Tinjauan Umum Terhadap Konsep Pembagian Kekuasaan

A. Tinjauan Umum Terhadap Konsep Pembagian Kekuasaan

Teori tentang kekuasaan negara merupakan teori negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus mutlak. Negara adalah lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya. Ia memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Pemikiran ini pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh pemikir besar Yunani kuno yaitu Plato yang dilanjutkan oleh muridnya, Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.

Arti kata pembagian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki kata dasar “bagi” memiliki arti dasar pecah, penggal, cerai, pecahan dari sesuatu yang utuh. Sedangkan pembagian itu sendiri diartikan sebagai proses, cara,

perbuatan membagi atau membagikan 59 . Dengan demikian pembagian dapat diartikan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Dalam terminologi umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain/ kelompok lain sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan

itu sendiri 60 . Miriam Budiardjo 61 mendefinisikan, kekuasaan sebagai “kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk

60 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, Jakarta, tt, hal. 82. Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 13.

61 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 35.

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi selaras dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu.”

Sementara itu Sosiolog terkenal Max Weber 62 , mengartikan kekuasaan sebagai “kesempatan dari seseorang atau sekelom- pok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan- kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.”

Sedangkan Mac Iver 63 , merumuskan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.

Secara populer kekuasaan memang identik dengan dunia politik, padahal makna sebenarnya jauh lebih luas dari itu. Bila kekuasaan hanya dimaknai hanya dalam arti politik, maka itu berarti maknanya telah dipersempit dan menjadi monoform. Sementara bila diperluas, maka maknanya berarti multiform atau polyform.

Dari sekian jenis kekuasaan yang ada dalam masyarakat suatu negara, maka kekuasaan politik mempunyai arti dan kedudukan strategis. Karena penting dan strategisnya kekuasaan politik, maka ke-kuasaan itu harus diintergrasikan, dan integrasi kekuasaan politik ini diwujudkan dalam bentuk negara. Oleh karena negara merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, maka dalam kenyataannya, tindakan negara itu dilakukan oleh sekelompok orang dari kekuatan politik tertentu yang terdapat dalam masyarakat negara melalui cara-cara tertentu. Pada hakekatnya kelompok atau kekuatan politik yang

63 Dikutip dari Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi ....Ibid, hal. 13. Mac Iver, The Web og Goverment, Mac Milan Co, New York, 1965, hal 87 dikutip dari Ellydar Chaidir.....Ibid, hal. 13 63 Dikutip dari Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi ....Ibid, hal. 13. Mac Iver, The Web og Goverment, Mac Milan Co, New York, 1965, hal 87 dikutip dari Ellydar Chaidir.....Ibid, hal. 13

Apabila ditinjau dari sudut hukum tata negara, negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, di dalam negara terdapat banyak kegiatan, dan untuk melaksanakan kegiatan tadi diperlukan banyak alat negara. Tentunya semua pekerjaan alat negara tadi dipadukan untuk mencapai tujuan negara tersebut. Kegiatan alat-alat negara tersebut, baik pelaksanaannya maupun jumlahnya, berada di bawah satu garis kekuasaan yang bersubordinasi dari atas ke bawah, karena itu semakin ke bawah ia semakin

membesar dan semakin banyak 64 .

Kekuasaan itu berarti kemampuan seseorang yang hidup dalam suatu kelompok untuk mengatur kehidupan kelompok tersebut. Jika dalam negara kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau beberapa orang untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat negara tersebut. Bila dalam negara tersebut ada yang tidak patuh, dia mempunyai wewenang dan hak untuk memaksa agar seseorang tadi patuh. Wewenang memaksa bisa diartikan dengan jalan menghukum

atau memasukkannya ke dalam penjara 65 . Identitas negara dan tatanan hukum dapat di lihat dengan jelas dari fakta bahwa sosiolog pun menyebut negara sebagai sebuah masyarakat yang diorganisasikan “secara politik”. Ada kalanya negara dikatakan sebagai organisasi politik dengan alasan bahwa negara adalah “kekuasaan” atau memiliki “kekuasaan.” Negara digambarkan sebagai kekuasaan yang ada di balik hukum, yang menjalankan hukum. Jika ada kekuasaan

