Parodi Djenar Maesa Ayu, Sastrawan Perempuan yang Posmodernis?

14 masyarakat. Semua pelaku-pelaku seksual itu terlihat sangat menikmati aktivitas seksual mereka. Mereka tidak terlihat menutup-nutupi atau bahkan merasa canggung. Dalam dekonstruksi sendiri, kaum dekonstruksionis sangat memperhatikan binary opposition. Tujuannya tak lain adalah untuk melihat ideologi atau paradigma sosial kultural yang mendasarinya. Oposisi biner itu kemudian dibalik hirarkinya, untuk menemukan makna yang tidak absolut. Inilah yang sedang dilakukan oleh Djenar. Dia membalikkan hirarki antara perilaku seksual yang normatif dan tidak normatif. Hasilnya, perilaku seksual yang tidak normatif pun dapat memberikan kepuasan kepada para pelakunya. Mereka tidak merasa bersalah, namun justru menikmati dan melihat aktivitas seksual itu sebagai sebuah kegiatan yang lumrah dan dapat dilakukan oleh siapa saja –tanpa melihat jenis kelamin, lawan main, atau legalitas hubungannya. Memang, dalam perspektif posmodernisme, tubuh tak lain merupakan bejana –wadah seks saja. Tubuh, melihat seks hanya sebagai kebutuhan yang tingkatannya sama dengan makan dan minum. Seks dalam perspektif posmodernisme merupakan sebuah aktivitas yang tidak hanya berupa aktivitas untuk menjaga kelangsungan generasi manusia. Seks dalam perspektif ini, dikembalikan pada fungsinya yang semula: yakni memberikan kenikmatan kepada para pelakunya. bacaan lebih lanjut mengenai seksualitas dalam perspektif posmodernisme dapat dibaca pada buku History and Sexuality I II karya Michael Foucault.

d. Parodi

Hanya dalam satu cerpennya, “Moral” inilah Djenar sempat bermain-main secara satire. Moral dalam cerpen ini tak lain hanyalah sebuah barang yang tidak berharga. Moral harganya berada di bawah harga rok. Moral adalah barang dagangan yang tak laku, bahkan harus diobral dahulu supaya orang-orang mau membelinya Saking tak berharganya moral ini, si tokoh aku merasa sayang untuk mengeluarkan uangnya demi parkir ketimbang membeli moral. Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah took. Harganya seribu rupiah. Tapi karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu juta sembilan ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah, akhirnya saya memutuskan untuk kembali menunda membeli moral. Sementara, uang di dompet saya pas dua juta rupiah. Click to buy NOW PD w w w .docu-track. co m Click to buy NOW PD w w w .docu-track. co m 15 Bagaimana saya harus membayar parker yang satu jamnya seribu rupiah plus pajak pemerintah dua puluh persen menjadi seribu dua ratus rupiah? “Moral”, hlm. 25. Secara parodi dan satire, Djenar melihat naik pamornya moral yang dikenakan oleh orang-orang yang menghadiri pesta. Mereka mengenakan moral sebagai hiasan. Lucunya, mereka mengenakan moral sebagai hiasan setelah sebelumnya harga moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR Namun setibanya kami di mulut tangga, begitu terhenyaknya kami melihat pemandangan yang ada. Semua tamu di ruangan itu memakai moral. Ada yang dipasang sebagai hiasan kepala. Ada yang memakai sebagai penghias dada. Ada yang memakai sebagai manset. Bahkan ada yang menghiasi seluruh bajunya. Kami saling berpandang-pandangan, tidak ada dari kami yang memakai moral. Betapa kecewanya saya yang tidak jadi membeli moral kemarin hingga pagi tadi. Apalagi ketika pasangan saya berbisik, “Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini. “Moral”, hlm. 33 Keseluruhan narasi dalam cerpen “Moral” itu tak lain merupakan sindiran terhadap moralitas mayarakat yang mulai dinilai rendah. Masyarakat dinilai sebagai masyarakat yang hipokrit; mengenakan atribut moral sebagai hiasan – itupun harus diobral terlebih dahulu supaya mereka mau mengenakannya. Harga moral itu sangat rendah dan tak ada nilaninya.

5. Seksualitas dalam Cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu: Sebuah Mahakarya nan Estetik