Kajian perbandingan dengan RKUHP 2008

4.1.1. Kajian perbandingan dengan RKUHP 2008

Rancangan KUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 mengatur tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Namun, tindak pidana dalam ruang lingkup rumah tangga ini lebih sedikit dibanding UUPKDRT. Dalam RKUHP, penelantaran rumah tangga tidak dikriminalisasi sebagai tindak pidana. Sedangkan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan mengabaikan locus delicti-nya tidak harus serumah dengan pelaku, pengaturannya sama dengan KUHP yang berlaku saat ini yaitu masih diancam pidana dengan pemberatan dengan ditambah 1/3 (satu per tiga) pidana pokok.

Kekerasan dalam rumah tangga diatur menjadi satu bab dengan penganiayaan, yaitu pada Buku Kedua Bab XXIII Tindak Pidana Penganiayaan Bagian Ketiga. Berikut ketentuan-ketentuan yang mengatur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga : - Pasal 587 mengatur tentang kekerasan fisik

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori

III dan paling banyak Kategori V. (3)

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Pada ayat (1), tidak ditentukan batasan minimal hanya batasan maksimal. Ketentuan tersebut juga hanya menyebut perbuatan yang

dikriminalisasi tanpa menyebut akibat yang ditimbulkan. Sedangkan ayat (2) dan (3), terhadap perbuatan yang menimbulkan akibat jatuh sakit/luka atau bahkan matinya korban, ancaman pidananya ditentukan batasan minimal dan maksimal. Seperti pada umumnya, atas perbuatan pelaku yang tidak menimbulkan akibat yang mengganggu aktivitasnya sebagaimana diatur dalam ayat (4), ancaman pidananya lebih ringan dan tidak mencantumkan batasan minimal serta bersifat delik aduan sebagaimana diatur pada ayat (5). Menurut penulis, antara ayat (1) dan ayat (4) agak membingungkan dan bisa dikatakan kabur. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi perbedaan antara ayat (1) dengan ketentuan pada ayat lainnya yang lebih spesifik? Hanya ketentuan ayat (1) yang mengatur secara umum. Padahal hukum itu harus jelas dan tegas. Apabila diartikan secara mudah, anggap saja ketentuan ayat (1) untuk menutup peluang pelaku menghindar jeratan pidana.

RKUHP ini tidak beda jauh dengan UUPKDRT. Untuk ancaman pidana penjara pada RKUHP memang lebih rendah dari UUPKDRT tetapi sebagian besar ketentuannya menggunakan batas minimal dan batas maksimal sehingga sedikit lebih tegas ketentuan dalam RKUHP dibandingkan UUPKDRT. Apabila korban merasa kurang mendapatkan keadilan dengan penjatuhan pidana penjara, kekecewaan korban masih bisa ditutupi dengan ancaman pidana denda

yang menggunakan batasan minimal dan maksimal dengan angka nominal yang tinggi walaupun sifatnya alternatif. Pada ketentuan yang dilakukan terhadap istri yang tidak menimbulkan dampak buruk yang dapat mengganggu aktivitas korban, masih tetap delik aduan. Namun yang membedakan UUPKDRT dan RKUHP adalah ketentuan pidana dendanya yang diseragamkan sedemikian rupa untuk menghindari disparitas atas putusan hakim walaupun pada beberapa ketentuan tidak menyebut batas minimal, hanya menyebut batas maksimal saja. Pengaturan keseragaman pidana tersebut diatur pada Pasal 80 ayat (3) berikut ini :

Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu :

a. Kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);

b. Kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);

c. Kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);

d. Kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lma juta rupiah);

e. Kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan

f. Kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Apabila dibandingkan dengan Pasal 582 tentang penganiayaan terhadap badan secara umum yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III atau paling banyak Kategori IV.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

(4) Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.

Ketentuan Pasal 582 ini dimana perbuatan tindak pidananya tidak memperhatikan locus delictinya memberikan ancaman pidana penjara saja yang lebih ringan dengan tetap diberi batasan minimal dan maksimal. Bahkan, percobaan atas tindak pidana ini pun diancam pidana walaupun hanya diancam pidana denda. Pada ayat (1), ketentuannya bersifat umum. Hanya ketentuan ayat (1) saja yang Ketentuan Pasal 582 ini dimana perbuatan tindak pidananya tidak memperhatikan locus delictinya memberikan ancaman pidana penjara saja yang lebih ringan dengan tetap diberi batasan minimal dan maksimal. Bahkan, percobaan atas tindak pidana ini pun diancam pidana walaupun hanya diancam pidana denda. Pada ayat (1), ketentuannya bersifat umum. Hanya ketentuan ayat (1) saja yang

Selanjutnya Pasal 583, tentang penganiayaan ringan : (1) Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, maka pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga). (3) Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.

Pasal ini tidak beda jauh dengan Pasal 582. Ada yang menarik pada ketentuan ini, bahwa perbuatan yang dilakukan kepada orang Pasal ini tidak beda jauh dengan Pasal 582. Ada yang menarik pada ketentuan ini, bahwa perbuatan yang dilakukan kepada orang

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582 dan Pasal 584, dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) jika tindak pidana tersebut dilakukan :

a. terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya;

b. terhadap pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah; atau

c. dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Pasal 584 tentang penganiayaan berat yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Ketentuan pasal ini mirip dengan Pasal 356 KUHP. Walaupun RKUHP mengatur tersendiri tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, tetapi ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana tanpa melihat locus delictinya yang dilakukan salah satunya kepada orang- orang yang mempunyai hubungan darah yaitu ibu, bapak, istri atau anaknya.

- Pasal 588 mengatur kekerasan psikis (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II. (3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Ketentuan tentang kekerasan psikis ini ancaman pidananya lebih ringan dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya dalam ruang lingkup rumah tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari kekerasan psikis ini sama beratnya dengan kekerasan fisik karena berkaitan dengan harga diri walaupun kekerasan psikis ini tidak meninggalkan luka pada fisik sehingga sulit untuk dilihat dengan mata telanjang.

- Pasal 589 mengatur kekerasan seksual (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Pasal 490 tentang perkosaan diancam pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun apabila laki-laki bersetubuh dengan perempuan :

(1) a. dilakukan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;

b. dilakukan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;

c. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai dengan melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;

d. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tesebut adalah suaminya yang sah;

e. usia perempuan di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau

f. dilakukan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. (2) a. Dengan memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau

b. memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan

Ketentuan Pasal 490 tidak membatasi locus delicti. Ancaman pidana Pasal 490 adalah pidana penjara saja yang lamanya sama dengan Pasal 589. Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pasal 490 ancaman pidananya lebih berat dibandingkan Pasal 589. Pasal 589

ancaman pidananya bersifat alternatif, keputusan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku sepenuhnya ada di tangan hakim. Namun dengan adanya ketentuan ancaman pidana yang bersifat alternatif, bisa jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana denda. Adanya pilihan dalam pengenaan pidana denda kepada terpidana ini akan sangat menguntungkan pelaku, sehingga pelaku tidak perlu menjalani pidana penjara dalam kurun waktu tertentu. Pelaku masih bebas berkeliaran dan besar kemungkinan timbul rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi korban.

Dikenakannya pidana tidak hanya sekedar untuk membalaskan dendam korban, tetapi lebih dari sekedar balas dendam, yaitu rasa aman dan perasaan nyaman yang terlindungi secara hukum. Bahkan untuk melindungi seluruh masyarakat. Selain itu, pengenaan pidana yang efektif akan menimbulkan dampak kehidupan yang tertib dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 55, bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan :

a. kesalahan pembuat tindak pidana;

b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. sikap batin pembuat tindak pidana;

d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;

e. cara melakukan tindak pidana;

f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Atas beberapa hal tersebut yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pidana yang pantas, harus pula dengan pertimbangan atas beberapa hal yang menjadi tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan berdasarkan Pasal 54 adalah sebagai berikut :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

Selanjutnya, Pasal 590 mengenai orang yang telah memanfaatkan orang lain untuk berhubungan seksual. Ketentuannya berbunyi berikut ini:

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori V. Perbuatan yang menimbulkan akibat terganggunya kesehatan

baik secara fisik maupun psikis, ancaman pidananya diperberat sebagaimana diatur dalam Pasal 591 sebagai berikut :

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 dan Pasal 590 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori

VI.

Sebagian besar ketentuan RKUHP 2008 yang mengatur tentang KDRT diancam pidana yang bersifat alternatif antara pidana penjara dengan pidana denda. Untuk ketentuan pidana yang serupa yang tidak dibatasi dengan locus delicti hanya diancam pidana penjara saja atau pidana denda saja. Ada hal yang menarik dari konsep RKUHP 2008 ini. Apabila korban merasa tidak puas dengan pidana yang dikenakan terhadap pelaku, korban masih dimungkinkan untuk mendapat ganti kerugian. RKUHP memberikan kesempatan kepada korban mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya sebagai dampak yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana yang dialaminya. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 67 ayat (1) RKUHP Tahun 2008 menyebutkan jenis-jenis pidana tambahan, antara lain :

a. pencabutan hak-hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pada ayat (2) disebutkan bahwa :

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

Pada Pasal 99 disebutkan bahwa : (1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.

(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

Ketentuan ayat (2), pidana tambahan dapat diakumulasikan dengan pidana pokok baik secara individual ataupun kolektif dengan pidana tambahan lainnya. Walaupun demikian, hakim tetap memegang kuasa penuh atas keputusan yang akan dijatuhkan kepada pelaku sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 99 ayat (1). Apabila hakim tetap menjatuhkan pidana tambahan pembayaran ganti kerugian, sedangkan terpidana tidak mampu untuk membayarnya, kerugian yang tidak dibayarkan kepada korban tersebut boleh diganti dengan pidana penjara sesuai dengan aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ayat (2). Rasa kecewa korban karena tidak mendapat pembayaran Ketentuan ayat (2), pidana tambahan dapat diakumulasikan dengan pidana pokok baik secara individual ataupun kolektif dengan pidana tambahan lainnya. Walaupun demikian, hakim tetap memegang kuasa penuh atas keputusan yang akan dijatuhkan kepada pelaku sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 99 ayat (1). Apabila hakim tetap menjatuhkan pidana tambahan pembayaran ganti kerugian, sedangkan terpidana tidak mampu untuk membayarnya, kerugian yang tidak dibayarkan kepada korban tersebut boleh diganti dengan pidana penjara sesuai dengan aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ayat (2). Rasa kecewa korban karena tidak mendapat pembayaran