Ekses-Ekses Yang Timbul Dari Pergeseran Eksistensi Hak Prerogratif Presiden Dalam Sistem Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945
B. Ekses-Ekses Yang Timbul Dari Pergeseran Eksistensi Hak Prerogratif Presiden Dalam Sistem Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945
Kelemahan sistem pemerintahan dari paham integralistik, karena tidak dipenuhinya dua syarat pokok yang merupakan inti dari paham konstitusional, salah satunya adalah adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan negara yang ketat dan rinci agar penguasa tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Dalam rangka pembatasan kekuasaan ini dikembangkan sistem pemisahan kekuasaan (trias politika) untuk menjaga keseim- bangan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebaliknya dalam paham integralistik sebagaimana dianut Undang- Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, kekuasaan pemerin- tahan negara justru dikonsentrasikan di tangan Presiden. Pemerintahan konstitusional juga mensyaratkan ditegak-
299 Mahfud MD menyebutkan bahwa konsepsi negara hukum Pancasila adalah konsepsi prismatik yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur baik dari rechtstaat dan the rule of law. Negara
hukum Pancasila dapat disebut sebagai bertemunya hubungan konsepsi kombinatif di antara segi-segi baik dari kedua konsepsi Barat itu di dalam nilai budaya bangsa Indonesia. Lebih
300 jelas lihat Mahfud MD, Politik Hukum...Op.Cit. hal. 196. Disampaikan oleh Elydar Chaidir pada Materi kuliah Hukum Konstitusi pada Program 301 Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru. Ini dapat dilihat dari besarnya peran eksekutif (Presiden) di dalam Pasal-Pasal dalam Undang-
Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Lihat kembali Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
kannya konsep negara hukum yang pada intinya menghormati prinsip supremacy of law 302 .
Salah satu gagasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah tawaran tentang sistem dan mekanisme checks and balances di dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada ketika itu 303 .
Menurut Muchsan, prinsip checks and balances diantara lembaga tinggi negara tidak dapat terlaksana, karena semua lembaga tinggi negara terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif 304 .
Kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dalam pemerintahan dan sistem ketatanegaraan pada umumnya, bukan hanya persoalan normatif saja, tetapi juga berkaitan erat dengan persoalan bagaimana mengimplementasikannya di lapangan. Karena tidak selamanya negara yang menyatakan dirinya menganut sistem pemerintahan presidensial memberikan kekuasan yang besar kepada eksekutif (baca; Presiden), dan tidak selamanya juga negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer menutup ruang gerak bagi pihak eksekutif.
Dengan adanya pergeseran dari eksistensi kekuasaan Presiden (baca; hak prerogatif presiden) sebagaimana yang telah dibahas diatas, sudah barang tentu dapat menimbulkan ekses- ekses dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ekses-ekses tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan, salah satunya yakni melalui pembagian kekuasaan antar lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif serta lembaga negara lainnya dan atau malah memunculkan lembaga negara yang lain 305 .
302 Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme : Tata Negara, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2007, hal. 162.
303 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Setelah Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 304 2007, hal. 65. Muchsan, Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Mendorong Tercipta- 305 nya Good Governance , Jurnal Mahkamah, UIR Press, Volume 11, Pekanbaru, 2000, hal. 2. Lembaga yang penulis maksud disini adalah Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diketahui
Mahkamah Konstitusi muncul setelah dilakukannya amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun ekses yang muncul dari perubahan Undang- Undang Dasar 1945 salah satunya adalah menguatnya peran parlemen (baca; DPR) dan kekuasaan yudikatif (baca ; MA) dalam sistem ketatanegaraan kita. Kendati demikian, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri tidak menganut sistem pemerintahan yang parlementer murni. Sebagai perbandingan dengan konstitusi yang lainnya, berikut gambaran tentang sistem pemerintahan presidensial yang pernah dijalankan dibeberapa konstitusi sebelumnya.
Kuatnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diperli- hatkan melalui bertambahnya kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat, baik dalam rangka pengambilan keputusan yang akan diambil oleh Presiden (prosedur), maupun pemindahan kekuasaan dari Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (atributif) 306 .
Dimasa orde baru, sistem pemerintahan presidensial yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amande- men juga diterapkan penuh dengan memusatkan tanggung- jawab kekuasaan pemerintahan negara di tangan Presiden 307 . Melihat kuatnya kedudukan Presiden, maka meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat diakui sebagai lembaga tertinggi negara, tempat Presiden diharuskan tunduk dan bertanggung- jawab, tetapi dalam kenyataan praktek, kedudukannya justru tergantung kepada Presiden. Adanya unsur pertanggung- jawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat itu justru memperlihatkan ciri parlementer dalam sistem presidensial yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945
Husnu Abadi, Perubahan Hukum Tatanegara Indonesia Sehubungan Dengan Perubahan Pertama dan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 , Jurnal Mahkamah, UIR Press, Pekanbaru, 307 Volume. 12, 2001, hal. 89. Salah satu ekses yang timbul sebagai akaibat tidak dianutnya konsep pemisahan kekuasaan
(trias politika) dalam UUD 1945 maka tidak secara langsung telah memberikan peluang, yakni terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh eksekutif sebagai salah satu poros kekuasaan di Indonesia. Lihat kembali Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika....... Op.Cit, hal. 138.
sebelum amandemen 308 . karena itulah, secara normatif sebenarnya, sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen itu bukanlah murni sistem presidensial, tetapi hanya kuasi presidensial 309 .
Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemi- kiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang setelah-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut 310 .
Perubahan ini, diharapkan menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mem- punyai kekuasaan lebih tinggi dari yang lainnya.
Sistem quasi presidensial yang diterapkan pada Undang- Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ini mengandung pengertian bahwa Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berada dalam posisi sejajar, Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan para menteri bertang- gungjawab kepada Presiden 311 .
Sifat quasi atau sistem presidensial tidak murni itulah yang kemudian dirubah ketika amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 sampai dengan 2002, yaitu dengan mengubah kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan lembaga negara yang sederajat dengan Presiden. Dengan demikian tergambar adanya semangat untuk
308 Menurut Hendarmin Randireksa tidak jelas apakah MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan 309 Daerah, dan Utusan Golongan, bisa dikategorikan sebagai parlemen. Op.Cit. hal. 156.
310 Jimly Ashiddiqie, Pokok-Pokok Hukum.......Ibid, hal. 325-326. Saldi Isra, Reformasi Hukum Tata Negara; Setelah Amandemen UUD 1945, Andalas University Press, Padang, 2006, hal. 66-67.
311 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 121.
mengadakan purifikasi atau pemurnian sistem pemerintahan presidensial Indonesia dari sistem sebelumnya yang dianggap tidak murni presidensial 312 .
Sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar selanjutnya sistem pemerintahan yang diberlakukan lebih menekankan kepada sistem pemerintahan yang bersifat parlementer. Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 menekankan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlementer. Dari penjelasan tabel diatas, dapat digambarkan bagaimana menguatnya peran parlemen di dalam roda pemerintahan. Ini dikarenakan dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan (head of goverment) maupun Presiden sebagai kepala negara (head of state) tersebut dibedakan dan dipisahkan satu sama lainnya. Kedua jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan tersebut, pada hakikatnya sama-sama berasal dari cabang kekuasaan eksekutif 313 .
Sejalan dengan apa yang diterangkan diatas, dalam bidang hukum tata negara dikenal teori Logemann yang menganggap pengertian inti hukum tata negara adalah jabatan 314 . Menurut Logemann, negara menampakkan diri dalam masyarakat sebagai sebuah organisasi, yaitu segolongan manusia yang bekerja sama dengan mengadakan pembagian kerja yang sifatnya tertentu dan terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan negara. Dengan adanya pembagian kerja itu terbentuk fungsi-fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi ialah
313 Jimly Ashiddiqie, Ibid, hal. 326. Oleh C.F Strong, kedua jabatan eksekutif ini dibedakan antara pengertian Nominal Executive dan Real Excetive. Kepala Negara oleh C.F Strong disebut sebagai Nominal Executive dan
Kepala Pemerintahan disebutnya sebagai Real Excetive. C.F Strong, Nodern Political Constitutions , Sidgwick, London, 1960. Lihat juga terjemahannya dalam Konstitusi-Konstitusi
314 Politik Modern. J.H.A Logemann, Over de Theorie van Een Stellig Staatsrecht, Jakarta, Penerbit Seksama,1945, hal. 81-82, Het Staatsrecht als het recht dat betrekking heeft op de staat-die is gezagsorganisatie-
blijkt dus de functie, dat is staatsrechtelijk gesproken het ambt als kernbergrip, als bouwsteen te hebben . dalam Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta, 1999. hal. 5.
lingkungan kerja yang terbatas dalam rangka suatu organisasi. Bertalian dengan negara, fungsi itu disebut jabatan 315 .
Secara gamblang dapat dilihat bahwa Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 lebih menampakkan adanya prinsip checks and balances dalam mewujudkan good goverment melalui media pemisahan kekuasaan yang sebelumnya lebih terpusat kepada satu lembaga saja. Melalui perubahan tersebutlah, dipandang perlunya penerapan secara konsekuen atas pemisahan kekuasaan di dalam bernegara.
Senada dengan hal diatas, Titik Triwulan Tutik 316 mengatakan bahwa dalam kelembagaan negara, salah satu tujuan utama amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk menata keseimbangan (checks and balances) antar lembaga negara. Hubungan ini ditata dengan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara saja. Apalagi, the central goal of a constitution is to create the precondition for well-functioning democratic order . Dengan penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara saja, kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratik tidak mungkin terwujud.
Konsep pemisahan kekuasaan (trias politika) perlu diterapkan di Indonesia 317 , karena konsep pemisahan kekuasaan membuka peluang dapat menciptakan kehidupan ketatanegaraan yang sehat di Indonesia. Sebab dengan adanya pemisahan kekuasaan (trias politika ) tidak akan ada lagi peluang bagi poros kekuasaan negara seperti eksekutif untuk mempengaruhi dan mengen- dalikan poros kekuasaan negara yang lain. Melainkan akan lahir “ sharing of power” dan “checks and balances” diantara poros kekuasaan negara itu. Bertujuan agar terjadi harmonisasi (keseimbangan) kekuasaan (berada dalam “balances”) dan
316 Ibid. hal. 5-6. 317 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit. hal. 62. Menurut Mahfud MD, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan
UUD 1945 tidaklah menganut paham Trias Politika sepenuhnya. Lihat Mahfud MD, Membangun Politik Hukum ...Op.cit, hal. 95.
menghindari (tyranny) kekuasaan yang dilakukan oleh salah satu lembaga pemegang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) 318 .
Jika melihat kepada konstitusi Amerika Serikat, maka yang paling menonjol dalam konstitusi Amerika Serikat adalah prinsip pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara seperti yang dikehendaki dalam teori Trias Politika. Mereka memahami betapa pentingnya pemisahan kekuasaan sampai pun Mon- tesquieu menyatakan bahwa “pemisahan itu adalah rahasia dari seluruh kemerdekaan kenegaraan ” 319 .
Terlalu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden menyebabkan melemahnya kekuasaan atas lembaga negara lainnya. Sehingga dalam prakteknya lembaga negara lainnya senantiasa berada “dibawah bayang-bayang” kekuasaaan Presiden. Dalam kaitan ini jugalah, sebagaimana sudah dijelaskan diatas bahwa salah satu ekses yang mucul dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dengan menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengim- bangi kekuasaan Presiden tersebut 320 . Secara otomatis pula, maka dengan menguatnya peran yang dimainkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menyebabkan kekuasaan-kekuasaan yang sebelumnya begitu besar dimiliki oleh Presiden menjadi semakin kecil.
Beralihnya pemegang kekuasaan dalam pembentukan undang-undang dari Presiden kepada Dewan Perwakilan
318 Mardjono Reksodiputro, Reformasi Hukum Di Indonesia (Suatu Saran Tentang Kerangka Aktivitas Reformasi“ dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Nasional
Ke-VII-Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999, hal. 78. dalam Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika.....Op.Cit. hal. 141.
320 Harold.J.Laski dalam Hendarmin Ranadireksa. Op.Cit.hal. 131. Dalam perspektif pembagian kekuasaan, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidak bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tidak diatur
pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 sebelum amandemen, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislasi dalam arti sebenarnya.
Rakyat dan adanya kekuasaan memberikan pertimbangan terhadap beberapa kekuasaan Presiden, diharapkan akan membawa dampak positif bagi pemberdayaan lembaga legislatif. Arah yang dituju melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah terjadinya proporsionalitas kekuasaan antar lembaga-lembaga tinggi negara, dalam hal ini lembaga eksekutif dan lembaga legislatif 321 . Hal ini juga dipicu dengan menem- patkan Dewan Perwakilan Rakyat sejajar kedudukannya dengan Presiden (dalam fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan).
Sehubungan dengan ini, seperti yang ditegaskan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial akan tetapi pada prakteknya memberikan arti bahwa eksistensi kekuasaan Presiden (baca; hak prerogatif presiden) tidaklah seperti di dalam Undang-Undang Dasar sebelumnya 322 . Oleh karenanya, eksistensi akan hak prerogatif Presiden lebih tampak ketika negara Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, meskipun secara normatif sebenarnya, sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen itu bukanlah murni sistem presidensial, tetapi hanya kuasi presidensial. Akan tetapi, kekuasaan Presiden pada waktu itu begitu besar, terlepas dari kesalahan-kesalahan atas penggunaan kekuasaan tersebut.
Jika melihat kembali kepada perimbangan kekuasaan setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat di dalam pasal 13, 14, 15 dan 16. Ketentuan di dalam pasal-pasal tersebut tidak lagi menjadi kewenangan mutlak Presiden, karena untuk pengangkatan duta ataupun menerima penem- patan duta negara lain, Presiden “harus” memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Begitu pula dalam
321 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, hal. 158.
322 Yang penulis maksud disini adalah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
hal memberi grasi dan rehabilitasi, Presiden “harus” memper- hatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dan untuk mem- berikan amnesti dan abolisi Presiden “harus” memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat 323 .
Selain itu juga, kekuasaan di tangan Dewan Perwakilan Rakyat bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Disamping itu, Dewan Perwakilan Rakyat juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) 324 .
Bagir Manan menjelaskan beberapa unsur positif dari sistem konfirmasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengisian jabatan negara atau pemerintahan yaitu 325 ;
323 Diantara kewenangan-kewenangan atau “presidential powers“ ada kewenangan yang sesung- guhnya berasal dari ranah kekuasaan non eksekutif, yaitu kewenangan-kewenangan yang
bersifat legislatif dan atau bersifat yudikatif. Kewenangan-kewenangan seperti menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang (subordinate legislations), dan kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, pada dasarnya bukanlah kewenangan yang murni bersifat eksekutif, melainkan bersifat legislatif dan yudikatif. Kewenangan-kewenangan itu semula memang berada di tangan kepala pemerintahan negara. Namun dalam perkembangan sejarah, setelah diadakannya pembatasan-pembatasan kekuasaan melalui gerakan konstitusionalisme di zaman modern, antara lain dengan dikembangkannya prinsip pemisahan kekuasaan (separations of powers) ke dalam ranah legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka kekuasaan-kekuasaan tertentu di bidang legislatif dan yudikatif diatas tidak 100 % di pindahkan menjadi kewenangan cabang legislatif dan yudikatif, melainkan tetap dipertahankan dalam lingkungan eksekutif dengan tetap melibatkan peran cabang legislatif dan yudikatif dalam
324 pelaksanaannya dilapangan. Lihat kembali Jimly Ashiddiqie, Pokok-Pokok.... Op.Cit. hal. 338-339. Saldi Isra, Reformasi Hukum Tata Negara; Setelah Amandemen UUD 1945, Andalas University 325 Press, Padang, 2006, hal. 69. Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Pusat Studi Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 1999, hal. 158.
1. Terciptanya mekanisme checks dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Presiden. Dengan demikian, dapat dicegah kemungkinan terjadi “spoil system” dalam mengisi jabatan negara atau pemerintahan atau masuknya orang-orang yang tidak pantas atau yang tidak dikehen- daki publik dalam pemerintahan.
2. Presiden “dibantu” oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan orang yang bermutu dan handal dalam hal ideologis, kecakapan, integritas dan lain sebagainya.
3. Mereka yang hendak menjadi Menteri atau menduduki jabatan lain yang memerlukan konfirmasi tidak semata- mata “mengusahakan” dukungan Presiden, tetapi juga dukungan masyarakat yang tercermin pada dukungan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Sistem konfirmasi ini menunjukkan pertanggungjawab- an dalam pengisian jabatan kepada rakyat (melalui Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai yang berdaulat dan tempat setiap pejabat bertanggungjawab.
Mencermati ekses yang timbul dari berkurangnya eksistensi hak prerogatif Presiden atau kekuasaan Presiden yang sangat besar dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka perubahan tersebut justru mendorong Dewan Perwakilan Rakyat menjadi lembaga negara yang kuat diantara lembaga- lembaga negara yang ada, Karena hampir sebagian kekuasaan negara yang sebelumnya tertumpu di Presiden beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat.