41 ikan yang dipelihara berkisar antara 83 hingga lebih besar dari 400 g O
2
th Wu, 1990b; McLean et al., 1993. Dengan asumsi oksigen terlarut diperairan laut
adalah 7 mgl, lebih kurang 17 – 53 m
3
air laut yang bersih dibutuhkan untuk mengganti konsumsi oksigen untuk 1 ton ikan budidaya dan tidak menyertakan
kebutuhan oksigen yang digunakan untuk menguraikan limbah dari kegiatan budidaya Beveridge et al., 1994. Pada sistem budidaya ikan dalam keramba di
perairan laut terbuka, produksi ikan sebesar 200 tontahun memerlukan kecepatan arus sebesar 1 m
3
detik Tervet, 1981. Pada area dimana pertukaran air lambat, maka produksi ikan seharusnya dikurangi Heinig, 2001.
Kerusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan organik yang tinggi dalam sedimen yang mungkin akan mempengaruhi kesehatan ikan-
ikan yang dipelihara dan akan mengurangi keuntungan. Oleh karena itu, keramba apung harus diletakkan pada tempat dimana kedalaman perairan mampu
mempertukarkan air secara maksimal dan menjaga bagian dasar tetap memiliki kondisi substrat yang baik pada suhu terendah dan juga tak kalah penting adalah
mengetahui batimetri perairan Beveridge, 1996. Selain limbah yang dikeluarkan oleh organisme budidaya, limbah yang
berasal dari suatu pulau juga meski diketahui. Sayangnya tidak ada pengukuran yang secara langsung mengetahui kuantitas dan kualitas buangan limbah dari
suatu pulau. Walaupun demikian, untuk menghitung kesesuian dari kegiatan budidaya ikan dalam keramba di perairan yang tertutup, dan sulit untuk
mengeluarkan limbah, ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan untuk karakteristik buangan limbah buangan limbah domestik tanpa pembuangan
limbah yang berasal dari aktivitas industri antara lain adalah: jumlah orang yang berada di wilayah pesisir, keberadaan atau ketiadaan perlakuan-perlakuan sebelum
limbah tersebut dibuang keperairan. Sejumlah orang yang terkait pada masing- masing sektor menentukan kuantitas limbah yang dibuang kelaut. Keberadaan dan
ketiadaan perlakauan-perlakuan sebelum pembuangan limbah akan menentukan bahaya potensial yang akan dialami Pe´rez et al., 2003.
2.8. Sistem Informasi Geografis SIG dan Penginderaan Jarak Jauh
Aplikasi dan pengembangan SIG dimulai di negara maju, terutama Amerika Utara. Komponen utama SIG meliputi perangkat keras, perangkat lunak, data dan
42 sumberdaya manusia. Perangkat keras meliputi komputer, digitizer, scanner,
plotter, printer , sedangkan perangkat lunak bisa dipilih baik yang komersial
maupun yang tersedia dengan bebas. Contoh perangkat lunak yang banyak dipakai adalah ARCINFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS, MapInfo. Beberapa
cara memasukkan data ke dalam SIG adalah melalui keyboard, digitizer, scanner, sistem penginderaan jauh, survei lapangan dan GPS. Sumberdaya manusia sebagai
komponen SIG bukan hanya meliputi staf teknikal yang bertugas dalam hal pemasukan data maupun pemrosesan dan penganalisaan data, tetapi juga
koordinator yang bertugas untuk mengontrol kualitas dari SIG. Adapun elemen fungsional SIG meliputi pengambilan data, pemrosesan awal, pengelolaan data,
manipulasi dan analisa data, dan pembuatan output akhir ESRI, 1990; Puntodewo et al.,
2003; Aronof, 2005. SIG dapat dipertimbangkan sebagai suatu sistem manajemen basis data
yang memperbolehkan pengguna untuk menyimpan, mendapatkan kembali dan memanipulasi data, serta mengintegrasikan dengan suatu series yang diikuti
dengan analisis spasial yang tangguh Borrough, 1986, sehingga dapat digunakan sebagai referensi informasi geografis yang sangat berguna bagi pengambil
keputusan yang didalamnya mengintegrasikan data keruangan untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan Cowen, 1988; Kam et al., 1992.
