Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP

3.2. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hubungan hukum antar individu dengan individu sehingga termasuk hubungan yang diatur oleh hukum perdata, maka pengertian kekerasan tidak diatur di dalamnya. Hal ini berbeda dengan undang-undang hukum pidana yang merupakan hukum publik yang mengatur hubungan individu dengan Negara dimana kekerasan diatur di dalamnya. Meski demikian, ada beberapa ketentuan dalam Undang- undang Perkawinan yang tersirat mengatur tentang kekerasan.

Pada Pasal 24 mengatur tentang pembatalan perkawinan apabila salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan dirinya. Pasal ini sangat erat kaitannya Pada Pasal 24 mengatur tentang pembatalan perkawinan apabila salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan dirinya. Pasal ini sangat erat kaitannya

a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b. adanya kepastian bahwa suami mapu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Apabila syarat-syarat yang tersebut pada Pasal 5 ayat (1) ini tidak dipenuhi, sangat dimungkinkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang menyebabkan keadaan tertekan secara psikologis bagi si istri, bahkan perceraian pun bisa saja terjadi.

Pada Pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Selanjutnya Pasal 39 ayat (2) menentukan bahwa : Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa salah satu alasan perceraian adalah salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain dimana pihak lain yang dimaksud di sini adalah korban yang bisa saja adalah istri.

Alasan-alasan tersebut setidaknya telah mewakili penderitaan istri secara fisik,ekonomi maupun psikologis sehingga ketentuan ini bisa dikatakan hanya melindungi perempuan hanya pada bagian fisik, ekonomi dan psikologisnya saja dengan cara bercerai. Tidak diatur dengan jelas apakah yang dimaksud dengan kekejaman atau penganiayaan berat dalam ketentuan ini termasuk kekerasan seksual.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah undang- undang yang dibuat pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Artinya, Negara Indonesia mengakui dan terikat pada konvensi tersebut. Para perempuan yang menjadi korban, dapat menjadikan undang-undang sebagai senjata pamungkas untuk mendapatkan perlindungan hukum karena undang-undang ini membuat keterikatan Negara Indonesia dengan dunia internasional sehingga apabila perempuan yang menjadi korban tidak mendapat perlindungan hukum, mereka Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah undang- undang yang dibuat pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Artinya, Negara Indonesia mengakui dan terikat pada konvensi tersebut. Para perempuan yang menjadi korban, dapat menjadikan undang-undang sebagai senjata pamungkas untuk mendapatkan perlindungan hukum karena undang-undang ini membuat keterikatan Negara Indonesia dengan dunia internasional sehingga apabila perempuan yang menjadi korban tidak mendapat perlindungan hukum, mereka

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 sebagai undang-undang penjamin HAM warga negara terkait dengan perlindungan perempuan sebagai korban Pasal 17 menentukan bahwa :

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Selain itu, perempuan juga terjamin dan terlindungi haknya secara khusus oleh undang-undang ini karena fungsi reproduksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) berikut :

Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Selanjutnya, terkait dengan perlindungan hukum terhadap perempuan, produk hukum yang terbaru adalah UUPTPO sehubungan dengan semakin tingginya kasus trafficking terhadap perempuan dan anak. Dalam undang- undang ini, setiap tindak pidana diancam dengan pidana yang sangat berat dengan diberikan batas minimal dan maksimal dan bersifat kumulatif atas pidana yang diancamkan, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu, pada beberapa ketentuan pasalnya juga diberinya penambahan 1/3 (sepertiga) Selanjutnya, terkait dengan perlindungan hukum terhadap perempuan, produk hukum yang terbaru adalah UUPTPO sehubungan dengan semakin tingginya kasus trafficking terhadap perempuan dan anak. Dalam undang- undang ini, setiap tindak pidana diancam dengan pidana yang sangat berat dengan diberikan batas minimal dan maksimal dan bersifat kumulatif atas pidana yang diancamkan, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu, pada beberapa ketentuan pasalnya juga diberinya penambahan 1/3 (sepertiga)

Pasal 2 menentukan tentang larangan eksploitasi orang di wilayah Indonesia dengan cara merekrut, mengangkut, mengirim, memindah, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yng memegang kendali atas orang tersebut.

Pasal 3 mengatur tentang larangan membawa masuk orang ke wilayah Indonesia dengan tujuan eksploitasi. Sedang Pasal 4 mengatur tentang larangan membawa warga Negara Indonesia ke luar wilayah Indonesia dengan tujuan eksploitasi. Pada Pasal 12 berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya yaitu memanfaatkan korban. Cara-cara yang digunakan untuk memanfaatkan korban dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya, mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang.

Dalam undang-undang ini memang tidak disebutkan secara konkret siapa korban yang dimaksud. Yang tersebut hanya orang dan anak, tidak disebut secara jelas jenis kelaminnya. Tetapi bila dilihat pada konsideran undang- undang ini, salah satu dasar hukum dibentuknya undang-undang ini adalah UU No. 7 Tahun 1984 mengingat bahwa perdagangan orang, dalam hal ini adalah Dalam undang-undang ini memang tidak disebutkan secara konkret siapa korban yang dimaksud. Yang tersebut hanya orang dan anak, tidak disebut secara jelas jenis kelaminnya. Tetapi bila dilihat pada konsideran undang- undang ini, salah satu dasar hukum dibentuknya undang-undang ini adalah UU No. 7 Tahun 1984 mengingat bahwa perdagangan orang, dalam hal ini adalah

Sebegitu gigihnya pembuat UUPTPO untuk mencapai tujuan undang- undang ini agar pemberlakuan undang-undang ini benar-benar efektif, demi lancarnya proses peradilan dan tercapainya kata ”melindungi segenap bangsa” sebagaimana tersebut dalam Pembukaan UUD 1945, Pasal 55 menyebutkan bahwa selain perlindungan yang telah diatur secara khusus dalam undang- undang ini, bentuk perlindungan juga diperkuat oleh produk hukum lainnya. Menurut Pasal 44, perlindungan terhadap korban diberikan sebelum, selama, dan sesudah proses pemeriksaan perkara. Undang-undang ini juga mengenal istilah verstek sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) bahwa hakim dapat memutus secara verstek untuk mempersempit ruang gerak pelaku yang ingin menghindari proses pemeriksaan.

Selain itu, peran masyarakat sangat mutlak dibutuhkan sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2), bahwa masyarakat dapat berperan serta dengan melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban.

Sehubungan dengan tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga, telah dibentuk UUPKDRT. Dalam Pasal 2 UUPKDRT membatasi ruang lingkup Sehubungan dengan tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga, telah dibentuk UUPKDRT. Dalam Pasal 2 UUPKDRT membatasi ruang lingkup

a. kekerasan fisik;

b. kekerasan psikis;

c. kekerasan seksual; atau

d. penelantaran rumah tangga.

Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal

50 dimana pidana yang diancamkan adalah bersifat alternatif dengan ancaman pidana maksimal yang berbentuk pidana penjara dan pidana denda tanpa menyebutkan ancaman pidana minimal dengan menggunakan kata ”dan/atau”. Artinya, melalui putusan hakim, pelaku bisa mendapat pidana semau yang dimau yaitu pidana seminimal mungkin bahkan bisa jadi pidana penjara bisa diganti dengan pidana denda untuk menghindari rasa malu pelaku. Di sini, uang adalah segalanya sehingga dapat diartikan pula bahwa tindak pidana yang diperbuatnya bisa ditolerir dan cukup dibayarkan sejumlah uang sebagai ganti bentuk pidana denda. Dampak psikologis yang dirasakan korban tidak dapat dibayarkan dengan pidana denda. Trauma dan rasa tidak aman yang dirasakan korban akan terus menghantui bila pelaku masih berkeliaran. Dari bentuk- bentuk kekerasan yang dimaksud Pasal 5 tersebut, setiap tindak pidana yang

berkaitan dengan ketentuan pasal tersebut ancaman pidananya tidak selalu dapat diganti dengan uang mengingat kasus semacam ini akan membawa konsekuensi yang amat serius bagi perempuan secara sosial, ekonomi, maupun psikologis (traumatis, depresi) dan beban yang ditanggung oleh perempuan secara individual maupun keseluruhan dalam hal ini anak dan/atau keluarga sepanjang hidupnya. Ini bukti bahwa hukum belum berpihak pada perempuan sebagai korban. Hukum masih didominasi pemikiran patriarki dan buta gender. Semua ini luput dari perhatian hukum karena hukum tidak antisipatif dengan fenomena sosial yang cepat berubah. Sejumlah pasal memang mampu menjerat pelaku, tetapi di sisi lain substansi dan rumusannya masih merugikan perempuan karena tidak memperhatikan aspek psikologis dan fakta-fakta sosial dari korban.

Kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 356 tidak bersifat delik aduan walaupun tidak disebutkan locus delictinya, hanya karena berdasarkan hubungan darah antara orang tua dan anak ataupun hubungan suami istri. Pengaturan dalam UUPKDRT bersifat delik aduan terhadap perbuatan yang tidak menimbulkan sakit atau luka yang menghalangi korban untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatannya sehari-hari. UUPKDRT ini dibuat dengan maksud sebagai undang-undang hukum pidana yang dibuat untuk melengkapi kekurangan KUHP sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat pada umumnya, perempuan khususnya sebagai korban. Dengan tujuan tersebut di atas, tetapi di sisi lain undang-undang ini bersifat delik aduan, sangat sulit

untuk mencapai tujuan. Walaupun hanya pada beberapa ketentuan (Pasal 51, 52, dan 53) diberlakukan sifat delik aduan, tetapi dampak dari suatu perbuatan yang dilakukan pelaku dimana laki-laki yang mendominasi dalam suatu rumah tangga terhadap perempuan sebagai kaum yang lemah dan selalu harus mengalah, sehingga dirasa masih kurang berpihak undang-undang ini. Sifat delik aduan yang menyebabkan undang-undang ini sangat sulit untuk menjamin perlindungan hukum bagi korban. Perempuan korban KDRT tidak cukup mempunyai keberanian untuk melaporkan atas tindak pidana yang menimpanya sehigga mereka lebih banyak mendiamkan masalahnya dengan lebih banyak “nrimo” menjadi korban karena jenis kelaminnya perempuan.

Seharusnya dengan dibuatnya UUPKDRT sebagai hukum pidana dimana tujuan awal pada umumnya adalah karena belum ada pengaturan khusus dalam KUHP sebagai bentuk jaminan perlindungan sehingga dibentuklah UUPKDRT ini dengan harapan adanya hukum pidana yang baru di luar KUHP akan diaturnya lebih detail sebagimana pengaturan dalam UUPTPO yang mengatur lebih detail seperti percobaan (Pasal 10), permufakatan (Pasal 11), dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

Walaupun dalam Pasal 55 UUPKDRT yang memberi kemudahan kepada korban dengan hanya mensyaratkan 2 dua alat bukti saja, tetapi menjadi sia-sia ketika mengingat tindak pidana dalam undang-undang ini masuk dalam wilayah domestic rumah tangga dan posisi tawar perempuan yang sangat rendah yang membuat enggan perempuan untuk melaporkan masalah rumah tangganya

(tindak pidana yang dialaminya) apalagi beberapa ketentuan tindak pidana ditentukan sebagai delik aduan. Beberapa tindak pidana dalam undang-undang ini yang bersifat delik aduan tersebut adalah sebagai berikut :

- Pasal 51 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) adalah delik aduan; -

Pasal 52 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) adalah delik aduan; -

Pasal 53 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh suami atau istri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 adalah delik aduan.

Tindak pidana dalam Pasal 51 dan 52 bersifat delik aduan karena akibat yang ditimbulkan tidak ada. Padahal tindak pidana adalah tetap tindak pidana karena unsur sengaja. Akibat yang ditimbulkan dari suatu tindak pidana itu hanya sebuah hasil. Tetapi apabila mengingat korban KDRT sebagian besar adalah perempuan yang sangat perasa, akan lebih banyak mengakibatkan efek buruk secara psikis yang bersifat traumatis selain efek buruk lainnya yang tampak secara kasat mata. Dalam KUHP, suatu tindak pidana tetap diancam pidana, apalagi jika perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang buruk akan memperberat ancaman pidananya.

Sedang Pasal 53 UUPKDRT ditentukan sebagai delik aduan adalah sangat tidak adil bagi perempuan. Tidak dapat dijadikan alasan tentang sebuah perkawinan adalah urusan privat sehingga Negara tidak bisa mencampuri

urusan rumah tangga warga negaranya dalam hal ini kekerasan seksual. Tidak dapat disangkal bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di luar perkawinan, tetapi juga terjadi di dalam perkawinan. Marital rape, istilah asing yang biasa dikenal atas kekerasan seksual dalam perkawinan menjadi sulit dijangkau oleh UUPKDRT ketika disifatkan menjadi delik aduan. Negara telah memberikan ruang kebebasan kepada warga negaranya sebagai urusan privat atas suatu perkawinan. Hal ini menambah ciut nyali perempuan untuk mendapatkan keadilan karena sifatnya sebagai delik aduan. Dengan keadaan seperti ini, dapat dikatakan UUPKDRT belum mampu menjamin perlindungan hukum bagi perempuan sebagai korban. Sudah tidak bisa lagi digunakan secara mutlak atas sifat delik aduan bila suatu tindak pidana telah mengancam kepentingan umum. Di Eropa, perkawinan dianggap sebagai kontrak sehingga ketika terjadi suatu perbuatan yang membuat tidak nyaman salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan sadar dan akan menuntut atas perbuatan yang menimpanya. Berbeda dengan Indonesia dimana pola pikir masyarakat Indonesia yang sebagian besar patriarki, memposisikan perempuan lebih rendah dari posisi laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin mempunyai kuasa penuh atas seluruh keluarganya sehingga kekerasan dalam rumah tangga sebagai kawasan domestic atau privat sangat terasa kental . Suatu perkawinan terjadi melalui beberapa prosedur yang harus dilewati dimana dalam prosedur-prosedur tersebut perkawinan tidak hanya terbatas pada 2 (dua) orang saja, antara laki- laki dan perempuan, tetapi melibatkan hubungan keluarga kedua belah pihak, urusan rumah tangga warga negaranya dalam hal ini kekerasan seksual. Tidak dapat disangkal bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di luar perkawinan, tetapi juga terjadi di dalam perkawinan. Marital rape, istilah asing yang biasa dikenal atas kekerasan seksual dalam perkawinan menjadi sulit dijangkau oleh UUPKDRT ketika disifatkan menjadi delik aduan. Negara telah memberikan ruang kebebasan kepada warga negaranya sebagai urusan privat atas suatu perkawinan. Hal ini menambah ciut nyali perempuan untuk mendapatkan keadilan karena sifatnya sebagai delik aduan. Dengan keadaan seperti ini, dapat dikatakan UUPKDRT belum mampu menjamin perlindungan hukum bagi perempuan sebagai korban. Sudah tidak bisa lagi digunakan secara mutlak atas sifat delik aduan bila suatu tindak pidana telah mengancam kepentingan umum. Di Eropa, perkawinan dianggap sebagai kontrak sehingga ketika terjadi suatu perbuatan yang membuat tidak nyaman salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan sadar dan akan menuntut atas perbuatan yang menimpanya. Berbeda dengan Indonesia dimana pola pikir masyarakat Indonesia yang sebagian besar patriarki, memposisikan perempuan lebih rendah dari posisi laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin mempunyai kuasa penuh atas seluruh keluarganya sehingga kekerasan dalam rumah tangga sebagai kawasan domestic atau privat sangat terasa kental . Suatu perkawinan terjadi melalui beberapa prosedur yang harus dilewati dimana dalam prosedur-prosedur tersebut perkawinan tidak hanya terbatas pada 2 (dua) orang saja, antara laki- laki dan perempuan, tetapi melibatkan hubungan keluarga kedua belah pihak,

