Tinjauan Umum Terhadap Hak Prerogratif Presiden

A. Tinjauan Umum Terhadap Hak Prerogratif Presiden

Pemahaman tentang jabatan beserta fungsi-fungsi yang melekat atau dilekatkan padanya bersifat abstrak dan statis. Agar jabatan beserta fungsi-fungsi tersebut menjadi konkret dan bergerak mencapai sasaran atau tujuan, harus ada pemangku jabatan yaitu para pejabat, sebagai orang per- orangan (natuurlijkpersoon) yang duduk atau didudukkan dalam suatu jabatan dengan tugas dan wewenang (taak en bevoegheid) untuk merealisasikan berbagai fungsi jabatan tertentu. Agar tugas dan wewenang pejabat dapat dilaksanakan dalam suatu tindakan konkret dan dapat dipertanggungjawabkan (baik secara politik, hukum, atau sosial), kepada pejabat dibekali dengan hak dan kewajiban (recht and plicht) tertentu 144 .

Istilah presiden dalam ketatanegaraan digunakan untuk menyebut kepala negara dari negara yang berbentuk republik. Kepala negara dalam negara-negara modern adalah salah satu supra struktur politik yang ada dalam negara, yang memiliki kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Dalam perkembangan konsep-konsep kenegaraan modern, fungsi dan kewenangan presiden dalam negara terutama tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh negara itu. Dalam penjabaran selanjutnya, turunan fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan utama dari presiden serta mekanisme pelaksanaannya berbeda-beda antara masing-masing negara, tergantung dari konsensus politik dari negara-negara tersebut.

144 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH.UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 66.

Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan kedudukan presiden, sebagaimana adanya kedudukan-kedudukan lain dalam negara, adalah didasarkan pada adanya fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan tertentu yang diberikan kepadanya untuk dilaksanakan. Dari kenyataan ini timbul pertanyaan mendasar yaitu fungsi-fungsi dan kewenangan- kewenangan apa saja yang pada prinsipnya melekat pada presiden atau jabatan yang serupa dengannya dalam negara

Pada akhir abad ke-19 terjadi perubahan yang besar, dalam arti bahwa “ Negara penjaga malam” ditinggalkan dan menjadi “ Negara Kesejahteraan” (Welfare State). Dalam negara kesejah- teraan ini kedudukan pemerintah (baca : eksekutif) memegang peranan penting dan menentukan. C.F Strong menerangkan bahwa pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah) dalam negara modern mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan luas yang kalau diperincikan meliputi 145 :

1. Kekuasaan Diplomatik (Diplomatic Power), yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.

2. Kekuasaan Administrasi (Administrative Power), yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara.

3. Kekuasaan Militer (Military Power), yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang.

4. Kekuasaan Yudikatif (Judicial Power)/Kehakiman, yaitu menyangkut pemberian pengampunan, penangguhan hukuman dan sebagainya terhadap nara pidana atau pelaku kriminal.

5. Kekuasaan Legislatif (Legislative Power), yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan mengatur proses pengesahannya menjadi undang- undang.

C.F Strong dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 45-46.

Karena demikian besar dan luasnya kekuasaan pemerintah, maka diperlukan adanya pembatasan kekuasaan lewat pengawasan dan kontrol yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Secara pasti konstitusi harus merumuskan prinsip-prinsip dan mekanisme pembatasan kekuasaan pemerintahan dalam praktek kenegaraan 146 .

Pemikiran tentang kekuasaan presiden atau Kepala Negara merupakan turunan dari pemikiran kekuasaan dan negara. Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang seharusnya memegang kekuasaan negara tersebut. Negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh orang-orang dalam sekelompok masyarakat dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu pemba- hasan tentang siapa yang menyelenggarakannya dan alasan yang melatarbelakangi hal tersebut menjadi bahasan yang penting dalam teori tentang kekuasaan dan negara.

Prerogatif secara kebahasaan berasal dari bahasa latin praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogrativus (diminta sebagai yang pertama memberikan suara), praerogare (diminta sebelum meminta yang lain) 147 .

Sementara itu, hak prerogratif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah di artikan sebagai hak istimewa yang ada pada seseorang karena kedudukannya sebagai kepala negara 148 .