Sistim Informasi Geografis SIG merupakan sistim informasi berbasis keruangan dan merupakan alat yang menghubungkan atribut basis data dengan
peta digital. Sistem informasi geografis SIG di desain untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis suatu objek ataupun fenomena dimana lokasi
tersebut berada yang memiliki karakteristik penting ataupun kritis untuk dianalisis. Didalam SIG, informasi bahkan ditampilkan dalam bentuk peta maupun tabel.
Beberapa contoh aplikasi SIG antara lain dalam hal pengelolaan hutan dan kehidupan liar, perencanaan pemukiman, pendugaan erosi tanah, pengelolaan
pesisir dan hampir semua masalah yang berkaitan dengan rencana penggunaan lahan dan pengawasannya. Berkaitan dengan kompleksitas yang dinamis dan sifat
ruang dari sistem kawasan pesisir, SIG sangat cocok untuk menangani dan menganalisa kumpulan data wilayah pantai yang sangat banyak. Sekarang ini ada
banyak tersedia SIG yang bersifat komersil dan penelitian SIG, tetapi dalam
43 memilih SIG yang akan digunakan sangat tergantung pada sifat aplikasinya
Mennecke, 2000; Aronoff, 2005. Penggunaan teknologi SIG dapat mempertajam kemampuan operasional
agen pemerintah yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Kemampuan teknologi SIG dalam pengelolaan
wilayah pesisir meliputi pananganan data spasial temporal, membangun basis data untuk wilayah pesisir dan menyediakan alat untuk analisis sehingga dapat
meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan Rongxing, 2001. Secara kaidah, SIG harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1
Terdiri atas konsep dan data geografis yang berhubungan dengan distribusi spasial; 2 Merupakan suatu informasi dari data yang didapat, ide atau analisis,
biasanya berhubungan dengan tujuan pengambilan keputusan; 3 Suatu sistem yang terdiri dari komponen, masukan, proses dan keluaran; 4 Ketiga hal
sebelumnya difungsikan kedalam skenario berdasarkan pada teknologi tinggi Hamid, 2003.
Dalam pemanfaatan daerah pesisir, sangat dibutuhkan informasi mengenai potensi wilayah pesisir dan lautan yang terpadu. Bentuk sistem informasi terpadu
yang cocok dalam pengertian dapat menyimpan dan mengolah serta menyampaikan secara cepat dan mudah dari berbagai sektor adalah Sistem
Informasi Geografis SIG. SIG dapat dipadukan dengan Teknologi Penginderaan Jauh Inderaja yang memiliki kelebihan dalam memberikan data spasial multi
temporal, cakupan yang luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil
sehingga integrasi keduanya merupakan early information dalam pengkajian kesesuaian lahan di wilayah pesisir diantaranya untuk budidaya laut. Pada
pengelolaan wilayah pesisir, SIG dapat diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang wilayah pengelolaan, antara lain untuk menduga wilayah potensi wisata, potensi
perikanan dan wilayah pengembangan budidaya perikanan pesisir. Selain itu, SIG dapat digunakan untuk melihat terjadinya berbagai perubahan penggunaan lahan
di wilayah pesisir Purwadhi dan Hardiyanti, 1998. Pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG telah banyak dilakukan dalam
pengembangan budidaya perikanan. Namun penelitian di bidang ini masih perlu dikembangkan dengan mengkaji aspek biofisik, perencanaan wilayah dan
44 infrastruktur. Berbagai aspek tersebut dianalisis dengan menggunakan dua
pendekatan, yaitu analisis kesesuaian lahan suitability analysis dan analisis keberlanjutan sustainability analysis sehingga diperoleh lokasi budidaya yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, SIG dapat digunakan untuk menyajikan data dasar keruangan yang terkait
dengan masalah: 1 Fisik pesisir antara lain topografi batimetri, penutupan lahan, aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batas habitat dan lain sebagainya; 2
Lingkup manusiasosial, yaitu berupa data dasar keruangan termasuk batas administratif, distribusi populasi, jaringan transportasi, dan berbagai karakteristik
sosial lainnya Gunawan, 1998. Dalam penerapannya, SIG dapat diterapkan dalam bidang kelautan dan
perikanan. Ruang lingkup SIG untuk kelautan dapat dibedakan kedalam beberapa areal yaitu daerah pantai Coastal Zone, bawah laut serta laut terbuka. Setiap
zona tersebut menuntut cara survei, analisis dan kebutuhan teknik pemetaan yang khusus, dan tentunya membutuhkan struktur dan basis data yang berbeda. Sebagai