64 Muchtar Pakpahan, Ilmu Negara dan Politik, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2006, hal. 66. 65 Ibid , hal. 66-67.

semacam itu, maka kekuasaan tersebut tidak lain adalah fakta bahwa hukum itu sendiri efektif, bahwa ide tentang norma hukum yang menetapkan sanksi memotivasi perbuatan para individu, yakni berfungsi sebagai paksaan psikis bagi para individu. ubungan semacam itu hanya dimungkinkan berda- sarkan sebuah tatanan yang memberi wewenang kepada yang satu untuk memerintah dan mewajibkan yang lain untuk

mematuhinya 66 . Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Action bahwa “Kekuasaan itu mempunyai kecenderungan untuk disalah gunakan (power tends to corrupt), maka untuk mencegah adanya kemungkinan menyalah-gunakan kekuasaan itulah konstitusi atau Undang Undang Dasar disusun dan ditetapkan. Dengan perkataan lain konstitusi itu berisi pembatasan kekuasaan dalam negara. Oleh karena itulah konstitusi mengatur kedudukan serta tugas dan wewenang masing-masing lembaga negara. Hal ini berarti adanya pembatasan kekuasaan terhadap setiap lembaga politik, khususnya pada jajaran Supra Struktur

Politik 67 . Pembatasan kekuasaan ini setidak-tidaknya meliputi ; sejauh mana ruang lingkup kekuasaan, pertanggungjawaban

66 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 67 2006, hal. 272-273. Lembaga supra struktur politik terdiri dari :

1. Eksekutif 2. Legislatif 67 Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di antara ahli hukum tata negara. Ada yang menyebut presidentil, tapi ada juga yang menyebut kuasi presidentil. Hal itu terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. Jika dilihat ketentuan pasal 4(1) dan pasal 17 maka sistem yang dianut UUD adalah presidentil. Sebab kedua pasal itu mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidentil, yaitu, pertama, presiden menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedua, menteri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR. Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Penjelasan

3. Yudikatif 3. Yudikatif

absolut) 69 . Gagasan itu antara lain di kemukakan oleh Jhon Locke 70 . Menurut Jhon Locke dalam perjanjian masyarakat untuk membentuk sebuah negara tidak hanya di dasarkan pada satu macam perjanjian saja yaitu pactum subjectionis 71 , akan tetapi menurut Jhon Locke ada dua perjanjian, yaitu pactum unionis dan pac-tum subjectionis 72 . Perjanjian masyarakat John Locke ini tidak melahirkan kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan terbatas.

68 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1993. hal. 18. Lihat juga Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII

Press, Yogyakarta, 2004, hal. 69, beliau menyatakan semua jabatan yang ada didalam negara republik adalah jabatan yang berfungsi mewujudkan kepentingan umum. Karena itu semua jabatan, pengisian jabatan, dan pemangku jabatan dalam republik pada dasarnya memerlukan keikutsertaan publik, termasuk pertanggungjawaban, pengawasan, dan 69 pengendalian. Dalam perkembangannya, penerapan konsep pemisahan kekuasaan itu meluas ke seluruh dunia

dan menjadi paradigma tersendiri dalam pemikiran tentang susunan organisasi negara modern. Doktrin pemisahan kekuasaan ini bertujuan mencegah terkonsentrasinya kekuasaan secara absolut di satu tangan sehingga cendrung sewenang-wenang. Konsep pemisahan tersebut selanjutnya dikembangkan dan dimodifikasi oleh Emanuel Kant dengan melihat kekuasaan 70 negara yang harus dipisahkan kedalam bentuk tiga fungsi kekuasaan. 71 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 72. Gagasan ini di wacanakan oleh Thomas Hobbes, di mana kontruksi dalam membentuk negara