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai penentuan penting tidaknya sifat delik aduan yang terkait dengan uraian di atas, mengutip pendapat Barda bahwa lembaga perkawinan bukan semata-mata masalah privat dan kebebasan individual, melainkan terkait pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas, minimal kepentingan keluarga, kepentingan kaum dan kepentingan lingkungan. Hubungan perkawinan bukan semata-mata hubungan perjanjian antara individu yang bersangkutan, melainkan juga terkait hubungan kekeluargaan dan kekerabatan kedua belah pihak. Proses perkawinan bukan semata-mata proses individual, melainkan juga proses kekeluargaan, kekerabatan dan bahkan lingkungan 108

sehingga dianutnya delik aduan dalam UUPKDRT adalah sangat tidak adil bagi perempuan. Apalagi, dalam kebijakan tidak ada yang bersifat absolut. Bisa saja

108 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 291.

suatu kebijakan berubah, bergantung pada situasi dan tujuan yang ingin dicapai. 109

Terkait tersebut di atas, Jonkers mengingatkan bahwa 110 : Dari beberapa pihak timbul keberatan terhadap penentuan delik-delik

pengaduan, karena kepentingan perseorangan didahulukan dari pada kepentingan umum dan karena merupakan kewajiban penguasa untuk mendahulukan yang terakhir ini…

Ditambahkan pula oleh Jonkers 111 : …sebaik-baiknya jangan tergesa-gesa menentukan suatu peristiwa

pidana sebagai delik aduan. Meskipun seperti saya katakan delik-delik aduan dalam Kitab Undang-undang kita agak sedikit, saya meragukan apakah pembentuk undang-undang dalam hal ini cukup berhati-hati, terutama karena asas opportuniteit merupakan salah satu corak yang pokok dari hukum acara pidana kita, yang memberi kebebasan pada penuntut umum apabila kepentingan pribadi dan kepentingan umum saling bertentangan, untuk membiarkan suatu perkara supaya tidak dituntut.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa apabila dalam suatu hubungan hukum, titik berat berada pada kepentingan orang per orang (individu), maka kita masih ada di bidang hukum perdata. Apabila hubungan hukum itu titik berat pada kepentingan-kepentingan orang-orang sebagai

109 Ibid. 110 Jonkers, 1987, Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Terjemahan, h. 247. 111 Ibid.

kumpulan orang banyak, maka kita mulai menginjak bidang hukum publik, dimana kita ada kemungkinan menginjak pula pada bidang hukum pidana. 112

Ketika akan diputuskan atas suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu kajian yang mendalam apakah pantas atau tidak untuk ditetapkan sebagai delik aduan mengingat tujuan untuk melindungi “segenap bangsa” dalam hal ini kepentingan umum harus didahulukan berikut dampak positif dan negatif yang ditimbulkan ketika suatu tindak pidana ditetapkan atau tidak sebagai delik aduan. Negara bertanggung jawab atas perlindungan hukum terhadap “segenap bangsa” tersebut sehingga pantas kiranya apabila tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi bersifat privat mengingat kepentingan ini untuk perlindungan hukum terhadap perempuan secara keseluruhan bukan individual.

Bertolak dari uraian di atas, maka dengan adanya kajian ulang terhadap pemberlakuan UUPKDRT melalui kebijakan Hukum Pidana atau pembaharuan hukum pidana dapat dipikirkan kembali atas penentuan sifat delik aduan pada beberapa pasal dalam undang-undang tersebut mengingat tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah melindungi kaum perempuan dan UUPKDRT sebagai salah satu wujud kebijakan Hukum Pidana dimana kebijakan itu sendiri tidak bersifat absolut, tergantung situasi dan tujuan yang ingin dicapai sebagaimana dikemukakan oleh Barda.

112 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 11.

Tidak efektifnya pemberlakuan UUPKDRT ini tidak dapat dijadikan pelindung bagi korban. Maka sebagai gantinya, untuk menjerat pelaku akan digunakan undang-undang lain dalam hal ini KUHP. Sedangkan KUHP tidak mengatur secara lengkap. Untuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal

53 UUPKDRT, KUHP hanya mengatur apabila tindak pidana dilakukan terhadap istri yang diketahuinya belum mampu untuk dikawini atau belum cukup umur dan mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 288 KUHP. Hal ini akan mengigatkan kita pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang pada intinya mengatur tentang ketentuan yang menguntungkan yang berlaku bagi pelaku setelah adanya perubahan.

