arus laut jauh lebih rumit karena adanya gaya Coriolis, yakni gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi dan adanya pasang surut yang dipengaruhi oleh gaya tarik bulan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Romimohtarto (1985) menyatakan bahwa arus mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan biota perairan. Arus dapat mengakibatkan rusaknya jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan partikel-partikel dalam suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan dasar berlumpur, arus dapat mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan kekeruhan air dan mematikan organisme air. Kekeruhan bisa mengurangi penetrasi sinar matahari, dan karenanya mengurangi aktivitas fotosintesa. Manfaat dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi biota-biota tersebut dan pembuangan kotoran-kotorannya. Untuk algae kekurangan zat-zat kimia dan CO2 dapat dipenuhi. Sedangkan bagi binatang CO2 dan

produk-produk sisa dapat disingkirkan dan O2 tetap tersedia. Arus juga memainkan

peranan penting bagi penyebaran plankton, baik holoplankton maupun meroplankton. Terutama bagi golongan meroplankton yang terdiri dari telur-telur dan burayak-burayak avertebrata dasar dan ikan-ikan. Mereka mempunyai kesempatan menghindari persaingan makanan dengan induk-induknya terutama yang hidup menempel seperti teritip (Belanus spp) dan kerang hijau (Mytilus viridis).

Kecepatan arus yang baik dilokasi yang ingin dijadikan sebagai tempat atau kawasan keramba jaring apung berkisar antara 23 – 50 cm/det (Mayunar et al.,

1995); sedangkan KLH (2004) memberikan batasan kisaran nilai 15 – 25 cm/det. 2.5.f. Nitrogen

Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk amonia, amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3 – N) dan amonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N

dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala


(32)

31

dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen

tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980).

Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1 mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan Sartika, 1987).

Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003).

Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di

perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat

merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk keperluan budidaya laut adalah ≤ 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).

2.5.g. Intensitas Cahaya dan Kecerahan

Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis (Boyd, 1982).


(33)

32

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi), diatas nilai tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan faktor pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson et al.,

1984; Neale , 1987).

Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi dipermukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendi, 2003).

Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama (Jeffries dan Mills, 1996 dalam

Effendi, 2003) antara lain adalah:

1. Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya.

2. Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara

visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KLH, 2004; Akbar 2001).

2.5.h. Kekeruhan

Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar


(34)

33

matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan Santika, 1987).

Menurut Alaerts dan Santika (1987) menyatakan bahwa ada 3 metode pengukuran kekeruhan yaitu: 1) Metoda Nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU); 2) Metoda Hellige Turbidimetri (unit kekeruhan silica); 3) Metoda visual (unit kekeruhan Jackson). Metoda visual adalah cara kuno dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu lebih dari 25 unit, sedangkan metode nefelometrik lebih sensitif dan dapat digunakan untuk segala tingkat kekeruhan.

Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH, 2004).

Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih


(35)

34

(diukur sebagai total suspended solids – TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui beberapa mekanisme berikut ini: 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/smothering

telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding; 5) Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi sinar yang masuk; 6) Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.

2.5.i. COD (Chemical Oxygen Demand)

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD.

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam perairan (ALaerst dan Sartika, 1987).

2.5.j. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi


(36)

35

dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Menurut Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa dalam uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah: 1) Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan anorganik atau bahan-bahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen demand; 2) Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari; 3) Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68 % dari total BOD; 4) Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat didalam air tersebut, misalkan adanya germisida seperti chlorine yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.

BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 0C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982). Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 2).

Tabel 2. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5

Kisaran BOD5 (mg/l) Kriteria Kualitas Perairan

≤ 2,9 Tidak tercemar

3,0 – 5,0 Tercemar ringan

5,1 – 14,9 Tercemar sedang

≥ 15,0 Tercemar berat

Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).

Tabel 2 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai BOD. Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya dengan berbagai sistem budidaya.

2.6. Daya Dukung Lingkungan

Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan, sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya


(37)

36

dukung (carrying capacity) merupakan areal dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh kawasan atau volume perairan tanpa mengalami penurunan mutu atau deteriorasi (Turner, 1998). Kenchington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu kuantitas maksimum ikan yang didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang.

Poernomo (1992) menyatakan bahwa daya dukung dinyatakan sebagai pemanfaatan maksimum suatu kawasan atau suatu ekosistem baik berupa jumlah maupun kegiatan yang ada di dalamnya. Daya dukung ekonomi merupakan tingkat skala usaha dalam pemanfaatan sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkelanjutan.