atau Body Politic di gambarkan melalui perjanjian masyarakat. Akan tetapi Thomas Hobbes 72 lebih menonjolkan satu macam perjanjian yaitu Pactum Subjectionis. Pada tahap pertama diadakan pactum unionis yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk body politic , yaitu negara. Kemudian pada tahapan kedua para individu yang telah membentuk

body politic tadi secara bersama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Jadi, para individu tidak menyerahkan seluruh haknya dan kebebasannya kepada body politic atau kepada seseorang (monarki), atau sekelompok orang, atau diserahkan kepada masyarakat. Perjanjian penyerahan kekuasaan itu disebut pac-tum subjectionis. Oleh karena itu rakyat tetap memegang hak-hak asasinya, dan apabila rakyat berpendapat raja telah melanggar hak-hak asasinya, maka rakyat dapat mendaulat raja turun dari singgasananya.

Yang dimaksud terbatas disini ialah dibatasi oleh hak-hak asasi dan kebebasan tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat.

Sebagaimana diketahui, perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian, hal ini sama artinya dengan hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian, perjanjian masyarakat itu sama artinya dengan hukum. Jadi kekuasaan raja yang dibatasi oleh perjanjian masyarakat, berarti

sama dengan kekuasaan raja dibatasi oleh hukum 73 . Adanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh hukum ini disebut oleh Daniel S Lev 74 , Carl J. Friedrich 75 sebagai unsur pertama negara hukum. Melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties of Government” John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi- bagi kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut John Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)

2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)

3. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik

dengan negara-negara lain) 76 .

Montesquieu dalam bukunya I’Esprit des Lois (1689-1755) memisahkan kekuasaan dalam negara atas tiga jenis yaitu 77 :

74 Sobirin Marlian, Gagasan Perlunya Konstitusi.....Ibid, hal. 32. Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan 75 Perubahan , LP3ES, Jakarta, 1990, hal. 513-514. Dalam Miriam Budiardjo, Constitutional Goverment and Democracy; Theory and Practice in Europe and America, Blaisdell Publishing Company, 1967, bab. VII.

76 Tugas kekuasaan ini antara lain menyatakan perang atau melaksanakan perdamaian dengan negara lain, ataupun mengadakan perjanjian kerjasama sejauh menyangkut

77 keharmonisan dan kebaikan lembaga antar negara. Sukarna, Demokrasi Versus Kediktatoran, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hal. 2. Lihat juga I.Md Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam

Demokrasi Modern , Abardin, Bandung, 1990, hal. 18. lihat juga Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 73, dijelaskan bahwa menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam organ-organ Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang; eksekutif melaksanakan undang-undang; yudikatif mengadili kalau terjadi pelanggaran atas undang-undang tersebut.

1. La puissance legislative (kekuasaan legislatif),

2. La puissance executive (kekuasaan eksekutif), dan

3. La puissance de juger (kekuasaan yudikatif). Jika dibandingkan, akan segera terlihat perbedaan konsep

Locke dan Montesquieu sebagai berikut ;

1. Menurut Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti, melaksanakan undang-undang, sedangkan ke- kuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.

Konsep John Locke tentang kekuasaan lembaga peradilan yang kemudian disebutnya sebagai lembaga eksekutif itu bahkan mencakup kekuasaan lain, di luar yang dikenal sekarang ini, yaitu hak untuk memanggil parlemen untuk bersidang, kekuasaan untuk memerintahkan merobohkan rumah orang jika rumah tetangganya mengalami kebakaran, bahkan kekuasaan melakukan perbuatan yang tidak sah menurut Undang-Undang pada saat keadaan bahaya. Betapapun begitu, menurut Polak, terdapat pertanda yang tegas bahwa istilah “excecutive power” yang dipikirkan oleh John Locke pertama-tama berarti kekuasaan peradilan. Kekuasaan peradilan ketika itu dikehendaki sebagai lembaga

yang bebas 78 .

2. Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

Akan tetapi, baik Locke maupun Montesquieu menyatakan bahwa didalam negara demokrasi harus ada lembaga peradilan

78 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 94.

yang bebas dan merdeka dari kekuasaan lain dalam melaksana- kan tugas-tugasnya. Kekuasaan tidak boleh dikonsentrasikan di satu tangan sebab konsentrasi kekuasaan akan menyebabkan tiadanya lembaga peradilan yang netral dan tidak memihak. Oleh sebab itu, pemencaran kekuasaan menjadi mutlak diperlukan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan yang sangat potensial untuk korup itu. Namun, tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa prinsip bebas merdeka itu harus diartikan adanya struktur organisasi ketatanegaraan yang betul-betul memisahkan lembaga yudikatif dari lembaga eksekutif. Artinya, secara struktur kelembagaan bisa saja yudikatif itu tidak terpisah dari eksekutif, tetapi dalam pelaksanaan tugas-tugasnya harus betul-betul merdeka. Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh Montesquieu tidak secara jelas menyebutkan adanya pemisahan organ di dalam jaringan

organisasi kekuasaan negara 79 .

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat di jelaskan bahwa pemisahan kekuasaan lebih bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (Checks and Balance). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga

tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat 80 . Tujuan dipisahkannya kekuasaan di atas pada dasarnya bertujuan untuk mencegah agar supaya kekuasaan negara tidak terpusat pada satu tangan saja. Karena penumpukan kekuasaan

dapat berakibat lahirnya kekuasaan yang sewenang-wenang 81 . Untuk mengetahui apakah suatu negara menganut pem- bagian ataukah pemisahan kekuasaan dapat dilihat dari

80 Ibid, hal. 94-95. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 81 1945 , FH.UII Press, Yogyakarta, 25, hal. 35. Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi Konstitusional Tentang Pemisahan Kekuasaan Negara) , Jurnal Mahkamah, UIR Press,

Pekanbaru, Volume 15, April, 2004, hal. 132.

Undang-Undang Dasar negara itu, yakni apakah ada dua lembaga negara yang mengerjakan satu fungsi yang sama 82 . Hal ini sejalan dengan pendapat Ellydar Chaidir yang menya- takan bahwa 83 ; Kalau Undang-Undang Dasar suatu negara dimana dari ketiga kekuasaan yang dibagi itu ternyata dalam kenyataannya tidak terdapat pemisahan kekuasaan, karena umpamanya undang-undang dibuat oleh eksekutif dan legislatif, maka Undang-Undang Dasar tersebut dikatakan menganut asas pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan.

Pada kenyataannya, ternyata sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dilakukan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing. Pembagian kekuasaan-kekuasaan itu ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Emmanuel Kant kemudian di beri nama Trias

Politika 84 . Inti dari ajaran ini adalah adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, sehingga dengan demikian penyeleng-garaan pemerintahan negara tidak berada dalam kekuasaan satu negara 85 . Selain itu, Dahlan Thaib juga memberikan catatan bahwa Trias Politika menghendaki adanya Check and Balances, yang artinya antara lembaga negara dengan lembaga negara yang lain saling mengawasi serta saling menguji agar tidak saling melampaui

kewenangannya masing-masing 86 .

83 Ibid. Ellydar Chaidir, Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden Perspektif Konstitusi, 84 UII Press, Yogyakarta, 2001, hal. 45. Alasan pemberian nama Trias Politika ialah karena konsep John Locke maupun Montesquieu tentang kekuasaan negara dipisahkan kedalam tiga fungsi atau tiga poros. Trias Politika diartikan

sebagai Tri = tiga, As = Poros (pusat), Politika = kekuasaan atau tiga pusat atau poros kekuasaan negara. Oleh karenanya, meskipun selama ini Trias Politika selalu dikaitkan dengan nama Montesquieu, namun sebenarnya pemberian nama Trias Politika untuk teori pemisahan kekuasaan adalah Emmanuel Kant bukan Montesquieu. Lihat Fajar Laksono dan Subardjo, 85 Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden , UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 35. 86 Dahlan Thaib, Implementasi....Ibid. hal. 19. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta,

1993, hal. 20.

