Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pemerintahan Negara
B. Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pemerintahan Negara
Untuk membahas lebih lanjut tentang sistem pembagian kekuasaan dalam suatu negara, maka terlebih dahulu haruslah diketahui sistem pemerintahan negara yang dianut oleh negara
93 Dahlan Thaib, Implementasi...Ibid. hal. 5. 94 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Gajahmada, 1967, hal. 84.
yang bersangkutan 95 . Sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia
secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga macam 96 , yaitu ;
1. Sistem Pemerintahan Presidensial (presidensial system)
2. Sistem Pemerintahan Parlementer (parliamentary system)
3. Sistem Pemerintahan Campuran (mixed system atau hybrid system )
Terdapat dua kutub besar yang satu sama lain sangat berbeda mengenai sistem pemerintahan negara yang dianut oleh banyak negara yaitu:
Sistem Parlementer dan Sistem Presidensiil. Tentu diantara kedua sistem ini dapat dikemukakan beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semu (quasi), karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas, bukanlah merupakan bentuk yang
sebenarnya, sebagai contoh quasi parlementer atau quasi presidensiil 97 . Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subyek pemerintahan, sementara sistem presidensial lebih menekankan peran presiden (eksekutif), sebagai subyek pemerintahan. Keduanya memiliki latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahannya. Karakter pemerintahan parlementer adalah pada dominannya posisi parlemen terhadap eksekutif. Sementara karakter sistem
95 Dalam perkembangan konsep-konsep kenegaraan modern, fungsi dan kewenangan presiden dalam negara terutama tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh negara itu. Dalam
penjabaran selanjutnya, turunan fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan utama dari presiden serta mekanisme pelaksanaannya berbeda-beda antara masing-masing negara, 96 tergantung dari konsensus politik dari negara-negara tersebut. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Setelah Reformasi, Buana
Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007, hal. 311. 97 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga.....Ibid. hal, 4.
presidensial adalah pada dominannya peran presiden dalam sistem ketatanegaraan. Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah dua hal yang berbeda, bukan merupakan tesa atau antitesa yang kemudian melahirkan sintesa. Sejumlah negara memberlakukan sistem yang terkesan merupakan campuran dari kedua sistem tersebut. Harus diakui dalam menggunakan sistem campuran ada negara yang terlihat berhasil namun tidak sedikit atau bahkan mungkin lebih banyak
yang menghadapi masalah 98 . Mengkawinkan sistem yang satu dengan sistem yang lainnya menjadi “sistem yang baru”, cenderung lebih merumitkan mekanisme pemerintahan 99 . Sebagai contoh, Belanda dan Israel, adalah negara yang menerapkan dalam sistem pemerintahannya figur Perdana Menteri dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana halnya anggota legislatifnya 100 . Keunikan lain sistem pemerintahan Belanda adalah tetap adanya Ratu/Raja sebagai Kepala Negara, sementara Perdana Menteri sebagai layaknya presiden dalam sistem presidensial karena dipilih langsung oleh rakyat. Maka sistem pemerintahan Belanda biasa dijuluki sebagai peme-
98 Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai kepala negara (head
of state). Dalam sistem parlementer, jabatan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (head of government) itu dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Kedua jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan itu, pada hakikatnya, sama-sama meru-pakan cabang kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, oleh C.F. Strong, kedua jabatan eksekutif ini dibedakan antara pengertian nominal executive dan real executive. Kepala negara disebut oleh C.F. Strong sebagai nominal executive, sedangkan kepala pemerintahan disebutfiya real executive Sementara itu, dalam sistem campuran, unsur- unsur kedua sistem itu tercampur di mana ciri-ciri kedua sistem tersebut di atas sama-sama dianut. Oleh karena itu, kedua sistem pemerin-tahan presidensil dan sistem pemerintahan parlementer tersebut pada pokoknya dibedakan atas dasar kriteria:
1. ada tidaknya pembedaan antara real executive dan nominal executive dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; 2. ada tidaknya hubungan pertanggungjawaban antara cabang eksekutif dengan cabang 99 Carut marut penyelenggaraan pemerintahan yang banyak terjadi di berbagai negara saat ini di legislatif
100 negara berkembang sedikit banyak disebabkan oleh hal tersebut. Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 100- 101.
rintahan presidensial 101 . Indonesia (UUD-1945, Amandemen IV) juga memiliki sistem yang unik dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden bisa berasal dari kubu berbeda, sebagai layaknya kabinet koalisi dalam sistem parlementer 102 .
