Gambaran Empirik Posisi Daerah Otonom
b. Gambaran Empirik Posisi Daerah Otonom
Posisi daerah otonom dapat dipahami dari dua dimensi, yakni dimensi relasi dan dimensi substansi. Dimensi pertama berkaitan dengan sifat relasi, yakni apakah bersifat hirarkis atau setara. Sedangkan dimensi kedua berkaitan dengan penentuan isi otonomi, yakni apakah dalam bentuk otonomi formil, otonomi materil, atau otonomi riil, disamping berkaitan dengan cara pelaksanaan kewenangan, yakni apakah menggunakan nilai titik berat otonomi atau menggunakan nilai bersama-sama (concurrent).
Dari dimensi relasi, posisi daerah otonom dapat dibedakan menjadi dua, yakni: posisi terhadap pemerintahan nasional dan posisi antar sesama daerah otonom. Posisi daerah otonom terhadap pemerintahan nasional dalam suatu Dari dimensi relasi, posisi daerah otonom dapat dibedakan menjadi dua, yakni: posisi terhadap pemerintahan nasional dan posisi antar sesama daerah otonom. Posisi daerah otonom terhadap pemerintahan nasional dalam suatu
Terhadap sesama daerah otonom, maka posisi daerah otonom dicermati dari lingkup wilayahnya, yakni yang berlingkup regional dan yang berlingkup lokal. Dalam konteks Indonesia, posisi daerah otonom dihadapkan dengan daerah otonom lainnya dapat dinyatakan sebagai posisi provinsi dihadapkan dengan posisi kabupaten/kota. Sejarah pemerintahan Indonesia, paling tidak mencatat tiga model posisi provinsi dan kabupaten/kota.
UU Nomor 5 Tahun 1974 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah-daerah Otonom dan Wilayah-wilayah Administratif. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. UU ini mengatur bahwa relasi antara Daerah Tingkat I (daerah otonom provinsi) dan Daerah Tingkat II (daerah otonom kabupaten/kota) bersifat hirarkis. UU ini juga menegaskan bahwa asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan prioritas pelaksanaan didasarkan pada pertimbangan efisiensi. Keluhan yang terjadi pada masa pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1974 ini adalah sangat lambatnya penetapan peraturan pemerintah untuk mengatur titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II. Akibatnya, Daerah Tingkat II menjadi sulit untuk berperan maksimal. Selain itu, karena pertimbangan efisiensi yang cenderung dominan menjadikan pelaksanaan dekonsentrasi berlangsung maksimal, dengan implikasi pelaksanaan desentralisasi menjadi bersifat komplementer. Keluhan lainnya adalah Daerah Tingkat II merasa tidak memiliki wilayah kerja yang nyata, karena kecamatan yang membentuk wilayah Daerah Tingkat II merupakan wilayah administarif.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom. UU ini mengatur bahwa Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hirarki. Namun demikian, selain sebagai daerah otonom, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi. Masalah yang dihadapi adalah kurang efektifnya peranan provinsi (baca: Gubernur sebagai wakil pemerintah) dalam melaksanakan kordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap kabupaten/kota. Selain itu, peranan signifikan DPRD cenderung tidak menjamin terwujudnya pemerintahan daerah yang efektif, terutama karena standing position yang tidak setara antara kepala daerah dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan UU tentang pemerintahan daerah yang pertama kali dibuat setelah UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. UU ini tidak secara jelas mengatur hubungan antara Provinsi dan kabupaten/kota: apakah bersifat hirarkis atau tidak. Na u dari pe ggu aa istilah susu a pe eri taha terkesan UU ini masih meneruskan semangat UU Nomor 22 Tahun 1999, yakni tidak ada hirarki antara provinsi dan kabupaten/kota, walaupun di sisi lain juga terkesan telah mengatur bahwa antara provinsi dan kabupaten/kota terdapat hubungan yang implisit hirarkis, yakni hubungan kewilayahan. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan UU ini masih berkaitan dengan kurang efektifnya peranan provinsi (baca: Gubernur sebagai wakil pemerintah) dalam melaksanakan kordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap kabupaten/ kota. Bahkan lebih diperparah oleh dua hal. Pertama, UU Nomor 32 tahun 2004 tidak secara eksplisit menyatakan sifat hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota: apakah bersifat hirarkis atau setara. Kedua, karena gubernur, bupati/walikota sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, maka selain sama- sama merasa memiliki legitimasi yang sama kuatnya, bupati/walikota cenderung mengabaikan peranan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Dari dimensi substansi, daerah otonom dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia memiliki posisi yang berbeda-beda. UU Nomor 1 Tahun 1945 mengatur isi otonomi daerah menurut nilai otonomi formil. Dengan nilai tersebut, daerah memiliki kesempatan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan sepanjang belum diselenggarakan oleh jenjang pemerintahan di atasnya. UU Nomor 22 Tahun 1948 mengatur isi otonomi daerah menurut nilai otonomi materiil. Dengan nilai tersebut, daerah hanya dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang secara terinci diserahkan kepada daerah tersebut. Tiga UU terakhir yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yakni UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 semuanya menggunakan nilai otonomi riil walaupun dengan pemaknaan yang agak berbeda. Dengan nilai tersebut, daerah mempunyai kesempatan untuk diberikan urusan pemerintahan sesuai dengan kemampuannya.
Selain aspek isi otonomi daerah, aspek lain dari dimensi substansi berkaitan dengan cara pelaksanaan kewenangan, yakni apakah menggunakan nilai titik berat otonomi atau menggunakan nilai bersama-sama (concurrent). UU Nomor 5 tahun 1974 menggunakan nilai titik berat otonomi yang diletakkan pada daerah Tingkat II. Tetapi karena sifat hubungan hirarkis antara Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat I, maka titik berat tersebut sangat sulit untuk direalisasikan. Kesulitan tersebut menjadi bertambah besar ketika PP tentang pelaksanaan titik berat otonomi daerah tersebut baru ditetapkan 18 tahun setelah berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974. Selain itu, UU Nomor 5 tahun 1974 hanya menggunakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, dan meniadakan penggunaan prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Implikasinya, titik berat otonomi daerah cenderung beralih pada Daerah Tingkat I, dan secara umum daerah otonom (baik provinsi maupun kabupaten/ kota) semakin kehilangan perannya dalam pembuatan kebijakan lokal yang aspiratif dan kontekstual.
Dengan nilai tersebut, UU Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan nilai titik berat, walaupun bersifat implisit, dengan memungkinkan kabupaten/kota Dengan nilai tersebut, UU Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan nilai titik berat, walaupun bersifat implisit, dengan memungkinkan kabupaten/kota
UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan nilai concurrent. UU ini cenderung menjadikan semua urusan pemerintahan (kecuali 6 urusan pemerintah pusat) dilaksanakan bersama-sama oleh pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Penetapan pelaksana urusan didasarkan pada tiga kriteria, yakni: akuntabilitas, eksternalitas, dan efisiensi. Dalam praktek terjadi tumpang tindih pelaksanaan kewenangan oleh pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.