12
diamati oleh mebel-mebel yang “dihidupkan” oleh Djenar. Dalam satu “dunia” kamar kedua jenis tokoh, benda mati vs benda hidup, dipertmukan.
Dunia benda mati yang bertabrakan dengan dunia manusia juga terdapat dalam cerpen “Penthouse 2601”. Tokoh dalam cerpen ini adalah seorang
penthouse 2601. Sama seperti manusia, Penthouse 2601 juga bisa merasakan, melihat, dan memikirkan fenomena-fenomena yang dia jumpai melalui kacamatanya.
Penthouse 2601 menemukan kenyataan bahwa dirinya tidak diperlakukan dengan benar oleh orang-orang yang menempatinya.
Kebanalan tokoh Penthouse 2601 terlihat pada kutipan berikut ini.
Aku bukan seperti kamar-kamar lain bernama superior, deluxe, suite, regency suite, presidential suite, yang berdesak-desakan di lantai bawah. Mereka bertetangga.
Jarak antara satu kamar dengan yang lain begitu dekat, sehingga kapan saja mereka dapat berbincang-bincang, mengerling, berpacaran, dan menikah. Tidak seperti aku
yang terletak di lantai tertinggi, lantai dua puluh enam. Hanya ada dua kamar sejenisku pada satu lantai, namun kami sangat berjauhan, sejauh mataku
memandang, di sepanjang koridor hanya ada aku. “Penthouse 2601”
Tokoh Meja, Cermin, dan Penthouse 2601 merupakan kreasi imajinatif Djenar. Tokoh-tokoh itu bukan manusia, melainkan benda mati yang sekedar
dihidupkan saja. Benda mati yang hanya bisa “melihat” bagaimana aktivitas manusia di luar dunia mereka, dunia yang mereka hadapi, dan sikap benda mati ketika
disodori dunia yang “bertentangan” dengan “kebendamatian” mereka. Dunia yang bertabrakan ditemui dalam cerpen “Payudara Nai Nai”. Dalam
cerpen ini, dunia ‘Nai Nai yang berpayudara besar’ dengan dunia ‘Nai Nai yang berpayudara rata’ bercampur baur. Pemisah-batas antara dua dunia itu hanya ada
pada lamunan Nai Nai saja. Demikian pula dengan kemenangan-kemenangan yang diperoleh Nai Nai. Kemenangan itu dia peroleh dalam dunia fantasi yang
dibangunnya.
c. Pluralitas
Wacana posmodernisme sangat menghargai bentuk-bentuk pluralitas. Bentuk pluralitas yang jamak dijumpai dalam kumpulan cerpen Jangan Main-main
dengan Kelaminmu terutama berkaitan dengan pluralitas seksual. Tokoh-tokoh yang bermain dalam kumpulan cerpen ini sebagian besar adalah mereka yang
memiliki orientasi seksual yang tidak normatif. Heterogenitas dan homogenitas relasi
Click to buy NOW PD
w w
w .docu-track.
co m
Click to buy NOW PD
w w
w .docu-track.
co m
13
seksual tidak terlalu diperhatikan. Demikian pula dengan tubuh mereka yang terlepas bebas dari segala norma-nilai kemasyarakatan. Tokoh-tokoh dalam
kumpulan cerpen ini adalah gambaran dari pluralitasnya relasi-relasi seksual. Antara yang hetero dan homogen. Antara yang normatif dan tidak normatif. Antara yang
berhubungan syah dengan selingkuh. Antara yang melakukan aktivitas seksual secara swadaya maupun dengan partner seksualnya. Pluralitas perilaku seksual,
sangat beragam dalam cerpen ini. Dalam cerpen “Menyusu Ayah”, tokoh aku mempunyai relasi seksual dengan
tokoh ayah. Tokoh aku juga berhubungan seksual dengan teman-teman sebayanya dan teman-teman ayahnya. Tidak ada ketertekanan, yang ada hanya kebebasan
atas penguasaan tubuhnya. Titik balik terjadi ketika tokoh aku dijamah payudara dan penis pasangannya memasuki vagina –organ yang menurutnya hanya milik dia dan
ibunya saja. Selain itu, tokoh perempuan dalam cerpen ini merasa vaginanya belum pernah dimasuki jari lelaki lain ketika tokoh ini kencan dengan lelaki yang tak lain
adalah teman ayahnya, lelaki itu memasukkan jarinya ke vaginanya, kecuali tangannya sendiri dengan tangannya sendiri inilah sang tokoh lebih merasa
nyaman dan aman. Tokoh perempuan dalam cerpen ini sangat menikmati aktivitas seksualnya, baik yang dilakukan secara mandiri maupun dengan mitranya meski
ketika berhubungan seks dengan mitranya ini sang tokoh lebih senang jika hanya menyusu penisnya saja.
Hubungan-hubungan seksual yang tidak normatif lainnya ditemui dalam cerpen “Jangan Main-main dengan Kelaminmu”, “Mandi Sabun Mandi”, “Cermin”,
“Staccato”, “Saya di Mata Sebagian Orang”, “Penthouse 2601”, dan “Payudara Nai Nai”. Tidak ada satu pun tokoh pelaku hubungan seksual yang tidak normatif itu
menghukum dirinya atau dihukum ornag lain –kecuali dalam cerpen “Saya di Mata Sebagian Orang”. Dalam cerpen itu, tokoh tidak merasa dirinya terhukum dengan
penyakit HIVAIDS yang dideritanya. Sebaliknya, orang-orang merasa itu adalah hukuman akibat perilaku seksualnya yang menyimpang.
Jika dicermati, hampir semua tokoh yang melakukan hubungan seksual secara bebas itu menikmati perilaku seksualnya –yang menurut sebagian besar
mayarakat adalah tidak normatif, menyimpang dari tatanan nilai dan moral
Click to buy NOW PD
w w
w .docu-track.
co m
Click to buy NOW PD
w w
w .docu-track.
co m
14
masyarakat. Semua pelaku-pelaku seksual itu terlihat sangat menikmati aktivitas seksual mereka. Mereka tidak terlihat menutup-nutupi atau bahkan merasa
canggung. Dalam dekonstruksi sendiri, kaum dekonstruksionis sangat memperhatikan
binary opposition. Tujuannya tak lain adalah untuk melihat ideologi atau paradigma sosial kultural yang mendasarinya. Oposisi biner itu kemudian dibalik hirarkinya,
untuk menemukan makna yang tidak absolut. Inilah yang sedang dilakukan oleh Djenar. Dia membalikkan hirarki antara perilaku seksual yang normatif dan tidak
normatif. Hasilnya, perilaku seksual yang tidak normatif pun dapat memberikan kepuasan kepada para pelakunya. Mereka tidak merasa bersalah, namun justru
menikmati dan melihat aktivitas seksual itu sebagai sebuah kegiatan yang lumrah dan dapat dilakukan oleh siapa saja –tanpa melihat jenis kelamin, lawan main, atau
legalitas hubungannya. Memang, dalam perspektif posmodernisme, tubuh tak lain merupakan bejana –wadah seks saja. Tubuh, melihat seks hanya sebagai
kebutuhan yang tingkatannya sama dengan makan dan minum. Seks dalam perspektif posmodernisme merupakan sebuah aktivitas yang tidak hanya berupa
aktivitas untuk menjaga kelangsungan generasi manusia. Seks dalam perspektif ini, dikembalikan pada fungsinya yang semula: yakni memberikan kenikmatan kepada
para pelakunya. bacaan lebih lanjut mengenai seksualitas dalam perspektif posmodernisme dapat dibaca pada buku History and Sexuality I II karya Michael
Foucault.
d. Parodi