Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Hukum terhadap Perempuan pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa Mendatang

4.2. Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Hukum terhadap Perempuan pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa Mendatang

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya sebagaimana diungkap oleh Soetoprawira Korniatmanto bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Sebagaimana diungkapkan oleh Sudarto bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminil atau ”social defence planning” yang ini pun harus merupakan bagian integral dari

rencana pembangunan nasional. 126 Politik kriminil sendiri adalah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh

masyarakat, sebagaimana pendapat Marc Ancel yang menyebutnya sebagai ”the rational oganization of the control of crime by society” 127 , dimana tujuan akhir

dari kebijakan kriminil adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama dengan berbagai istilah yaitu kebahagiaan warga masyarakat/penduduk (happiness of citizens); kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living); kesejahteraan masyarakat (social welfare); atau keseimbangan (equality). 128

Untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam politik kriminil, menurut Muladi dan Barda, yang perlu dilakukan adalah : 129

126 Sudarto I, Op.cit., h. 104. 127 Marc Ancel, Op.cit., h. 209. 128 Summary Report dari 34 th International Training Course yang diselenggarakan oleh

UNAFEI di Tokyo, 1973. 129 Muladi dan Barda N. Arief, 1998, Op.cit., h. 158-159.

1. Pendekatan Integral antara kebijakan penal dan non penal Selain menggunakan sarana ”penal” (hukum pidana), juga digunakan sarana ”non penal” dengan melakukan usaha-usaha memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dikemukakan juga bahwa sarana ”non penal” ini mempuyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang diintensifkan dan diefektifkan sehingga kegagalan dalam usaha ini akan sangat berakibat fatal. Maka suatu kebijakan kriminil harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.

2. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum pidana Dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal, perlu dilakukan penentuan tentang :

1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2) sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Hal tersebut di atas senada dengan apa yang telah dibahas dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus

tahun 1980 di Semarang sebagai berikut : 130 Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan

haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-niali fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut dan tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana teori-teori hukum yang telah tersebut pada Bab I, mengenai cost-benefit principle dan overbelasting yang dikemukakan Sudarto sebagai masalah kriminal yang perlu diperhatikan bila menggunakan pendekatan yang berorientasi kebijakan sosial, sejalan dengan apa yang disebut faktor penentuan kriminalisasi dan dekriminalisasi oleh Bassiouni. Apa yang disebut Sudarto sebagai cost-benefit principle dimana penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil, Bassiouni lebih memperjelasnya sebagai analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari. Sedangkan yang dimaksud overbelasting oleh Sudarto adalah penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja badan-badan penegak hukum, Bassiouni menjabarkannya sebagai keseimbangan sarana yang digunakan untuk hasil dicari atau ingin dicapai

130 Ni Wayan Werda Surya dewi, 2009, Kebijakan Hukum Pidana terhadap Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis, Program Pasca Sarja Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana, Denpasar, h. 50.

dan penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber tenaga manusia. Faktor terakhir Bassiouni adalah pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

Menurut Bassiouni, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu ”scientific device” dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan secara emosional diorientaikan pada pertimbangan nilai (the emosionally laden value juggement approach) yang umumnya dilakukan oleh badan legislatif. Namun sayangnya sangat lamban dilakukan karena permasalahan pada sumber-sumber keuangan. Proses kriminalisasi pun terus berjalan tanpa didasarkan pada penilaian- penilaian yang teruji dan tanpa evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, sehingga mengakibatkan krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminalization) dan krisis pelampauan batas dari hukum

pidana (the crisis of overreach of the criminal law). 131 Krisis kelebihan kriminalisasi dan krisis pelampauan batas dari hukum pidana yang tersebut

oleh Bassiouni ini adalah dampak yang paling nyata tidak efektifnya suatu produk hukum.

131 M. Cherif Bassiouni, Op.cit., h. 82-84.

Konsep perlindungan masyarakat ini pun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional seperti yang diungkapkan oleh J. Andenaes

berikut : 132 If one bases the penal law on the concept of social defence, the task

will then be to develop it as rationally as possible. The maximum of result must be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and the effectiveness of the various forms of sanction.