contoh dalam pembuatan model SIG untuk pariwisata, Tim Kerja Survey Sumber Alam Laut memisahkan analisa untuk bagian darat dengan parameter antara lain
kelas lereng, ketinggian, sumberdaya air, penutupan lahan dan aman terhadap bencana yang semuanya disusun menurut tingkat kepentingannya Sutrisno dan
Sutrisno, 1993; Davis dan Davis, 1998. Sistim Informasi Geografis SIG sebagai sistim informasi digital berbasis
spasial telah berkembang menjadi sebuah sistim pendukung pengambilan keputusan. Teknologi SIG telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten
untuk kajian kewilayahan termasuk didalamnya wilayah pesisir. Dalam perkembangannya teknologi SIG dirancang untuk semakin mudah digunakan,
sehingga tekonologi ini telah menjangkau kabupatenkota di Indonesia. Sistim Informasi Geografis dapat diaplikasikan untuk penyusunan model berbasis spasial
termasuk penyusunan model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten Dartoyo, 2004. Meaden dan Kapetsky 1991 menjelaskan tentang penggunaan SIG
dibidang perikanan antara lain: 1 Perencanaan zonasi sumberdaya air; 2 Pemetaan zonasi spesies biota air; 3 Pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan
45 secara intensif; 4 Identifikasi daerah pusat dimana inovasi kegiatan perikanan
kemungkinan menyebar. Dahuri 1997 menyatakan bahwa keuntungan penggunaan SIG pada
perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam adalah: 1 Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data grafik, teks, analog, dan digital
dari berbagai sumber; 2 Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait; 3 Mampu memproses
dan menganalisis data lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan pekerjaan manual; 4 Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa
alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi lapangan; 5 Memiliki kemampuan pembaruan data yang efisien terutama model grafik; 6 Mampu menampung data
dalam volume besar. Selain data spasial dan atribut yang dikumpulkan dari berbagai sektor
terpadu, data inderaja dapat pula diintegrasikan dengan data SIG untuk analisa maupun dimanipulasi lebih lanjut. Data inderaja ini dapat berupa citra satelit
maupun foto udara. Data inderaja, terutama yang berasal dari satelit mempunyai beberapa keuntungan antara lain liputannya yang sipnotik luas dan sistematik
Sutrisno dan Sutrisno, 1993. Hamid 2003 menyatakan bahwa sumber data yang diperlukan untuk
proses dalam SIG secara umum dibedakan atas tiga kategori yaitu: 1 Data survey lapangan berupa data digital dan data atribut; 2 Data peta, merupakan informasi
yang telah terekam pada peta, kertas atau film yang telah dikonversikan dalam bentuk dgital, dan bila telah terekam dalam bentuk peta maka tidak diperlukan
lagi data lapang kecuali untuk keperluan Ground Check; 3 Data inderaja, berupa foto udara dan citra satelit.
Lillesan dan Kiefer 1979 menyatakan bahwa penginderaan jarak jauh adalah pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh
sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat
dari jarak jauh, misalnya dari pesawat, pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau alat lain. Contoh dari penginderaan jarak jauh antara lain satelit observasi bumi,
satelit cuaca dengan ultrasonik dan wahana luar angkasa yang memantau planet
46 dari orbit. Di masa modern, istilah penginderaan jarak jauh mengacu kepada
teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat luar angkasa dan dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti penginderaan medis atau
fotogrametri. Walaupun semua hal yang berhubungan dengan astronomi sebenarnya adalah penerapan dari penginderaan jarak jauh faktanya merupakan
penginderaan jarak jauh yang intensif, istilah penginderaan jarak jauh umumnya lebih kepada yang berhubungan dengan teresterial dan pengamatan
cuaca. Ketersediaan data inderajacitra satelit dalam bentuk digital memungkinkan
penganalisaan dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu data Inderaja dapat digunakan sebagai input yang independen untuk verifikasi
lapangan. Dengan teknologi Inderaja, penjelajahan lapangan dapat dikurangi, sehingga akan menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara teristris di
lapangan Atmawidjaja, 1995. Pengolahan data inderaja meliputi pengolahan awal dan pengolahan lanjut.
