Pengertian kekerasan secara umum

2.1.1. Pengertian kekerasan secara umum

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti : 62

1. perihal yang bersifat, berciri keras;

2. perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;

3. paksaan.

Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umunya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka. 63 Sebagaimana yang didefinisikan

oleh Kandish Sanford 64 bahwa :

62 Kamus Bahasa Indonesia, 1988, h. 425. 63 Mansour Fakih, 1997, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender (Perempuan dalam

Wacana Perkosaan), PKBI, Yogyakarta, h. 6.

64 Kandish Sanford, et.al., 1983, Encyclopedia of Criminal Justice, Collier Macmillan, h. 1618.

”All type of illegal behavior, or either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of on individual”.

Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encyclopedia of Crime and Justice mendefinisikan “Violence” 65 sebagai :

“…a general term referring to all types of behaviour, either threatened or actual, that result in or are intended to result in the damage or destruction of property or the injury or death of an individual.

Bertolak belakang dari latar belakang diatas, nampak bahwa kekerasan atau violence menunjuk kepada tingkah laku yang pertama harus bertentangan dengan undang-undang, tidak dibedakan dalam jenis- jenisnya secara khusus baik berupa ancaman saja maupun merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik, atau menyebabkan kematian pada seseorang. Maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan, seperti layaknya terdapat dalam delik material. Definisi ini sangat luas sekali, karena menyangkut pula perbuatan “mengancam” di samping suatu tindakan nyata.

65 Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol. 4, The Free Press, A Division of Macmillan Inc.

La violencia di Kolombia, the vendetta barbaricana di Sardinia, Italia, la vida vale nada (life is worth nothing) di El Safador, 66 violence

dalam bahasa Inggris berarti kekerasan, kehebatan, kekejaman. Secara etimologi, kata ”violence” merupakan gabungan dari kata ”vis” yang berarti daya atau kekuatan dan ”latus” yang berasal dari kata ”ferre” yang berarti membawa. Jadi, kekerasan adalah tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik

maupun non fisik 67 , atau dapat juga diartikan sebagai suatu serangan atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. Seperti

yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander yang dikutip oleh Rika Saraswati, bahwa : 68

”In general, violence is aggresive behavior with the intent to cause harm (physical or psychological). The word intent is central; physical or psychological harm that occurs by accident, in the absence of intent, is not violence.”

Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh

B. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri,

John Hagan, 1987, Modern Criminology, Crime, Criminal Behavior and Its Control, McGraw Hillbook Com., Singapore, h. 181.

67 Romli Atmasasmita, 1988, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, h. 55.

68 Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13.

dapat diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor penentu 69 yaitu :

a. Adanya penggunaan kekerasan, dan

b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan dengan orang lain.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo kekerasan terhadap perempuan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam sistem hukum, termasuk aparat hukum dan budaya hukum yang ada di masyarakat Indonesia karena pemaknaan kekerasaan atau persepsi mengenai tindak kekerasan yang ada di dalam masyarakat. 70

Berbeda dengan pengertian kekerasan yang dikemukakan oleh Jerome Skolnick : ”violence is... an ambigious term whose meaning is established through political process.” 71

Dari pendapat Alan Weiner, Zahn dan Sagi yang mencoba merumuskan unsur-unsur kekerasan sebagai :

69 Sagung Putri M.E. Purwani, Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, dalam Kerta Patrika, 2008, Vol. 33 No. 1, Januari, h. 3.

70 Harkristuti Harkrisnowo, 2000, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan, KKCW- PKWJ UI, Jakarta, h. 79.

71 Ibid.

”...the threat, attempt, or use of physical force by one or more presons that result in physical or nonphysical harm to ne or more

that preson...” 72 Pendapat tersebut di atas memperlihatkan bahwa makna

kekerasan memang tidak terlepas dari konsep yang dimiliki oleh masyarakat dan bahwa konsep itu hanya dibatasi pada kekerasan fisik saja, sementara dalam kenyataannya masih ada konsep kekerasan lain yang berakibat pada perempuan sebagai korban.