Artinya, pendekatan kebijakan yang rasional ini menggunakan atau sangat erat kaitannya dengan prinsip ekonomi, yaitu menggunakan biaya serendah mungkin dengan harapan yang semaksimal mungkin. Yang dimaksud prinsip ekonomi di sini adalah biaya yang ditanggung masyarakat diupayakan seminimal mungkin dengan harapan hasil semaksimal mungkin dalam hal efektivitas pengenaan sanksi pidana sebagaimana diungkapkan Ted Honderich bahwa sanksi pidana yang dibuat harus efektif atau alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents).

Ditambahkan oleh Bassiouni, tujuan yang ingin dicapai oleh pidana yang pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-niai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan- kepentingn sosial tersebut adalah :

a.Pemeliharaan tertib masyarakat;

132 J. Andenaes, 1974, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press, h. 60.

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; c.Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan- pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. 133

Pendapat Bassiouni di atas sangat cocok dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk ”manusia Indonesia

seutuhnya” 134 . Tidak dapat kita pungkiri bahwa kejahatan selalu mengancam kehidupan kita. Di samping merupakan masalah kemanusiaan, kejahatan

merupakan masalah sosial yang diistilahkan Marc Ancel sebagai ”a human and social problem” 135 , Benedict S. Alper menganggap sebagai ”the oldest

social problem” 136 , bahkan Packer menganggap sebagai masalah kebijakan (the problem of policy 137 ).

Salah satu cara menanggulangi masalah kemasyarakatan yang tertua ini adalah dengan menggunakan hukum pidana beserta sanksinya yang berupa pidana. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai

133 M. Cherif Bassiouni, Op.cit., h. 78 134 Muladi dan Barda II, Op.cit., h. 167. 135 Marc Ancel, Op.cit., h. 99. 136 Benedict S. Alper, Changing Concept of Crime Criminal Policy, UNAFEI No. 6/1973, h.

H.L. Packer, Op.cit., h. 3.

salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itu pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.

Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif, begitu pendapat

Muladi dan Barda 138 . Dengan demikian masalah pengendalian atas penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan

hanya merupakan problem sosial seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy). 139

Tetapi penggunaan hukum pidana beserta sanksinya dalam menanggulangi masalah sosial tertua ini menjadi sangat penting. Roeslan Saleh mengemukakan tiga alasan atas perlunya pidana dan hukum pidana sebagai berikut : 140

a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan

138 Muladi dan Barda II, Op.cit., h. 167. 139 Ibid., h. 149.

140 Ibid., h. 153.

terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

Dari ketiga alasan tersebut, Roeslan Saleh tetap mempertahankan pidana dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan sudut tujuan, fungsi dan pengaruh dari (hukum) pidana itu sendiri. Packer juga membahas masalah pentingnya pidana dalam bukunya “The Limit of Sanction” sebagaiman telah disebut pada Bab I.

Sebagaimana diketahui bahwa ancaman pidana penjara pada UUPKDRT hanya menyebutkan ancaman maksimal ditambah pidana denda yang bersifat alternatif, kecuali pada tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini akan memberi peluang terjadinya putusan yang variatif atas kasus yang serupa sehingga tampak kurangnya kepastian hukum atas ancaman pidana suatu tindak pidana. Padahal ancaman pidana merupakan instrumen strategis

guna memberi efek penjeraan (deterrence effect) 141 bagi pelaku sebagai cermin rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Dengan ancaman pidana

141 Romany Sihite, Op.cit., h. 140.

yang ditentukan secara maksimal, dilihat dari sisi positifnya, menurut Collin Howard sebagai berikut : 142

a. Dapat menunjukkan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana;

b. Memberikan fleksibilitas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan;

c. Melindungi kepentingan si pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan.

Secara teoritis, ketiga hal di atas telah menunjukkan aspek perlindungan terhadap masyarakat termasuk di dalamnya pelaku/pelanggar dengan diberikannya kebebasan kepada hakim untuk menentukan pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku dengan batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan. Tetapi di sisi lain, hal ini akan membawa konsekuensi yang menyulitkan hakim untuk menjatuhkan banyaknya/lamanya pidana yang pantas dikenakan kepada pelaku sebagai bentuk perlindungan dan rasa adil bagi korban.

