Tinjauan Hak Prerogratif Dalam Konstitusi Republik Indonesia
B. Tinjauan Hak Prerogratif Dalam Konstitusi Republik Indonesia
III.1. Hak Prerogratif Presiden Dalam UUD 1945 Periode Tahun 1945 s/d 1959
Menurut Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar 178 , artinya ada kekuasaan pemerintahan negara yang menurut undang-undang dasar dan ada pula kekuasaan pemerintahan negara yang tidak menurut undang-undang. Yang dimaksud dengan “menurut undang-undang dasar” juga dapat dibedakan antara yang secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang dasar dan ada pula yang tidak secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang dasar 179 .
Naskah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen disiapkan dalam suasana perang, dalam revolusi. Republik Indonesia belum lahir. Bala tentara Kerajaan Jepang, masih menduduki bumi ibu Pertiwi 180 .
177 Suwoto, Kekuasaan dan Tanggungjawab Presiden RI, Disertasi, Fakultas Setelah Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1990 dalam Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik
Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006, hal. 52. Bagir Manan menjelaskan bahwa tidak ada maksud Soepomo yang menyusun penjelasan untuk memberi kualitas dan kuantitas tersendiri “mandataris” kepada Presiden melainkan hanya sebutan. Lihat Bagir Manan dalam Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan... Op.Cit.
178 Ketentuan ini tidak berubah sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sesudah perubahan UUD 1945. Menurut Jimly Ashidiqqie, ini merupakan prinsip pokok yang dikenal sebagai
179 ciri constitutional goverment sebagai unsur penting negara hukum modern.
Jimly Ashidiqqie, Pokok-Pokok.....Ibid, hal 333. Konsep atau draf perubahan UUD yang ditawarkan oleh Prof. Iwa Koesoemasoemantri dalam
buku “Ke Arah Perumusan Konstitusi Baru” yang ditulis pada tahun 1957 merupakan bukti akurat mengenai urgensi perubahan UUD 1945. Pertama, karena Prof. Iwa, sebagai anggota BPUPKI, termasuk salah seorang yang ikut menggodok dan merumuskan UUD 1945, sehingga secara konseptual memahami betul kelemahan kandungan dari UUD tersebut. Mr.Achmad Subardjo, juga salah seorang pendiri negara Indonesia, menyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden.
Menjelang Kaisar Jepang dipaksa bertekuk lutut oleh Sekutu,
62 Putera Indonesia di tengah Tentara Darat Kerajaan Jepang yang masih berkuasa di pulau Jawa, berkumpul di Jakarta untuk mempersiapkan Undang-Undang Dasar bagi Negara Republik Indonesia yang akan lahir. Rapat persiapan Undang-Undang Dasar sebagai bagian dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) 16 Juli 1945 yang kemudian ditinjau kembali oleh Dokuritsu Zyunbi Iin Kai (18 Agustus 1945) tersebut dimulai dengan terbentuknya Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang terdiri dari Soekarno sebagai Ketua dan 18 anggota yang terdiri dari Maramis, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, A. Salim, Suhardijo, Supomo, Ny. Ulfah Santoso, Wachid Hasjim, Parada Harahap, Latuharhary, Susanto, Sartono, Wongsonegoro, Wujaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Husein Djajadiningrat, dan Sukirman. Dalam Rapat Besar (sidang pleno) yang berlangsung 11 Juli 1945 itu dibentuk pula Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang terdiri dari Supomo sebagai Ketua, Wongsonegoro, Subardjo, Maramis, Singgih, Agus Salim dan Sukiman sebagai anggota. Panitia Kecil ini bertugas merancang Undang-Undang Dasar dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang telah diajukan di Rapat Besar dan Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar 181 .
Menurut aturan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan lazimnya disebut “kekuasaan negara” berada di tangan rakyat 182 dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemenlah yang menentukan bagian- bagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaannya kepada “badan atau lembaga yang keberadaan, wewenang,
181 Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia; Sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004, hal. 32-33.
182 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen.
tugas dan fungsinya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui Pemilihan Umum 183 .
Pada awal penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dianut sistem Presidensial dimana Presiden memegang kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai kepala negara, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan dan menurut ketentuan pasal 17 ayat (1), (2) dan ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan 184 .
