Teori Kritis dalam Musik Kritis

30 Bagi kelompok Mahzab Frankfurt, masyarakat harus terlibat dalam kritik berkelanjutan. Hal ini demi memecah sistem kontekstual yang telah diterima. Dengan melakukan kritik, maka kita bisa membantu menciptakan kesadaran akan kemungkinan patahnya struktur dominasi yang ada. 42 Kritisisme dari Teori Kritis Mahzab Frankfurt terletak pada usaha mereka untuk menyingkap dan menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran kita. 43 Sehingga sesuai dengan gagasan Karl Marx, dengan kritisisme tersebut masyarakat bisa terbebas dari belenggu penindasan dan pengisapan. Para pemikir mazhab Frankfurt memang dikenal memiliki ketertarikan dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx. Namun mereka memodifikasi pemikiran Marxist tersebut agar bisa lebih sesuai dengan tantangan budaya di zaman modern. Kritisisme mazhab Frankfurt juga tidak terlepas dari kritik. Mahzab ini dianggap terlalu memandang tinggi konspirasi dalam membentuk tingkah laku atau budaya, dan mengabaikan fakta bahwa budaya diciptakan melalui hubungan yang saling mempengaruhi. Berbeda dengan pandangan Adorno dan Mazhab Frankfurt, para pemikir dari Mazhab Birmingham memiliki perspektif yang memandang bahwa budaya popular bukanlah suatu budaya rendahan atau suatu hal yang remeh. 44 Tokoh-tokoh cultural studies seperti Raymond Williams dan Richard Hoggart, beranggapan bahwa budaya bisa dilihat sebagai penentu dan juga bagian dari aktivitas sosial. Budaya juga merupakan area penting bagi reproduksi ketimpangan kekuatan sosial dan komponen utama dari ekonomi dunia yang meluas. 45 19 Ibid., h. 185. 20 Alex Sobur, Analisis Teks Media Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012, h. 144. 21 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek Terj.Yogyakarta : Bentang, 2004, h. 46. 22 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 33. 31 Raymond Williams memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan cara hidup. Williams memperhatikan pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Bagi Williams, kebudayaan berpusat pada makna sehari-hari, nilai, gagasan abstrak dan benda-benda baik simbolis maupun material yang dibangun secara kolektif. 46 Richard Hoggart, seorang profesor pendiri Center for Cultural Studies, Universitas Birmingham juga meneliti ciri kebudayaan lewat aktivitas sehari-hari kelas pekerja mulai dari apa yang mereka lakukan di waktu luang hingga apa saja lagu-lagu populer yang mereka dengarkan. Pemikiran Hogart kemudian menjadi warisan yang penting, khususnya menyangkut makna dan praktik orang biasa dalam menjalani hidup sehari-harinya yang dengan cara tersebut mereka membangun sejarahnya. 47 Secara umum, terdapat beberapa kesamaan antara perspektif cultural studies dengan mazhab Frankfurt. Keduanya sama-sama menganggap terjadi penurunan kesadaran radikal di antara para kelas pekerja, dan bahwa budaya media berperan dalam membentuk kelas pekerja menjadi masyarakat kapitalis. Serta budaya media juga turut membentuk hegemoni kaum kapitalis. Perbedaan yang signifikan antara penganut cultural studies dengan Mazhab Frankfurt salah satunya adalah: bahwa penganut cultural studies memandang budaya juga sebagai bagian dari teks dan juga bermuatan makna sehingga setiap saat berada dalam proses pembacaan. 48 Para pemikir cultural studies memandang bahwa tidak ada perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya, antara budaya tinggi dan budaya rendah. Mereka beranggapan bahwa setiap 23 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, h. 40. 24 Ibid., h. 41. 25 Ibid., h. 69. 32 budaya memiliki konteksnya masing-masing, sehingga juga dibutuhkan beragam perspektif untuk memahami masing-masing budaya tersebut. Dalam hal ini, audiens juga dipandang mampu menyeleksi kebudayaan, ketimbang hanya menjadi penerima yang pasif. Musik Kritis Kritik terhadap industri dan budaya juga telah coba dilakukan oleh musik itu sendiri. Musik populer sering juga memiliki kaitan dengan sejarah kritisisme sosial. Pemberontakan kaum muda di AS dan Inggris baik kulit hitam maupun kulit putih yang kemudian melahirkan musik rock and roll, pernah berhasil mematahkan dominasi musik klasik dan musik “cengeng” yang digandrungi oleh orang-orang kulit putih kelas atas. Musik yang dianggap liar tersebut menjadi simbol perlawanan kelas pekerja terhadap hegemoni budaya yang dilakukan oleh orang-orang kelas atas. Musik rock juga kemudian dimanfaatkan untuk memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan kemauan rakyat, seperti yang dilakukan oleh Bob Dylan atau grup musik The Who. Seiring tumbuh dan berkembangnya musik rock menjadi musik yang digemari oleh banyak kalangan, ia pun tidak lepas dari adanya kritik-kritik tajam. Musik punk lahir ketika kaum muda mulai bosan dan muak dengan musik rock yang