Negara-negara modern menerapkan teori Montesquieu itu dengan modifikasi yaitu dari pemisahan kekuasaan bergeser ke pembagian ke-kuasaan. Namun apa pun modifikasi itu, adalah suatu kenyataan bahwa dalam negara-negara demokrasi selalu terlihat adanya lembaga-lembaga negara yang menjalankan ketiga jenis kekuasaan tersebut terlepas dari persoalan apakah satu sama lainnya betul-betul terpisah atau dapat saling kontrol atau saling mencampuri. Wujud konkret dari pelaksana kekuasaan-kekuasaan itu adalah berupa lembaga-lembaga

negara 87 . Dengan adanya pembagian kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan antara organ-organ negara itu dalam opera- sional kekuasaan masing- masing. Dengan sistem yang demikian maka di dalam ajaran Trias Politica terdapat suasana “Checks and balances ”, di mana di dalam hubungan antar lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang telah ditentukan. Dengan demikian akan terdapat perimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara tersebut.

Harus diakui bahwa gagasan untuk memisahkan kekuasaan yang berarti pula sebagai upaya pembatasan kekuasaan, merupakan gagasan politik yang cemerlang. Dapat dibayangkan andaikata ke-kuasaan itu berada dalam satu tangan; bukan tidak mungkin tirani dan kesewenang-wenangan akan timbul dari pihak yang sedang memegang kekuasaan dalam negara. Oleh karena itulah kekuasaan negara itu harus dicegah jangan sampai

berada dalam satu tangan 88 .

Terhadap masalah ini Maurice Duverger dalam bukunya “Teori dan Praktek Tata Negara” mengatakan bahwa persoalan tersebut maha penting. Oleh karena masalah tersebut

87 I.Md Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi Modern, Abardin, Bandung, 1990, hal. 18.

88 Dahlan Thaib, Implementasi...Ibid. hal. 20.

dikemukakan justru pada waktu ilmu pengetahuan, serta praktek ketatanegaraan meletakkan pada tangan penguasa suatu maha kekuasaan yang tak di kenal oleh penindas

manapun juga di dalam sejarah ketatanegaraan 89 . Kesemuanya itu tentang banyak sedikitnya lembaga- lembaga negara tergantung pada ketentuan konstitusi dari masing-masing negara. Jumlahnya boleh lebih dari tiga tetapi tidak mungkin kurang dari tiga. Misalnya konstitusi Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) mengenal enam lembaga negara, yaitu: MPR, Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA, namun jika ditinjau dari fungsi masing-masing lembaga negara itu kiranya dapat dikembalikan kepada tiga jenis pokoknya (genus) yang semula yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. MPR, DPR, BPK, dan presiden dapat digolongkan dalam jenis pokok kekuasaan legislatif. Presiden dan DPA dapat digolongkan dalam jenis pokok kekuasaan eksekutif, serta Mahkamah Agung dapat digolongkan dalam jenis pokok kekuasaan yudikatif.

Lembaga-lembaga negara yang diperlukan dalam suatu negara dengan sendirinya juga tergantung dari dasar pemikiran pembentuk konstitusi dalam kaitan dengan efektifitas pencapaian tujuan negara. Tentu saja dasar pemikiran itu tidak mengabaikan faktor falsafah bangsa, historis, sosial politik dan kultural. Jadi apabila menurut pertimbangan pembentukan konstitusi tujuan negara akan bisa dicapai secara efektif hanya dengan tiga lembaga negara saja, maka negara itu akan mengenal tiga lembaga negara. Misalnya menurut konstitusi AS 1789, Amerika hanya memiliki tiga lembaga negara, yaitu Congress,

President dan Supreme Court 90 .

