Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam

Amandemen UUD 1945

Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945

Disusun Oleh : Oksep Adhayanto, SH., MH. Desain Sampul : Nurhasanah Layout Isi : Milaz Grafika

Copyright ©UMRAH Press

Lt. 3 Gedung Rektorat Komplek Kampus UMRAH Jalan Dompak, Tanjungpinang, Provinsi Kepri 29111

Telp. 0771-7001550, Fax: 0771-7038999. Email : [email protected] / [email protected]

Cetakan Pertama : Agustus 2009 Cetak Kedua : Juli 2015

viii + 147 hal, 13,5 x 19 Cm ISBN : 978-979-792-157-6

Hak cipta diindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit.

Undang-Undangan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Isi diluar tanggung jawab percetakan Dicetak : CV Milaz Grafika Tanjungpinang

Oksep Adhayanto, S.H.,MH

Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah

Amandemen UUD 1945

Pengantar Penulis

Bismillahirrahmanirrahim, uji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan hinayahnya kepada penulis sehingga penulis senantiasa damai dalam

P menjalani hidup ini.

Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mem- pertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang- cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances, maka dengan perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif (Presiden). Pem- bahasan menyangkut presiden dan wakil presiden mendapat sorotan tajam dari para anggota panitia ad hoc III BP MPR. Mulai dari hak-hak presiden, masa jabatan presiden, sistem pengisian jabatan presiden/wakil presiden, sampai dengan masalah pertanggungjawaban presiden merupakan perdebatan yang cukup panjang. Jika ditelaah lagi, tidak jelasnya batas kewenangan presiden dalam menjalankan fungsinya juga mengakibatkan adanya salah pengertian dalam mengenali hak- hak tertentu yang dimiliki oleh presiden berdasarkan UUD 1945, karena adanya fungsi presiden sebagai kepala negara. Sebenarnya, UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hak pre-rogatif. Akan tetapi, dalam praktiknya hal ini dikenal luas dan bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan hak-hak tertentu oleh presiden secara mandiri (tanpa adanya mekanisme pengawasan dari Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mem- pertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang- cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances, maka dengan perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif (Presiden). Pem- bahasan menyangkut presiden dan wakil presiden mendapat sorotan tajam dari para anggota panitia ad hoc III BP MPR. Mulai dari hak-hak presiden, masa jabatan presiden, sistem pengisian jabatan presiden/wakil presiden, sampai dengan masalah pertanggungjawaban presiden merupakan perdebatan yang cukup panjang. Jika ditelaah lagi, tidak jelasnya batas kewenangan presiden dalam menjalankan fungsinya juga mengakibatkan adanya salah pengertian dalam mengenali hak- hak tertentu yang dimiliki oleh presiden berdasarkan UUD 1945, karena adanya fungsi presiden sebagai kepala negara. Sebenarnya, UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hak pre-rogatif. Akan tetapi, dalam praktiknya hal ini dikenal luas dan bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan hak-hak tertentu oleh presiden secara mandiri (tanpa adanya mekanisme pengawasan dari

Akhirnya penulis menyadari bahwa buku ini belum sempurna untuk itu penulis harapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.

Billahitaufiq Wal Hidayah Wassalamu’alaikum Wr.Wb .

Tanjungpinang, September 2015

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Konstitusi merupakan landasan hukum dari setiap bangsa dan negara. Sistem hukumnya, sistem sosialnya, sistem ekonominya dipengaruhi oleh sistem konstitusi 1 . Perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar mempunyai banyak arti. Amandemen tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tetapi juga “mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang

Dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya” 2 . Sri Soemantri 3 mengatakan bahwa dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman dalam mengubah konstitusi di Kerajaan Belanda, Amerika Serikat, dan Uni Sovyet, mengubah Undang-Undang Dasar tidak hanya mengandung arti menam- bah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah ataupun kalimat dalam Undang-Undang Dasar mengubah konstitusi berarti membuat isi ketentuan Undang-undang Dasar menjadi lain dari semula melalui penafsiran.

Sebelum memetakan ciri konstitusionalisme 4 di Indonesia dari Undang-Undang Dasar yang satu ke Undang-Undang Dasar yang lain, perlu sekali lagi dikemukakan bahwa secara teoritis

2 Sukarna, Sistem Politik Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992. 3 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1984. 4 Ibid. Ajaran negara berkonstitusi (constitutionalism) yang secara esensial mengandung makna

pembatasan kekuasaan pemerintahan (limited goverment) dan perlindungan hak-hak rakyat dari tindakan sewenang-wenang pemerintah, terutama yang menyangkut hak asasi atau hak dasar rakyat. Pembatasan kekuasaan ini baik dalam arti horizontal atau vertikal termasuk pembatasan waktu. Lihat juga Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara , Remaja Karya, Bandung, 1988, hlm 2.

konstitusionalisme pada intinya adalah bagian dari penegakan konstitusi. Hakikat atau filosofi penegakan konstitusi itu adalah “an institutionalised system of effective, regularised restrains upon governmental action” (suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah)

Seperti dinyatakan Andrews untuk menjamin tegaknya konstitusionalisme pada umumnya bersandar pada tiga unsur kesepakatan, yaitu:

1. The general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang pemerintahan).

2. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara).

3. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)

Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang berlangsung dalam 4 (empat) tahap, yaitu

1. Perubahan Pertama tahun 1999

2. Perubahan Kedua tahun 2000

3. Perubahan Ketiga tahun 2001, dan

4. Perubahan Keempat tahun 2002 Perubahan tersebut meliputi sistem pelembagaan dan

hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sistem pemerintahan lokal, pengaturan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih rinci, dan berbagai sistem dalam penyelenggaraan negara (pemilihan umum, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, pertahanan dan keamanan, dan lain- hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sistem pemerintahan lokal, pengaturan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih rinci, dan berbagai sistem dalam penyelenggaraan negara (pemilihan umum, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, pertahanan dan keamanan, dan lain-

1. Sistem ketatanegaraan yang bertumpu pada MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat berakibat pada tiadanya

checks and balances 5 pada institusi-institusi ketatanegaraan

2. Kekuasaan Presiden yang terlalu dominan (executive heavy) yaitu selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (chief executive) juga sebagai kepala negara dengan hak-hak konstitusionalnya yang lazim disebut hak prerogatif, serta sekaligus memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) telah menyebabkan kecenderungan lahirnya kekuasaan

otoriter 6 .

3. Terdapat pasal-pasal yang luwes dalam UUD 1945 yang menimbulkan multi tafsir, misalnya rumusan Pasal 7 dan Pasal 6 ayat (1) yang lama;

4. Banyaknya kewenangan Presiden untuk mengatur hal- hal yang penting dengan undang-undang sebagai konsekuensi bahwa Presiden adalah juga pemegang kekuasaan legislatif, sehingga inisiatif pengajuan RUU selalu berasal dari Presiden;

5. Konstitusi belum cukup memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pember- dayaan rakyat, penghormatan HAM, dan otonomi

5 Pemikiran mengenai mekanisme saling mengawasi dan kerjasama ini telah melahirkan teori- teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan

(Distribution of Powers) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan 6 pada pemisahan organ, dan teori check and balances. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden (eksekutif) diberikan sangat besar atau executive heavy. Akibat besarnya kekuasaan yang diberikan, Presiden menjadi pusat kekuasaan dengan berbagai

hak prerogatif tanpa ada mekanisme check and balance yang jelas, tanpa ada pembatasan kekuasaan yang tegas. Menurut Adnan Buyung Nasution, makna suatu negara konstitusional itu sebenarnya justru terletak pada pembatasan kekuasaan negara, kekuasaan negara, kekuasaan eksekutif. Adnan Buyung Nasution, Forum Keadilan, No. 13, 4 Juli 1999, hlm. 14.

daerah, sehingga praktik penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 7 . Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk 8 :

1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar lebih mampu untuk mencapai tujuan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 9

2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai perkembangan paham

demokrasi 10 ;

3. Menyempurkan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang merupakan salah satu syarat bagi sebuah negara hukum;

4. Menyempurnakan aturan dasar mengenai penyeleng- garaan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan sistem

7 Sebagaimana isi konstitusi menurut K.C Where adalah memuat : • Hak Asasi Manusia

• Pembagian Kekuasaan 8 • Aturan-Aturan Yang Mendasar Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 128-129. • Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

• Memajukan kesejahteraan umum • Mencerdaskan kehidupan bangsa • Ikut melaksanakan ketertiban dunia 9 Adapun tujuan Negara Indonesia sebagaimana diatur didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :

• Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia • Memajukan kesejahteraan umum • Mencerdaskan kehidupan bangsa

10 Ajaran demokrasi yang secara plastis digambarkan sebagai “the goverment from the people, by the • Ikut melaksanakan ketertiban dunia people, of the people” ajaran ini secara esensial mengandung arti bahwa pemerintahan dimiliki

dan dijalankan sendiri oleh rakyat (rakyat memerintah diri mereka sendiri). Bandingkan dengan Mohammad Hatta ; bahwa demokrasi adalah segala sesuatu ditentukan dan dilaksanakan sesuai dengan kemauan rakyat dan setiap penyelenggara negara atau pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat tanpa melihat apakah itu kerajaan atau republik. Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat , Usaha Nasional, Surabaya, 1976 dan dijalankan sendiri oleh rakyat (rakyat memerintah diri mereka sendiri). Bandingkan dengan Mohammad Hatta ; bahwa demokrasi adalah segala sesuatu ditentukan dan dilaksanakan sesuai dengan kemauan rakyat dan setiap penyelenggara negara atau pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat tanpa melihat apakah itu kerajaan atau republik. Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat , Usaha Nasional, Surabaya, 1976

5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban bagi negara untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

6. Melengkapi aturan dasar yang berkaitan dengan eksistensi negara dan perwujudan negara yang demo- kratis, seperti pengaturan mengenai wilayah negara dan pemilihan umum (Pemilu);

7. Menyempurnakan dan melengkapi aturan dasar mengenai berbagai hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan kini, serta mengantisipasi perkembangan mendatang.