Terkait dengan efek penjeraan tersebut di atas, diperlukan pendekatan humanistis dimana menurut Sudarto bahwa hubungan pengenaan pidana

142 Barda Nawawi arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 131-132.

terhadap pelaku dan pembaharuan Hukum Pidana tetap berkisar kepada manusia, sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai

kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama. 143 Dalam hal digunakannya pendekatan humanis, pengenaan pidana kepada pelaku tetap

harus dikenakan dengan melihat sisi kemanusiaan kepada si pelaku tanpa harus meninggalkan efek jera atau dapat membangkitkan kesadaran si pelaku akan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Menanggapi hal tersebut, Marc Ancel berpendapat bahwa diperlukan pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab/kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. 144

Bertolak dari uraian di atas, penggunaan pendekatan nilai yang humanistik ini menuntut diselipkan ide “individualisasi” sebagaimana diungkap oleh Marc Ancel dalam kebijakan Hukum Pidana. Ide individualisasi sendiri mempunyai beberapa karakter sebagai berikut : 145

d. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perseorangan (asas personal);

143 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 102. (Selanjutnya disebut Sudarto II)

144 Marc Ancel, Op.cit., h. 76, 98, 104-105, 108-109. 145 Ni Wayan Merda Surya Dewi, Op.cit., h. 58-59.

e. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan);

f. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, dapat diartikan bahwa adanya kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Terkait dengan hal di atas, selain untuk menimbulkan efek jera tanpa harus meninggalkan rasa kemanusiaan terhadap terpidana, sangatlah penting untuk menentukan ancaman pidana minimal selain penentuan ancaman pidana maksimal. Dianut sistem pidana minimal khusus tersebut menurut

Barda, didasarkan pada pokok pemikiran 146 :

1. Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat menyolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya;

2. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;

3. Dianalogikan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimal pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimal pidana pun hendaknya diperberat dalam hal tertentu.

Perkembangan hukum pidana di Indonesia menunjukkan bahwa sistem ancaman pidana telah diterapkan dalam berbagai peraturan perundang- undangan, dan kemungkinan juga akan dimasukkan dalam RKUHP yang baru.

Selain itu, ada hal lain yang terlupakan atas tindak pidana yang menimpa korban, yaitu tentang kerugian. Atas tindak pidana KDRT yang

146 Barda IV, Op.cit., h. 138.

menimpa korban, tidak hanya menimbulkan efek secara fisik dan psikis. Namun, pembuat UUPKDRT belum memikirkan kerugian ekonomi yang diderita korban sebagai dampak yang ditimbulkan KDRT. Dari tindak pidana penelantaran rumah tangga saja, UUPKDRT tidak mengatur apapun yang dapat mengganti kerugian korban. Selain pidana penjara, hanya pidana denda yang tersebut. Apabila dipikir secara logika, pidana denda tidak banyak berpengaruh kepada korban. Dampak pidana denda yang dikenakan kepada pelaku tidak dirasakan secara langsung oleh korban. Pidana denda yang dibayarkan oleh terpidana itu akan masuk ke kas Negara. Uang yang didapat dari pembayaran pidana denda akan masuk ke kas Negara, bukan unuk korban. Lebih cocok ganti rugi dikenakan kepada pelaku yang nantinya uang ganti rugi tersebut untuk korban.

Ganti rugi terhadap korban yang masih mempunyai hubungan keluarga (anak, istri, ibu) mungkin terasa janggal karena mereka dalam hal ini korban memang menjadi tanggung jawab pelaku untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi akan sangat berarti dan sangat terasa dampaknya bagi korban ketika korban tidak mempunyai hubungan kekeluargaan atau menjadi korban KDRT karena termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga apalagi tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana penelantaran ekonomi.

Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada

adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. 148 Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Serangkai dari sejarah hukum Indonesia, maka dapat dijumpai tentang ketentuan sanksi Ganti kerugian. Baik dalam hukum Adat yang tidak tertulis, maupun dalam ketentuan–ketentuan yang tertulis. Ketentuan yang tertulis dapat dijumpai dalam kitab undang–undang hukum jaman kerajaan Majapahit, yaitu Kitab Agama (ada juga yang menyebut dengan nama kitab Adigama). Kitab ini memiliki pidana pokok Ganti Kerugian dengan nama Panglicawa, Putukucawa dan Pamidara, demikian pula dalam pidana tambahannya dikenal sanksi berupa uang pembeli obat yang disebut Patibajampi atau Patuku tamba. Sanksi Ganti Kerugian ini

biasanya dibebankan pada pelaku kejahatan pencurian, dalam soal tatayi dan

147 Sudarto II, Op.cit., h. 133. 148 Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Mandar Maju, Surabaya,

h. 1.

dusta yang menimbulkan korban, kelalaian yang menyebabkan matinya orang, pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, merusak milik orang lain dan sebagainya. Sedangkan mengenai sanksi uang pembeli obat dibebankan pada pelaku jika pihak korban menderita luka – luka. 149 Sanksi

ganti kerugian dalam hukum adat merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar karena adanya tuntutan dari pihak yang telah dirugikan. Tujuannya agar masalah yang ada terselesaikan dengan damai. Demikian pula sanksi Ganti Kerugian berupa mengadakan selamatan desa yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat. Selain Sanksi Ganti Kerugian materiil dalam hukum Adat dikenal pula sanksi Ganti kerugian yang immaterial, seperti paksaan menikah pada gadis yang telah dicemarkan. 150

Kenyataan diatas telah menunjukkan bahwa hukum Indonesia sejak jaman dahulu telah mengenal sanksi ganti kerugian, yang harus dibayar oleh orang yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat kepada korban (orang yang menderita ataupun keluarga korban). Ganti kerugian ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali ataupun agar keseimbangan masyarakat pulih kembali. Dalam Pasal 14 huruf c KUHP, memberikan kewenangan kepada hakim dalam hal menjatuhkan pidana percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa

149 Slamet Muljana, 1967, Perundang-undangan Majapahit, Jakarta, h. 20-33. 150 Hilman Hadikusumah, 1984, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bandung, h. 24-25.

terhukum dalam waktu tertentu, yang lebih rendah dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh

tindak pidana itu. 151 Dengan ditentukannya syarat-syarat dalam hal penjatuhan pidana percobaan, menjadi tergesernya posisi hukum Adat yang

mengatur pemberian sanksi ganti kerugian oleh KUHP telah menjauhkan kemungkinan korban–korban kejahatan di Indonesia untuk memperoleh ganti kerugian. Keberadaan sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian dari pidana bersyarat dalam KUHP, serta hanya untuk tindak–tindak pidana tertentu saja, memperlihatkan perhatian bahwa perlindungan terhadap korban tindak pidana masih belum memuaskan. Apalagi jika dilihat dari penerapan sanksi ganti kerugian sebagaimana diatur dalam KUHP, sampai saat ini belum bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal ini dikaitkan dengan penggunaannya yang sangat jarang. Misalnya, pidana bersyarat adalah pidana yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Padahal sanksi ganti kerugian ini dimaksudkan untuk melindungi korban tindak pidana.

Pada dasarnya kerugian yang diderita korban ada dua macam, yaitu kerugian yang bersifat materiil dan kerugian yang bersifat immateriil. 152

Kerugian yang bersifat materiil merupakan kerugian yang dapat dinilai

151 Soedarto I, Op.cit., h.188. 152 Mardjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas

Indonesia,Jakarta, h. 77.

dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psykis dan lain sebagainya.

Dalam mengganti kerugian yang menyangkut kerugian materiil dapat langsung dituntut kepada pelaku kejahatan sedangkan upaya memulihkan keadaan sebagai akibat dari kerugian immateriil sepantasnya negara menyediakan dana guna membantu korban dan mengingat kerugian yang mungkin diderita oleh korban sangat penting. 153 Pemberian bantuan atau santunan tersebut merupakan perpaduan dariberbagai usaha di bidang kesejahteraan sosial, sistem pelayanan kemanusiaan dan peradilan pidana.

Di beberapa negara, pemberian bantuan kepada korban bukan saja menjadi kewajiban pelaku saja tetapi dalam hal pelaku adalah orang yang tidak mampu maka kewajiban tersebut dibebankan kepada negara karena pada dasarnya negara berkewajiban memelihara keselamatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat meningkatkan kesejahateraan warga negaranya.