Dari ketentuan pasal 4 dan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ini jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem Presidensial, yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, menteri-menteri diangkat
183 Sekretaris Jenderal MPR RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara 184 RI Tahun 1945, Jakarta, 2003. Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD 1945 sebelum amandemen
mengundang beda pendapat diantara ahli hukum tata negara. Ada yang menyebutkan presidensial, tapi ada juga yang menyebut kuasi presidensial. Hal ini terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidensial. Jika dilihat ketentuan pasal 4 (1) dan pasal 17 maka sistem yang dianut UUD adalah sistem presidensial. Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok ketiga (bahwa presiden bertanggungjawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan keputusan- keputusan MPR). Maka dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem parlementer. Sebab MPR merupakan “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”, yang secara esensial merupakan lembaga perwakilan rakyat, apalagi semua anggota DPR menjadi anggota MPR juga, kualifikasi yang cukup relevan tentang pola hubungan ini, adalah sistem kuasi parlementer atau sistem kuasi presidensial. Artinya sistem presidensial tidak murni atau parlementer semu. Lihat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fak. Hukum UI, Jakarta, 1983, hal. 171-180.
dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri ini tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada Presiden. Mereka adalah pembantu Presiden 185 . Ketentuan diatas merupakan ciri-ciri dari suatu sistem presidensial dalam penyelenggaraan negara yang sudah di bahas dalam bab sebelumnya 186 .
Sebagian kedaulatan yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia antara lain ialah fungsi Kepala Pemerintahan dan fungsi Kepala Negara. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, mempunyai kekuasaan antara lain Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Yang dimaksud dengan pemerin- tahan ialah segala urusan dalam menyelenggarakan kesejah- teraan rakyat dan kepentingan negara sendiri 187 . Di sisi lainnya juga Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat 188 . Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu belum dibentuk lembaga-lembaga negara, akibatnya semua kekuasaan dilimpahkan kepada Presiden melalui pasal IV Aturan Peralihan yang berbunyi ;
“ Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”
Mengenai hubungan antar lembaga tersebut Wilopo menyebutkan adanya keseimbangan atau check and balances yang khas antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang
185 Angka IV Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. 186 Menurut Bagir Manan, hubungan antara Presiden dengan Wakil Presiden dan Menteri tidak
bersifat “Collegiaal“. Salah satu konsekuensinya, dalam praktek diterima pandangan bahwa yang bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya Presiden. Bagir Manan
187 dalam Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan...Op.Cit, hal. 92. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. 188 Alenia Kedua, Angka V, Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945.
sama-sama kuat. Dewan Perwakilan Rakyat kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh pemerintah, dan begitu juga sebaliknya dengan pemerintah karena tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat 189 . Pola hubungan khas yang demikian itu merupakan unsur penting dalam demokrasi Pancasila. Alfian menyebutkan dalam demokrasi Pancasila itu Presiden diberikan kekuasaan yang besar oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, karena, antara lain, ia tidak bisa dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dipilih dan diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang separuh anggotanya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta pertanggungjawaban Presiden adalah Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang prosedurnya tidak mudah. Di pihak lain Dewan Perwakilan Rakyat juga kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Dalam kedu- dukannya yang kuat itu Dewan Perwakilan Rakyat bertugas menyuarakan aspirasi dan tuntutan rakyat, sehingga Presiden pun harus memerhatikan suara wakil rakyat itu 190 .
Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang- Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat 191 . Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menja- lankan Undang-Undang 192 , Presiden mengangkat duta dan konsul 193 , Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi 194 . Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain- lain tanda kehormatan 195 . Presiden berwenang mengangkat dan
189 Wilopo, Zaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-Kelemahannya, Yayasan Idayu, 190 Jakarta, 1976, hal. 66, dalam Mahfud MD, Politik Hukum,..Op.Cit, hal. 32-33. Alfian, Pemilihan Umum dan Prospek Pertumbuhan Demokrasi Pancasila, dalam Mohtar
Mas’oed dan Collin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Gajah Mada Universitas 191 Press, 1989, hal. 218.
192 Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. 193 Pasal 5 ayat 2 UUD 1945. 194 Pasal 13 ayat 1 UUD 1945. Pasal 14 UUD 1945. 195 Pasal 15 UUD 1945.
memberhentikan Menteri-menteri negara 196 . Itulah sekilas kekuasaan presiden pada masa Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
Pemusatan kekuasaan yang terletak di tangan presiden 197 ber- dasarkan Aturan Peralihan pasal IV ternyata menimbulkan masa- lah yang berkaitan dengan opini publik, AG. Pringgodigdo meyatakan, di kalangan orang-orang yang tidak senang dengan berdirinya negara Republik Indonesia, dikembangkanlah opini bah- wa negara Indonesia bukanlah negara demokrasi, melainkan nega- ra fasis atau nazi yang dipimpin oleh seorang Fuhrer atau Duce 198 .
Munculnya opini yang menyamakan Indonesia dengan fasisme diperkuat pernyataan Presiden maupun ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ketika Komite itu dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Pada waktu itu Presiden menyatakan bahwa dalam masa peralihan, sebelum ada perwakilan rakyat (sic) maka kekuasaan ada di tangan Presiden. Sedangkan Kasman Singo- dimedjo yang kala itu menjadi ketua KNIP menyatakan kesediaan- nya untuk menjalankan perintah Presiden. Tidak mengherankan jika pola hubungan kekuasaan seperti itu dapat menimbulkan kesan kekuasaan terpusat ditangan Presiden, sehingga Presiden bisa dianggap diktator atau tidak berada di dalam sistem kedaulatan rakyat 199 .
197 Pasal 17 ayat 2 UUD 1945. Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial yang relatif sama dengan Indonesia, baik Undang-Undang Dasar sesama negara-negara
berkembang seperti Argentina dan Filipina setelah Marcos maupun Undang-Undang Dasar bekas negara Komunis (seperti Bulgaria) dapat dikatakan bahwa konsentrasi kekuasaan yang diberikan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen adalah yang terbesar. Lihat Adnan Buyung
198 Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme ; Tatanegara, Op.Cit, hal 204. AG. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet Presidensial Menjadi Kabinet Parlementer, Yayasan Fonds Universiteit Negeri Gadjah Mada, Yogyakarta, t.t, hal. 25 dalam Mahfud MD, Politik
199 Hukum.. Op.Cit, hal. 34. Untuk melawan anggapan yang sebenarnya berlawanan dengan kehendak rakyat, maka timbul usaha-usaha untuk membangun corak pemerintahan demokratis yang waktu itu pilihannya adalah
sistem parlementer. Usaha tersebut mengkristal ketika pada tanggal 7 Oktober 1945 lahir satu memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang (dari 150 orang) anggota KNIP yang berisi dua hal, pertama, mendesak Presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR. Kedua, sebelum MPR itu terbentuk hendaknya anggota-anggota KNIP dianggap sebagai (diberi kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR. Ibid.
Menurut Mahfud MD, sebenarnya jika dilihat ayat 1 Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, kekuasaan negara yang terpusat pada Presiden hanya dibatasi paling lama enam bulan setelah perang Asia Timur Raya 200 . Tetapi gagasan untuk segera mengakhiri pola yang berbau “negara organis” itu tidak bisa ditunda dan diarahkan menurut cara dan batas waktu tersebut. Hal ini terbukti dari adanya memorandum itu 201 .