Dalam UUPKDRT, pembatasan individu terlihat pada latar belakang pembuatan undang-undang ini dibuat. Dalam pertimbangannya disebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Lebih spesifik lagi, disebutkan tentang keharusan perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam hal korban ingin mendapatkan perlindungan dan keadilan atas tindak pidana yang dialaminya, Pasal 26 mengatur bahwa korban dapat melapor atas tindak pidana yang dialaminya secara langsung maupun tidak langsung

yang dikuasakan kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara sebagaimana diatur dalam ayat (2). Namun faktanya, seperti pengalaman peneliti sendiri bahwa orang lain dalam hal ini masyarakat hanya memandang iba dengan kondisi korban seolah-olah korban adalah ’tontonan gratis yang menarik’ dan berpikir atas apa yang menimpa korban termasuk wilayah privat sehingga mereka enggan untuk menolong ataupun memberi support dalam bentuk apapun untuk penyelesaian secara hukum. UUPKDRT seolah-olah melegitimasi apa yang dipikirkan masyarakat. Terbukti pada Pasal 15, peran serta masyarakat hanya terbatas pada :

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

b. Memberikan perlindungan kepada korban;

c. Memberikan pertolongan darurat;

d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Dari sekian banyak peran serta masyarakat dalam penegakan undang- undang ini seolah hanya menjadi pelengkap undang-undang ini karena sifat delik aduan pada undang-undang ini. Ketidakberpihakan UUPKDRT ini tampak sangat jelas bahwa peran serta masyarakat hanya bersifat membantu dalam hal perlindungan terhadap korban. Apa artinya peran serta masyarakat apabila undang-undang ini menganut delik aduan? Sampai kapan batas waktu keikhlasan masyarakat untuk berperan serta dalam hal upaya perlindungan

terhadap korban tanpa dibarengi dengan proses hukum terhadap pelaku? Apalagi pihak keluarga yang lebih cenderung menyalahkan korban yang terkesan menantang atau menimbulkan rangsangan atas terjadinya tindak pidana terhadap diri korban. Apalagi jika korban melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, hanya akan memperuncing masalah. Padahal, korban hanyalah seorang perempuan yang secara biologis lebih lemah dibandingkan laki-laki serta dianutnya sistem budaya patriarki yag lebih mengagungkan posisi laki- laki. Maka sangat mustahil bila perempuan sebagai korban diangap menantang atau memicu terjadinya tindak pidana kekerasan. Bukankah secara fisik perempuan pasti kalah terhadap laki-laki? Belum lagi ditambah adanya hasutan pemikiran dari pihak keluarga untuk tidak memproses tindak pidana yang menimpanya tersebut secara hukum karena hanya akan membuka aib keluarga. Pemikiran ini yang paling menentukan untuk membuat korban bingung. Di satu sisi, korban terdzalimi. Korban sangat ingin mendapat keadilan atas apa yang dialaminya. Namun di sisi lain, baik karena hubungan darah atau pun karena tinggal serumah dengan pelaku, harus bisa menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga dengan tidak melapor tidak pidana yang menimpanya sehingga tampak luar oleh warga masyarakat sekitar, kehidupan keluarga tersebut berjalan rukun dan harmonis. Padahal, sifat delik aduan tersebut hanya pada beberapa ketentuan saja, tidak berlaku untuk semua tindak pidana. Tetapi pemahaman masyarakat termasuk aparat penegak hukum tentang gender terutama tentang pemahaman undang-undang ini kurang karena pengaruh terhadap korban tanpa dibarengi dengan proses hukum terhadap pelaku? Apalagi pihak keluarga yang lebih cenderung menyalahkan korban yang terkesan menantang atau menimbulkan rangsangan atas terjadinya tindak pidana terhadap diri korban. Apalagi jika korban melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, hanya akan memperuncing masalah. Padahal, korban hanyalah seorang perempuan yang secara biologis lebih lemah dibandingkan laki-laki serta dianutnya sistem budaya patriarki yag lebih mengagungkan posisi laki- laki. Maka sangat mustahil bila perempuan sebagai korban diangap menantang atau memicu terjadinya tindak pidana kekerasan. Bukankah secara fisik perempuan pasti kalah terhadap laki-laki? Belum lagi ditambah adanya hasutan pemikiran dari pihak keluarga untuk tidak memproses tindak pidana yang menimpanya tersebut secara hukum karena hanya akan membuka aib keluarga. Pemikiran ini yang paling menentukan untuk membuat korban bingung. Di satu sisi, korban terdzalimi. Korban sangat ingin mendapat keadilan atas apa yang dialaminya. Namun di sisi lain, baik karena hubungan darah atau pun karena tinggal serumah dengan pelaku, harus bisa menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga dengan tidak melapor tidak pidana yang menimpanya sehingga tampak luar oleh warga masyarakat sekitar, kehidupan keluarga tersebut berjalan rukun dan harmonis. Padahal, sifat delik aduan tersebut hanya pada beberapa ketentuan saja, tidak berlaku untuk semua tindak pidana. Tetapi pemahaman masyarakat termasuk aparat penegak hukum tentang gender terutama tentang pemahaman undang-undang ini kurang karena pengaruh

