Kritik Sosial dan Konstruksi Realitas dalam Teks Media

12 konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan. 10 Setiap peristiwa yang ada kemudian bisa dikemas dan dibentuk secara simbolis. Simbol-simbol tertentu dipilih berdasarkan ideologi sang komunikator. Dalam hal ini, bahasa memegang peranan penting dalam wilayah signifikasi atau penandaan. Bahasa kemudian digunakan untuk mensignifikasi makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakat. 11 Namun pengetahuan tersebut tentu saja tidak bisa dikatakan relevan bagi semua orang. Ferdinand de Saussure, seperti yang dikutip oleh Alex Sobur, pernah memaparkan bahwa tanda-tanda adalah konstruksi dari pandangan dan persepsi kita terhadap realitas. 12 Jika dilihat dalam konteks sosial, maka tanda menurut Saussure tidak hanya merepresentasikan realitas yang terjadi di masyarakat, tetapi juga bisa membentuk persepsi manusia. Dengan demikian, masyarakat harus lebih teliti dalam menyikapi berbagai tanda yang muncul, agar tidak terjadi salah baca misreading yang bisa berakibat fatal. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan realitas? Realitas sangat sulit untuk dijelaskan secara rinci. Sederhananya, realitas adalah kenyataan, atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bera rti: “hal yang nyata; yang benar-benar ada”. Menurut kritikus budaya Yasraf Amir Piliang, realitas sesungguhnya sangat kompleks dan selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apa yang kita lihat dan kita dengar misalnya benda, musik, cuaca bisa saja adalah sebuah realitas, namun tidak menutup kemungkinan jika yang kita lihat dan dengar tadi sebenarnya adalah tanda dari realitas yang sebenarnya. 10 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger Thomas Luckman, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, h. 24. 11 Ibid., h. 17. 12 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 87. 13 Teks media dalam sejarahnya, selalu memiliki ideologi atau kepentingan- kepentingan yang ingin dibawa. Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, menjelaskan bahwa teks media tersusun atas seperangkat tanda dan tidak pernah membawa makna tunggal. 13 Dengan demikian, teks media tersebut bisa membawa bias-bias yang perlahan bisa menyusup ke dalam satu budaya tertentu. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Teks memiliki arti yang luas. Bisa berbentuk seperti berita, film, musik dan produk-produk budaya lainnya. Roland Barthes, seorang pakar semiotika dari Perancis, memiliki pemahaman yang luas dalam pengertian teks. Ia misalnya, berpendapat bahwa musik adalah salah satu contoh teks yang dapat dibaca. Sebagai bentuk teks, musik juga tentunya bisa menjadi media untuk mengkonstruksi atau memotret realitas. Karena pada dasarnya, setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, adalah usaha untuk mengkonstruksikan realitas. 14 Seorang musisi bisa saja menceritakan sebuah peristiwa lewat sebuah lagu yang diciptakannya. Lagu White Riot milik band punk The Clash misalnya, mengisahkan tentang kerusuhan yang dipicu oleh warga kulit hitam di London pada 1977. Lagu tersebut juga berisi semacam “ajakan” kepada pemuda kulit putih agar ikut bersama para warga kulit hitam dalam memprotes kesewenangan pemerintah. Fenomena tersebut menunjukan bahwa musik sebagai salah satu teks atau bahasa, tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi dalam menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran yang hendak ditanamkan kepada 13 Ibid., h. 95. 14 Ibid., h. 88. 14 publik. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. 15 Kesadaran menjadi bagian yang terpenting dalam konstruksi sosial. 16 Karena kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu mengekspresikan sikap dan pilihan sang komunikator, dan juga dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik dalam menganalisisnya. Pembahasan mengenai semiotika secara lebih dalam selanjutnya bisa dilihat dalam bab kedua skripsi ini.

2. Musik Sebagai Media Komunikasi

Musik pada dasarnya adalah pengorganisasian suara yang terdiri dari beat, harmoni dan melodi, serta lirik lagu jika dalam konteks musik populer. 17 Karena musik sifatnya adalah menyampaikan informasi dan makna dari sang musisi komunikator kepada pendengarnya komunikan, maka musik bisa menjadi salah satu bentuk komunikasi. 18 Namun kendala yang sering muncul dalam proses komunikasi ini adalah musik sering dianggap sebagai bahasa yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Salah satu sebabnya adalah bahasa musik sering ditulis dalam berbagai simbol. Contoh yang paling sederhana bisa kita lihat dalam partitur yang ditulis dalam beragam simbol musik, yang tidak semua orang bisa paham. 15 Ibid., h. 90. 16 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger Thomas Luckman, h. 25. 17 Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music, h. 57. 18 Ibid., h. 56. 15 Marcel Danesi, dalam bukunya Pesan, Tanda dan Makna menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan dalam seni musik. 19 Pertama, musik klasik yang hanya tersebar di kalangan bangsawan dan lembaga keagamaan. Yang kedua, musik tradisional yang biasanya didengarkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Dan yang ketiga, adalah musik populer yang tersebar ke beragam kalangan masyarakat. Musik populer tidak akan tersebar tanpa melibatkan suatu media. Pembagian tiga tingkatan musik seperti yang dipaparkan oleh Danesi di atas, membuat musik bisa masuk ke dalam kajian media dan komunikasi. Inilah sebabnya musik bisa menjadi salah satu dari bentuk teks media. Musik kemudian tidak hanya menjadi bunyi-bunyian di telinga, namun juga sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan. Karena lagu-lagu seringkali memiliki fungsi ekspresif, khususnya pada wilayah semantik, maka dengan demikian ia dapat pula dianalisis melalui semiotika. Roland Barthes dalam esainya yang berjudul Musica Practica 1970, menulis bahwa seorang seniman –termasuk musisi, bisa mengalami beberapa tahap perkembangan gaya dalam karirnya. Ia mencontohkan Beethoven, seorang komposer yang dinilainya sebagai musisi pertama yang mencipta dengan bebas. Barthes menggambarkan Beethoven yang terus menerus terdorong untuk bermetamorfosis, dan menggunakan musik yang ia fungsikan sebagai bahasa untuk mencitrakan jati dirinya kepada pendengar. 19 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, h. 243. 16 Dari contoh tersebut, kita bisa mengetahui bahwa karya seni seperti musik, bisa menjadi sebuah pesan yang disadap dari totalitas hidup sang seniman. 20 Lagu-lagu yang ia ciptakan seringkali merupakan jejak-jejak makna yang berisi ide dan karakter sang musisi. Namun seperti teks-teks lainnya, musik dapat diinterpretasi oleh pembaca berdasarkan ranah pemahaman pembaca. Pembacaan dikatakan berhasil apabila sang pembaca tersebut mampu membentuk teks baru dengan mengawinkan elemen-elemen yang dipahaminya. Konsep ini kembali menegaskan konsep Barthes lainnya yakni konotasi, di mana komunikasi adalah suatu proses tafsir di antara subjek-subjek pelakunya. Baik penulis maupun pembaca, sama-sama memproduksi makna berdasarkan nilai-nilai dan pemahaman yang mereka anut. Akibatnya musik pun bisa dimaknai secara konotatif oleh para pendengarnya. Makna yang timbul pun menjadi sangat beragam karena perbedaan budaya di antara para pendengar. Oleh karena itu, orientasi pembacaan karya pengarang tidak hanya ditujukan pada maksud si pengarang, namun diposisikan juga sebagai teks oleh pembacanya. Maka demikian, Roland Barthes juga membedakan antara karya dan teks. Baginya, pengarang adalah subjek yang menciptakan karya, sedangkan ketika karya tersebut pindah ke tangan pembaca maka ia menjadi teks. Teks selalu terbuka dengan aktivitas baca-tafsir maupun semiologi di kalangan pembacanya. Teks juga, seperti kata Barthes, bisa bebas dibaca-tafsir tanpa harus terbebani dengan kekangan makna yang diciptakan oleh 20 Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab,Penulisan dan Pembacaan Kritik Sastra Terj.Yogyakarta: Jalasutra, 2010, h. 155. 17 si pencipta karya. Lebih lanjut bisa dibaca dalam esai Roland Barthes yang berjudul “Kematian Pengarang” dan “Perbedaan antara Karya dan Teks”. 21 Terinspirasi dari pembagian fenoteks dan genoteks seperti yang dilakukan oleh Julia Kristeva, Roland Barthes juga membagi teks lagu menjadi dua, yakni feno-lagu dan geno-lagu. Jika fenoteks adalah segala sesuatu di dalam bahasa yang berfungsi untuk komunikasi, representasi dan ekspresi, serta dapat membentuk nilai-nilai budaya, maka feno-lagu seperti yang diungkapkan oleh Barthes, berkaitan dengan segala sesuatu yang menangani bidang komunikasi, representasi atau ekspresi dari suatu lagu. Feno-lagu juga erat kaitannya dengan endapan-endapan nilai kultural, seperti cita rasa, gaya atau bahkan pikiran kritis dari si pencipta lagu. Sedangkan jika genoteks adalah sarana yang memuat seluruh evolusi historis bahasa dan aneka praktik penandaan 22 , maka geno-lagu adalah aktivitas yang berhubungan dengan produksi, yang melingkupi banyak pertandaan-pertandaan dalam musik. Geno-lagu tidak ada kaitannya sama sekali dengan komunikasi. Karena itulah geno-lagu tidak akan penulis bahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya memposisikan Efek Rumah Kaca sebagai pengarang, namun juga pembaca. Karena bagaimanapun juga, pengarang dan pembaca adalah subjek yang sama-sama membangun makna berdasarkan nilai dan kepentingannya masing-masing. Posisi si pengarang seringkali dipahami berdasarkan produk yang dihasilkannya, padahal ia juga aktif sebagai subjek pembaca atas lingkungan sosial di mana mereka hidup. Dalam menilai suatu karya, alangkah bagusnya jika kita memahami si pengarang terlebih dahulu, 21 Ibid., h. 145 dan 156. 22 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 152.