Sebagai pranata hukum (hukum tata negara), prerogratif

147 Ibid, hal. 46. Bagir Manan, “UUD 1945 Tak Mengenal Hak Prerogratif“, Republika, Sabtu, 27 Mei 2000, 148 hal. 8. Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, tt, hal. 274. 149 Ketika di Inggris timbul perkembangan baru dalam hukum tata Negara Kerajaan, dimana

kekuasaan Raja selaku Kepala Negara harus dikurangi dan sistem pemerintahan dan tanggungjawab harus diberikan kepada Menteri dan pertanggungjawaban pemerintah itu diberikan kepada parlemen, dalam beberapa hal diberikan hak-hak atau privilege istimewa kepada Raja. Lihat Herman Sihombing, Lembaga Prerogatif Dalam Negara Republik Indonesia, Kompas, 8 Juli 1982.

berasal dari sistem ketatanegaraan Inggris. Hingga saat ini, pranata prerogatif tetap merupakan salah satu sumber hukum, khususnya sumber hukum tata negara di Kerajaan Inggris 149 . Tidak mudah merumuskan pengertian kekuasaan prerogatif, baik karena sumber historisnya sebagai pranata hukum maupun lingkupnya. Pada saat ini, kekuasaan prerogatif makin banyak dibatasi, baik karena diatur oleh undang-undang atau pembatasan-pembatasan cara melaksanakannya 150 .

Sejumlah kalangan memandang hak prerogatif merupakan sisa- sisa peninggalan masa otoritarianisme sebelum era pencerahan di Eropa. Pada 15 Juni 1215 kala Raja Jhon bertahta, angin perubahan berembus saat Magna Charta ingin dilakukan perubahan. Piagam tersebut memuat hak-hak istimewa para bangsawan tinggi. Piagam itu dianggap sebagai tonggak yang mengawali upaya pengikut sertaan rakyat dalam manajemen kekuasaan. Perlahan tapi pasti, kekuasaan raja atau ratu Inggris semakin mengecil. Semua pemangkasan itu dicantumkan dalam undang-undang. Hak prerogatif adalah kekuasaan yang masih tersisa di tangan raja atau ratu dan tidak diatur undang-undang. Kini, praktis raja atau ratu Inggris hanya menjadi simbol. Dalam praktek ketatanegaraan perannya nyaris nihil. Bentuk hak prerogatif yang sekarang masih dimanfaatkan raja atau ratu, misalnya menganugerahi gelar kebangsawanan kepada seseorang 151 .

Di Amerika Serikat, sekalipun kekuasaan presiden tampak- nya dikekang oleh pembatasan konstitusi dan kesulitan- kesulitan dari bekerja dengan lembaga-lembaga yang terkoordinasi dengannya, presiden punya cara untuk menyia- satinya. Dari waktu ke waktu mereka menggunakan kekuasaan prerogatif 152 yang besar, berdasar pada tafsir mereka sendiri

150 Ni’Matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia; Kajian Terhadap Dinamika Perubahan 151 UUD 1945 , FH.UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 104.

Forum Keadilan, No.29, 12 Agustus 2001, hal. 14. Konsep dasar dari hak prerogatif ini adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan, a.n.

negara, bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogratif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara.

terhadap konstitusi. Bersenjatakan kekuasaan ini, mereka secara sepihak mengambil langkah untuk menyelesaikan perselisihan kebijakan yang serius atau mengatasi krisis, kemudian melakukan justifikasi atas tindakan mereka kepada Kongres dan rakyat Amerika, dengan mempertahankan keabsahan tindakan mereka (hak mereka untuk menjalankan kekuasaan) serta wewenang tindakan mereka (kebaikan dari kebijakan mereka).

Sejak awal negara Amerika Serikat berdiri, kekuasaan prerogatif telah menyelesaikan perselisihan-perselisihan penting. George Washington, secara sepihak mengumumkan netralitas dalam konflik Inggris-Perancis pada awal 1790-an, sekalipun tak ada satu kata pun di konstitusi yang secara jelas memberikan ia kekuasaan untuk melakukan hal ini. Thomas Jefferson, membeli Wilayah Lousiana dari Perancis di tahun 1803, sekalipun tak ada satu kata pun di konstitusi yang merinci kekuasaan pemerintah nasional untuk mendapatkan wilayah. Andrew Jackson, memakai kekuasaan untuk memecat anggota- anggota kabinetnya, menegakkan supremasi presiden di dalam departemen eksekutif, sekalipun konstitusi tidak mengatakan apa pun tentang hal ini 153 . Abraham Lincoln, menggunakan begitu banyak kekuasaan dalam kepresidenannya yang kemudian disebut oleh ahli politik Clinton Rossiter dari Cornell sebagai “kediktatorar konstitusional”: konstitusional dalam arti pemilihan tengah waktu dan pemilihan presiden diadakan di tengah berkecamuknya perang saudara; dan kediktatoran dalam arti bahwa Lincoln terkadang melampaui batas-batas hukum dan konstitusi pada saat krisis nasional. Franklin Roosevelt juga mengandalkan kekuasaan prerogatif sebelum Amerika Serikat memasuki Perang Dunia II. Ia membuat kesepakatan antar pemerintah dengan Inggris Raya untuk menukar kapal-kapal perusak lama bagi pangkalan angkatan laut, sebuah manuver yang sangat menolong konvoi Inggris

153 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan......Op.Cit, hal. 105-106.

melintas Atlantik Utara dengan peralatan perang. Kesepakatan antar pemerintah, tidak seperti halnya sebuah traktat, tidak memerlukan persetujuan dua pertiga Senat, inilah mengapa Roosevelt menggunakan bentuk kesepakatan internasional saat memakai prerogatifnya sendiri 154 .

Pada intinya ada empat pendekatan yang digunakan dalam mengindentifikasikan kasus-kasus diatas, empat pendekatan itu adalah 155 :

1. Bahwa presiden tidak memiliki inherent power. Presiden hanya dapat bertindak atas dasar ketentuan eksplisit dalam undang-undang dasar atau setidaknya berda- sarkan ketentuan eksplisit yang ditentukan dengan undang-undang (There is no inherent presidential power; the president may act only if there is express constitutional or statutory authority );

2. Presiden memiliki inherent authority sepanjang tidak mencampuri atau mengambil kekuasaan cabang-cabang yang lain (The president has inherent authority unless the president interferes with the functioning of another branch of government or usurps the powers of another branch ).

3. Presiden boleh bertindak di luar kekuasaan yang secara eks-plisit ditentukan dalam Undang-Undang Dasar sepanjang presiden tidak melanggar ketentuan undang- undang atau Undang-Undang Dasar (The president may exercise powers not mentioned in the Constitution so long as the president does not violate a statute or the constitution ).

4. Presiden memiliki inherent power yang tidak boleh dikurangi atau dibatasi oleh Kongres dan bebas bertindak asalkan tidak melanggar undang-undang dasar (The president has inherent powers that may not be restricted by Congress and may act unless the Constitution is violated ).

154 Richard M.Pious, “Kekuasaan Kepresidenan“, dalam Jurnal Demokrasi, HTTP// USINFO.STATE.GOV.,hal. 46.

155 Jimlly Ashiddiqie, Pokok-Pokok….Op.Cit, hal. 334-335.

Keempat pendekatan tersebut sama-sama dapat dipakai berda-sarkan kasus demi kasus yang dihadapi. Tidak ada kasus yang dapat dijadikan contoh untuk menyatakan bahwa satu pende-katan benar dan yang lain salah. Pendekatan pertama hanya memberikan kekuasaan kepada presiden yang diten- tukan secara eksplisit dalam undang-undang dasar atau sekurang-kurangnya dalam undang-undang. Pendekatan keempat memberikan kekuasaan kepada presiden yang luas asalkan tidak melanggar undang-undang dasar. Pendekatan kedua memungkinkan pengadilan membatalkan suatu tindakan presiden yang mencampuri atau bahkan mengambil porsi kewenangan cabang kekuasaan lain. Sedangkan pende- katan ketiga lebih mementingkan peran parlemen atau kongres dalam mengawasi pelaksanaan tugas pre-siden agar tidak melanggar undang-undang dan undang-undang dasar 156 .