Berbeda dengan UUPTPPO yang bersifat mutlak, tidak bersifat delik aduan. Keadaan ini akan menjadi celah yang sangat menguntungkan pelaku untuk menghindari ancaman pidana yang lebih berat ketika korban UUPTPPO masuk dalam lingkup rumah tangga mengingat ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menegaskan tentang ketentuan yang menguntungkan yang berlaku bagi pelaku..

UUPKDRT tidak menyebut pengaturan tentang penyertaan dan pembantuan. Atas ketiadaan pengaturan tentang hal-hal tersebut, maka ketentuan dalam KUHP yang akan berlaku sebagai dasar hukumnya. Berbeda halnya dengan UUPTPPO yang mengatur semuanya sebagaimana halnya dengan KUHP. Mulai dari pembantuan, aktor intelektual, permufakatan, peniadaan pidana terhadap pelaku, tata cara peradilan yang lebih menguntungkan korban, penambahan pidana tambahan sampai pada keikutsertaan masyarakat untuk melaporkan adanya tindak pidana.

UUPKDRT mengatur kekerasan seksual dalam pemberian pidana berbeda dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Pada Pasal 47 dan 48, ancaman pidananya diberi batasan minimal dan maksimal walaupun masih tetap bersifat alternatif dengan penggunaan kata “atau”. Seharusnya pemberian batasan mimal dan maksimal tersebut berlaku terhadap semua ketentuan pidana untuk menghindari pengenaan pidana yang terlalu rendah sehingga diharapkan ada rasa aman dan UUPKDRT mengatur kekerasan seksual dalam pemberian pidana berbeda dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Pada Pasal 47 dan 48, ancaman pidananya diberi batasan minimal dan maksimal walaupun masih tetap bersifat alternatif dengan penggunaan kata “atau”. Seharusnya pemberian batasan mimal dan maksimal tersebut berlaku terhadap semua ketentuan pidana untuk menghindari pengenaan pidana yang terlalu rendah sehingga diharapkan ada rasa aman dan

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, bisa jadi dibentuknya UUPKDRT hanya sekedar pajangan mengingat pasal 1 ayat (2) KUHP menentukan : Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan.

Boleh jadi ancaman pidana dalam UUPKDRT sangat tinggi tetapi ancaman pidananya ditentukan dengan batas maksimal saja dan bersifat alternatif, maka ketentuan-ketentuan tersebut bisa menjadi celah bagi pelaku untuk menghindari ancaman pidana maksimal yang begitu tinggi pada UUPKDRT walaupun keputusan penjatuhan pidana sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Hanya beberapa ketentuan saja yang ancaman pidananya ditentukan batasan minimal dan maksimalnya, yaitu pada Pasal 47 dan 48, tetapi tetap bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda. Dengan ditentukannya batasan minimal dan maksimal pada ancaman pidana, sangat jelas akan kepastian hukumnya, setidaknya ada efek jera bagi pelaku atau Boleh jadi ancaman pidana dalam UUPKDRT sangat tinggi tetapi ancaman pidananya ditentukan dengan batas maksimal saja dan bersifat alternatif, maka ketentuan-ketentuan tersebut bisa menjadi celah bagi pelaku untuk menghindari ancaman pidana maksimal yang begitu tinggi pada UUPKDRT walaupun keputusan penjatuhan pidana sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Hanya beberapa ketentuan saja yang ancaman pidananya ditentukan batasan minimal dan maksimalnya, yaitu pada Pasal 47 dan 48, tetapi tetap bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda. Dengan ditentukannya batasan minimal dan maksimal pada ancaman pidana, sangat jelas akan kepastian hukumnya, setidaknya ada efek jera bagi pelaku atau