Kuantitas dari jenis pokok kekuasaan negara yang jum- lahnya tiga itu tidak akan terpengaruh oleh perkembangan keilmuan yang berupa pemunculan versi pembagian kekuasaan

89 Maurice Duverger, Teori dan Praktek Tata Negara, PTM Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987. 90 Ibid. hal. 19.

seperti misalnya Van Vollen-hoven 91 membagi kekuasaan dalam negara menjadi empat, yaitu:

1. wetgeving,

2. bestuur,

3. rechtspraak, dan

4. politie. Prof. Lemaire membaginya menjadi lima, yaitu :

1. wetgeving,

2. bestuur zorg,

3. bestuur,

4. rechtspraak, dan

5. politie. Sedangkan Prof. Donner, Woodrow Wilson, Frank Goodnow,

Her-man Finer, dan Han Kelsen justru membagi kekuasaan dalam negara menjadi dua (dwipraja) yang pada pokoknya terdiri atas “penentu tugas” (politic, taak stelling, policy making, politik als ethik ) dan “pelaksana tugas” (administration, taak

verwezenlijking, policy exe-cuting, politik als tehnik ) 92 . Berangkat dari ide tentang kebebasan dan hak-hak asasi manusia Montesquieu telah memancangkan tonggak ketatane- garaan dengan teorinya itu. Untuk demokratisnya suatu negara dalam pemerintahannya maka Montesquieu, menggariskan bahwa bagi satu negara kekuasaan harus dipisahkan menjadi tiga yaitu: Pertama, kekuasaan legislatif (pembuat undang- undang). Kedua, kekuasaan eksekutif (pemerintah, pelaksana undang-undang). Ketiga, kekuasaan yudikatif (peradilan, kehakiman). Teori tersebut rupanya menjadi alternatif terbaik bagi negara-negara demokrasi sehingga di terima sebagai model kerangka penyelenggaraan negara demokrasi (moderen). Cuma

92 Ibid, hal. 19. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 33-34.

saja penafsiran yang timbul atas teori tersebut tidak selalu sama, terbukti kemudian muncul tiga sistem yang sama-sama beranjak dari Trias Politika. Sistem-sistem tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, sistem Presidensial, di mana Presiden menjadi Kepala Pemerintahan dan terlepas dari pengaruh legislatif maupun yudikatif; pemisahan tegas seperti ini di anut di Amerika Serikat. Kedua, sistem Parlementer, di mana Presiden hanyalah sebagai Kepala Negara sedangkan kekuasaan pemerintahannya dilakukan oleh Menteri, tetapi dalam sistem ini Menteri (Pemerintah) bertanggung jawab kepada Parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Ketiga, sistem referendum, yaitu model demokrasi langsung dimana Pemerintah dibentuk oleh Parlemen sebagai badan pekerja. Sistem Parlementer dapat kita lihat di India, Israel dan Inggris sedangkan sistem referendum

dipakai di negara kecil Swiss 93 .

Dalam mencapai tujuan negara, secara struktural fungsional lembaga-lembaga negara satu sama lain akan saling berhu- bungan. Ditinjau dari frekuensi hubungan maka hubungan antara legislatif dan eksekutif tergolong tinggi frekuensinya, sedangkan hubungan antara legislatif dan eksekutif di satu pihak. dengan yudikatif di pihak lain tergolong rendah frekuensinya. Hubungan antara lembaga-lembaga negara

itulah yang akan menimbulkan sistem ketatanegaraan 94 . Istilah sistem ketatanegaraan perlu diintrodusir untuk membedakan sistem pemerintahan yang akan diuraikan lebih lanjut dalam sub berikut ini.