Pemberian bantuan kepada korban adalah hal wajar karena korban adalah pihak yang paling menderita, bahkan korban menjadi sangat tidak berdaya atas tindak pidana yang dialaminya baik fisik maupun finansial sebagaimana dikemukakan oleh Israel Drapkin dan Emilio C. Viano :

”Although we are accustomedto say that the act affect all of society, we can not deny that the actual victim suffers much more through personal losses than society. In the face incurable, undisputed report,

153 Robert Reif, 1979, The Invisible Victim, New York, Basic Book Inc., h. 7.

we are also forced to acknowledge that the victim is most often an individual physically or financially unable to recover from criminal” 154

(Kendati pun kita biasa mengatakan bahwa tindak pidana mempengaruhi semua masyarakat, kita tidak dapat menyangkal bahwa korban secara individual jauh menderita dari pada kerugian masyarakat. Dalam kenyataan juga diakui bahwa korban secara individu baik secara fisik maupun finansial sering tidak mampu mengatasi tindak pidana.)

Perlindungan terhadap korban kejahatan menjadi focus perhatian masyarakat dunia sekarang ini. Ada dua cara yang berkembang dewasa ini, yaitu Prosedural Rights Model dan Service Model. Model yang pertama menghendaki diikutsertakannya korban dalam proses peradilan, baik terlibat langsung dalam sidang pengadilan ataupun dibelakang sidang diberikan ikut mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana. Sedangkan model yang kedua adalah melayani korban tindak pidana, dengan menghilangkan atau mengurangi penderitaan korban. Model yang kedua ini biasanya menggunakan ganti rugi sebagai sarana. Dari dua cara tersebut nampaknya Service Model lebih tepat untuk dilaksanakan, karena Prosedural Rights Model akan sangat menghambat kelancaran proses peradilan yang dikehendaki yaitu cepat tepat adil dan biaya ringan. 155 Sebaliknya dengan menerima Service Model maka harus memasukkan sanksi ganti kerugian ke dalam hukum Pidana. Dengan demikian jika sanksi ganti kerugian nantinya menjadi bagian hukum pidana, maka hukum pidana

154 Israel Drapkin dan Emilio C. Vio, 1974, Victimology : A New Focus, Lexington Books, DC Heath and Company, Massachusetts, London, h. 141.

155 www.one.indoskripsi.com .

Indonesia akan diterima oleh dunia internasional. Di samping itu akan menunjukan bahwa KUHP bersifat modern, karena telah memperhatikan perbuatan, pelaku dan korban (daad-daderstraftrecht dan victim). Dimasukkannya jenis sanksi ganti kerugian ini sangat terkait dengan tujuan pemidanaan. Dalam RKUHP 2008 disebutkan tujuan pemidanaan sebagai

berikut : 156

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Stephen Schafer membagi lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban sebagai berikut : 157

a. Damages Ganti kerugian yang bersifat keperdataan melalui proses keperdataan dan diberikan melalui proses perdata. Dalam sistem ini diadakan pemisahan antara tuntutan ganti kerugian dari korban dengan perkara pidananya sehingga ganti kerugian ini bvaru dapat dituntut oleh korban setelah pelaku dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

156 RKUHP 2008. 157 Stephen Schafer, Op.cit., h. 105-108.

b. Compensation, civil in character but awarded incriminal proceeding Merupakan kompensasi yang diberikan melalui proses pidana. Walaupun kompensasi ini bersifat perdata, kompensasi dapat dimohonkan dalam proses pidana. Stephen Schafer mengungkapkan bahwa ”in the German Legal System the hearing of such compensatory

claims in criminal proceeding intermed ’Adhasionprozess’” 158 bahwa kompensasi jenis ini disebut Adhasionprozess dan pemeriksaan perkara

pidana lebih mendominasi dalam proses ini. Pemberian ganti kerugian pada kompensasi jenis ini diberikan oleh pemerintah. Ketika korban telah puas atas ganti kerugian yang diterimanya, pemerintah akan meminta pelaku untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Proses ini secara umum mirip seperti apa yang diatur dalam Pasal 14c KUHP, tetapi dalam hal ini pemerintah tidak terlibat seperti Jerman.