dianggapnya telah kehilangan semangat seperti di awal kemunculannya. Musik rock yang saat itu berkembang menjadi berbagai subgenre seperti progressive rock, heavy metal dan lain sebagainya, dinilai telah kehilangan jiwa 33 “perlawanannya” dan kemudian hanya menjadi komoditas mainstream yang dimanfaatkan oleh kaum kapitalis. Ironis sebenarnya, karena lagu-lagu progressive rock juga sebenarnya mengandung banyak kritik sosial. Album The Dark Side of the Moon milik Pink Floyd contohnya, bercerita tentang modernitas yang membuat manusia menjadi gila dan menghamba kepada uang. Dalam perkembangannya, lagu-lagu progressive rock memang banyak mengambil tema mengenai modernitas dan konsumerisme yang menjangkiti banyak orang. Musik protes, musik-musik bertema kritis sosial, dalam sejarahnya memang selalu berhasil dan disukai banyak orang, terutama kaum muda. Bukan hanya karena mengandung nilai-nilai perlawanan di dalamnya, tapi juga karena memang bagus dari komposisi musiknya. Taufiq Rahman, jurnalis The Jakarta Post, pernah menulis bahwa komposisi-komposisi mutakhir tersebut selalu berhasil, karena musik tersebut memang diciptakan oleh musisi-musisi nomer satu yang serius berkesenian dimana kegiatan berfikir berbanding lurus dengan kegiatan kreatif mencipta lagu. 49 Artinya, seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Taufiq Rahman, lagu protes sosial hanya bisa lahir dari musisi-musisi bermutu semacam The Beatles, Sam Cooke, Nirvana atau Crosby, Stills, Nash and Young dan bukan band-band dan musisi kelas teri yang mungkin jarang membaca. Walaupun hal ini dapat diperdebatkan lagi, namun musik-musik kritik sosial selalu lahir dari musisi- musisi yang jenius, yang selalu berpikir kritis terhadap banyak hal. 26 http:jakartabeat.netkolomkontenkenapa-lagu-protes-slank-iwan-fals-dan-rhoma-irama- berhasil . diakses pada 2 Mei 2014. 34 Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh Iwan Fals yang lagu-lagunya banyak mengandung kritik sosial. Di masa Orde Baru, Iwan tak jarang diperiksa oleh pihak berwajib terkait dengan lagu-lagunya yang mengkritik pemerintah. Orde Baru bahkan menganggap lagu-lagu yang mengandung kritik sosial tersebut sebagai ancaman. Itulah sebabnya banyak perusahaan rekaman sulit untuk merekam lagu-lagu kritik sosial karena pengawasan yang ketat dari kepolisian. Gambaran realitas sosial dan politik yang terjadi pada masa Orde Baru memang dengan mudah bisa kita temukan dalam lirik-lirik lagu Iwan Fals. Lirik- lirik ciptaan Iwan Fals umumnya memang tidak sulit untuk ditafsirkan. Hal tersebut juga bisa kita temukan dalam lagu-lagu milik Harry Roesli, Doel Sumbang dan juga band Slank. Dewasa ini di Indonesia, musik bertema sosial lebih sering ditemukan dalam scene musik indie. Berbeda dengan Iwan Fals atau Slank, band-band indie yang sudah lama eksis seperti Efek Rumah Kaca, Navicula, Seringai dan lain sebagainya, lebih suka menggunakan bahasa yang metaforis dalam lirik-lirik lagunya, sehingga pendengar harus mencernanya dengan baik agar bisa menemukan makna kritik sosialnya. Penggunaan musik sebagai media untuk menyampaikan aspirasi, seharusnya memang bukan hal yang asing lagi di kalangan musisi. Untuk menjalankan fungsi komunikasi massa, musisi bisa memotret realitas dan mengeluarkan kritik-kritik sosialnya yang dianggap perlu. Karena keberadaan kritik, apapun medianya, sangat penting demi pengawasan suatu kebijakan atau fenomena yang terjadi dalam suatu bangsa. Dan tentu saja demi kemajuan bangsa itu sendiri. 35

C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika

Manusia sejak dahulu mendefinisikan sejarahnya melalui seperangkat tanda- tanda. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak jaman prasejarah. Segala hal yang ditangkap oleh pikiran manusia, selalu diungkapkan dan diwakili oleh tanda. Maka dari itulah, tanda kemudian memiliki pengertian sebagai representasi dari berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah homo culturalis meminjam istilah dari Marcel Danesi dan P. Perron, yakni sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya, maka seiring dengan majunya peradaban, keberadaan tanda dipandang menjadi sangat penting dalam meneliti seluk beluk kebudayaan manusia. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Charles Sanders Pierce, bahwa tanpa tanda kita tidak akan dapat berkomunikasi. 50 Karena makna yang terdapat pada kehidupan manusia, selalu berada pada sistem tanda-tanda. Ada tiga poin penting yang harus kita ingat sebelum menelaah berbagai tanda yang akan diselidiki. 51 1. Tanda bukan hanya ulasan tentang dunia, tapi merupakan bagian dari dunia. Khususnya dalam konteks sosial. 2. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga memproduksi makna. 