Ketika seorang presiden memakai kekuasaan “prerogatif” berhasil, dan berhasil, ada efek “reaksi positif”: partainya dan rakyat Amerika bersatu di belakangnya; oposisi sering terpecah dan hilang kepercayaan; inisiatif sering diratifikasi dan disahkan oleh sidang legislatif berikutnya atau keputusan pengadilan. Sebaliknya, seorang presiden yang langkah-langkahnya diperiksa oleh pengadilan seperti ketika Presiden Truman menyita pabrik-pabrik baja selama perang Korea, dan Presiden Nixon menimbun dana untuk program domestik menghadapi efek “pukulan balik”, sehingga wajar bila Kongres meloloskan undang-undang yang makin menyulitkan Presiden menggu- nakan kekuasaan “prerogatif”. Maka, terdesaknya Nixon di pengadilan-pengadilan diikuti munculnya sebuah undang- undang yang mengharuskan Presiden mendapatkan persetu- juan Kongres untuk keluarnya dana yang diloloskan Kongres, dengan aturan ini dana bisa ditangguhkan atau dibatalkan

156 Erwin Chemerinsky, Constitutional Law; Principles and Policies, Aspen Law & Business, 1997, hal.343-244. dalam Jimlly Ashidiqqie, Pokok-Pokok.....Ibid, hal.334-335.

Kongres 157 . Menurut konstitusi-konstitusi Inggris dan Canada, eksekutif masih mempunyai beberapa discretionary power, yang terkenal sebagai prerogatif raja. Istilah terakhir ini dipergunakan untuk mencakup sekumpulan besar hak-hak dan privileges yang dipunyai oleh raja dan dilaksanakan tanpa suatu kekuasaan perundang-undangan yang langsung. Disamping itu, jika parlemen menghendaki, dengan undang-undang ia dapat membatalkan prerogatif itu. Dengan kata lain, prerogatif itu ada selama dan sejauh ia diakui dan diijinkan oleh undang-undang 158 .

Berdasarkan pendapat diatas, Husnu Abadi mengartikan bahwasanya hak tersebut tidak terlepas dari kontrol dan pengawasan itu sendiri. Ianya berkesimpulan dengan asumsi bahwa hak tersebut sejauh diakui dan harus mendapat persetujuan dari undang-undang 159 .

Di dalam sistem Perancis, kekuasaan perundang-undangan yang diserahkan oleh Undang-undang Dasar baru kepada Parlemen telah ditentukan secara limitatif dalam sebuah daftar. Semua soal-soal yang tidak termasuk dalam daftar tindakan- tindakan legislatif yang ditentukan itu, adalah menjadi hak eksekutif untuk mengaturnya. Jadi kekuasaan eksekutif Perancis telah menarik residuary authority (kekuasaan yang selebihnya) ke bawah kekuasaan konstitusionalnya tidak hanya “untuk menjamin pelaksanaan undang-undang” seperti ditetapkan oleh undang-undang Dasar yang lalu, tetapi sejauh mengenai pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, prinsip yang dianut ialah bahwa wewenang umum adalah pada eksekutif untuk mengatur dengan dekrit segala sesuatu soal yang tidak dengan pengecualian telah diserahkan kepada wewenang badan legislatif 160 .

158 Ibid, hal. 47. 159 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal. 61. Hasil wawancara Penulis dengan Husnu Abadi pada tanggal 9 September 2007. 160 Ibid.

Dicey merumuskan prerogatif sebagai residu dari kekuasaan diskresi ratu/raja, yang secara hukum tetap dibiarkan dan dijalankan sendiri oleh ratu/raja dan para menteri 161 .

Disebut sebagai residu karena kekuasaan ini tidak lain dari sisa seluruh kekuasaan yang semua ada pada ratu/ raja (kekuasaan mutlak) yang kemudian makin berkurang karena beralih ke tangan rakyat (parlemen) atau unsur-unsur pemerintah lainnya (seperti menteri). Kekuasaan prerogatif bersumber pada common law (hukum tidak tertulis yang berasal dari putusan hakim). Karena tidak memerlukan suatu dasar undang-undang, oleh sebagian orang kekuasaan prerogatif dipandang sebagai: undemocratic and potentially dangerous.

Untuk mengurangi sifat tidak demokratik dan bahaya- bahaya tersebut, maka penggunaan kekuasaan prerogatif dibatasi dengan dialihkan ke dalam undang-undang, kemung- kinan diuji melalui peradilan (judicial review), atau kalau akan dilaksanakan oleh raja/ratu harus terlebih dahulu mendengar pendapat atau pertimbangan menteri. Suatu kekuasaan prerogatif yang sudah diatur dalam undang-undang tidak disebut sebagai hak prerogatif lagi, melainkan sebagai hak yang berdasarkan undang-undang. Jadi, kekuasaan prerogatif mengandung beberapa karakter; (1) sebagai residual power; (2) merupakan kekuasaan diskresi (fries ermessen, beleid); (3) tidak ada dalam hukum tertulis; (4) penggunaan dibatasi; (5) akan hilang apabila telah diatur undang-undang, atau Undang-Undang Dasar 162 .

161 Yang disebut dengan kekuasaan diskresi (discretionary power) adalah segala tindakan raja/ratu atau pejabat kenegaraan lainnya yang secara hukum dibenarkan walaupun tidak ditentukan

atau didasarkan pada suatu ketentuan undang-undang. 162 Bagir Manan, Republika, 27 Mei 2000, Op.Cit.

Hak prerogatif adalah hak istimewa yang diberikan oleh yang berdaulat kepada orang atau lembaga tertentu. Dalam ketatanegaraan, Presiden (bukan wakil Presiden) diberi hak presogatif untuk hal-hal tertentu sebagai kepala negara 163 .

Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, menurut Solly Lubis 164 , Presiden mempunyai hak-hak prerogatif, selain menyangkut kewenangan ke dalam juga kewenangan dalam hubungan ke luar 165 .

Lebih lanjut, Bagir Manan 166 menyatakan, dalam tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus 167 , meskipun tugas dan wewenang konstitusional Presiden tersebut bersifat “prerogatif”, tetapi ada dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan sehingga menjadi bagian dari objek administrasi negara.

Mahfud MD juga mengusulkan agar penggunaan hak prerogatif presiden dalam pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan dan pengangkatan pejabat negara tertentu oleh Presiden untuk masa mendatang sebaiknya dimintakan konfirmasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dimaksudkan agar hak prerogatif tidak dimanfaatkan untuk

163 Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945, Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,

164 hal. 36. Solly Lubis dalam Padmo Wahjono (Editor), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, 165 Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 197-198. Dari sudut sistem nasional, kaitan yang penting antara kewenangan prerogatif dengan

kepentingan nasional ialah kecendrungan orientatif yang perlu dikembangkan pada sikap dan kebijakan Kepala Negara dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan prerogatif itu, sehingga konsisten selalu dengan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma yang terdapat

166 dalam ketiga landasan ketatanegaraan kita. Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, hal.127-128.

167 Yang dimaksud dengan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus adalah penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada

presiden pribadi yang memiliki sifat prerogatif (di bidang pemerintahan). Tugas dan wewenang pemerintahan tersebut adalah; Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan luar negeri, dan hak memberi gelar dan tanda jasa . Lihat juga UUD 1945 Pasal 10, 11, 13, dan 15.

menggalang dukungan politik atau menyingkirkan lawan politik bahkan membangun mitra kolusi dalam berbagai hal. Disamping itu, untuk mengontrol hak prerogatif Presiden dalam bidang perundang-undang perlu diberi jalan pelaksanaan lembaga judicial review 168 .

Dalam kaitan ini, S. Toto Pandoyo 169 menyatakan, seorang kepala negara, baik seorang raja maupun presiden, tentu memiliki hak prerogatif atau ada yang menyebutnya dengan istilah hak khusus atau hak istimewa. Bagi negara-negara hukum demokratik, tentunya ketentuan dan macam serta jumlah hak prerogatif dimaksud tercantum tegas-tegas di dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai hak-hak prerogatif yang dimaksud lama kelamaan menjadi bertambah jumlah dan macamnya. Selain itu, untuk menjaga hak-hak tersebut termasuk hak prerogatif, agar lama kelamaan tidak berkembang isi dan maknanya, maka diperlukan adanya penjelasan yang lengkap.

Menurut Mahfud MD 170 , pemberian hak prerogatif untuk melakukan hal-hal tertentu bagi presiden merupakan konse- kuensi dari minimal dua hal;

1. Pertama, penganutan paham negara hukum materil (welfare state). Di dalam wawasan negara hukum material ini fungsi dan tugas pemerintah direntang menjadi sedemikian luas sehingga tidak lagi sekedar melaksanakan Undang-Undang melainkan melakukan berbagai hal menurut kreasi dan kewenangannya sendiri. Tugas pokok pemerintah di dalam negara hukum material ini adalah membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan Undang-Undang. Untuk itu

Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 269- 169 270. S. Toto Pandoyo, dalam Hikmat Hardono dan R.Yunita (Editor), Tidak Tak Terbatas Kajian Atas Lembaga Kepresidenan RI, Pandega Media bekerjasama dengan Badan Eksekutif

Mahasiswa UGM, Yogyakarta, 1997, hal. 72.

Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 257.

diciptakanlah lembaga kewenangan yang disebut freies ermessen 171 ,

Freies ermessen bagi pemerintah di negara hukum materil menimbulkan implikasi baik di bidang eksekutif maupun di bidang perundang-undangan. Dalam bidang perundang- undangan dapat dicatat adanya tiga macam kewenangan bagi pemerintah yaitu kewenangan inisiatif (membuat peraturan yang sederajat dengan undang-undang tanpa harus minta persetujuan parlemen lebih dahulu dengan syarat bahwa peraturan tersebut dibuat karena keadaan memaksa); kewenangan delegasi (membuat peraturan pelaksanaan atas ketentuan-ketentuan undang-undang dan droit function (membuat penafsiran sendiri atas materi peraturan). Dalam bidang pemerintahan implikasi freies ermessen ini, antara lain, ditandai dengan adanya hak prerogatif 172 .

Dengan demikian, seberapa besar porsi untuk memegang hak prerogatif bagi pemerintah akan sangat ditentukan oleh seberapa besar pula penganutan terhadap wawasan negara hukum. Artinya di dalam negara yang cenderung menganut faham negara hukum material 173 , porsi hak prerogatifnya akan lebih besar daripada negara yang cenderung pada wawasan negara hukum formal 174 . Pada umumnya hak prerogatif

171 Yaitu suatu kewenangan bagi pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat tersebut.

Dengan demikian, pemerintah di dalam negara hukum material ini dituntut untuk bersikap aktif.

173 Mahfud MD, Hukum,...Ibid, hal. 258. Negara hukum materiil sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari negara hukum formal. Apabila pada negara hukum formil tindakan dari penguasa harus berdasarkan undang-

undang atau harus berlaku asas legalitas, maka dalam negara Hukum Materil tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga negaranya dibenarkan bertindak menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas Opportunitas. Lihat Abu Daud Busroh, Ilmu Negara , Bumi Akasara, Jakarta, 1990, hal. 54, juga dalam Ellydar Chaidir, Negara

174 Hukum..... Ibid, hal. 30. Negara Hukum Formil adalah negara Hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang.

Abu Daud Busroh, Ibid.

diberikan juga kepada Kepala Negara dalam bidang yudikatif terutama dalam hal peniadaan atau pengurangan hukuman dalam apa yang disebut grasi. Hak yang seperti itu tidaklah semata-mata dikaitkan dengan wawasan negara kesejahteraan, tetapi dikaitkan dengan kepentingan politik negara pada umumnya 175 .

2. Kedua , menurut prinsip konstitusi, kedaulatan di Indonesia terletak pada rakyat yang pada operasionalnya dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat 176 .

Berdasarkan prinsip tersebut, maka Majelis Permusyawa- ratan Rakyat, atas nama rakyat membuat garis-garis kebijakan negara (national policies) yang untuk pelaksanaannya diman- datkan kepada Presiden. Untuk melaksanakan mandat tersebut Presiden mendapatkan hak-hak istimewa dalam masalah- masalah tertentu yang disebut hak prerogatif. Dengan hak prerogatif ini Presiden di beri kewenangan sepenuhnya untuk menentukan sendiri masalah-masalah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya tanpa harus konsultasi dengan lembaga negara lainnya.

Pengakuan kekuasaan dapat diberikan oleh rakyat melalui Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, dan dapat diberikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan membentuk ke-kuasaan melalui Ketetapan Majelis Permusya- waratan Rakyat, sebelum perubahan, serta dapat pula oleh Badan Pembuat Undang-Undang. Syarat utama pada “peng- akuan wewenang” ialah menimbulkan kekuasaan yang asli. Kekuasaan yang asli ini, dapat disebut sebagai kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan Presiden dalam fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan dan selaku Kepala Negara. Sedangkan kekuasaan Presiden yang diperoleh

176 Ni’Matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia...Ibid, hal. 119. Dalam amandemen UUD 1945 hal tersebut tidak berlaku lagi, karena di dalam perubahan tersebut tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang sebelumnya berada ditangan MPR.

melalui pelimpahan, secara teoritik hanya dapat dilaksanakan oleh Presiden dalam fungsinya selaku “delegataris” atau “mandataris” 177 .