Pada rapat tanggal 16 Oktober 1945 KNIP menindaklanjuti memorandum itu dan mengusulkan kepada pemerintah agar komite tersebut diserahi kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara, dan tugas komite sehari-hari. pemerintah selanjutnya menyetujui usul tersebut dan segera mengeluarkan Maklumat yang diberi no. X tahun 1945 202 yang diktumnya berbunyi sebagai berikut ;
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat ”
Tak lama setelah dibentuk, Badan Pekerja menyampaikan usul kepada pemerintah agar sistem presidensial diganti dengan sistem parlementer. Artinya terjadi lagi perubahan praktek ketatanegaraan. Jika menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen Presiden bertanggungjawab kepada
200 Aturan Tambahan ayat 1 berbunyi : “dalam enam bulan setelah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Republik Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang
201 ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini” 202 Mahfud MD, Politik Hukum...Op.Cit, hal. 34-35. Selanjutnya maklumat tersebut dikenal dengan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945,
menurut Pringgodigdo secara yuridis seharusnya maklumat itu dinamakan Maklumat Presiden meskipun ditandatangani oleh Wakil Presiden. Tetapi karena waktu itu penggunaan istilah- istilah mengenai peraturan-peraturan negara belum pasti maka dipakailah istilah itu.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, maka dengan adanya maklumat ini, Presiden kehilangan kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Sebab dalam sistem parlementer, pemerintahan dilakukan oleh kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
III.2 Hak Prerogratif Presiden Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Empat tahun setelah negara di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945, pemerintah Indonesia terpaksa harus melakukan perubahan fundamental atas bentuk negara, sistem pemerintahan, dan undang-undang dasarnya 203 . Kondisi yang dialami negara baru Indonesia ini ternyata akibat dari politik pemerintah Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia setelah balatentara Jepang menyerah kepada Sekutu. Belanda berusaha mendirikan negara-negara, seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Pasundan, dan negara Jawa Timur. Sejalan dengan usaha Belanda itu, maka terjadilah agresi I pada tahun 1947, dan agresi II pada tahun 1948 204 . Kondisi demikian
203 Konstitusi Republik Indonesia Serikat menganut bentuk negara federal sebagaimana yang dinyatakan dalam mukadimahnya dan juga ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1), yaitu: “Republik
Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”. Sementara sistem pemerintahannya adalah pertanggungjawaban menteri atau lazimnya disebut kabinet parlemter. Menurut pasal 118, Presiden tidak dapat diganggu- gugat, dan menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruh maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu, dengan sistem pemerintahannya adalah bertanggungjawaban menteri.
204 Soehino, Hukum Tata Negara, Hubungan Funsional Antara Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Yogyakarta: Liberty, Cet.
1,1984, hal. 6. Hal tersebut merupakan salah satu taktik pecah belah yang digunakan Belanda dalam usaha menjadikan Indonesia sebagai negara Republik Indonesia Serikat, sehingga Republik Indonesia yang dulunya didirikan di atas susunan kesatuan (unitaris) diarahkan menjadi negara federal (serikat) yang terdiri dari negara-negara bagian.
mengundang keprihatinan dunia, akibatnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendesak kepada pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia untuk melakukan perundingan, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Konferensi Meja Bundar” 205 .
Dalam konferensi ini di hasilkan tiga buah persetujuan pokok, yaitu 206 ;
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Selama berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, di bentuk panitia ketatanegaraan dan hukum tata negara, yang antara lain membahas rancangan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat. Panitia ini telah menyelesaikan pekerjaannya, dan pada tanggal 29 Oktober 1949, antara wakil- wakil Republik Indonesia dan BFO, negara-negara federal yang telah dibentuk Belanda, ditandatangani Piagam Persetujuan tentang Konstitusi Republik Indonesia Serikat 207 .
206 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi; ....,Ghalia Indonesia,hal. 120-121. Mohd. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 93. 207 Naskah Piagam Persetujuan antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO tentang Rentjana Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah sebagai berikut:
a. “Pada hari ini Sabtu tanggal duapuluh sembilan bulan Oktober tahun seribu sembilan ratus empat puluh sembilan kami Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusjawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federal Overlag) jang melangsungkan persidangan kami di Scheveningen; Setelah mempertimbangkan dan menjetudjui pikiran-pikiran ketatanegaraan jang disusun oleh kedua Panitia Ketatanegaraan kami dalam beberapa persidangan bersama di Scheveningen dan ‘s-Gravenhage semenjak bulan Agustus sampai achir bulan Oktober 1949; Dengan mendjungdjung tinggi segala putusan kebulatan jang diambil dalam Konperensi Inter-Indonesia dalam sidangnja dikota Jogjakarta dan Djakarta dalam bulan Djuli dan Agustus 1949; Setelah mempelajari dan mempertimbangkan rentjana Konstitusi Republik Indonesia Serikat, maka kami MENJATAKAN bahwa kami menjetudjui naskah Undang-undang Dasar Peralihan bernama Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dilampirkan pada Piagam Persetudjuan ini. Kemudian dari pada itu maka untuk membuktikan itu kami kedua Delegasi dengan bersaksikan Tuhan jang Maha-Esa terhadap sikap sutji dan kesungguhan-keinginan Bangsa dan Tanah Air Indonesia Serikat membubuhkan tanda-tangan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah konstitusi sementara, oleh karenanya, dalam konstitusi itu telah di sediakan suatu lembaga yang diberi kewenangan khusus membentuk konstitusi yang bersifat tetap. Lembaga tersebut diberi nama “konstituante” 208 .
Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagai undang-undang dasarnya, sementara bentuk negaranya berubah dari kesatuan menjadi federal, dan sistem pemerintahannya dari presidensial versi Undang- Undang Dasar 1945 menjadi parlementer 209 . Dengan demikian maka jabatan Presiden hanya sebagai Kepala Negara 210 . Kedudukan Presiden tidak dapat diganggu gugat 211 .
Berikut beberapa bagian pasal yang mengatur tentang kekuasaan Presiden di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat antara lain Presiden menetapkan siapa-siapa dari Menteri-menteri itu diwajibkan memimpin departemen masing-masing 212 . Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pengang- katan atau penghentian antara waktu Menteri-menteri dilakukan dengan Keputusan Presiden 213 .
lanjutan 207 parap kami pada PiagamPersetujuan ini: Untuk Republik Indonesia: Pemimpin Delegasi Republik Indonesia (Drs.Moh.Hatta)
b. Untuk Daerah-daerah Bagian jang bekerdjasama dalam perhubungan BFO: Ketua BFO, Utusan Kalimatan Barat (Sultan Hamid II), Wakil Ketua Pertama BFO, Utusan Indonesia Timur (Ide Anak Agung Gde Agoeng), Wakil Ketua Kedua BFO, Utusan Madura (Dr.Soepomo), Utusan Bangka (Saleh Ahmad), Utusan Bandjar (A.A.Rivai), Utusan Belitung (K.A.Moh. Joesoef), Utusan Dajak Besar (Mochran Bin Hadji Moh.Ali), Utusan Djawa Tengah (Dr.R. Soedjito), Utusan Djawa Timur (R.Tg. Djuwito), Utusan Kalimantan Tenggara (M.Jamani), Utusan Kalimantan Timur (Adji Pangeran Sosronegoro), Utusan Pasundan (Mr.R.Tg.Djambana Wiriaatmadja), Utusan Sumatra Selatan (Abdul Malik), Utusan Sumatra Timur (Radja Kaliamsjah Sinaga). Periksa: Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, tanpa tahun) Via\. 35-36.
209 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi; ....,Ghalia Indonesia,hal. 124. 210 Ibid, hal. 125.
Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. 212 Pasal 118 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Pasal 74 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
213 Pasal 74 Ayat (5) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Di dalam bidang yudikatif, Presiden pada masa ini memiliki kekuasaan antara lain untuk pertama kali dan selama Undang- Undang federal belum menetapkan lain, Ketua, Wakil Ketua dan anggota-anggota Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden setelah mendengarkan Senat 214 . Dan mereka dapat diber- hentikan oleh Presiden atas permintaan mereka sendiri 215 . Hal tersebut juga berlaku dalam hal pengangkatan Dewan Pengawas Keuangan 216 .
Untuk pemberian tanda-tanda kehormatan diatur didalam pasal 126 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 217 . Dalam hal perhubungan Luar Negeri, Pemerintah melalui Presiden memegang pengurusan perhubungan luar negeri 218 . Di mana di jelaskan bahwa Presiden mengadakan dan mensahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain. Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain hanya dilakukan oleh Presiden dengan kuasa undang-undang federal 219 . Guna menjaga hubungan luar negeri tersebut, maka Presiden mengangkat wakil- wakil Republik Indonesia Serikat pada negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia Serikat 220 .
214 Pasal 114 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Kekuasaan Senat Republik Indonesia Serikat dalam Konstitusi RIS sebagai pemegang kedaulatan bersama-sama
dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini dapat terlihat dalam pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS yang menyatakan bahwa “kekuasaan berkedaulatan di dalam Negara Republik Indonesia Serikat adalah dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat”. Lihat Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam
215 Parlemen Indonesia , Rajawali Press, Jakarta, 2005, hal. 140. Pasal 114 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
217 Pasal 116 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Bunyi pasal 126 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat adalah Presiden 218 memberikan tanda-tanda kehormatan yang diadakan dengan undang-undang federal.
Pasal 174 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Pasal 175 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang
berbunyi; 1. Presiden tidak dapat diganggu gugat 2. Menteri-menteri bertanggungjawab atas sebuah kebijaksanaan pemerintah, baik
bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri- sendiri dalam hal itu.