Selanjutnya terdapat lima prinsip dasar kesepakatan MPR

dalam Perubahan UUD 1945 11 :

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

2. Tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan (NKRI);

3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensiil 12 ;

4. Meniadakan Penjelasan UUD 1945 dan memasukkan hal- hal normatif dalam Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD;

5. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum. Struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas dari tiga puluh tujuh pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai jabatan ke-presidenan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 22). Selain itu terdapat pula ke-

11 Ibid. 12 Sistem Pemerintahan Presidensial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi Kepala Pemerintahan (Chief Exsekutif) dan Kepala Negara (Head of State) ada pada satu tangan dan tunggal (Single Executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam sistem pemerintahan presidensil tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi langsung kepada rakyat pemilih karena dipilih langsung atau dipilih melalui badan pemilih (Electoral College).

tentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin terlepas dari Presiden, seperti ketentuan tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewe- nang MPR, DPR, DPA, BEPEKA, undang-undang organik, dan lain sebagainya.

Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan 13 . Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan 14 , kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, dan abolisi) 15 dan lain sebagainya. Struktur UUD yang memberikan kedudukan kuat pada jabatan atau lembaga kepresidenan tidak hanya ada pada sistem UUD 1945, tetapi terdapat juga pada negara lain seperti Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat adalah penyelenggara pemerintahan. Tetapi karena UUD Amerika Serikat berkehendak menjalankan ajaran pemisahan kekuasaan, Presiden Amerika Serikat tidak dibekali kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-

undang ada pada Congress 16 . Keikutsertaan Presiden dalam

14 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4 ayat (1). UUD 1945, Pasal 5 dan Pasal 22. Mengenai kekuasaan membentuk undang-undang telah ada perubahan. Pasal 5 ayat (1) baru berbunyi: “Presiden berhak mengajukan RUU kepada

DPR” (Perubahan Pertama, 1999). Kekuasaan membentuk undang-undang beralih ke DPR. Pasal 20 ayat (1): “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” (Perubahan 15 Pertama, 1999). UUD 1945, Pasal 14. Pasal 14 telah diubah (Perubahan Pertama, 1999):

(1). Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung. (2). Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Meskipun telah ada pembaharuan yang lebih mencerminkan “ cheks and balanced’ hubungan antara Presiden dan Lembaga Negara lainnya, kedudukan Presiden tetap kuat. Presiden (dan Wakil Presiden) yang dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi bertanggung jawab kepada badan perwakilan (MPR). Presiden tidak lagi dapat dijatuhkan atas dasar kebijakan politik atau pemerintahan. Presiden (dan Wakil Presiden) hanya dapat dijatuhkan karena pelanggaran hukum (impeachment). Itupun tidak mudah. Sebelum sampai ke MPR, harus terlebih dahulu melalui DPR dan

16 UUD AS, Pasal 1 ayat (1): “All legislative powers here in granted shall be vested in a Congress Mahkamah Konstitusi. of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives”.

membentuk undang-undang terbatas pada memberi perse- tujuan atau memveto rancangan undang-undang yang sudah

disetujui Congress 17 . Memperhatikan bahan-bahan yang dipergunakan para penyusun UUD 1945, besar kemungkinan struktur dan rumusan kekuasaan Presiden sebagai penyeleng- gara pemerintahan memperoleh pengaruh dari struktur dan rumusan kekuasaan Presiden menurut UUD Amerika Serikat. Baik dalam praktek maupun model teoritik yang pernah ditulis, Amerika Serikat dianggap sebagai salah satu model sistem pemerintahan yang memberikan kedudukan yang kuat kepada Presiden. Ada pula kemungkinan, pilihan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan dipengaruhi oleh stelsel pemerin- tahan asli. Kepala Desa atau Raja mempunyai kedudukan yang kuat dalam menjalankan pemerintahan yang dibantu oleh aparat desa atau pembantu raja. Kepala Desa atau Raja tidak hanya menjalankan pemerintahan, tetapi menjalankan kekuasaan peradilan dan membentuk hukum. Dalam dokumen yang tersedia mengenai penyusunan UUD 1945, kurang sekali tergambar latar belakang memilih kedudukan, struktur, dan rumusan kekuasaan Presiden semacam ini.

Selanjutnya sebelum dilakukan perubahan yang terjadi atas UUD 1945 lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai berikut 18 :

1. Dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara (Tap MPR No. III/MPR/1978);

2. Seluruh anggotanya sekaligus merupakan anggota MPR [Pasal 2 ayat (1) UUD 1945], susunan keanggotaannya akan diatur dengan UU (Pasal 19);

3. Tidak ada ketentuan konstitusional tentang cara rekrutmen anggota, sehingga dalam praktek Orde Baru ada anggota yang dipilih melalui pemilu dan ada anggota

17 UUD AS, Pasal 1 ayat (7):”... before it become a law, be presented to the President of the United States; if he approve he shall sign it, but if not he shall return it... “.

18 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007. hal. 131.

yang diangkat oleh Presiden;

4. Kewenangan DPR adalah memberi persetujuan atas UU (Pasal 20), APBN [pasal 23 ayat (1)], pernyataan perang, perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11).

5. Kekuasaan membentuk UU (kekuasaan legislatif) bukan di tangan DPR, melainkan di tangan Presiden, sedangkan DPR hanya berwenang memberi persetujuan (Pasal 5 ayat (1))

Setelah perubahan UUD 1945, sistem dan lembaga perwa- kilan terutama Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia adalah sebagai berikut 19 .