Pengolahan awal meliputi pemilihan data untuk mencari data yang bebas dari tutupan awan. Proses berikutnya adalah koreksi radiometrik dan geometrik citra.
Koreksi radiometrik dan geometrik berfungsi untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan keadaan
sebenarnya. Setelah proses ini selesai maka data sudah dapat digunakan untuk mendapatkan informasi selanjutnya dengan cara mengekstrak menggunakan
metode yang sesuai dengan informasi yang diperlukan. Sedangkan pengolahan lanjut terdiri atas pengolahan untuk mendapatkan informasi tentang bentuk lahan
dan penutupan lahanpenggunaan lahan, yaitu membuat citra komposit dan penajamannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan tampilan visual citra
yang optimal untuk identifikasi bentuk lahan untuk mengetahui karakteristik terumbu karang. Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan software
ER Mapper, dengan tujuan menonjolkan detail bentuk permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman, sehingga aspek-
aspek morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi bentuk lahan diharapkan dapat diidentifikasi. Kemudian dilakukan interpretasi bentuk lahan secara visual
pada monitor komputer dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi dan
47 fasilitas memperbesar dan memperkecil liputan citra yang ada pada komputer agar
detail ataupun pola keruangan bentuk lahan dapat diamati. Analisis geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang lahan landscape dengan mengutamakan
perhatian pada bentuk lahan, litologi, genesis, dan proses-proses masa lampau dan sekarang yang dapat diamati dari citra Asriningrum et al., 2004. Untuk lebih
jelas, ilustrasi proses pengolahan data dengan menggunakan SIG dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Sistem untuk Ilustrasi SIG Meaden dan Kapetsky, 1991.
Diagram alir yang diperlihatkan pada Gambar 3 lebih pada proses
pengerjaan untuk pemecahan masalah dengan menggunakan SIG. Menurut Maeden dan Kapetsky 1991, ada empat komponen penting dalam sistem
penginderaan jauh adalah 1 sumber tenaga elektromagnetik, 2 atmosfer, 3 interaksi antara tenaga dan objek, 4 sensor. Secara skematik, komponen-
komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Masukan Input
Keluaran Output
System Informasi Geografis
Pengolahan Database Capture
Code Edit
Penyimpanan dan
Pencarian Manipulasi
dan Analisis
Tampilan dan
Laporan
Kebutuhan Pengguna User
Laporan Tekstual Peta
Produk Fotografi Statistik dan Tabel
Data untuk SIG lainnya
Digital Database Peta
Tabel Surey Lapangan
Data Digital Data Inderaja
Analisis SIG lainnya
48
Gambar 4. Sistem Penginderaan Jauh Maeden dan Kapetsky, 1991
Gambar 4 memperlihatkan bahwa tenaga panas yang dipancarkan dari
obyek dapat direkam dengan sensor yang dipasang jauh dari obyeknya. Penginderaan obyek tersebut menggunakan spektrum inframerah termal Samsuri,
2004. Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang lain. Satelit dengan
orbit tertentu dapat memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan
sumberdaya alam seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Data satelit ocean color dan spesifikasinya.
Jenis Data
Spesifikasi Data Sumber Data
Parameter terukur Produk
Klorofil-a Endapan
terlarut TSM Kekeruhan
perairan Batimetri
SeaWiFS 8 bands Visible, NIR
Resolusi spasial: 4km GAC, 1km LAC
Perioda: 1997-sekarang CZCS
6 bands Perioda: 1978-1986
Klorofil-a Surface
temperature Klorofil-a
OCTS 18 bands
Resolusi spasial: 1km MODIS
Aqua 36 bands
Resolusi spasial: 250 m
bands 1-2, 500 m bands 3-7, 1000 m
bands 8-36 Perioda: 2002-sekarang
NASA order, lectronically Data level 1, 2:
http:oceancolor.gsfc.nasa.gov cgibrowse.pl?sen=am
http:daac.gsfc.nasa.govdata Data level 3 images:
http:oceancolor.gsfc.nasa.gov cgilevel3.pl
LAPAN Klorofil-a
Endapan terlarut TSM
Kekeruhan perairan
Suhu permukaan laut
Sumber: NASA Research Announcement in http:simbios.gsfc.nasa.govInfo.
49
III. METODE PENELITIAN