220 Pasal 178 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Untuk urusan pertahanan dan keamanan juga masih di pegang oleh presiden yang dijelaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Serikat bahwa Presiden ialah Panglima Tertinggi Tentara Republik Indonesia Serikat 221 . Opsir-opsir diangkat, dinaikkan pangkat dan diberhentikan oleh atau atas nama Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal 222 .
III.3. Hak Prerogratif Presiden Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Umur negara federal Republik Indonesia di bawah Konstitusi Republik Indonesia Serikat ternyata tidak dapat bertahan lama. Bangsa Indonesia kembali memilih bentuk negara kesatuan di bawah konstitusi baru, yang diberi nama “Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia” 223 .
Proses perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara itu dilakukan secara formal dengan undang-undang. Dengan Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 224 , ditetapkanlah perubahan Konstitusi
Pasal 182 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Pasal 182 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Kembalinya negara Republik Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan dilukiskan oleh
sejarawan Anhar Gonggong sebagai berikut: “..walaupun hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) diterima oleh bangsa dan pemerintah republik Indonesia, namun, tampaknya hanya setengah hati. Hal ini terbukti dengan timbulnya perbedaan dan pertentangan di antara kekuatan politik yang ada di Republik Indonesia. Dua kekuatan besar saling berhadapan, yaitu yang anti Negara Federal RIS (Pendukung Negara Kesatuan Rzepublik Indonesia) dan pendukung Negara Federal RIS. Kedua belah pihak saling menuduh... Adanya sikap kuat menentang RIS itu, pastilah disebabkan oleh karena sikap Letnan Gubernur Jenderal Belanda “di Indonesia”, Van Mook, yang secara langsung melakukan kegiatan pembentukan negara-negara bagian, yang kelak akan menjadi anggota negara-negara bagian di dalam RIS yang sedang dirancangnya. Jadi, di dalam pandangan kaum nasionalis Indonesia non kooperasi, pembentukan RIS dan dimasukkan ke dalam ketentuan persetujuan KMB, merupakan “Strategi” pemerintah kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaan, setidak-tidaknya pengaruhnya di negara Republik Indonesia. Golongan nasionalis non kooperasi sama sekali menolak ide federasi dalam bentuk negara RIS itu. Baca: Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, Jakarta: Ombak & Media Presindo, 2002, hal.23-24.
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi; ....,Ghalia Indonesia,hal. 126.
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, berdasarkan, pasal 127a, pasal 190, dan pasal 191 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat 225 .
Perubahan Konstitusi Republik Indonesia ke Undang- Undang Dasar Sementara 1950 itu mecakup perubahan mukaddimah dan bentuk negara, yaitu dari bentuk negara federal ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sungguhpun terjadi perubahan bentuk negara dan sistem pemerintahan, namun wilayah negara Republik Indonesia masih tetap utuh 226 .
Keluarnya Undang-Undang Federal No. 7 tersebut diawali dengan ditandatangani Piagam Persetujuan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950, untuk bersama- sama melaksanakan negara kesatuan sebagai jelmaan Negara Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk itu akan diperlakukan sebuah Undang-Undang Dasar Sementara 227 . Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno mengeluarkan “Piagam Pernyataan”, yang menyatakan kepastian bahwa tanggal 17 Agustus 1950, susunan Unitaris sudah kembali meliputi seluruh wilayah Indonesia. Piagam pernyataan itu berbunyi sebagai berikut 228 ;
“ Dengan ini kami beritahukan kepada rapat gabungan D.P.R. dan Senat R.I.S. bahwa rentjana undang-undang untuk mengubah Konstitusi sementara R.I.S. mendjadi undang-undang dasar sementara Republik Indonesia jang disusun oleh Pemerintah dengan persetudjuan pemerintah-
225 Pasal 127 a mengatur kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat; pasal 190 dan pasal 191 mengatur
cara perubahan konstitusi yang antara lain menyebutkan bahwa perubahan konstitusi ini harus 226 dengan undang-undang federal, dan pengumuman resmi perubahan itu oleh pemerintah.
227 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi; ....,Ghalia Indonesia,hal. 126.
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 70-71. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1960, hal. 37-38.