c. Restitution, civil in character but intermingled with penal characteristics and awarded in criminal proceedings Adalah restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana yang diberikan melalui proses pidana, walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Secara umum, perbendaan antara kompensasi dan restitusi adalah yang menanggung ganti kerugian. Pada kompensasi, ganti kerugian

158 Ibid., h. 106.

dibebankan kepada Negara. Sedangkan pada restitusi, ganti kerugian bersifat penghukuman sehingga tetap ditanggung oleh pelaku. Setiap korban dapat mengajukan permohonan restitusi dengan syarat :

- Kejahatan tersebut harus dilaporkan; -

Pelaku kejahatan harus dapat diketahui atau diidentifikasi; -

Pelaku kejahatan harus dijatuhi pidana; -

Korban mempunyai cukup waktu dan uang untuk mendapatkan pengacara yang akan mengajukan klaim di pengadilan; -

Pelaku kejahatan mempunyai penghasilan yang cukup atau pengahsilan tetap untuk memberikan restitusi. 159

d. Compensation, civil character, awarded in criminal proceedings and backed by the resources of state Adalah kompensasi yang bersifat perdata diberikan melalui proses pidanana dan disokong oleh sumber-sumber penghasilan Negara. Dalam hal ini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negara menanggung kewajiban ganti kerugian yang dibebankan pengadilan kepada pelaku karena negara gagal mencegah terjadinya

tindak kejahatan. 160

e. Compensation, neutral in character and awarded through a special procedure.

159 Israel Drapkin dan Emilio C. Viano, Op.cit., h. 143. 160 Barda IV, Op.cit., h. 60.

Kompensasi jenis ini bersifat netral dan diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini berlaku di Swiss (1937), New Zealand (1963), dan Inggris (1964).

Dalam sistem ini, pelaku tidak mampu membayar. Wewenang untuk memeriksa bukan pengadilan perdata atau pidana, tetapi prosedur khusus atau tersendiri dan independen yang menuntut campur tangan negara atas permintaan korban. 161

Pada beberapa negara telah memberikan perlindungan hukum terhadap korban dengan diberikan hak untuk mendapatkan ganti kerugian seperti di Jerman, Swiss, New Zealand, dan Inggris. Di Indonesia sendiri, hak korban atas ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 14c KUHP.

Keuntungan diberlakukannya ganti kerugian adalah :

1. Pelaku Secara fisik, pelaku tidak terlalu lama ditahan dan memperoleh perlakuan yang lebih baik dalam tahanan. Secara mental, pelaku lebih tenang dalam mengikuti proses peradilan.

Pidana ganti rugi adalah sanksi pidana alternatif yang lebih ringan karena bukan pidana badan seperti yang diungkapkan Australian Law Reform Commission tahun 1980 : …that restitution programe might

161 Ibid.

provide suitable alternatives to imprisonment where damage was readily calculable and suspectible to a re-payment nation. 162

2. Korban Untuk memulihkan kondisi korban.

3. Proses rehabilitasi terpidana Hudson dan Chesney dalam penelitiannya, bahwa penjatuhan pidana ganti rugi pada pelaku tindak pidana berdampak lebih baik bagi terpidana dari pada yang dijatuhi sanksi lainnya. 163 Jumlah residivis pada

tindak pidana lain adalah 24%, sedangkan pada terpidana yang dijatuhi pidana ganti kerugian hanya 6%. Jadi pidana ganti kerugian mendukung

rehabilitasi terpidana. 164 Walaupun demikian, penetapan ganti rugi dalam praktek mempunyai

kelemahan 165 :

a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok;

b. Penetaan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana kurungan;

c. Syarat khusus berupa ganti kerugian ini pun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.

162 Jocelyne a. Scutt, 1982, Victim and Restitution, The Australian Journal, h. 159. 163 Iswanto, 1995, Restitusi kepada Korban Mati atau Luka Berat sebagai Syarat Pidana

Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, Tesis, UGM, Yogyakarta, h. 42. 164 Ibid.

165 Barda V, Op.cit., h. 57.

Mengingat Pasal 14 huruf c KUHP, setidaknya ada harapan bagi korban untuk mendapat ganti kerugian yang dialami sebagai dampak dari tindak pidana yang menimpanya.