1. Anggotanya dipilih melalui pemilu [Pasal 19 ayat (1)]

2. Memegang kekuasaan membentuk UU [Pasal 20 ayat(l)];

3. Memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan [Pasal 20A ayat (1))

4. Mempunyai kewenangan: mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR setelah ada putusan MK [Pasal 7 ayat (1)], memberikan persetujuan atas UU bersama Presiden [Pasal 20 ayat (2)], pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan Presiden (Pasal 11), persetujuan calon hakim agung atas usulan Komisi Yudisial, persetujuan pengangkatan calon anggota Komisi Yudisial, memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pengangkatan duta [Pasal 13 ayat (2)], menerima penempatan duta negara lain [Pasal 13 ayat (3)], dan pemberian amnesti dan abolisi [Pasal 14 ayat (2)], memilih calon anggota BPK [Pasal 23F ayat (1)], dan mengusulkan tiga orang calon hakim konstitusi kepada Presiden [Pasal 24C ayat (3)].

Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk memper-

19 Ibid, hlm. 132 19 Ibid, hlm. 132

1. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif [Pasal 4 ayat (1)] tidak lagi memegang kekuasaan membentuk UU yang telah bergeser ke tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)], melainkan hanya berhak mengajukan RUU ke DPR [Pasal

5 ayat (1)], memberikan persetujuan bersama dengan DPR dan mengesahkan RUU menjadi UU [Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4)];

2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A);

3. Masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (Pasal 7) 21 ;

20 Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di antara ahli hukum tata negara. Ada yang menyebut presidentil, tapi ada juga yang menyebut

kuasi presidentil. Hal itu terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. Jika dilihat ketentuan pasal 4(1) dan pasal 17 maka sistem yang dianut UUD adalah presidentil. Sebab kedua pasal itu mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidentil, yaitu, pertama, presiden menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedua, menteri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR. Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok ketiga (bahwa presiden bertanggung jawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR), maka dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem parlementer. Sebab MPR merupakan “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”, yang secara esensial merupakan lembaga perwakilan rakyat, apalagi semua anggota DPR menjadi anggota MPR juga. Kualifikasi yang cukup relevan tentang pola hubungan ini, adalah sistem kuasi parlementer atau sistem kuasi presidentil. Artinya sistem presidentil tidak murni atau 21 parlementer semu. Masalah masa jabatan presiden banyak mendapat perhatian para anggota PAH. Patrialis Akbar

mengusulkan adanya pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. la mengusulkan agar presiden dan wakil presiden memegang jabatan hanya sefama lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih untuk satu kali periode lagi. Haryono dari F-PDIP juga mengusulkan hal yang sama.

4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6);

5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden yang melibatkan DPR, Mah- kamah Konstitusi, dan MPR (Pasal 7A dan 7B);

6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (Pasal 7C)

7. Pelaksanaan Hak-hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara harus dengan persetujuan atau Pertimbangan DPR,

8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (Pasal 23F), Hakim Agung [Pasal 24A ayat (3)], anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)] harus dengan persetujuan DPR

9. Presiden berwenang membentuk dewan pertimbangan (Pasal 16) sebagai pengganti DPA yang dihapuskan 22

10. Dalam pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur dengan UU [Pasal 17 ayat (4)], tidak bebas seperti sebelumnya.

Pembahasan menyangkut presiden dan wakil presiden mendapat sorotan tajam dari para anggota panitia ad hoc III BP MPR. Mulai dari hak-hak presiden, masa jabatan presiden, sistem pengisian jabatan presiden/wakil presiden, sampai dengan masalah pertanggungjawaban presiden merupakan perdebatan yang cukup panjang. Jika ditelaah lagi, tidak jelasnya batas kewenangan presiden dalam menjalankan fungsinya juga mengakibatkan adanya salah pengertian dalam mengenali hak- hak tertentu yang dimiliki oleh presiden berdasarkan UUD 1945,

karena adanya fungsi presiden sebagai kepala negara 23 . Hak-hak tersebut sering disalahpahami oleh banyak pihak

22 Di dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Dewan Pertimbangan Agung selanjutnya 23 dihapuskan. Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002; Beberapa Gagasan Menuju Amandemen Kelima UUD 1945 , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. hlm 103.

sebagai hak prerogatif presiden, yang berarti hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Sebenarnya, UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hak pre-rogatif. Akan tetapi, dalam praktiknya hal ini dikenal luas dan bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan hak-hak tertentu oleh presiden secara mandiri (tanpa adanya mekanisme pengawasan dari lembaga lainnya).

Hampir seluruh kewenangannya yang dimuat dalam Bab

III UUD 1945, presiden tidak mendapatkan mekanisme kontrol dari lembaga lainnya. Persoalan muncul ketika kewenangan- kewenangan ini dilaksanakan dalam kegiatan bernegara sehari- hari. Ketiadaan mekanisme kontrol dari lembaga-lembaga lainnya menyebabkan presiden dalam melaksanakan fungsinya sehari-hari sering kali menjadi terlalu besar dan UUD 1945 menjadi justifikasi (dasar pembenar) atas tindakan yang

dilakukan oleh presiden 24 .

Menyangkut persoalan tersebut, Anthonius Rahail meng- usulkan agar Lembaga Kepresidenan diatur secara tegas sehingga tidak lagi bisa, seperti masa lalu. la menegaskan 25 : “... walaupun disebut-sebut bahwa presiden melaksanakan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, namun di sana-sini justru menimbulkan banyak hal yang bisa membawa malapetaka bagi bangsa”.