15 Agustus naskah undang-undang tersebut telah Kami tandatangani dan ditandatangani serta oleh Perdana Menteri dan Menteri Kehakiman R.I.S. serta diumumkan oleh Menteri Kehakiman. Berdasarkan Prokla-masi Kemerdekaan Indonesia 17 Aguatus 1945 maka Kami atas noma rakjat dan tingkatan perdjuangan kemerdekaan sekarang ini menjatakan sebagai perubahan dalam negeri, terbentuknja Negara Kesatuan Republik Indonesia jang meliputi seluruh Tanah Air dan segenap bangsa Indonesia”.
Berikut beberapa hal yang mengatur tentang kekuasaan Presiden di dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ini, Presiden di beri kekuasaan untuk membentuk Kementrian- kementrian 229 . Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat menteri-menteri yang lainnya 230 . Pengangkatan dan pemberhentian antara waktu Menteri-menteri begitu pula penghentian kabinet dilakukan dengan keputusan Presiden 231 .
Kekuasaan yang lebih besar yang terdapat pada era ini adalah dimana Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 232 .
Presiden juga memberikan tanda-tanda kehormatan yang diadakan dengan undang-undang 233 . Dalam bidang yudikatif juga, Presiden mempunyai hak memberi garasi dari hukuman- hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan 234 . Hal itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung sekedar dengan undang-undang tidak di tunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasehat. Sedangkan amnesti dan abolisi hanya dapat diberikan dengan undang-
230 Pasal 50 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 231 Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 232 Pasal 51 Ayat (5) Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 233 Pasal 84 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pasal 87 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 234 Pasal 107 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
undang atau pun atas kuasa undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung 235 .
Dalam hal hubungan luar negeri, Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan dengan negara-negara lain 236 .
Selanjutnya, setelah menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Republik Indonesia kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945 pada saat pendirian negara ini. Selama lebih kurang 32 tahun menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 ini, ternyata timbul keinginan dari rakyat bangsa ini untuk melakukan amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu penyebab yang dirasakan adalah besarnya kekuasaan eksekutif pada masa Undang-Undang Dasar 1945 ini.
III.4. Hak Prerogratif Presiden Dalam UUD 1945 Periode Tahun 1960 s/d 1998
Diawali sebagai pengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan berdasarkan TAP. MPRS No.XXXIIII/MPRS/1967 Tanggal 12 Maret 1967 dan berlaku surut mulai tanggal 22 Februari 1967, Soeharto diangkat menjadi Pjs atau Pejabat Presiden 237 .
Dapat dicatat, bahwa dasar hukum kekuasaan Presiden Soeharto untuk tiap periode masa jabatan dari Pjs. Presiden tanggal 22 Februari sampai dengan tanggal pengunduran dirinya yaitu 21 Mei 1998 ialah melalui UUD 1945, Ketetapan MPRS atau MPR dan Undang-Undang 238 .
Pasal 107 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pasal 120 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Susilo Suharto, Op.Cit, hal. 110. Adapun dasar hukum pengangkatan Presiden pada periode ini adalah sebagai berikut :
a. Tap MPRS No. XXXIIII/MPRS/1976 Tanggal 12 Maret 1967 b. Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968 Tanggal 27 Maret 1968 c. Tap MPR No. IX/MPR/1973 Tanggal 23 Maret 1973 d. Tap MPR No. X/MPR/1978 Tanggal 22 Maret 1978 e. Tap MPR No. VI/MPR/1983 Tanggal 10 Maret 1983 f. Tap MPR No. V/MPR/1988 Tanggal 10 Maret 1988 g. Tap MPR No. IV/MPR/1993 Tanggal 10 Maret 1993
Dari masa jabatan Presiden RI kedua tersebut, hal-hal yang dapat dicatat adalah sebagai berikut 239 ;
1. Kekuasaan Presiden Soeharto selama tiga dasawarsa lebih, relatif mantap atau tidak goyah.
2. Berhasilnya Soeharto menjabat selama enam kali masa jabatan berturut-turut sangat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya faktor sebagai berikut :
a. Ketentuan konstitusi Faktor ketentuan konstitusi adalah antara lain ketentuan pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak mem- batasi berapa kali masa jabatan Presiden.
b. Susunan Kedudukan MPR RI Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa MPR RI sebagai lembaga negara, berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan Kedudukan MPR RI, seluruh anggota MPR berjumlah 920 orang, terdiri dari :
a.1 460 orang anggota DPR yang seluruhnya dipilih melalui Pemilihan Umum dari anggota PPP, PDI dan Golkar
a.2 130 orang dari Utusan Daerah-Daerah, diangkat oleh Presiden,
a.3 330 orang Utusan Golongan-Golongan juga diangkat oleh Presiden. Keanggotaan MPR RI terlukis dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tersebut, komposisinya selalu terulang dan merupakan akses bagi Soeharto untuk dipilih menjadi Presiden RI selama enam kali masa jabatan berturut-turut, meskipun setiap lima tahun Undang-Undang dan jumlah angka- angkanya mengalami perubahan, akan tetapi perubahan
239 Susilo Suharto, Op.Cit, hal. 115-116.
tersebut tidak signifikan dan tetap merupakan akses bagi terpilihnya Soeharto menjadi Presiden RI.
c. Anti subversi Ialah pemberian wewenang oleh MPR RI, melalui Ketetapan MPR, kepada Presiden Mandataris MPR untuk mengambil langkah-langkah yang perlu demi penye- lamatan dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta tercegahnya bahaya terulangnya pembe- rontakan G/30/S/PKI dan bahaya subversi lainnya 240 .
III.5. Hak Prerogratif Presiden Dalam UUD 1945 Setelah Amandemen
Perubahan konstitusi dilakukan sebagai upaya membatasi kekuasaan Presiden dengan dalih menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif. Fungsi legislatif dikaitkan dengan fungsi parlemen sedangkan Presiden memiliki fungsi eksekutif semata. Pokok pikiran demikian inilah yang kiranya mempengaruhi jalan pikiran para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga aman- demen Undang-Undang Dasar 1945 hendak mempertegas kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dibidang Legislatif.
Menurut Abraham Amos, perubahan Undang-Undang Dasar terjadi karena adanya unsur kekuatan eksternal yang menginginkan adanya perubahan paradigma ketatane- garaan 241 .
Senada dengan itu, Satya Arinanto, menyatakan bahwa konstitusi yang disahkan pada suatu masa bisa jadi kehilangan relevansinya pada masa yang lain, dan masa semacam itu telah tiba bagi Indonesia dan Undang-Undang Dasar yang disahkan tahun 1945. Undang-Undang Dasar ini, yang semula dirancang
240 Contohnya ialah TAP.MPR No. VII/MPR/1983 Tentang pelimpahan tugas dan wewenang oleh 241 MPR kepada Presiden Soeharto. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari Orla, Orba sampai Reformasi), Rajawali
Press, Jakarta, 2005, hal. 286.
sebagai dokumen sementara, telah dianggap sebagai titik rujukan bagi penguasa otoriter yang mengekang negeri ini selama lebih dari tiga dasawarsa 242 .
Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, memiliki beberapa kewenangan konstitusional untuk dijalankan, diantaranya yang ada kaitan dengan penelitian ini, yaitu ;
1. Membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau meng- haruskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat 243 ;
2. Mengangkat duta dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat 244 ;
3. Mengangkat mengangkat konsul 245
4. Menerima penempatan duta negara lain dengan memer- hatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat 246 ;
5. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung 247 ;
6. Memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat 248 ;
7. Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehor- matan yang diatur dengan undang-undang 249 ;
8. Mengangkat dan memberhentikan menteri negara 250 ; Salah satu penyebab yang turut memperbesar kekuasaan Lembaga Kepresidenan dalam Undang-Undang Dasar 1945
242 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi Hukum 243 Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 258-259.
244 Pasal 11 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 13 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945.
246 Pasal 13 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. 247 Pasal 13 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945. 248 Pasal 14 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. 249 Pasal 14 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 15 UUD Negara Republik Indonesia 1945. 250 Pasal 17 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945.
sebelum amandemen adalah kenyataan begitu banyaknya loop holes yang terdapat didalam rumusan pasal-pasal Undang- Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Ini terlihat dari banyaknya rumusan yang berbunyi ; “.......ditetapkan dengan Undang-Undang” di akhir sejumlah pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Dalam kondisi kekuasaan Lembaga Kepresidenan yang begitu besar, rumusan seperti ini memung- kinkan bukan hanya ketentuan yang terdapat didalam Undang- Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ini disimpangi bahkan malah bisa dikebiri oleh pembentuk sekaligus pelaksana Undang-Undang 251 .
Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme ; Tatanegara, Ibid, hal. 200.