Bertolak dari uraian di atas sehubungan dengan ditentukannya batasan maksimal saja pada ancaman pidana, berlaku delik aduan serta kurangnya peran aktif masyarakat, sangat jelas UUPKDRT lebih memihak pada laki-laki sebagai pelaku. Wajar apabila banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi dark number. Pada satu sisi, perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban dengan adanya UUPKDRT ini terjamin, tetapi faktanya undang-undang ini belum dapat melindungi korban dengan banyak berpihaknya undang-undang kepada laki-laki sehingga sulit sekali undang-undang ini untuk menjerat pelaku dalam artian perempuan sebagai korban benar-benar terjamin secara hukum atas perlindungan dirinya. Hal ini akan sangat membingungkan padahal asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP masih berlaku sampai detik ini. Semakin terkatung-katung tindak pidana yang menimpa perempuan. Akan semakin terlunta-lunta nasib perempuan sebagai korban dan terjadinya tingkat keseriusan yang tinggi atas tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang lumrah. Di sini perlu kiranya kita mengingat pada suatu asas hukum pidana yaitu asas culpabilitas, adalah asas yang menentukan tentang tiada pidana tanpa kesalahan, sebagai pasangan asas legalitas untuk mewujudkan ide keseimbangan (ide monodualistik). Pandangan monodualistik ini dikenalkan dengan istilah daad-daderstrafrecht yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi objektif dari pembuatan (daad) dan juga segi-segi subjektif dan Bertolak dari uraian di atas sehubungan dengan ditentukannya batasan maksimal saja pada ancaman pidana, berlaku delik aduan serta kurangnya peran aktif masyarakat, sangat jelas UUPKDRT lebih memihak pada laki-laki sebagai pelaku. Wajar apabila banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi dark number. Pada satu sisi, perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban dengan adanya UUPKDRT ini terjamin, tetapi faktanya undang-undang ini belum dapat melindungi korban dengan banyak berpihaknya undang-undang kepada laki-laki sehingga sulit sekali undang-undang ini untuk menjerat pelaku dalam artian perempuan sebagai korban benar-benar terjamin secara hukum atas perlindungan dirinya. Hal ini akan sangat membingungkan padahal asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP masih berlaku sampai detik ini. Semakin terkatung-katung tindak pidana yang menimpa perempuan. Akan semakin terlunta-lunta nasib perempuan sebagai korban dan terjadinya tingkat keseriusan yang tinggi atas tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang lumrah. Di sini perlu kiranya kita mengingat pada suatu asas hukum pidana yaitu asas culpabilitas, adalah asas yang menentukan tentang tiada pidana tanpa kesalahan, sebagai pasangan asas legalitas untuk mewujudkan ide keseimbangan (ide monodualistik). Pandangan monodualistik ini dikenalkan dengan istilah daad-daderstrafrecht yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi objektif dari pembuatan (daad) dan juga segi-segi subjektif dan

(kesalahan). Atas dasar perbuatan-perbuatan yang telah dikriminalisasi yang kemudian diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai bentuk asas culpabilitas, maka asas legalitas sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dapat benar-benar menjamin perlindungan perempuan sebagai korban.

Terkait dengan asas legalitas, Niken Savitri mengemukakan dalam bukunya HAM Perempuan : Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, bahwa teori hukum (khususnya Common Law Theory) atau positivisme hukum cenderung patriarkhal atau didukung oleh ideologi maskulin mungkin tidak terlihat secara eksplisit. 114 Pendapatnya tersebut dikuatkan dengan beberapa argumen berikut :

Pertama, secara empiris dapat dikatakan bahwa hukum dan teori hukum adalah domain laki-laki. Atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa laki-laki yang menulis hukum dan teori-teori hukum. Hal ini tampak dari para ahli teori hukum yang mengemukakan teorinya, yang hampir keseluruhan dari mereka adalah laki-laki. Dengan demikian penulisan dan hasil pemikiran para ahli pikir hukum yang hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki itu langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya. Atau dengan

113 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 108.

114 Niken Savitri, 2008, Op.cit., h. 81.

kata lain, teori-teori tersebut dihasilkan melalui kerangka berpikir dan berdasarkan sudut pandang dari laki-laki pula.

Kedua, hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori hukum adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Laki-laki telah membuat dunia hukum melalui imaji mereka dan mempertanyakannya dengan kebenaran yang menurut mereka absolut. Apa yang kemudian muncul dari nilai-nilai maskulin, itula yang mendominasi dan mewarnai masyarakat dan akhirnya hukum serta apa yang dihasilkan oleh hukum. Kemudian permasalahan muncul, yaitu yang berkaitan dengan kelompok yang terpinggirkan dan pembuat keputusan dan teori-teori hukum tersebut (dalam hal ini perempuan). Permasalahan juga muncul pada nilai-nilai yang ada pada sistem dan budaya yang diterapkan oleh kelompok- kelompok tertentu tersebut. 115 Apabila suatu produk hukum yang dibuat mengandung nilai-nilai tertentu yang secara kultural melekat pada laki-laki, maka tidak heran hukum tersebut akan berbicara atau lebih banyak berpihak pada laki-laki.

Ketiga, secara tradisional teori hukum adalah patriarki karena sering berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum. Hukum itu sendiri tidak netral dan kenyataan bahwa hukum dapat digunakan oleh orang yang berpengalaman pertimbangan bagi pembuat hukum. 116 Juga tidak menjadi pertimbangan bahwa banyak orang dalam banyak kasus dipengaruhi pesan

115 Margaret Davies, 1994, Asking the Law Question, The Law Book Company Limited, h. 167. 116 Ibid.

tertentu dari hukum dan kultur yang ada, sehingga hanya kekuatan dari ideologi yang besar saja yang dapat memenangkan persengketaan dan berpengaruh pada pesan tersebut. Hal ini menjadi relevan manakala seorang perempuan berhadapan dengan laki-laki dalam sebuah sengketa hukum, akan berpihak pada kelompok dari mana ideologi hukum itu berasal. Hal ini juga akan nampak manakala seorang penegak hukum (bisa laki-laki maupun perempuan) menerjemahkan pesan hukum tersebut kepada seorang korban perempuan, dengan memaknainya dari sudut pandang laki-laki dan bukan sudut pandang perempuan sebagai korban. 117

Lebih sederhana, adanya bias patriarki pada hukum, menurut beberapa feminis disebabkan oleh berbagai hal, antara lain biologis, budaya, dan kekuasaan. Catherine Mac Kinnon memberikan teori atas kritiknya dengan mendasarkan pada difference and dominance :

“…difference theory maintains that law disadvantages women because it derives from male through and experience. Dominance theory assert that

male bias in law results from men subjection of women.” 118

Hal tersebut di atas berjalan pula dengan apa yang dikemukakan oleh Dworkin yang diikuti oleh Wayne Morrison tentang adanya politik dalam

117 Niken Savitri, 2006, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Perempuan dan Hukum, Convention Watch UI bekerja sama dengan NZ AID, Yayasan Obor.

118 Catherine Mac Kinnon, 1987, Feinism Unmodified, Harverd University Press, h. 33-34.

proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dominan. Yaitu bahwa setiap sistem hukum merupakan ekspresi dari filsafat hukum yang dominan yang juga merupkan kesatuan dan sangat berpengaruh pada sistem hukum tersebut. 119 Lebih lanjut menurut Dworkin :

“…this philosophy is expressed in the values and traditions of the law and is worked out daily in the practice of developing law and deciding cases – it is not a parely academic philosophy. The political system is also made up of legal principles and these express the dominant political values of

the system.” 120

Dworkin juga mengatakan bahwa pembangunan hukum ini dipengaruhi oleh kebijakan, namun kebijakan adalah kekuatan internal yang ada di dalam proses legislasi. Kebijakan legislasi yang dipengaruhi oleh suatu nilai yang dominan akan secara implisi mewarnai kebijakan tersebut. Apabila kemudian kebijakan tersebut berhadapan dengan kelompok yang bertentangan, maka warna kebijakan tersebutlah yang akan mendimanasi dan berpengaruh pada tata kerja kebijakan tersebut.

Menurut Anthon Freddy, rumusan atau teks perundang-undangan setelah memiliki makna akan kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi.

119 Wayne Morrison, 1994, Elements of Jurisprudence, International Law Book Services, h. 208. 120 Ibid.

Rumusan tersebut diyakini oleh para positivist sebagai suatu yang diturunkan dari kebenaran yang bersifat hipotesis. 121 Berdasarkan pemikiran itu, para

penegak hukum akan menerapkannya pada kasus konkret berdasarkan makna yang sudah dibakukan dalam rumusan dan teks tersebut. Digunakannya positivisme hukum sebagai dasar landasan pengundangan dan pelaksaan suatu peraturan, maka negara akan ‘terpaksa’ menafikan adanya kebutuhan peradilan secara khusus yang dibutuhkan oleh kelompok tertentu. Karena positivisme mengandaikan hukum secara liberal klasik yang menganggap kumpulan masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak

yang sama. 122 Dengan demikian, karena masyarakat dianggap homogen, memiliki otonomi dan hak yang sama, hukum harus dapat berlaku objektif dan

netral kepada setiap individu dalam masyarakat tersebut. Namun yang terlupakan oleh adanya konsekuensi logis tersebut di atas adalah proses perumusan hukum yang netral dan objektif tersebut dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki pola pikir yang seragam, yaitu pola pikir patriarki sehingga hukum yang akan dihasilkan akan memotret pola pikir tersebut ke dalam realitas rumusan dan pelaksanaannya yang ternyata membuahkan ketidakadilan bagi sekelompok lainnya yang tidak mendominasi pola pikir pembuatan hukum. Ketika hukum harus dilaksanakan secara netral dan objektif,

121 Anthon Freddy Susanto, 2000, Semiotika Hukum, dari Dekontruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, h. 182. 122 Donny Danardono, 2006, Teori Hukum Feminis, Menolak Netralis Hukum, Merayakan Difference dan AntiEssensialisme, dalam Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif

Kesetaraan dan Keadilan, Convention Watch-Yayasan Obor, akarta, h. 6.

hasilnya adalah ketidakadilan bagi kelompok yang tidak terwakili secara dominan dalam perumusan tersebut yang dalam hal ini adalah kelompok perempuan.

Selain diatur dalam undang-undang hukum pidana, perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan juga diatur dalam KUHPerdata. Hak-hak korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan dasar hukum Pasal 1365, 1370, 1371 BW. Korban yang dimungkinkan mendapat ganti kerugian dari hakim pidana bilamana hakim menetapkannya sebagai syarat dalam suatu putusan pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf c KUHP. 123

Dalam KUHAP pun juga diatur tentang hak korban untuk mengajukan gugatan ganti kerugian dengan memohon penggabungan perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 sampai 101.

123 Mardjono Reksodiputro, 1979, Mengapa Dperlukan Viktimologi, Makalah, Jakarta, h. 6.

BAB IV

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA