3
2. Sedikit Mempertanyakan Anakronisme Kreatif dalam Sastra Daerah Indonesia
Telah diketahui, bahwa anakronisme kreatif merupakan salah satu indikasi apakah suatu wacana itu berperspektif posmodernis atau tidak. Anakronisme kreatif
ini sebenarnya merupakan implikasi dari ciri sifat “main-main” dan parodi dari wacana posmodern. Metafiksi dalam historiografi membentuk secara parodi menuju
dunia yang interteks, memperebutkan batas-batas yang tak perlu lagi dipertanyakan Hutcheon, 1988:127.
Ciri anakronisme kreatif ini sebenarnya sudah ada sejak lama dalam dunia sastra daerah yang menjadi bagian dari sastra Indonesia. Naskah Sejarah Melayu
adalah salah satu contoh karya kronik-sejarah yang di dalamnya banyak menyuguhkan anakronisme kreatif. Dahulu, orang menilai Sejarah Melayu sebagai
sebuah “catatan sejarah”. Kaum akademik Barat menilai bahwa Sejarah Melayu tidak bisa digunakan sebagai sumber sejarah karena di dalamnya banyak
“penyelewengan” dan “kemustahilan”. Seperti: legalitas kekuasaan raja yang diakui dan meliputi dunia dan akhirat, atau anak yang terlahir dari buluh bambu dll. Ada
kesan bahwa Sejarah Melayu itu mengada-ada. Meskipun, pada akhirnya Umar Junus mencoba meluruskan pandangan keliru, yang menganggap Sejarah Melayu
itu sebagai sumber sejarah. Junus meletakkan Sejarah Melayu dalam porsinya sebagai sebuah karya sastra, yang syah-syah saja, jika menghadirkan “kebenaran
sejarah” di dalamnya –dalam perspektif pengarangnya. Junus kemudian mengatakan 1984:21 bahwa Sejarah Melayu mengandung unsur kesejarahan
historical scale, fiksi fictionale scale, dan khayal legendary scale. Kronik sejarah yang diramu, anakronisme kreatif itu seperti meniadakan batas-batas antara yang
nyata dan semata-mata rekaan belaka. Apa maksudnya? Wacana posmodernisme yang ditawarkan para pemikir
Barat itu sebenarnya bukan suatu hal yang baru dalam perjalanan sejarah sastra di negara Indonesia ini; karena sebenarnya kita “pernah” melampaui ciri itu. Hanya
saja, ketika kita “mengekor” pada teori-teori Barat dan “menerima” batasan-batasan yang ‘tradisional’, ‘modern’, dan ‘posmodern’ itu kita menjadi seperti “tergopoh-
gopoh” untuk mengikutinya. Padahal, itu tak lebih dari ciri dan sifat estetika sastra itu
Click to buy NOW PD
w w
w .docu-track.
co m
Click to buy NOW PD
w w
w .docu-track.
co m
4
sendiri. Bahwa sastra, memiliki sifat yang dinamis. Karena sastra, selalu berada dalam tegangan antara yang konvensional dan inovasional Teeuw, 2003
Selain itu, interpretasi subjek pembaca terhadap keposmodernan itu sebenarnya tak lain adalah lagi-lagi soal interpretasi. Sastra yang posmodern
menurut satu individu belum tentu posmodern bagi individu lainnya. Bukankah tidak ada kebenaran mutlak? Dan, bukankah posmodern sangat menjunjung tinggi
ketidakberadaan kebenaran yang mutlak itu? Bukankah posmodern sangat menghargai pluralitas makna sesuai latar sosial dan kultural yang mempengaruhi
para pembacanya dalam menyusun makna karya sastra itu? Sekali lagi, ini adalah soal interpretasi….
3. Wacana Posmodernisme dan Karakteristiknya