Cara Pemberian Kewenangan Kepada Daerah

VII. Cara Pemberian Kewenangan Kepada Daerah

Pembicaraan mengenai otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari percakapan mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam konteks bentuk negara Indonesia. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan

ah a Negara I do esia adalah egara kesatua er e tuk repu lik . Ketentuan konstitusionil itu memberikan pesan bahwa negara Republik

Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), dan bukan berbentuk federasi (serikat). Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah), haruslah diletakan dalam bingkai pemahaman negara yang berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut diatas.

Adapun cara pemberian kewenangan kepada daerah adalah sebagai berikut:

a. Formil

Di dalam pengertian otonomi secara formil, tidak ada perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan oleh daerah-daerah otonom. Hal ini berarti apa yang dapat dilakukan oleh negara (Pemerintah Pusat), pada prinsipnya dapat pula dilakukan oleh daerah-daerah otonom.

Bila ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab), hal itu semata-mata disebabkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis, seperti efesiensi penyelenggaraan tugas pelayanan publik. Artinya, pembagian tugas itu tidaklah disebabkan materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan adanya keyakinan bahwa kepentingan daerah-daerah dapat lebih baik dan berhasil (lebih efesien) apabila diselenggarakan sendiri oleh daerah- daerah itu masing-masing daripada oleh Pemerintah Pusat.

Dalam sistem otonomi formil ini, maka tidak terdapat perbedaan sifat materi yang diurus oleh daerah-daerah sebagai masyarakat hukum yang lebih kecil dan negara sebagai masyarakat hukum yang lebih besar. Perbedaan tugas diadakan secara formil dengan memuat bentuk-bentuk peraturan tertentu. Demikian pula, dalam sistem otonomi formil tidaklah secara apriori ditetapkan apa yang termasuk rumah tangga daerah otonom. Tugas dari daerah otonom secara normatif tidak terperinci di dalam undang-undang pembentukannya, melainkan ditentukan dalam suatu rumusan yang umum saja. Rumusan umum itu hanya mengandung asas-asas saja, sedangkan pengaturan yang lebih lanjut diserahkan kepada Pemerimah Daerah. Batasanya tidak ditentukan secara pasti, tetapi bergantung dari keadaan, waktu dan tempat.

Jadi otonomi menurut sistem formil ini batasanya bertitik tolak pada peraturan yang dibuat oleh pemerintahan diatasnya. Artinya pembatasan tersebut adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi tingkatnya (berdasarkan Rangorde Regeling). Dengan demikian Daerah Otonom lebih bebas mengatur urusa ru ah ta gga ya, sepa ja g tidak e asuki area urusa pe eri tah pusat. Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan teori sisa, dimana pemerintah pusat lebih dulu menetapkan urusan-urusan yang dipandangnya lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah daerah. Penetapan sejumlah urusan untuk ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah tersebut, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang diatur oleh pemerintah pusat. Hal esensial Jadi otonomi menurut sistem formil ini batasanya bertitik tolak pada peraturan yang dibuat oleh pemerintahan diatasnya. Artinya pembatasan tersebut adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi tingkatnya (berdasarkan Rangorde Regeling). Dengan demikian Daerah Otonom lebih bebas mengatur urusa ru ah ta gga ya, sepa ja g tidak e asuki area urusa pe eri tah pusat. Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan teori sisa, dimana pemerintah pusat lebih dulu menetapkan urusan-urusan yang dipandangnya lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah daerah. Penetapan sejumlah urusan untuk ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah tersebut, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang diatur oleh pemerintah pusat. Hal esensial

Kondisi demikian dikarenakan pada masa perkembangannya, pemerintah lokal mengurus urusan yang sangat kompleks dan banyak. Makin lama urusan itu sifatnya menjadi sangat tidak sederhana, sehingga untuk menentukan apakah suatu urusan itu menjadi urusan pemerintah pusat menjadi sukar dipisahkan.

b. Materil

Dalam pengertian sistem rumah tangga materil, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas (wewenang dan tangggung jawab) yang eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Artinya, otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu-persatu, jadi bersifat definitif. Hal ini berarti pula, apa yang tidak tercantum dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah, tidak termasuk urusan Pemerintah Daerah Otonom, melainkan urusan Pemerintah Pusat.

Cara penentuan tersebut di atas, didasarkan pada kenyakinan bahwa ada perbedaan tugas yang asasi dalam menjalankan usaha-usaha memajukan kemakmuran dan kesejahteraan antara negara dan daerah-daerah otonom yang lebih kecil. Di sini yang berbeda ialah materi yang menjadi objek pengurusan dan pengaturan dari masyarakat hukum masing-masing tersebut diatas, oleh karena itulah pengertian ini disebut sebagai sistem otonomi materil.