3. Tanda memproduksi banyak makna. John Hartley, seorang profesor dan juga penulis buku-buku cultural studies memaparkan bahwa tanda juga haruslah memiliki tiga karakteristik: 52 27 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 124. 28 Tony Twhaites, dkk., Introducing and Cultural Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik Yogyakarta: Jalasutra, 2009 h. 13-14. 29 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 295. 36 1. Harus memiliki bentuk fisik, sehingga kita bisa melihatnya, mendengarnya, menciumnya, dan menyentuhnya. 2. Tanda harus mengacu kepada sesuau selain dirinya. 3. Tanda harus digunakan dan dikenali sebagai tanda. Jadi, tanda bisa menjadi unsur atau sistem budaya bersama. Benny H. Hoed juga memaparkan bahwa dalam memahami tanda sebagai objek kajian semiotika, peneliti harus melihatnya berdasarkan tiga jenis dimensi, yaitu: 53 1. Dimensi temporal: sinkronis atau diakronis atau dinamis. 2. Dimensi notasional: melihat makna tanda secara denotatif, konotatif atau anotatif secara individual. 3. Dimensi struktural: pemaknaan dari segi paradigmatik, sintagmatik, atau analogis. Semiotika dianggap sebagai model yang sangat penting dalam mempelajari sederetan tanda-tanda. Banyak ahli yang sepakat bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semiotika sendiri secara bahasa berasal dari kata Yunani yaitu semeion , yang berarti “tanda”. Kemudian secara terminologis, Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. 54 Semiotika selalu berkembang seiring dengan banyaknya fenomena sosial dan budaya yang dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. 30 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya Depok: FIB UI Depok, 2008, h. 22. 31 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 95. 37 Semiotika secara sederhana, selalu berusaha untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “sesuatu”, dan “sesuatu” tersebut dapat berupa isyarat atau bahasa, atau pula komposisi dalam teks media. Walaupun semiotika dianggap bukan sebagai disiplin ilmu yang pasti, tetapi pengaruhnya pada cara resmi dalam pendekatan teks media cukup dipertimbangkan. 55 Ferdinand de Saussure 1857-1913 dan Charles Sanders Pierce 1839- 1941 dianggap sebagai dua tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan semiotika. Walaupun keduanya bisa dikatakan hidup di jaman yang sama, namun keduanya berbeda dalam menggunakan istilah semiotikasemiologi. Namun hal itu tidak terlalu menjadi masalah yang serius. Perbedaan istilah ini seperti yang dituliskan oleh Alex Sobur hanya menunjukan perbedaan orientasi. 56 Semiologi mengacu kepada tradisi linguistik Eropa yang bermula dari Saussure. Sedangkan semiotika mengacu kepada tradisi filsafat Amerika Serikat yang bermula dari Pierce. Filsuf asal Amerika tersebut memandang semiotika sebagai sinonim atau perluasan logika. Sedangkan Saussure, sebagai seorang sarjana lingusitik, memandang linguistik lebih penting dari kecanggihan logika. Agar tidak terjadi perbedaan implikasi filosofis dari dua istilah tersebut, maka dalam tulisan ini penulis memilih menggunakan istilah semiotika, karena seperti yang dipaparkan oleh Umberto Eco, hal ini sudah dengan resolusi dari komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969. Dan kemudian dikukuhkan 32 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 278. 33 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 107. 38 oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun 1974. 57 Bagi Pierce, semiotika adalah tindakan, pengaruh dan kerja sama dari tanda sign, objek object dan interpretan interpretant. 58 Tanda menurut Pierce, seperti yang dikutip oleh Umberto Eco, adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dipahami oleh Pierce dan para pragmatis lainnya, sebagai suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera. 59 Sesuatu yang dirujuk oleh tanda itu disebut objek. Sedangkan interpretan dipahami sebagai tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh tanda. Hubungan antara ketiga elemen di atas bisa disebut sebagai teori segitiga makna triangle meaning. Ketika ketiga elemen ini berinteraksi dalam benak manusia, maka munculah makna sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Yang dikupas oleh Pierce dalam teori ini adalah bagaimana makna bisa muncul lewat sebuah tanda ketika tanda tersebut dipakai oleh manusia pada saat berkomunikasi. 60 Gagasan dari teori Pierce bersifat menyeluruh. Ia melakukan deskripsi struktural atas semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotika seperti yang maksud oleh Pierce adalah dengan membongkar bahasa secara keseluruhan seperti seorang ahli fisika yang membongkar suatu zat 34 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, h. 13. 35 Ibid., h. 109. 36 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4. 37 John Fiske, Cultural and Communication Study: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2004, h. 42.