Selain KUHP, KUHAP sebagai hukum formal pidana juga memberikan peluang kepada korban atas penuntutan ganti kerugian kepada pelaku. Tidak hanya peraturan perundangan yang bisa menempatkan korban untuk memantau atau mengontrol jalannya proses peradilan atas dirinya, tetapi korban juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian yang digabungkan dengan perkara pidana bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

Seorang korban dari suatu tindak pidana bisa hadir dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas yang berbeda. Di satu pihak kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi guna memberikan kesaksian dalam mengungkap tindak pidana yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan pengadilan. Di lain pihak fungsi korban dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan dimaksud.

Menurut Asmawi, penggabungan perkara kepada perkara pidananya tidak akan mempersulit jalannya proses peradilan, bahkan justru merupakan perlindungan bagi korban dari suatu tindak pidana supaya tidak lagi Menurut Asmawi, penggabungan perkara kepada perkara pidananya tidak akan mempersulit jalannya proses peradilan, bahkan justru merupakan perlindungan bagi korban dari suatu tindak pidana supaya tidak lagi

Lebih jelasnya, berikut ketentuan yang berkaitan dengan gugatan ganti kerugian kepada korban menurut KUHAP : Pasal 98 ayat (1) menentukan bahwa : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana yang sedang berjalan.

Pasal 99 berbunyi : (1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara

gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.

(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat

166 Hanafi Asmawi M., 1987, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 122.

(1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

Pasal 100 menetapkan : (1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara

pidana,maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.

(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

Atas dasar ketetnuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa tuntutan ganti kerugian dapat digabungkan dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu dan menghindari adanya biaya yang lebih besar dari korban itu sendiri, yang pada gilirannya akan lebih menyengsarakan korban. Mengingat hakikat dari suatu gugatan ganti kerugian merupakan perkara perdata, maka tetap mengacu pada ketentuan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 101 KUHAP dengan suatu pengecualian yaitu dalam hal gugatan dimaksud merupakan kerugian yang diderita sebagaimana tertera dalam bukti autentik seperti kuitansi atau nota, sedangkan kerugian yang masih memerlukan Atas dasar ketetnuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa tuntutan ganti kerugian dapat digabungkan dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu dan menghindari adanya biaya yang lebih besar dari korban itu sendiri, yang pada gilirannya akan lebih menyengsarakan korban. Mengingat hakikat dari suatu gugatan ganti kerugian merupakan perkara perdata, maka tetap mengacu pada ketentuan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 101 KUHAP dengan suatu pengecualian yaitu dalam hal gugatan dimaksud merupakan kerugian yang diderita sebagaimana tertera dalam bukti autentik seperti kuitansi atau nota, sedangkan kerugian yang masih memerlukan

Pasal 1 ayat (2) juga salah satu alasan mengapa UUPKDRT tidak berlaku secara efektif. Pada Pasal 1 ayat (2) memberi peluang pelaku untuk diberlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi pelaku. Bunyi selengkapnya ketentuan pasal tersebut adalah :

Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Sedangkan Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa : Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih dahulu dari pada perbuatan itu.

Apabila melihat Pasal 1 ayat (2) KUHP, maka UUPKDRT sebagai undang-undang yang baru belum bisa dikatakan benar-benar melindungi

perempuan. Padahal telah dikuatkan dengan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1). Bahkan UUPKDRT seolah-olah melegitimasi ”perbuatan-perbuatan kasar” yang menimpa korban. Undang-undang ini masih dipersepsikan secara salah terutama masalah delik aduan. Selain itu juga, kurang tepatnya pengenaan pidana yang diancamkan. Apabila melihat kekerasan fisik dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 356, pelaku diancam pidana pemberatan dengan penambahan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok yang diancamkan. Dalam UUPKDRT, sepintas kedengarannya ancaman pidananya memang berat. Tetapi ancaman pidana UUPKDRT menjadi lebih ringan ketika pidana itu sendiri tidak menggunakan batas minimal, hanya menggunakan batas maksimal saja antara pidana penjara dan pidana denda, tidak ada penambahan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok, dan bersifat alternatif. Apalagi perbuatan yang dikriminalisasi bersifat delik aduan walaupun berlaku hanya pada beberapa ketentuan saja. Pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum tentang gender sangat kurang terutama yang berkaitan dengan UUPKDRT. Sebagaimana pendapat Barda bahwa pengaduan tidak semata-mata digantungkan pada kepentingan individu/korban, tetapi juga kepentingan umum. Jadi, apabila korban tidak mengadukan atas suatu tindak pidana yang bersifat delik aduan tetapi tindak pidana tersebut sangat meresahkan masyarakat, maka proses hukum atas tindak pidana tersebut tetap berjalan walaupun tanpa pengaduan korban demi kepentingan umum.