Prasetyawati (2001) menyatakan daya dukung lahan pesisir ditentukan oleh mutu dan sumber air (asin dan tawar), arus dan pasang surut (hidro-oceanografi), topografi, klimatologi daerah pesisir dan hulu. Scone dalam Prasetyawati (2001) membagi daya dukung lingkungan menjadi dua yaitu daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomi (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme dalam suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO2 dan parameter kualitas air lainnya. Sementara itu daya dukung

ekonomi adalah tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-paremeter kelayakan usaha secara ekonomi seperti NPE (net present value), B/C (benefit cost ratio) dan IRR (internal rate of return).

Hardjowigeno (2001) mengemukakan bahwa daya dukung/kesesuaian lahan dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan sekarang (present land suitability), yaitu kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan keadaan lahan pada saat dilakukan penelitian tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang diperlukan; dan kesesuaian lahan potensial (potential land suitability), yaitu kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan lahan setelah diadakan perbaikan-perbaikan tertentu yang diperlukan.


(38)

37

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya kedalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno, 2001).

Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas assimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi merupakan ukuran kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya (UNEP, 1993). Penjelasan tersebut apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau peraian di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik, termasuk didalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau mengassimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan ekologis suatu perairan (Widigdo, 2000).

2.7. Estimasi Beban Limbah

Kuantitas dan komposisi dari makanan yang tidak dimakan dan feses yang dihasilkan oleh ikan peliharaan tergantung pada sejumlah faktor termasuk diantaranya jenis pakan (basah dan kering), jumlah ikan yang dipelihara disetiap keramba, kesehatan ikan yang dipelihara (ikan yang sakit cendrung kekurangan selera makan), frekuensi pemberian pakan, jenis metode pemberian pakan (secara otomatis atau manual) dan rasio konversi makanan. Tidak seperti kegiatan peternakan, budidaya ikan tidak memerlukan pengelolaan limbah. Dalam budidaya ikan laut, keramba dibatasi oleh jaring yang memiliki ukuran mata jaring tertentu. Buangan limbah dari kegiatan budidaya dikeluarkan langsung kelingkungan sekitarnya. Besarnya dampak ekologi dari limbah tersebut terhadap lingkungan akan tergantung pada: 1) ukuran unit keramba yang beroperasi (jumlah keramba yang beroperasi); 2) kepadatan ikan untuk setiap keramba; 3)


(39)

38

durasi pengoperasian keramba pada suatu tempat; 4) kondisi fisik dan oseanografi yang berkaitan dengan tempat kegiatan keramba berlangsung; 5) biota yang menghuni kawasan tersebut; dan 6) kapasitas assimilasi dari lingkungan dimana kegiatan keramba ditempatkan (Milewski, 2001).

Limbah pakan dapat dikurangi melalui peningkatan stabilitas pakan, mengurangi tingkat tenggelamnya pakan dan menyediakan ukuran pakan yang sesuai dengan ukuran ikan pada setiap tahapan yang berbeda dari kegiatan budidaya. Buangan amonia dari ikan merupakan fungsi dari penyerapan protein dan dapat dijaga agar tetap rendah. Pakan yang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi, pengoptimalan rasio protein/ energi dapat diterapkan untuk masing-masing spesies budidaya dan setiap tahap pengembangan. Kebutuhan energi ikan dapat dicukupi melalui pemberian karbohidrat dan lemak, sehingga protein dapat bertahan untuk pembentukan jaringan tubuh. Hal ini telah ditunjukkan melalui retensi protein dari ikan Sparatus aurata yang dapat ditingkatkan dari 24,30 % menjadi 31,30 % dengan cara meningkatkan kandungan lemak pakan menjadi 37 % (Kissil dan Lupatsch, 1992). Sebenarnya, pengurangan N dalam pakan hanya dapat dicapai jika menggunakan pakan buatan. Kesulitan menggunakan formulasi pakan buatan adalah masih banyaknya penggunaan ikan rucah. Alasan mengapa penggunaan ikan rucah masih banyak dilakukan karena masih rendahnya pemahaman mengenai kebutuhan nutrisi untuk berbagai jenis ikan budidaya. Kualitas pakan jelas merupakan faktor utama karena pakan mempengaruhi pertumbuhan ikan secara keseluruhan (pertumbuhan harian dan konversi makanan), kesehatan ikan, buangan limbah fekal dan limbah pakan, dan jumlah total phosphor yang pada akhirnya dilepaskan keperairan (Goddard, 1996; Steffens, 1996; Gatlin dan Hardy, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Guo dan Li (2003) memperlihatkan total nitrogen di sekitar keramba yang terukur kandungannya hampir sama dalam jarak yang relatif jauh yaitu sekitar 50 – 130 m. Sementara itu, kandungan Chlorofil-a di sekitar keramba berbeda dengan yang ada dilokasi lain yang tidak diperuntukkan sebagai kawasan budidaya. Demikian pula dengan biomassa rotifer

yang lebih rendah pada lokasi keramba dan lebih tinggi pada kawasan yang jauh dari keramba. Cladocera juga memperlihatkan kecendrungan yang berlawanan,


(1)

138

Lampiran 2

. Kisaran Pasang-Surut di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu

Waktu (Jam) Tgl

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 7-Aug-07 1.195 1.342 1.362 1.179 0.890 0.653 0.532 0.493 0.490 0.500 0.512 0.546 0.634 0.750 0.797 0.711 0.550 0.430 0.417 0.498 0.621 0.733 0.812 0.896 6-Sep-07 1.008 1.178 1.261 1.165 0.963 0.788 0.689 0.630 0.577 0.519 0.455 0.418 0.463 0.590 0.703 0.709 0.630 0.567 0.581 0.648 0.709 0.726 0.703 0.707 6-Oct-07 0.860 1.061 1.214 1.215 1.110 1.008 0.939 0.862 0.756 0.631 0.505 0.425 0.463 0.632 0.828 0.925 0.918 0.899 0.922 0.947 0.913 0.810 0.683 0.618 6-Nov-07 0.669 0.846 1.036 1.131 1.140 1.143 1.153 1.104 0.964 0.780 0.613 0.518 0.562 0.762 1.026 1.215 1.296 1.341 1.394 1.383 1.233 0.976 0.722 0.570

Sumber: Data Pasut Bakosurtanal, 2007

7-Aug-07 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 1.600

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Waktu (Jam) (m ) 7-Aug-07 6-Sep-07 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Waktu (Jam) (m ) 6-Sep-07 6-Nov-07 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 1.600

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Waktu (Jam) (m ) 6-Nov-07 6-Oct-07 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Waktu (Jam)

(m

)


(2)

139

Lampiran 3

. Hasil Perhitungan Ni/Nmaks dari Matriks Kesesuaian di Setiap Stasiun

(Ni/N maks) x 100 Lokasi Stasiun

Kecerahan Kekeruhan Arus Suhu Gelombang Kedalaman Oksigen Salinitas pH Amonia BOD5 COD

Jumlah Keterangan

1 4 4 6 9 8 6 12 9 8 12 4 4 86 Sangat Sesuai

2 4 4 6 9 6 6 12 9 6 9 4 4 79 Sesuai

3 4 4 6 12 8 6 12 9 6 12 4 4 87 Sangat Sesuai

4 4 4 12 9 8 8 12 9 8 9 4 4 91 Sangat Sesuai

5 4 4 12 9 4 8 12 9 6 12 4 4 88 Sangat Sesuai

6 4 4 6 9 4 8 12 9 8 9 4 4 81 Sangat Sesuai

7 4 4 6 9 6 6 12 9 8 9 4 4 81 Sangat Sesuai

Pelabuhan Ratu

8 3 4 6 12 4 6 12 9 6 12 4 4 82 Sangat Sesuai

1 4 4 6 9 6 8 12 9 6 12 4 4 84 Sangat Sesuai

2 4 4 6 9 6 8 9 9 8 12 4 4 83 Sangat Sesuai

3 4 4 6 9 6 8 12 9 6 9 4 4 81 Sangat Sesuai

4 3 4 6 12 6 6 12 9 8 9 4 4 83 Sangat Sesuai

5 4 4 6 12 6 8 12 9 8 12 4 4 89 Sangat Sesuai

6 4 4 9 12 6 8 12 9 8 9 4 4 89 Sangat Sesuai

7 4 4 6 12 6 4 12 9 8 9 4 4 82 Sangat Sesuai

Cisolok

8 4 4 6 12 6 8 12 9 8 9 4 4 86 Sangat Sesuai

1 4 4 6 12 4 8 12 9 8 12 4 4 87 Sangat Sesuai

2 4 4 6 9 6 8 12 9 8 9 4 4 83 Sangat Sesuai

3 4 4 6 12 6 8 12 9 8 12 4 4 89 Sangat Sesuai

4 4 4 6 12 6 8 12 9 6 12 4 4 87 Sangat Sesuai

5 4 4 6 12 6 6 12 9 8 12 4 4 87 Sangat Sesuai

6 4 4 6 12 6 6 12 9 8 9 4 4 84 Sangat Sesuai

7 4 4 6 12 6 6 12 9 8 9 4 4 84 Sangat Sesuai

Ciemas

8 4 4 6 12 6 6 12 9 8 12 4 4 87 Sangat Sesuai

Sumber: Data Olahan, 2007

Keterangan: Ni didapat dari hasil perkalian antara skor dengan bobot pada masing-masing parameter


(3)

140

Lampiran 4

. Data Statistik Produksi Perikanan Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Budidaya Laut Tahun 2004 – 2008

Jumlah Per Tahun (kg)

No. Jenis

Komoditas

2004 2005 2006 2007

2008

1 Kerang

Hijau

10.000 10.071 10.315

- -

2 Rumput

Laut

0

547

4.886 - -

Total 10.000

10.618

15.201

0

0


(4)