Dalam upaya mengurangi dominasi presiden (executive heavy), Asnawi Latief 26 memunculkan ide sistem parlementer di mana presiden. hanya menjadi kepala negara saja, sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Hal itu menurutnya karena Indonesia menganut sistem multipartai, ia mengutara-

25 Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi.....hlm. 103. Risalah MPR RI Jilid VI Tahun 1999/Slamet Efendi Yusuf dan Umar Basalim, 2001 dalam Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi.....hlm. 103.

26 Asnawi Latief, dalam Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi.....hlm. 104.

kan gagasannya: Kita mengikuti sistem parlementer. Jadi, presiden itu cuma kepala negara, lalu ada kepala pemerintahan. Jadi, konsekuensinya ada perdana menteri. Karena itu, perdana menteri menjadi power sharing. Sebab, dengan sistem presidensil akan terjadi tawar-menawar. Partai yang menang itulah yang berhak menyusun kabinet dan seluruh rangkai pembangunan atau programnya.

Andi Mattalatta 27 menyoroti hubungan presiden dan militer. la mengusulkan agar ketentuan UUD 1945 yang berisikan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara hanya dalam suasana perang. Akan tetapi apabila suasana damai kekuasaan tertinggi atas militer berada di tangan Panglima TNI. Ini penting menurutnya, untuk menjadikan TNI sebagai organisasi yang steril dari kepentingan-kepentingan pemerintah.

Andi Matalatta dari Fraksi Golkar, mengusulkan perubahan Pasal 14 UUD 1945 yang terkait dengan kewenangan presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Andi Mattalatta mengusulkan agar ada keterkaitan lembaga tinggi negara lain sehingga pelaksanaan kewenangan presiden itu tidak begitu saja dijalankan seorang diri oleh presiden. la mengusulkan:

“... kewenangan yang bersifat yudikatif akan diminta pertimbangan Mahkamah Agung, yaitu pemberian grasi dan abolisi Sedangkan untuk amnesti dan rehabilitasi itu lebih bersifat politis, hendaknya

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan DPR 28 . Selain itu juga, pengaruh yang ditancapkan oleh lembaga eksekutif kepada lembaga legislatif, memberikan pengaruh yang justru dapat meminggirkan proses pelembagaan demokrasi. Kaitan dengan hal tersebut, Patrialis Akbar mengkritisi hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden yang selama ini

27 Andi Mattalatta, Ibid. 28 Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi.....hlm. 104-105.

cenderung excecutive Heavy, menurutnya DPR memegang kekuasaan legislatif lepas dari lembaga eksekutif. Ia mengatakan 29 ; “....jadi kalau selama ini kita melihat bahwa kewenangan legislatif itu masih ada kaitannya dengan eksekutif di mana Presiden mempunyai hak seutuhnya untuk mengesahkan satu undang- undang dan yang sudah disahkan diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ke depan kami melihat seyogyanya DPR itu menjalankan kekuasaan legislatif semata-mata. Jadi, tidak ada lagi pengaruh dari eksekutif.”

Khofifah Indar Parawansa juga mengusulkan adanya peran DPR dalam penyusunan kabinet. Ia mengusulkan agar Presiden dalam mengangkat dan membentuk, serta memberhentikan kabinet harus dengan pertimbangan DPR. Dengan demikian, tidak ada lagi yang terjadi seperti sekarang ini di mana banyak menteri anggota kabinet mundur dari kabinetnya karena mau menjadi anggota MPR utusan daerah. Padahal ketika mereka di MPR akan melakukan koreksi terhadap pidato pertanggung- jawaban presiden sementara ia sendiri merupakan pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Alasan lain agar DPR dapat melakukan fungsi kontrol, Khofifah menegaskan ;

“......sehingga bentuk kabinet yang ramping, yang sedang, atau yang gemuk itu oleh Presiden harus dibentuk setelah mendapatkan pertimbangan dari DPR. Dengan begitu, maka DPR akan bisa melakukan fungsi kontrol yang lebih ketat karena setiap menteri yang akan diusulkan oleh presiden untuk menjabat satu departemen setelah ia mendapatkan pertimbangan dari DPR” 30

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi fokus masalah penelitian dalam buku ini adalah sebagai berikut :

29 Patrialis Akbar , dalam Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi.....hlm. 106. 30 Khofifah Indar Parawansa, Ibid. Hal 106-107.

1. Bagaimanakah eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945?

2. Ekses-ekses yang timbul dari pergeseran eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem presidensial setelah amandemen UUD 1945?

C. Tinjauan Kepustakaan

Landasan teoritik akan pemisahan kekuasaan di dalam penelitian ini digunakan sebagai penuntun pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan variabel fungsi lembaga eksekutif dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 dan negara hukum Indonesia yang demokratis. Namun demikian pula, sebelum pembahasan akan eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945 di dalam bab-bab selanjutnya.