Dalam otonomi materil ini, kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya. Dalam otonomi material ini ditegaskan bahwa untuk mengetahui apakah suatu urusan menjadi urusan rumah tangga sendiri, harus dilihat pada substansinya. Jadi artinya apabila suatu urusan pada substansinya dinilai dapat menajdi urusan pemerintah pusat, maka pemerintah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri pada hakekatnya tidak akan mampu menyelenggarakan urusan tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan pada substansinya merupakan urusan rumah tangga sendiri dari suatu daerah, maka pemerintah pusat meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang berada di daerah (pemerintah pusat di daerah), tidak akan mampu menyelenggarakannya. Kemudian untuk penyelenggaraaan rumah tangga itu objek tugas yang dikuasakan wewenang disebut satu demi satu atau diperinci secara enumeratif dan dalam mewujudkannya masih membutuhkan suatu Peraturan Pemerintah.

c. Riil

Penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang riil dari daerah maupun Pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi.

Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah, dengan memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturnya dan mengurusnya sendiri. Sebaliknya, tugas yang telah menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat ditarik kembali oleh Pemerintah Pusat.

Otonomi riil ini merupakan gabungan antara otonomi formil dan materil. Dalam Undang-Undang pembentukan otonomi ini, kepada pemerintah daerah diberikan wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat Otonomi riil ini merupakan gabungan antara otonomi formil dan materil. Dalam Undang-Undang pembentukan otonomi ini, kepada pemerintah daerah diberikan wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat

Adapun sebagai dasar pertimbangan urusan rumah tangga sendiri atau urusan yang harus diurus oleh Pusat, yakni bagaimana hasil daya gunanya atau apakah hasil daya guna dapat lebih baik menurut keadaan dan kebutuhan di daerah, ternyata kurang efesien dan efektif maka sebaiknya urusan tersebut ditangani oleh pemerintah pusat. Demikian pula sebaliknya, seringkali ada sejumlah urusan yang dalam operasionalisasinya lebih efesien dan efektif jika ditangani oleh pemerintah daerah. Dengan demikian sejumlah urusan yang diserahkan kepada pemerinmtah otonom diharapkan, akan lebih berdayaguna, dibandingkan jika urusan atau dikelola oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi. Sebaliknya ada kemungkinan urusan-urusan yang diurus oleh pemerintah pusat secara riil daya gunanya lebih besar, dibandingkan jika ditangani oleh pemerintah daerah. Oleh sebab itu seyogyanya urusan-urusan tersebut ditangani oleh pemerintah pusat saja.

d. Atribusi, Tribusi, Delegasi dan Mandat

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum Tata negara, atribusi ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.

Secara atribusi wewenang juga dapat diperoleh melalui proses pelimpahan yang disebut : delegasi dan mandat

(1) Delegasi

- Pendelegasian diberikan biasanya antara pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang pemberi wewenang.

- Terjadi pengakuan kewenangan atau pengalihtangan kewenangan -

Pendelegasian tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang dimilikinya karena telah terjadi pengalihan wewenang kepada yang diserahi wewenang.

- Pemberian delegasi tidak wajib memberikan instruksi (penjelasan) kepada yang diserahi wewenang mengenai penggunaan wewenang tersebut namun berhak untuk meminta penjelasan mengenai pelaksanaan wewenang tersebut.

- Tanggungjawab atas pelaksanaan wewenang berada pada pihak yang menerima wewenang tersebut.

(2). Mandat -

Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja antara atasan dan bawahan

- Tidak terjadi pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan dalam arti yang diberi mandat hanya bertindak untuk dan atas nama yang memberi mandat.

- Pemberi mandat masih dapat menggunakan wewenang bilamana mandat telah berakhir.

- Pemberi mandat wajib untuk memberi instruksi (penjelasan) kepada yang diserahi wewenang dan berhak untuk meminta penjelasan mengenai pelaksanaan wewenang tersebut.

- Tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tidak beralih dan tetap berada pihak yang memberi mandat.

Baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun berdasarkan pelimpahan sama-sama harus lebih dahulu dipastikan bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.

Demikian pula wewenang dalam pembentukan Peraturan perundang- Undangan dapat dibedakan antar atribusi dan delegasi. Atribusi terdapat apabila adanya wewenang yang diberikan oleh UUD atau UU kepada suatu badan dengan kekuasaan dan tanggung jawab sendiri untuk membuat/membentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi) menyerahkan kepada suatu badan atas kekuasaan dan tanggung jawab sendiri wewenang untuk membuat/membentuk peraturan perundang-undangan timbul karena :

1. Tidak dapat bekerja cepat dan mengatur segala sesuatu sampai pada tingkat yang rinci

2. Ada tuntutan daripada pelaksanaan untuk melayani kebutuhan dengan cepat berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu.

Dalam suatu organisasi lembaga Negara, umumnya yang terjadi adalah pelimpahan wewenang. Lembaga Negara dibentuk berdasarkan konstitusi yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Berdasarkan atribusi, pimpinan suatu lembaga Negara memiliki wewenang. Kewenangan ini tidak dapat dilaksanakan oleh pimpinan lembaga Negara tersebut karenanya kemudian untuk pelaksanaanya secara teknis dilapangan, pimpinan lembaga Negara tersebut dapat melimpahkan wewenangnya.