141

Lampiran 5

. Data Produksi Berdasarkan Jenis Ikan Di Provinsi Jawa Barat Pada Tahun 1999 - 2007 Pada Perairan Selatan Jawa

Produksi Per Tahun (ton)

NO Jenis Ikan

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Ikan Sebelah 546 544 19 5 - - -

2 Ikan Lidah - - - 370 354 - -

3 Ikan Nomei - - - 111 106 - -

4 Peperek - 2.681 139 353 189 185 167 - -

5 Manyung 774 1.09 147 104 103 266 233 - -

6 Beloso 4 13 34 30 - - -

7 Biji Nangka - 1.973 - - - - - - -

9 Ikan Merah/Bambangan 674 547 36 43 24 86 41 - -

10 Kerapu 26 107 83 67 25 - - - -

11 Lencam - - - 43 82 85 82 - -

12 Kakap 736 513 178 239 371 - - - -

13 Kurisi - 1.118 8 1 - - -

14 Swanggi 35 - - - - - - - -

15 Ekor Kuning/Pisang-pisang 11 - - - - 34 32 - -

16 Gulamah/ Tiga Waja 731 832 135 315 218 171 75 - -

17 Cucut 912 1.588 632 854 957 677 - - -

18 Pari 817 1.132 553 356 636 1.515 - - -

19 Bawal Hitam 508 513 102 220 108 168 130 - -

20 Bawal Putih 47 72 54 236 165 98 40 - -

21 Alu-alu - - 29 3 - - -

22 Ikan Layang - 1.455 69 31 50 432 411 - -

23 Selar - 994 52 29 76 238 220 - -

24 Kuwe 955 574 90 364 243 207 101 - -

25 Tetengkek 256 292 43 36 27 14 9 - -

27 Sunglir - - 99 55 - 585 560 - -

28 Ikan Terbang 21 242 99 52 121 46 43 - -

29 Belanak 5 49 144 50 - - -

30 Kuro/Senangin - - 64 - - 11 7 - -

31 Julung-julung 811 700 12 46 - 3 2 - -


(5)

142

Lanjutan Lampiran 5.

Produksi Per Tahun (ton) NO Jenis Ikan

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

33 Japuh 549 70 79 372 42 94 88 - -

34 Tembang - 1.968 110 1.242 161 26 25 - -

35 Lemuru 834 657 34 - 28 54 52 - -

36 Golok-golok/Parang-parang - 4 - - 10 58 56 - -

37 Terubuk - - 182 8 - - -

38 Kembung 877 3.143 175 118 363 924 859 - -

39 Tengiri Papan - - 105 - - -

40 Tengiri - 2.988 193 358 422 377 270 - -

41 Layur - 1.945 1.342 1.658 3.787 2.002 1.016 - -

42 Tuna 584 723 556 200 724 - - - -

43 Cakalang - 1.31 827 1.114 1.598 2.303 1.215 - -

44 Tongkol - 4.602 773 1.926 1.278 - - - -

45 Jenis Ikan Lain - 2.781 648 2.079 1.293 1.325 973 - -

46 Rajungan - 2 4 2 12 3 2 - -

47 Kepiting - 5 - - 14 - - - -

48 Udang Barong 20 24 29 26 468 309 84 - -

49 Udang Windu 11 - 23 48 30 14 9 - -

50 Udang Putih/jrebung 77 171 23 38 43 17 11 - -

51 Udang Dogol 289 35 44 122 42 55 38 - -

52 Udang Lainnya 765 292 460 207 159 94 64 - -

53 Jenis Berkulit Keras Lain - - - 1 1.105 27 17 - -

54 Tiram - - - 1 - - -

56 Remis 383 395 - - - - - - -

57 Kerang Darah 444 457 43 1.042 - - -

58 Cumi-cumi 784 846 7 125 67 8 6 - -

59 Sotong - - - 4 3 - -

61 Jenis Binatang Lunak Lain 124 - - - -

66 Rumput Laut - 11 439 2.535 2.65 2.687 757 - -

Jumlah 13.610 41.634 8.952 16.841 17.713 15.844 8.312 0 0

Sumber: Data Statistik Produksi Perikanan Jabar, 2008


(6)

143

Lampiran 6

. Data Nelayan Bagan Apung di Teluk Pelabuhan Ratu yang Menjadi Responden

Lokasi Nama

Umur

Jumlah

Unit

Bagan

H. Sake

52

2

Bandupong 64

3

Guntur 48

1

Pelabuhan Ratu

Baharuddin 37

1

Amirullah 57

1

Mekka 50

2

Cisolok

Mang Roni

40

2

Idim 32

1

Haris 57

2

Ciemas

Dayung 43

2

Jumlah

17