Menurut C.F. Strong 31 kekuasaan eksekutif dalam suatu negara demokrasi mempunyai suatu hakekat (nature). Hakekat- nya adalah bahwa kekuasaan eksekutif itu harus dipertang- gungjawabkan kepada rakyat atas tindakan eksekutif untuk merumuskan policy (kebijakan) dan untuk melaksanakan atau mengadministrasikan kebijakan itu di mana kesemuanya itu diatur dengan aturan hukum dan dapat diberi sanksi oleh badan legislatif. Mengenai bagaimana caranya eksekutif mempertang- gungjawabkan kekuasaannya itu C.F. Strong membedakan dua cara yaitu :

1. Eksekutif bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen) di mana parlemen setiap saat dapat menja- tuhkan eksekutif melalui mosi tidak percaya. Cara ini dipergunakan oleh negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.

2. Eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen

31 Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971.

tetapi mendapat pengawasan langsung dari rakyat. Akibat dari pengawasan langsung ini adalah timbulnya kemungkinan kepala eksekutif (presiden) tidak dipilih oleh rakyat dalam pemilihan presiden berikutnya. Cara inilah yang dianut oleh Amerika Serikat.

Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) dari konstitusi Amerika Serikat ditentukan bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif. Adapun luas ruang lingkup dari kekuasaan presiden

meliputi 32 :

1. Presiden sebagai panglima angkatan darat dan angkatan laut Amerika Serikat.

2. Presiden berwenang untuk menangguhkan hukum dan memberi pengampunan terhadap orang yang melanggar hukum.

3. Membuat perjanjian dengan negara lain (treaty) dengan arahan dan izin Senat.

4. Mengangkat duta dan konsul atas arahan dan izin Senat.

5. Mengangkat hakim-hakim mahkamah agung atas saran dan izin Senat.

6. Mengangkat pejabat-pejabat tinggi lainnya yang akan diatur lebih jauh dengan undang-undang atas saran dan izin Senat.

7. Berwenang untuk mengatasi segala kekosongan pada saat Senat sedang reses;

8. Menolak atau menyetujui rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh House of Representative dan Senat.

Di samping memiliki kekuasaan-kekuasaan seperti tersebut di atas Presiden Amerika juga dibebani beberapa kewajiban sebagai berikut 33 :

32 Lihat I. Md. Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Modern, Abardin, Bandung, 1990.

33 Ibid.

1. Melaksanakan kekuasaan eksekutif yang merupakan kewajiban pokoknya untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Kewajiban pokok ini dijalankan- nya selama 4 tahun bersama-sama dengan Wakil Presiden.

2. Wajib memberi informasi kepada Kongres tentang kemajuan negara-negara bagian.

3. Wajib berusaha agar hukum dijalankan dengan sebaik- baiknya di seluruh wilayah negara.

4. Wajib mengisi semua jenis jabatan-jabatan negara yang telah ditentukan.

5. Wajib menerima pemecatan apabila terbukti melakukan pengkhianatan, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya.

Pemusatan kekuasaan yang terletak di tangan presiden berdasarkan Aturan Peralihan pasal IV ternyata menimbulkan masalah yang berkaitan dengan opini publik. AG Pringgodigdo menyatakan, di kalangan orang-orang yang tidak senang dengan berdirinya negara Republik Indonesia dikembangkan opini bahwa negara Indonesia bukanlah negara demokrasi, melainkan negara fasis atau nazi yang dipimpin oleh seorang

Fuhrer atau Duce 34 . Munculnya opini yang menyamakan Indonesia dengan fasisme diperkuat pernyataan presiden maupun ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ketika komite itu dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Pada waktu itu presiden menyatakan bahwa dalam masa peralihan, sebelum ada perwakilan rakyat (sic) maka kekuasaan ada di tangan presiden. Sedangkan Kasman Singodimedjo yang kala itu menjadi Ketua KNIP menyatakan kesediaannya untuk

menjalankan perintah presiden 35 . Tidak mengherankan jika pola

34 AG. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet Presidentil Menjadi Kabinet Parlementer, Yayasan Fonds Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, t.t

35 Ibid.

hubungan kekuasaan seperti itu dapat menimbulkan kesan kekuasan terpusat di tangan presiden, sehingga presiden bisa dianggap diktator atau tidak berada di dalam sistem kedaulatan

rakyat 36 . Sebagaimana diketahui pada awal penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dianut sistem Presidensial dimana Presiden memegang kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai kepala negara, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan dan menurut ketentuan pasal 17 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 sebelum amandemen menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri ne- gara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.

Dari ketentuan pasal 4 dan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ini jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem Presidensiil, yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, menteri-menteri diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden 37 .

Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 itu menganut bentuk Republik Federasi 38 . Sistem pemerintahannya parlementer disertai kebijaksanaan, bahwa parlemennya tidak dapat menjatuhkan pemerintah seperti yang tertuang dalam ketentuan pasal 122 Konstitusi RIS. Bagian yang secara langsung menunjuk dianutnya sistem parlementer

37 Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006. Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga Negara Versi Amandemen UUD 1945, Fakultas Hukum 38 Universitas Satyagama, Jakarta, 2007. Termuat di dalam alinea III Mukadimmah. Tetapi dengan adanya pasal 74 (1) yang menentukan bahwa “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian

menunjuk tiga pembentuk kabinet” maka Ismail Sunny berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa RIS adalah kuasi federal. Lihat Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Aksara Baru, Jakarta, 1983 menunjuk tiga pembentuk kabinet” maka Ismail Sunny berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa RIS adalah kuasi federal. Lihat Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Aksara Baru, Jakarta, 1983

jaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu.