Dalam Encyclopedia of Feminist Theories, “Violence” 73 diartikan sebagai :

“…feminist have encompassed a much wider domain, including physical, sexual and psychological or emotional abuse commited against persons, harmful cultural practices and in some contexts, damaging words and images.”

Kekerasan terhadap perempuan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan kepada perempuan yang memunculkan akibat psikis berupa perasaan tidak nyaman dan bahkan perasaan takut hingga akibat berupa pelukaan fisik. Definisi ini sedemikian luasnya sehingga meliputi mulai dari pelecehan

72 Ibid. 73 Encyclopedia of Feminist Theories, 2004, edited by Lorraine Code, Routledge, London-New

York, h. 482.

seksual berupa siulan atau godaan terhadap perempuan, hingga pembiaran oleh Negara pada kondisi perempuan sebagai warga negaranya yang menjadi korban kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan, lebih spesifik lagi sering dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal itu disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan adanya ketimpangan gender karena adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah.

Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa di antara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan

tersebut. 74 Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah

sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan,

74 Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas”, 74 Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas”,

Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan gender-related violence mempunyai macam dan bentuk kejahatan 76 , diantaranya :

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun kultural.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap negara dan masyarakat selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkap mereka, tetapi di lain pihak negara juga menaruik pajak dari mereka. Selain itu, masyarakat selalu memandang rendah perlacur sebagai sampah masyarakat sementara tempat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang, terutama laki-laki.

75 Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 12. 76 Ibid., h. 20.

Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan nonfisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya bukan saja pada perempuan, melainkan berasal dari kaum laki-laki juga.

Ketujuh, kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh peremuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan atau di tempat umum.

Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual sangat relatif karena sering tindakan tersebut merupakan usaha untuk bersahabat, tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat karena tindakan tersebut merupakan hal tidak menyenangkan bagi perempuan.

Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan 77 :

1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan bahwa dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan misalnya. Sehingga ketika di hadap jaksa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.

77 Zaitunah Subhan, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, h. 14-15.

2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib nagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan.

Rika Saraswati melalui hasil penelitiannya di Rifka Annisa Women’s Crisis Centre Yogyakarta, bahwa terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena faktor gender dan patriarki, relasi kuasa yang

timpang, dan role modelling (perilaku hasil meniru). 78 Gender dan patriarki akan menimbulkan relasi kuasa yang tidak setara karena laki-

laki dianggap lebih utama daripada perempuan berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya termasuk istri dan anak-anaknya. Anggapan bahwa istri milik suami dan seorang suami mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan.

Sementara itu Aina Rumiati Azis menambahkan faktor cara pandang atau pemahaman terhadap agama yang dianut. Berikut faktor- faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dikemukakan oleh Aina Rumiati Azis 79 :

78 Rika Saraswati,Op.cit., h. 20. 79 Aina Rumiati Aziz, 2002, “Perempuan Korban Di Ranah Domestik”, www.indonesia.com , h.

1. Budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk interior.

2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.

3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya.

Fathul Djannah lebih memperinci faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga 80 sebagai berikut :

1. Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.

2. Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.

3. Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.

4. Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.

5. Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

6. Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Tak beda jauh, Sukerti berpendapat tentang faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penelitiannya, ditemukan tambahan faktor baru 81 sebagai berikut :

80 Fathul Djannah, et al, 2002, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta, LKIS, h. 51. 81 Ni Nyoman Sukerti, 2005, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga : Kajian dari

Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus Di Kota Denpasar), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, h. 84.

1. Karena suami cemburu.

2. Suami merasa berkuasa.

3. Suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi tanpa ijin.

4. Ikut campurnya pihak ketiga (mertua).

5. Suami memang suka berlaku kasar (faktor keturunan).

6. Karena suami suka berjudi.

Dari beberapa faktor penyebab terjadi kekerasan terhadap perempuan seperti telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan adalah budaya patriarki. Budaya patriarki ini mempengaruhi budaya hukum masyarakat.