Pengertian dan Macam-macam Semiotika
38
oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun 1974.
57
Bagi Pierce, semiotika adalah tindakan, pengaruh dan kerja sama dari tanda sign, objek object dan interpretan interpretant.
58
Tanda menurut Pierce, seperti yang dikutip oleh Umberto Eco, adalah segala sesuatu yang ada pada
seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dipahami oleh Pierce dan para pragmatis lainnya, sebagai suatu proses
kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.
59
Sesuatu yang dirujuk oleh tanda itu disebut objek. Sedangkan interpretan dipahami
sebagai tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh tanda.
Hubungan antara ketiga elemen di atas bisa disebut sebagai teori segitiga makna triangle meaning. Ketika ketiga elemen ini berinteraksi dalam benak
manusia, maka munculah makna sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Yang dikupas oleh Pierce dalam teori ini adalah bagaimana makna bisa muncul lewat
sebuah tanda ketika tanda tersebut dipakai oleh manusia pada saat berkomunikasi.
60
Gagasan dari teori Pierce bersifat menyeluruh. Ia melakukan deskripsi struktural atas semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel
dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotika seperti yang maksud oleh Pierce adalah dengan membongkar
bahasa secara keseluruhan seperti seorang ahli fisika yang membongkar suatu zat
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, h. 13.
35
Ibid., h. 109.
36
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4.
37
John Fiske, Cultural and Communication Study: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2004, h. 42.
39
dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaimana semuanya bertemu dalam sebuah struktur.
Dalam tanda, Pierce membagi konsep mengenai qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kualitas, atau ia bisa
menjadi tanda walau belum mewujud. Qualisigns, bisa dibilang adalah tanda- tanda yang berdasarkan suat
u sifat. Contohnya ialah warna „merah‟. Merah memungkinkan dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisign karena
merupakan tanda pada suatu bidang yang mungkin. Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk. Misalnya jika berbentuk
palang maka berarti adalah lambang dari Palang Merah. Sinsigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan aktual. Sinsign,
adalah tanda yang merupakan representasi tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat menjadi
sinsign. Contoh dari sinsign adalah sebuah jeritan yang bisa berarti kesakitan atau ketakutan.
Kemudian terdapat konsep Legisigns. Legisign adalah sesuatu yang berkaitan dengan kaidah atau prinsip. Legisign, adalah tanda-tanda yang
merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi. Lampu lalu lintas sebagai contoh, merupakan sebuah legisign. Kemudian bahasa,
gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya yang sudah disepakati secara umum dan konvensional adalah
merupakan legisign. Dalam objek, dikenal konsep berupa icon, index dan symbol. Icon adalah
sesuatu tanda yang serupa dengan bentuk objeknya. Icon didasarkan pada
40
kemiripan di antara tanda dan objeknya. Contohnya bisa dilihat pada pada gambar atau lukisan. Kemudian index yaitu sesuatu yang memiliki kaitan fisik di antara
tanda dan objek, yang di mana karakternya akan hilang jika tanda atau objeknya dihilangkan. Misalnya seperti suara, bau, gerak dan lain sebagainya. Terakhir,
symbol adalah sesuatu tanda yang merujuk pada objek tertentu, yang terbentuk melalui kaidah-kaidah yang secara umum telah lazim atau murni berasal dari
pemahaman bersama. Contohnya seperti unsur-unsur leksikal di dalam kosakata suatu bahasa.
Kemudian dalam interpretan, terdapat tiga konsep yaitu: rheme, decisign dan argument. Rheme adalah penanda yang berkaitan dengan objek petanda bagi
penafsir. Kedua, decisign yaitu penanda yang menampilkan informasi bagi petandanya. Dan yang ketiga, Argument yaitu penanda yang petanda akhirnya
bukan suatu benda tetapi kaidah. Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss, memaparkan
bahwa tanda lahir ketika terjadi hubungan antara penanda signifier dan petanda signified. Bagi Saussure, kedua hal ini menjadi dasar pembentuk tanda dan tak
dapat dipisahkan satu sama lain. Signifier merupakan citra yang terbentuk dari kognisi pemakai tanda dari suatu bunyi, material, warna dan juga dapat diinderai,
sedangkan signified berkaitan dengan pengertian, konsep atau gambaran mental dalam pikiran kita. Kombinasi dari suatu konsep dan suatu citra bunyi inilah yang
kemudian menghasilkan tanda.
61
Hubungan antara signifier dan signified tersebut
38
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas Yogyakarta: Jalasutra, 2003, h. 30.
41
kemudian dinamakan significaton. Signification secara singkat, seperti menurut John Fiske adalah: upaya dalam memberi makna pada dunia.
62
Pokok-pokok pikiran linguistik Saussure yang utama mendasari diri pada pembedaan beberapa pasangan konsep.
63
Pertama, yaitu konsepnya tentang bahasa langage, dengan pasangan konsep langue dan parole. Kedua, dua jenis
pendekatan dalam linguistik, yaitu sinkronik dan diakronik. Dan yang ketiga, konsepnya tentang tanda dengan pasangan penanda signifier dan petanda
signified. Langue menurut Sobur adalah suatu pengetahuan dan kesadaran yang secara
kolektif dimiliki suatu masyarakat mengenai sesuatu hal, sedangkan parole adalah bahasa yang hidup atau sebagaimana terlihat dalam penggunaannya.
64
Jika langue adalah sistem abstrak yang mendasari linguistik, maka parole lebih memuat
percakapan individu. Parole sesungguhnya adalah penerapan langue dalam kehidupan bermasyarakat.
65
Ahli linguistik dari Swiss ini juga membedakan dua jenis pendekatan dalam linguistik, menjadi sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah pendekatan yang
berkonsentrasi pada keadaan bahasa pada saat tertentu, sedangkan diakronik adalah pendekatan yang berkonsentrasi pada perubahan bahasa dari waktu ke
waktu.
66
Saussure mendefenisikan tanda sebagai sesuatu yang terdiri atas penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, atau
39
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 125.
40
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna Yogyakarta: Jalasutra, 2003, h. 51.
41
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 114.
42
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 28.
43
John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 282
42
mana-suka. Arbitrer di sini bukan berarti jika pemilihan penanda-penanda tersebut sepenuhnya terserah pada si penutur, melainkan bahwa pemilihan tersebut tak
bermotivasi, atau tak berhubungan secara alamiah dengan hal yang ditandai petanda.
67
Sesuatu dapat menjadi tanda apabila ada sistem tanda yang bersifat diferensial. Sebagaimana halnya penanda, petanda pun bersifat diferensial atau
relasional. Saussure pada dasarnya mengusulkan bahwa bahasa bekerja sebagai sistem perbedaan, dimana unsur apapun adalah arbitrer, terdiri atas hal-hal yang
tidak dimiliki oleh sistem lain.
68
Bagi Saussure, hubungan penanda dan petanda ini tidak akan pernah bisa dilepaskan.
Tanda menurut Ferdinand de Saussure juga tersusun atas suatu susunan yang dikenal dengan susunan sintagmatik. Susunan ini bisa diamati secara
langsung, bersifat linier dan mengikuti urutan tertentu. Komponen-komponen dalam susunan ini kemudian saling berhubungan dan membentuk satu makna.
Contohnya dalam kata persatuan, maka kita akan bisa melihat hubungan antara per-, satu, dan
–an. Jika komponen tersebut dibalik, maka tidak akan bisa membentuk makna persatuan.
Hubungan antartanda juga terhubung atas suatu paradigma, sehingga disebut paradigmatik. Misalnya kita lihat dalam hubungan persatuan, bersatu,
menyatukan dan lain sebagainya. Dalam paradigma ini, kata satu menjadi kata dasar, sedangkan unsur-unsur lainnya adalah imbuhan. Perbedaan imbuhan yang
menyebabkan perbedaan makna tersebut, terjadi secara tak langsung dalam ingatan atau secara asosiatif.
44
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 132.
45
Ibid., h. 278.
43
Roland Barthes kemudian melihat adanya kemungkinan yang berbeda dari sifat hubungan signifier penanda dan signified petanda seperti yang digagas
oleh Saussure. Menurutnya, signification juga bergantung pada nilai budaya yang dianut bersama. signified tidak harus selalu berpegang pada signifier yang
dianggap sesuai dengan arti bahasa secara umum dengannya. Tikus misalnya, sebagai sebuah signified, dalam pandangan Saussure, hanyalah seekor binatang
pengerat yang lazim kita lihat. Namun, oleh Barthes, ternyata tikus sebagai signified memiliki kemungkinan lain menjadi signifier yang merujuk pada
ungkapan politisi atau pejabat yang korup. Pandangan Barthes ini berkonsekuensi bahwa tanda pada dirinya selalu
memiliki kemungkinan untuk mendapatkan pemaknaan yang bertingkat. Di tahap awal, kata ujaran atau tulisan tikus memainkan perannya sebagai signified yang
memiliki signifier tertentu di dalam benak. Makna dalam tahap ini, hadir dalam ungkapan lahir tanda yang disebut Barthes sebagai tahap denotasi, yaitu sebutan
untuk makna yang dikenal secara umum. Denotasi mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap,
69
dan sering dikaitkan dengan ketertutupan makna.
Namun, di tahap kedua, signifier tikus yang tertanam dalam benak, dapat keluar kembali menjadi signified. Ia mengambil bentuk signified sebelumnya,
kemudian mengosongkan isi-nya, dan mengisinya kembali dengan bentuk baru signified yang mempunyai kemungkinan signifier yang lain, misalnya sebagai
simbol politisi atau pejabat yang korup. Barthes menamakan tahap ini sebagai tahap konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda
46
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 140.
44
sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.
70
Sejarah pemakaian suatu kata, sangat berpengaruh terhadap munculnya makna dalam konotasi. Dari konotasi inilah kemudian
muncul mitos yang mengakar di masyarakat. Mitos yang dimaksud adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas.
71
Mitos, seperti yang dipaparkan oleh Sobur, adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi di kalangan masyarakat.
Proses signifikasi kedua dalam lapis konotasi ini dapat berlangsung secara terus-menerus. Makna dapat lahir dari signified yang telah disusupi signifier,
dalam rantai pertandaan yang tanpa henti. Tikus sebagai denotasi dimaknai kembali sebagai konotasi tikus tahap pertama, dan konotasi tahap pertama
tersebut dapat lahir lagi dalam konotasi dengan kemungkinan-kemungkinan maknanya yang lain dalam tahap kedua, ketiga, dan seterusnya. Hal ini
sebenarnya sesuai dengan teori dari Umberto Eco yang menyatakan bahwa penerima tanda, selalu bisa memproduksi berbagai tanda baru dalam memaknai
tanda tersebut. Teori tanda dari Roland Barthes sebenarnya hampir sama dengan metode
dekonstruksi dari J. Derrida. Walau Barthes dan Derrida selalu berupaya untuk memperoleh pemaknaan baru dari hubungan penanda-petanda, namun keduanya
memiliki perbedaan yang signifikan. Jika Derrida lebih suka menunda mendekonstruksi hubungan penanda-petanda untuk mendapatkan makna secara
lebih mandiri individual, maka Barthes mengembangkan hubungan penanda- petanda menjadi konotasi yang dimiliki oleh budaya masyarakat tertentu bukan
47
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 12.
48
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
45
individual. Dengan mempelajari konotasi-konotasi inilah, ideologi yang terkandung dalam teks, dan mengandung nilai-nilai dari suatu kebudayaan,
kemudian bisa kita temukan. Teori semiotika Barthes juga sebenarnya adalah teori yang struktural dan dikotomis seperti yang dipaparkan oleh Saussure. Namun
teori dari Barthes tentunya lebih dinamis, terbuka dan memberi kesempatan kepada kognisi atau pikiran manusia untuk lebih berperan aktif dalam hal
interpretasi makna. Dari Roland Barthes, Derrida atau Umberto Eco, kita bisa mengetahui
bahwa kebudayaan adalah objek kajian utama dari semiotika. Dengan semiotika, kita bisa memahami teks media atau kebudayaan secara lebih terstruktur dan
menyeluruh. Sebagai penutup dari tulisan di bab ini, ada baiknya kita menyimak dan merenungkan pendapat dari Danesi dan Perron, seperti yang dikutip oleh
Benny H. Hoed dalam bukunya. Marcel Danesi dan Perron menjelaskan bahwa tujuan semiotika yaitu adalah untuk memahami kemampuan otak kita dalam
memproduksi dan memahami tanda serta juga kegiatan untuk membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia.
72
49
Ibid., h. 21.
46