Gagalnya gerakan 30 S PKI/1965 dan disusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 dan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/ MPR/1967 tanggal 12 Maret 1967 yang mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden, dan pengangkatan sebagai Pejabat Presiden ini berlaku surut tanggal 22 Februari 1967, pada periode ini Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif meman- faatkan betul ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku pada saat itu sehingga kekuasaan eksekutif terasa begitu besar dan sangat dominan yaitu berdasarkan ketentuan pasal

4 ayat (1) dan pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 “Presiden sebagai, Kepala Pemerintahan dan berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945 Sistem pemerintahan Negara angka 3 dikatakan, :Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjel- maan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes ). Majelis ini menetapkan Undang Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis inilah mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis. la berkewajiban menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden

tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis” 39 .

39 Rahimullah, Hubungan Antar...hlm. 34.

Ketentuan ini jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pihak eksekutif belum lagi Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat 40 .

Ketentuan-ketentuan inilah yang dimanfaatkan oleh pihak eksekutif pada periode ini, sehingga Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang begitu besar dan sentralistik, dikatakan besar dan sentralistik karena presiden

pada periode ini berfungsi sebagai 41 :

1. Kepala negara dan Kepala pemerintahan;

2. Sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang;

3. Dan kita ketahui pada periode ini MPR sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang kemudian MPR memberikan mandat kepada Presiden, karena Presiden adalah mandataris MPR, hal ini dapat dimaknai bahwa Presiden adalah sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedau- latan rakyat. Dengan ketentuan itu pula, maka pada periode ini konsep GBHN selalu berasal dari Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan keputusan MPR dalam menetapkan GBHN terasa sebagai formalitas belaka. Sehubungan dengan ketentuan itu, maka Presiden Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia menjabat Presiden hingga 30 tahun lamanya, yaitu dari tanggal 12 Maret 1967 hingga tanggal 21 Mei 1998.

Pada periode selanjutnya secara konstitusional kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif masih kuat, Presiden disamping sebagai kepala negara, juga sebagai kepala pemerintahan, masih sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-undang dan masih sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dalam periode ini Presiden di jabat oleh B.J. Habibie. Pengangkatan BJ. Habibie menjadi

40 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 41 Rahimullah, Hubungan Antar...hlm. 34.

Presiden ini tidak dengan Ketetapan MPR, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 ketika itu menentukan bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannnya, ia diganti oleh Wakil

Presiden sampai habis waktunya” 42 .

Pada periode Reformasi, kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sudah mulai berkurang, yaitu sehubungan dengan telah dirubahnya UUD 1945 yang berkaitan dengan kekuasaan membentuk undang-undang yang sebelum perubahan UUD 1945 dalam pasal 5 ayat (1) ditentukan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dirubah menjadi pasal 5 ayat (1) setelah perubahan menentukan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membentuk undang-undang, yaitu bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang”, jadi pada periode ini kekuasaan membentuk undang- undang sudah bergeser dari semula berada pada Presiden dan setelah perubahan UUD 1945 maka kekuasaan membentuk

undang-undang itu berada pada DPR 43 . Dalam fungsinya selaku figur can do not wrong kepala negara memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogratif 44 . Dalam bidang hukum, kepala negara, a.n. negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai fungsi jabatan yang “terbebas dari kesalahan” maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan

43 Rahimullah, Op.Cit. 44 Rahimullah, Op.Cit. Hak Prerogratif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan, a.n. negara, bersifat

final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogratif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara.

rehabilitasi, diatur didalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (yang dimaksud adalah Undang- Undang Dasar) 45

Grasi adalah hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan hukuman kepada terpidana atas putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Grasi harus dimohonkan langsung oleh terpidana. Substansi grasi adalah

bahwa terpidana telah menginsyafi dan menyadari kesalahannya 46 . Amnesti adalah hak Kepala Negara untuk memberikan pengam-punan artinya tidak memberlakukan proses hukum terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata melawan pemerin- tahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus bernuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh politik, dan/atau tekanan internasi.

Abolisi adalah hak kepala negara untuk meniadakan putusan hukum atau meniadakan proses hukum. Melalui abolisi putusan atau proses hukum dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi. Abolisi bisa dilakukan terhadap proses hukum yang kacau (misal, akibat sarat rekayasa atau karena hakim berada di bawah bayang-bayang kekuasaan, atau tercium adanya permainan kotor yang melatarbelakangi proses peradilan), atau pada putusan hukum yang dinilai tidak adil/cacat hukum yang

45 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik (mengapa ada 46 negara yang gagal melaksanakan demokratik), Fokus media, Bandung, 2007, hal. 198. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Kepala Negara a.n. negara memberi pengampunan kepada terpidana setelah menerima pertimbangan/masukan dari Ketua

Mahkamah Agung, lembaga legislatif, dan/atau pemuka masyarakat.

mengusik rasa keadilan masyarakat (putusan hukum berten- tangan dengan kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis). Perkara yang menuai kemarahan publik bahkan tidak tertutup kemungkinan mengundang tekanan internasional, apabila dibiarkan, akan berdampak pada merosotnya kredibilitas negara.

Rehabilitasi adalah hak kepala negara untuk memulihkan nama baik warganegara yang sebelumnya tercemar oleh putusan hukuman yang kemudian terbukti bahwa hukuman tersebut ternyata oleh satu dan lain hal terbukti keliru. Kepala negara a.n. negara memulihkan nama baik warganegara yang dirugikan oleh putusan dimaksud.

Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah pengakuan atas keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah “might be wrong”. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang

disediakan negara dalam bidang hukum 47 . Di bidang politik hak prerogatif kepala negara adalah a.n. negara mengeluarkan Dekrit atau Maklumat 48 . Negara dalam keadaan darurat menyiratkan satu hal bahwa

47 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi....hlm. 200. 48 Dekrit adalah hak kepala negara yang hanya dikeluarkan dalam negara yang sedang menghadapi situasi tidak normal (keadaan luar biasa). Dekrit diberlakukan untuk antara lain, suatu wilayah dalam negara tertimpa bencana alam atau, suatu wilayah dalam negara diguncang kerusuhan masal (khaotik yang bisa menjurus ke anarkhi) atau, negara berada dalam ancaman teror. Dalam seperti itu kepala negara mengeluarkan dekrit yang pada pokoknya menyatakan negara atau salah satu wilayah negara dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat berarti institusi normal negara (fungsi sipil) tidak bisa berjalan atau sedang mengalami kelumpuhan. Dalam keadaan yang luar biasa tersebut hanya institusi negara khusus dengan pola kerja top- down yakni tunduk pada perintah komandan yang dapat mengatasi keadaan, peran militer. Militer langsung bertanggungjawab pada Kepala Negara atau, yang mendapat mandat langsung dari Kepala Negara, untuk mengemban tugas yang bersifat darurat tersebut.

negara atau wilayah tertentu harus ditangani secara khusus (darurat). Penduduk negara dalam wilayah yang sudah dinyatakan Dalam Kea-daan Darurat harus tunduk pada hukum

militer 49 (misal, tembak ditempat bagi perusuh atau penjarah, dll). Prosedur yang biasa berlaku adalah segera setelah kepala negara menyatakan negara dalam keadaan darurat, kepala negara memberitahu atau menyampaikan keputusannya tersebut di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen untuk memperoleh kekuatan legitimasi. Keadaan darurat hanya mempunyai satu pengertian tunggal yakni darurat militer (istilah- istilah kenegaraan yang dikenal umum dalam dunia interna- sional tidak mengenal istilah “darurat sipil” atau ‘tanggap darurat’). Hukum dan tatacara sipil untuk sementara (masa darurat) diganti oleh hukum dan tatacara militer yang bersifat top-down, dibawah koordinasi militer. Untuk suatu waktu yang sangat terbatas militer berada di domain sipil mengganti sementara fungsi sipil.

D. Konsep Operasional

Adapun konsep operasional yang digunakan dalam buku ini adalah :

1. Eksistensi adalah keberadaan atau adanya 50 .

2. Hak Prerogratif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan, a.n. negara, bersifat final,

49 UUD tiap negara seharusnya memuat ketentuan mengenai pembatasan militer dalam keadaan normal, dan menyebutkan dalam keadaan apa ia mendapatkan pengecualian. Belajar dari

pengalaman banyak negara yang mengizinkan militer menjalankan “kekuasaan ekstra” dalam situasi “darurat nasional atau militer”, biasanya tidak memenuhi standar ini dan cenderung menciptakan situasi yang berbahaya dimana pemerintahan sipil “berjalan di bawah ancaman terus menerus dari intervensi militer.” Lihat Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed), Hubungan Sipil – Militer dan Konsolidasi Demokrasi , Rajawali Press, 2000, hlm. xix. Dalam kasus penggantian Kapolri dari S. Bimantoro kepada Ismail terlihat lagi-lagi pemerintah berusaha menyeret militer untuk menopang kekuasaan (berpolitik), hal yang sebetulnya mulai diluruskan oleh politisi sipil sendiri. Lihat Juga Sobirin Marlian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945 , UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 105. 50 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit, hal. 218.

mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogratif adalah hak tertinggi yang tersedia dan

disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara 51 .

3. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 adalah Undang-Undang Dasar yang berlaku di negara Republik Indonesia

4. Sistem Pemerintahan Presidensial adalah sistem pemerintahan dimana presiden tidak hanya sebagai kepala negara akan tetapi juga kepala pemerintahan

5. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu lembaga perwakilan yang ada di Indonesia

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian yang akan dilakukan jenis dan sifatnya adalah

penelitian hukum normatif (Doctrinal Reseach) 52 . Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau hukum kepustakaan (disamping adanya penelitian hukum sosiologi atau empiris yang terutama meneliti data primer). 53

2. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini ialah tentang pergeseran hak prerogratif presiden setelah amandemen UUD 1945. Dengan pembahasan dari sudut ilmu hukum khususnya hukum tata Negara.

3. Sifat dan Pendekatan Penelitian ini adalah penelitian hukum, dan pendekatan

51 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik (mengapa ada 52 negara yang gagal melaksanakan demokratik), Fokus media, Bandung, 2007, hal. 198. Yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan didukung oleh penelitian empiris.

53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada.

(approach) yang digunakan di dalam penulisan ini ada tiga pendekatan, Enid Campbell 54 mengatakan, bahwa satu pendekatan saja tidaklah memadai untuk menganalisa banyak kasus. Adapun pendekatan yang digunakan adalah :