Bertolak dari uraian-uraian di atas, UUPKDRT layak untuk dipertimbangkan atau dikaji ulang terutama pada pidana yang diancamkan dan sifat delik aduan pada Pasal 51, 52, dan 53 yang membuat UUPKDRT seharusnya lebih menjamin perlindungan hukum terhadap hak perempuan sebagai korban yang lemah. Apabila pihak terkait dalam hal ini baik aparat penegak hukum yang tercakup dalam sistem peradilan pidana maupun pemerintah dan badan legislatif sebagai pembentuk undang-undang melakukan pembiaran, maka dapat disebut sebagai kekerasan oleh Negara (violence by omission) terhadap kejahatan kemanusiaan yang terus berlanjut mengingat minimnya langkah-langkah kongkret untuk menghentikan lajunya tindak pidana. Bisa jadi, terjadinya pembiaran yang dilakukan oleh Negara adalah salah satu bentuk hipotesa Hoefnagels, yaitu “Seriousness

decrease, frequency of occurrences increases” 167 , dimana derajat keseriusan atas suatu kejahatan menurun jika frekuensi kejadiannya meningkat.

Impunity yakni bebasnya pelaku dari jeratan hukum tanpa adanya punishment (pidana) menjadi hal biasa. 168 Salah satu faktor terbesar tidak

efektifnya UUPKDRT ini adalah sifat delik aduan yang dianut UUPKDRT dengan alasan tindak pidana yang diatur dalam UUPKDRT termasuk dalam wilayah privat walaupun hanya berlaku pada beberapa ketentuan saja. Ditambah lagi pihak perempuan sebagai korban sangat enggan untuk

167 Hoefnagels, Op.cit., h. 168 Romany Sihite, Op.cit., h. 147.

melaporkan tindak pidana yang menimpanya. Adanya ketidaksetaraan laki- laki dan perempuan dalam masyarakat memicu munculnya kekerasan terhadap perempuan, karena superioritas laki-laki menganggap kekerasan adalah hal wajar. Sehingga tindak pidana ini menjadi kejahatan terselubung (hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan

pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan hukumnya. 169 Faktor-fator yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto 170 adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum dimana perlu diberi pemahaman yang berperspektif gender dan

untuk lebih memahami suatu undang-undang khususnya UUPKDRT, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan yang masih lebih dominan patriarki dimana laki-laki lebih berkuasa atau memegang kendali atas perempuan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan. Untuk faktor masyarakat, efektivitas undang- undang tergantung peran serta masyarakat. Apabila suatu undang-undang menghendaki peran serta masyarakat lebih dalam atau mewajibkan masyarakat untuk ikut menertibkan suatu perbuatan tindak pidana, maka undang-undang tersebut akan efektif. Begitu sebaliknya, apabila ketentuan dalam suatu undang-undang menyebut partisipasi masyarakat hanya sekedar untuk meramaikan saja perannya dalam penegakan hukum, atau bahkan

169 Ibid., h. 145. 170 Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan

Keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 5 .

tidak diatur sama sekali peran serta masyarakat, sangat dimungkinkan penegakan atas suatu produk hukum tidak akan berjalan efektif. Dapat diartikan bahwa atas suatu perbuatan yang dikriminalisasi dalam suatu undang-undang yang tidak mengatur peran serta masyarakat dapat dianalogikan bahwa penegakan atas undang-undang tersebut bukan tanggung jawab masyarakat, tetapi menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum sepihak saja. Hal ini sangat terkait dengan sifat delik aduan pada Pasal 51, 52, dan 53 UUPKDRT. Apabila ketentuan tersebut tidak bersifat delik aduan absolut dan peran aktif masyarakat maka besar kemungkinan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan akan dapat diatasi.