Apabila dalam suatu pemerintahan negara, diadakan pembedaan yang tegas antara jabatan kepala negara (head of state ) dan kepala pemerintahan (head of government), maka pemerintahan yang bersangkutan mengandung ciri parlementer (parliamentary government) atau bahkan merupakan negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Dalam praktik, kedudukan kepala negara biasanya dipegang oleh raja, ratu, presiden, ataupun sebutan lain sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai di negara yang bersangkutan. Sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut perdana menteri (prime minister) atau di Jerman disebut kanselir (councellor). Di negara-negara yang berbentuk kerajaan (monarki) dengan stelsel parlementer, dianut adanya dua asas, yaitu (i) raja tidak dapat diganggu- gugat (the king can do no wrong), dan (ii) apabila sebagian besar wakil rakyat di parlemen tidak menyetujui kebijakan peme- rintah, secara sendiri-sendiri atau seluruhnya, menteri harus meletakkan jabatan. Asas inilah yang disebut sebagai sistem pemerintahan parlementer (parlementaire regerengsvorm) 103 .
Sebab-sebab terjadinya perbedaan antara dua sistim tersebut adalah disebabkan sejarah politik yang melatar- belakangi serta pengalaman sejarah dari masing-masing negara tersebut berbeda. Sistim pemerintahan parlementer sebagai- mana halnya di negeri Belanda itu timbul dari bentuk negara monarchie yang kemudian mendapat pengaruh dari pertang- gungan jawaban menteri. Lebih lanjut dikenallah fungsi dari raja sebagai faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara
102 Ibid. hal. 101. Pasal 6A(2), UUD 1945-Amandemen IV. Lihat juga : Pemilu Presiden 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, 2005.
E. Utrecht dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata....Ibid, hal. 312.
eksekutif dan legislatif. Sedangkan yang melatarbelakangi negara Amerika Serikat menganut sistim presidensiil adalah kebencian rakyat Amerika terhadap pemerintahan Raja George
III, dengan demikian mereka tidak menghendaki bentuk negara monarchie dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka mereka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan mendominasi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politica itu terdapat sistim checks and balances 104 .
II.1 Sistem Pemerintahan Parlementer
Tercatat dalam sejarah bahwa tanah Inggris adalah tempat kelahiran sistem pemerintah parlementer. Sistem itu lahir bukan berdasarkan konsep pemikiran seseorang tokoh negarawan dan bukan juga karena ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal UUD Inggris, karena Inggris memang tidak mempunyai undang-undang dasar yang tertuang dalam satu naskah (Documentary Constitution), seperti apa yang dikatakan oleh C.F. Strong 105 , sebagai pengganti istilah Written Constitution. Pertumbuhan sistem pemerintahan parlementer di Inggris melalui suatu perjalanan sejarah ketatanegaraan Inggris yang cukup panjang 106 .
105 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga.....Ibid. hal, 9-10. C.F Strong, Modern Political Constitution, London, Sidgwick and Jackson Ltd, 1963, hal. 66 106 dalam I.Md Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan....Op.Cit, hal. 25. Menurut A.V. Dicey, konstitusi Inggris terdiri atas dua bagian yang besar, yaitu: bagian
konstitusi tertulis (the law of the consti-tution) yang meliputi empat subbagian yang utama, yaitu :
1. Historic Document seperti Magna Charta (The Grezt Charter) 1215, The Petition of Right 1628, dan Bill of Rights 1689. 2. Parliamentary Statutes yaitu undang-undang yang dibuat parlemen yang sifatnya memperluas dan membatasi kekuasaan raja, menjamin hak-hak sipil, mengatur pemungutan suara, membentuk pemerintahan-pemerintahan lokal, mendirikan peradilan-peradilan dan membina aparatur administratif. Contohnya: The Habeas Corpus Act 1679, The Act of Settlement 1701, The Municipal Corporation Act 1835, The Judicature Act 1873, The Parliament Acts 1911 dan 1949, The Status of West Minister 1931, The Minister of The Crown Act 1937.
Mula-mula raja Inggris di bantu oleh Great Council atau disebut juga Privy Council yang terdiri atas unsur alim ulama 107 , para bangsawan dan pejabat tinggi lainnya. Council bersidang
3 atau 4 kali setahun bila dipanggil oleh raja untuk memberikan nasihatnya dalam menentukan politik pemerintahan, penye- lenggaraan pemerintahan, peradilan, pembuatan hukum, pengumpulan uang dan sebagainya. Untuk pe-nyelenggaraan tugas sehari-hari Great Council membentuk badan yang lebih kecil yang disebut King’s Court 108 . Dalam perkembangan selanjutnya Great Council berubah menjadi Parliament yang terdiri atas dua kamar yaitu House of Lord dan House of Common. Sedangkan King’s Court berubah menjadi Badan Pengadilan dan Dewan Menteri (Cabinet) 109 .
lanjutan 106 3. Subbagian ini berupa keputusan-keputusan pengadilan yang berisikan batasan-batasan dan penafsiran terhadap undang-undang dan traktat
4. Subbagian yang keempat dari konstitusi tertulis adalah berupa Prinsiples and Rules of Common Law . Prinsip-prinsip dan aturan hukum kebiasaan ini meskipun tidak diundangkan oleh parlemen namun dikuatkan oleh pengadilan dalam keputusan- keputusan tertentu. Prinsip-prinsip tersebut misalnya: prerogatif raja untuk mengangkat pejabat tinggi sipil dan militer serta gereja, memberikan pangkat dan tanda-tanda kehormatan serta menganugerahkan pangkat Lord kepada seseorang, membubarkan parlemen, dan bertindak sebagai kepala persemakmuran. Selain itu juga prinsip-prinsip mengenai terikatnya peradilan oleh undang-undang yang dibuat parlemen, sistem peradilan juri, kebebasan berbicara dan berkumpul merupakan prinsip-prinsip Common Law.
Bagian yang lain dari konstitusi Inggris yaitu bagian yang tidak ter-tulis yang lazim disebut The Convention of The Constitution . Justru bagian yang tidak tertulis ini mempunyai kaitan erat dengan sistem pemerintahan karena hampir keseluruhan dari konvensi-konvensi konstitusi itu setelah melalui proses perjalanan sejarah yang panjang menjadi aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dalam mengatur hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Aturah dasar yang tidak tertulis itu antara lain berupa :
1. Parlemen bersidang sekurang-kurangnya sekali setahun. 2. Raja tak menghadiri sidang-sidang kabinet. 3. Raja akan selalu menerima nasihat menteri-menteri. 4. Raja selalu menandatangani rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh parlemen. 5. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada Majelis Rendah.
Kabinet akan jatuh bila tidak mendapat kepercayaan Majelis Rendah lagi.
108 Alim Ulama yang dimaksud disini adalah Pendeta pada waktu itu.
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara...Ibid. hal, 78. Parlemen ini lambat laun dapat memperluas kekuasaannya sebagai badan legislatif, yakni
dengan jalan mengajukan petisi-petisi (bills) sebelum dapat meluluskan kepada raja untuk menarik uang.
Sistem parlementer lahir di Inggris sebagai buah perjuangan kekuatan di luar raja (diperankan oleh bangsawan) untuk memperoleh sebagian kewenangan yang sebelumnya berada pada raja. Proses demokratisasi di Inggris terjadi melalui tahapan cukup panjang, ratusan tahun. Dimulai dari Magna Charta Libertatum 110
Magna Charta sangat bersejarah karena baru pertama kali hak dan kewajiban raja dan rakyat dikuatkan dalam bentuk tertulis. Pelaksanaan Magna Charta dilakukan melalui dewan yang khusus dibentuk untuk keperluan tersebut yang terdiri dari kaum clerus, bangsawan, dan (menyusul kemudian) beberapa penduduk. Dewan itu merupakan embrio atas terjadinya parlemen ± tahun 1350 terjadi pemisahan parlemen menjadi House of Lords dan House of Commons 111 .
Pada sistem parlemen (parlementary system) kekuasaan tetap berpusat pada badan pembuat undang-undang atau Legislatif, badan pelaksana undang-undang atau Eksekutif dan badan pengadilan yang mengadili pelanggaran terhadap pelaksanaan undang-undang atau Yudikatif. Ketiga badan ini tidak dipisahkan secara tegas, dan justru memiliki hubungan yang saling mempengaruhi secara timbal balik dan kerjasama antara Eksekutif dan Legislatif 112 .
Cara termudah untuk mengenali salah satu sistem peme- rintahan adalah dengan memperhatikan di mana letak obyek utama yang diperebutkan. Dalam sistem parlementer (sesuai
Perjanjian Agung tentang Kebebasan, 1215 yakni dengan disepakatinya perjanjian tertulis antara raja John dengan kaum bangsawan dan kaum clerus. Magna Charta memuat pengakuan raja dalam bentuk perjanjian tertulis tentang: a. hak kaum clerus untuk memilih uskup dan padri dengan bebas, b. hak kaum bangsawan mengenai kepemilikan tanah turun temurun, c. hak kota untuk dibebaskan dari pajak yang sewenang-wenang. Magna Charta juga berisi ketentuan yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-
111 wenang, menjamin proses hukum secara benar dan akses untuk diadili di depan juri. Lihat dalam Gordon Morris Bakken, Pembuatan Undang-Undang Dalam Masyarakat Demokratis , Demokrasi, Office International Information Program U.S. Departement of State,
hal. 30, dan Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 102.
Muchtar Pakpahan, Ilmu Negara dan Politik....Ibid, hal. 160.
dengan namanya), obyek utama yang diperebutkan adalah parlemen. Pemilu parlemen menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh setelah partai kontestan pemilu berhasil meraih kursi mayoritas dalam parlemen. Etika yang umum dianut dalam sistem parlementer adalah bahwa pimpinan tertinggi partai, bisa ketua atau sekjen partai, adalah figur yang harus bertanggungjawab atas ideologi partai. Demikian pula visi dan/atau program yang ditawarkan partai dalam pemilu harus menjadi tanggungjawab pimpinan partai. Maka atas dasar itu pimpinan tertinggi partai, yang memenangkan pemilu, secara otomatis menjadi Perdana Menteri (PM) 113 .
Dalam perkembangannya, prosedur dalam sistem parle- menter, menurut Douglas V. Verney, menjadi terbagi atas dua macam tipe yakni prosedur Inggris dan prosedur kontinental (Eropa Daratan) 114 . Kendati tidak dijelaskan secara spesifik sinyalemen tersebut bisa diterima khususnya bila dikaitkan dengan sejarah perkembangan sis-tem parlementer Inggris yang evolutif dan sistematik dan sistem parlementer di Eropa daratan yang prosesnya lebih bersifat radikal dan lebih bervariatif.
Sesuai dengan kriteria yang dikemukakan Kranenburg untuk membedakan sistem pemerintahan, maka sistem parlementer kriterianya adalah adanya hubungan antara legislatif dengan eksekutif di mana satu sama lain dapat saling mempengaruhi. Pengertian mempengaruhi di sini adalah bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan kekuasaan (power capacity) untuk menjatuhkan pihak lain dari jabatannya. Penulis Alan R. Ball 115 , menamakan sistem pemerintahan parlementer itu dengan sebutan the parliamentary types of government dengan ciri-cirinya sebagai berikut:
Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 106.
Ibid. Alan R.Ball dalam Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintah Negara-Negara ASEAN, Penerbit Transito, Bandung, 1976, hal.31.
1. Kepala negara hanya mempunyai kekuasaan nominal. Hal ini berarti bahwa kepala negara hanya merupakan lambang/simbol yang hanya mempunyai tugas-tugas yang bersifat formal, sehingga pengaruh politiknya terhadap kehidupan negara sangat kecil.
2. Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/nyata adalah perdana menteri bersama-sama kabinetnya yang dibentuk melalui lembaga legislatif/parlemen, dengan demikian kabinet sebagai pemegang kekuasaan eksekutif riil harus bertanggung jawab kepada badan legislatif/ parlemen dan harus meletakkan jabatannya bila parlemen tidak mendukungnya.
3. Badan legislatif dipilih untuk bermacam-macam periode yang saat pemilihannya ditetapkan oleh kepala negara atas saran dari per-dana menteri.
Agak berlainan dengan C.F. Strong 116 di mana beliau menamakan sistem pemerintahan parlementer itu dengan istilah the parliamentary executif yang ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Anggota kabinet adalah anggota parlemen, ciri ini berlaku antara lain di Inggris dan Malaysia, sedang di negara- negara lain ciri ini sudah mengalami modifikasi.
2. Anggota kabinet harus mempunyai pandangan politik yang sama dengan parlemen. Ciri ini antara lain berlaku di Inggris, sedang di negara-negara yang tidak menganut sistem dua partai, hal itu sering dilakukan melalui kompromi di antara partai-partai politik yang men- dukung kabinet.
3. Adanya politik berencana untuk dapat mewujudkan programnya. Ciri ini tampaknya universal.
4. Perdana menteri dan kabinetnya harus bertanggung jawab kepada badan legislatif/parlemen.
116 Ibid , hal.31.
5. Para menteri mempunyai kedudukan di bawah perdana menteri. Hal ini tidak terlepas dari sistem kepartaian di Inggris di mana ketua partai politik yang telah meme- nangkan pemilihan umum akan ditunjuk menjadi perdana menteri yang mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada anggota kabinet yang lainnya.
Dari apa yang telah dikemukakan baik oleh Alan R. Bahl maupun oleh C.F. Strong di atas tentang ciri-ciri sistem parlementer belum terlihat adanya satu ciri yang sangat penting yaitu adanya kewenangan bagi kepala negara untuk membu- barkan parlemen. Dikatakan ciri ini penting justru karena ia dapat dijadikan sarana untuk menekan sekecil mungkin kelemahan sistem pemerintahan parlementer yaitu ketidaksta- bilan pemerintahan. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kewenangan kepala negara (unsur eksekutif) untuk membubarkan parlemen adalah dalam rangka menjaga titik keseimbangan kekuasaan (balance of power) antara eksekutif dengan legislatif. Sebab, secara psikologis parlemen akan lebih berhati-hati menjatuhkan kabinet sehingga parlemen tidak mengumbar kewenangannya untuk menjatuh-kan mosi tak percaya kepada kabinet karena pada gilirannya parlemen akan dapat dijatuhkan juga oleh eksekutif (kepala negara). Berhubung dengan hal itu, berbeda dengan apa yang di-kemukakan oleh Mr. Achmad Sanusi 117 tentang ciri-ciri sistem pemerin-tahan parlementer yaitu :
1. Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat.
2. Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri bertang- gung jawab kepada parlemen.
3. Susunan, personalia dan program kabinet didasarkan atas suara terbanyak di parlemen.
4. Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan tetap atau
117 Mr. Achamad Sanusi, Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia 1945- 1952 , Penerbit Universitas, tt, hal. 38.
pasti berapa lamanya.
5. Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh parlemen, sebaliknya parlemen dapat dibubarkan oleh pemerintah.
Pada dasarnya menurut Mahfud MD, di dalam sistem parlementer prinsip-prinsip yang dianut adalah 118 :
1. Kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa).
2. Pemerintah dilakukan oleh sebuah Kabinet yang dipim- pin oleh seorang Perdana Menteri.
3. Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuh- kan oleh parlemen melalui mosi.
4. (Karena itu) kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari (dan tergantung pada) parlemen.
Namun, dapat dikatakan bahwa dalam berbagai sistem pemerintahan parlementer yang dipraktikkan itu, selalu terdapat sejumlah prinsip pokok 119 , yaitu :
1. Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan;
2. Fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu seperti yang diistilahkan oleh C.F. Strong di atas antara “the real executive ” pada kepala pemerintahan dan “the nominal executive ” pada kepala negara.
3. Kepala Pemerintahan diangkat oleh Kepala Negara;
4. Kepala Pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif;
5. Menteri adalah atau biasanya merupakan anggota parlemen;
118 Mahfud MD, Dasar dan Struktur......Op.Cit, hal 74. 119 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata....Ibid, hal. 315-316.
6. Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, tidak kepada rakyat pemilih. Karena, pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, sehingga pertanggungja- waban kepada rakyat pemilih juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui parlemen;
7. Kepala Pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada Kepala Negara untuk membubarkan Parlemen;
8. Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan;
9. Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen. Kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak
berada di tangan satu orang. Jabatan kepala negara dapat dipegang oleh seorang “presiden” bagi negara republik, atau “Raja” bagi negara monarki. Kepala pemerintah bisa berbentuk Dewan Menteri atau Dewan Kabinet, yang dikepalai atau dipimpin oleh seorang “Perdana Menteri” dan yang terakhir inilah yang disebut Eksekutif 120 .
Ciri sistem parlementer yang lainnya adalah dipisahnya lembaga kepala negara dengan lembaga pemerintahan (fungsi eksekutif). Ini berarti kepala negara, sebagai figur yang (harus) berwawasan kenegarawanan dipisahkan dengan kepala pemerintahan (fungsi eksekutif), yakni figur yang berwawasan politik (karena jabatan dalam pemerintahan adalah jabatan politik) 121 . Fungsi kepala negara bukan lagi obyek yang
121 Ibid. Terpisahnya fungsi kepala negara dengan urusan pemerintahan sehari-hari menyebabkan sistem parlementer, bentuk monarkhi maupun republik, secara logika seharusnya terbebas dari
kemungkinan terjadinya kediktatoran. Faktor penghalang kediktatoran adalah terpisahnya Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan. Untuk menjadi diktator Kepala Negara, melalui kekuatan karisma dan pengaruhnya, bisa saja merambah memasuki wilayah eksekutif kemudian menguasainya. Atau, Perdana Menteri, menggulingkan kepala negara, kemudian mengumumkan dirinya sebagai kepala negara baru yang juga memiliki kekuasaan eksekutif. Atau muncul orang kuat (semisal militer) yang menggulingkan pemerintahan yang sah dan kemungkinan terjadinya kediktatoran. Faktor penghalang kediktatoran adalah terpisahnya Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan. Untuk menjadi diktator Kepala Negara, melalui kekuatan karisma dan pengaruhnya, bisa saja merambah memasuki wilayah eksekutif kemudian menguasainya. Atau, Perdana Menteri, menggulingkan kepala negara, kemudian mengumumkan dirinya sebagai kepala negara baru yang juga memiliki kekuasaan eksekutif. Atau muncul orang kuat (semisal militer) yang menggulingkan pemerintahan yang sah dan
Pertanggungjawaban dapat dilakukan dengan sistem bulat, terpecah, atau kombinasi bulat dan terpecah. Pertanggungja- waban sistem bulat maksudnya ialah pertanggungjawaban kabinet menyatu di tangan pimpinan kabinet yaitu Perdana Menteri. Jadi pekerjaan menteri adalah sebagai bagian dari tanggung jawab Perdana Menteri.
Arti pertanggungjawaban sistem terpecah adalah masing- masing menteri yang menjadi anggota kabinet mempertang- gungjawabkan tugas yang diserahkan kepadanya masing- masing. Jadi pekerjaan menteri dipertanggungjawabkan oleh menteri yang bersangkutan 123 .
Pertanggung jawaban sistem kombinasi bulat dan terpecah maksudnya ialah menteri bertanggung jawab atas peker-jaannya, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanggung jawab dewan kabinet. Jadi dalam hal ini Perdana Menteri juga
lanjutan 121 mengambil alih seluruh fungsi pemerintahan (raja, presiden, sekaligus perdana menteri). Namun
pemerintahan yang kemudian terbentuk bukan lagi merupakan sistem pemerintahan parlementer karena kepala negara memiliki fungsi rangkap sebagai kepala pemerintahan, atau kepala pemerintahan yang memiliki fungsi rangkap sebagai kepala negara. Negara monarkhi parlementer berganti menjadi monarkhi absolut atau republik parlementer berubah menjadi negara republik presidensial dibawah kepemimpinan presiden yang diktator. Kuatnya kedudukan parlemen terhadap eksekutif, yang sering berdampak pada mudah bergantinya kabinet pemerintahan, juga merupakan faktor lain lagi yang menyulitkan terjadinya kediktatoran. Dapat disimpulkan sistem parlementer, sebagai sistem kenegaraan, lebih kecil
122 kemungkinannya untuk dikelola melalui cara kediktatoran. Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 108.
Ibid.
turut bertanggung jawab. Satu ciri khas dari sistem parlemen ini adalah kedudukan dari Dewan Menteri atau Kabinet sangat tergantung kepada sikap Le- gislatif atau parlemen. Maksudnya, Kabinet bisa saja harus mele- takkan jabatan bila parlemen tidak mempercayai kabinet dengan diterbitkannya sebuah “mosi tidak percaya”. Oleh karena itu, kabinet harus sungguh-sungguh memper-hatikan suara parlemen dan bahkan harus membina kerja sama dengan parlemen 124 .
Dalam sistem parlementer, Trias Politika, bukan merupakan pemisahan kekuasaan melainkan pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif (yudikatif tetap sebagai lembaga trias poli-tika yang independent) 125 . Sebagai pelaksana kebijakan partai produk parlemen, eksekutif dan (sebagian besar anggota) legislatif lebih terlihat bersifat sebagai satu badan karena memiliki kepentingan yang sama. Substansi sistem parlementer adalah tidak boleh ada pertentangan kepentingan antara lembaga yang membuat dan meratifikasi Undang-Undang (legislatif) dengan organ yang mengusulkan, mem-buat, dan yang pelaksana kebijakan (eksekutif). Implementasi trias politika dalam sistem parlementer adalah penyebaran kekuasaan legislatif ke eksekutif atau terjadi apa yang sering disebut dengan dif-fusion of powers 126 . Untuk hal tersebut beberapa negara memberlakukan ketentuan jabatan rangkap dimana menteri atau PM adalah juga anggota parlemen 127 . Bahkan tidak jarang konstitusi sistem parlementer menetapkan PM adalah juga Ketua Parlemen. Di sini harus diartikan bahwa menteri adalah anggota parlemen yang sedang melaksanakan fungsi eksekutif 128 .
Ibid. 126 Untuk Yudikatif tetap diberlakukan prinsip pemisahan kekuasaan. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas
127 Hukum UII Yogyakarta, 2002, hal. 256.
Negara yang memberlakukan ini antara lain Inggris, Itali, Jepang. Beranjak dari logika itu beberapa negara bahkan menempatkan pimpinan eksekutif (Perdana
Menteri) adalah juga ketua parlemen dan ketua partai (Italia). Di Jepang Perdana Menteri (PM) adalah Sekretaris Jenderal partai pemenang, dan untuk menduduki kursi PM biasanya diukur dari berapa banyak posisi menteri strategis yang pernah di emban.
Parlemen adalah lembaga yang melahirkan dan sekaligus sebagai lembaga pemberi mandat kepercayaan kepada kabinet pemerintahan. Pemberi mandat sudah tentu berhak menarik kembali mandat yang diberikan ketika penerima mandat dinilai kurang atau tidak dapat melaksanakan kewajiban seperti yang diamanatkan. Mosi tidak percaya adalah bentuk penarikan mandat oleh parlemen 129 . Kabinet yang terkena oleh mosi tidak percaya dengan sendirinya harus mengakhiri masa tugasnya. Masa pemerintahan kabinet secara resmi berakhir ketika kabinet menyerahkan mandat kepemerintahannya pada kepala negara. Sementara menunggu lahirnya pemerintahan baru, agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan atau vacum of power, kabinet berstatus sebagai kabinet demisioner. Kabinet masih menjalan- kan tugas rutin namun tidak lagi memiliki kewenangan rnengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis. Bersamaan dengan ditetapkannya kabinet sebagai kabinet demisioner, berakhir pula masa tugas anggota parlemen. Sebagai konse- kuensi logis diffusion of powers, Kepala Negara, a.n. negara, menyatakan pembubaran parlemen dan negara harus menyiapkan pemilu baru 130 .
Sistem parlementer sering dipersepsikan sebagai sistem yang labil. Hal yang biasa terjadi ketika suara partai pemenang <51%, yang mengharuskannya membentuk pemerintahan koalisi. Dalam hal semacam itu partai-partai mudah terjebak ada perilaku berlebihan (over acting). Ketergantungan pemerintah (kabinet) kepada parlemen, tempat di mana kabinet berasal, mudah disalahgunakan oleh partai-partai anggota koalisi, yang
129 Kewenangan parlemen terbatas pada mosi tidak percaya, parlemen tidak memiliki kewenangan membentuk membubarkan kabinet hanya didasarkan pada perubahan konfigurasi yang ada di
parlemen (akibat menyebrangnya anggota koalisi yang tidak puas atas kebijakan kabinet). Catatan ; hak mosi tidak dikenal dalam sistem Presidensial, karena presiden dalam sistem
130 presidensial tidak bertanggungjawab pada parlemen, melainkan langsung pada rakyat. Konstitusi negara umumnya telah menyiapkan berapa lama pemilu baru harus dilakukan untuk memperoleh pemerintahan baru. Pemilu baru atau pemilu sela umumnya berkisar antara satu
sampai sekitar tiga bulan setelah jatuhnya pemerintahan.
menyadari benar bahwa suara kecil mereka sangat berarti untuk tercapainya kuorum. Mereka, yang kini memiliki posisi tawar kuat, memanfaatkan ketergantungan kabinet kepada parlemen dengan “memaksakan kehendaknya”. Terjadi kondisi yang paradoksal. Partai-partai kecil seakan menjadi pihak yang lebih menentukan ketimbang partai-partai besar hanya karena mereka penentu kuorum. Kabinet menjadi rawan dan mudah jatuh. Yang terjadi bukan lagi dinamika politik melainkan kelabilan politik 131 .
Tidak ada sistem pemerintahan apapun yang bisa menghin- dar sepenuhnya dari bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Godaan kekuasaan kapanpun dan dimanapun tidak pernah berubah yakni keserakahan manusia. Kedudukan dan uang sebagai senjata paling ampuh untuk melumpuhkan kekuatan moral telah teruji dalam sejarah peradaban manusia. Pernyataan ahli sejarah Inggris, Lord Acton, Power tends to corrupt, absolutly power corrupt absoludy (kekuasaan cenderung korup dan kekuasan mutlak sudah pasti korup). masih tetap relevan hingga kini. Dalam sistem parlementer, partai politik yang menang mutlak bisa terjebak pada kecenderungan tersebut, upaya untuk sekedar mempertahankan kekuasaan selama mungkin bukan pada kewajiban mensejahterakan rakyat. Cara-cara legal maupun ilegal ditempuh a.l. melakukan konspirasi elit politik untuk mengeliminasi kekuatan oposisi. Sistem parlementer berpotensi menjadi pemerintahan oligarkhis 132 .
II.2 Sistem Pemerintahan Presidensial
Dalam membahas sistem ini hampir tidak mungkin untuk tidak membahas bahkan mengacu pada sistem yang berlaku dan diberlakukan di A.S. Sistem presidensial yang berlaku dan diberlakukan di A.S., yang telah berlangsung lebih dari dua ratus tahun, layak digunakan sebagai tolok ukur (parameter),
131 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 122. 132 Ibid , hal. 124.
setidaknya sebagai pembanding, bagi sistem presidensial yang berlaku di negara manapun, di luar Amerika Serikat.
Sejarah sistem presidensial berawal dari lahirnya negara baru Amerika Serikat buah dari perjuangan rakyat koloni Inggris di benua Amerika untuk memiliki pemerintahan sendiri lepas dari pusat kekuasaan, Kerajaan Inggris. Perlawanan rakyat tersebut dipicu oleh perasaan tidak adil masyarakat koloni, yang sebagian besar berasal dari Inggris, namun hak dan kedudukannya ditempatkan tidak sederajat dengan hak dan kedudukan penduduk di Inggris 133 . Keinginan rakyat Amerika sudah tentu berbenturan dengan Inggris yang tidak ingin wilayah koloninya lepas dari negara induk. Kehendak mereka untuk merdeka akhirnya harus ditempuh melalui peperangan panjang dan melelahkan, dengan Inggris (1775- 1783), yang kala adalah “negara adikuasa dan adidaya”. Rakyat koloni memenangkan peperangan dan selanjutnya mereka menyatakan dirinya merdeka, sebagai Bangsa Amerika.
Para pendiri bangsa sadar bahwa untuk keluar dari kesulitan dibutuhkan pemerintahan kuat. Pemerintahan kuat adalah pemerintahan dengan landasan sistem yang kuat artinya konstitusi negara harus kuat dan kokoh. Konstitusi yang kuat dan kokoh adalah konstitusi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kenegaraan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Konstitusi harus logis dan mudah dipahami hingga mudah diterima masyarakat. Sebagai bangsa imigran yang berasal dari Eropa, banyak diantaranya yang telah belajar dan memahami buah pikiran para filsuf kenegaraan Eropa tentang “negara ideal” yakni negara yang mendasarkan pemerintahannya pada hukum dan kehendak umum. Tidak seperti di negara asalnya, Eropa. yang tidak mudah merealisasikan konsep negara ideal karena terbentur pada kekuasaan yang ada (monarkhi dengan
133 Romein dalam Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 127.
sistemnya yang absolut ataupun semi absolut), maka di negara yang sama sekali baru seperti Amerika, sangat dimungkinkan bagi diterapkannya teori-teori kenegaraan tentang “negara ideal” 134 .
Untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalah penger- tian mereka, para pendiri republik, sepakat bahwa konstitusi negara harus tertulis. Setiap pasal dalam konstitusi harus dibuat secara nyata dan jelas. Kesepakatan yang dihasilkan, seluruhnya dicatat dalam dokumen tertulis yang merupakan aturan dasar tertulis, yakni Undang-Undang Dasar A.S. (1787). Aturan dasar tersebut (UUD A.S.) adalah aturan dasar tertinggi yang merupakan acuan dalam membuat ketentuan atau aturan selanjutnya (Undang-Undang). Undang-Undang Dasar Amerika Serikat (UUD A.S.) tercatat dalam sejarah sebagai Undang-Undang Dasar tertulis yang tertua di dunia 135 .
Dalam sistem pemerintahan presidensil juga terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu 136 :
1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;
2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;
4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;
Kecuali kerajaan Inggris yang sejak Magna Charta (1215) terus berjuang mengeliminasi kekuasaan raja yang dianggap berlebihan, negara-negara Eropa Kontinental umumnya 135 masih belum memiliki kejelasan sistem. Polak dalam Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid.
hal. 128-129.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata....Ibid, hal. 316.
5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya;
6. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi;
7. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;
8. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam
sistem parlementer yang terpusat pada parlemen. Namun, terlepas dari kenyataan dianutnya ide pemisahan
kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip checks and balances tersebut dalam sistem pemerintahan negara, tidak mengurangi maknanya sebagai sistem pemerintahan yang biasa dinamakan sistem presidensil. Penggunaan istilah sistem pemerintahan presidensil (presidential system) ini dipakai untuk membedakannya secara diametral dari sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system). Keduanya sama-sama dianut oleh banyak negara di dunia, di samping sistem yang bersifat campuran, seperti yang dipraktikkan di Perancis.
Kedelapan prinsip sistem presidensil yang diuraikan tersebut di atas, juga berlaku dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Karena itu, sistem pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 dapat dikatakan merupakan sistem presidensil. Bahkan, apabila dibandingkan dengan sistem presidensil yang telah dianut oleh UUD 1945 sejak sebelum diadakan perubahan, maka sistem pemerintahan presidensil yang sekarang dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing menurut undang-undang dasar. Karena itu, kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu dibedakan apalagi Kedelapan prinsip sistem presidensil yang diuraikan tersebut di atas, juga berlaku dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Karena itu, sistem pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 dapat dikatakan merupakan sistem presidensil. Bahkan, apabila dibandingkan dengan sistem presidensil yang telah dianut oleh UUD 1945 sejak sebelum diadakan perubahan, maka sistem pemerintahan presidensil yang sekarang dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing menurut undang-undang dasar. Karena itu, kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu dibedakan apalagi
Menurut Mahfud MD 138 , sistem Presidensial dapat di catat dengan adanya prinsip-prinsip sebagai berikut ;
1. Kepala negara menjadi Kepala Pemerintahan (eksekutif).
2. Pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen
(DPR). Pemerintah dan Parlemen adalah sejajar.
3. Menteri-menteri diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
4. Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat. Stabilitas politik dan pemerintahan di Amerika Serikat, sejak
konstitusi sistem presidensial diberlakukan lebih dari dua ratus tahun yang lalu, telah banyak mengundang perhatian ahli kenegaraan dan pakar tatanegara. Perumus konstitusi di sejumlah negara, terlebih di negara berkembang, tidak sedikit yang mengadopsi sistem tersebut untuk kemudian member- lakukannya di negaranya. Pertanyaannya adalah dimana letak kekuatan sistem presidensial. Menarik untuk memperhatikan pendapat Melvin J Urofsky, profesor Sejarah dan Kebijakan Publik pada Virginia Commonwealth University. Beliau menyebut ada sebelas prinsip dasar demokrasi, berdasarkan sistem konstitusi presidensial, yang perlu dikenali sebagai kunci’ untuk memahami bagaimana demokrasi tumbuh dan berkembang dan bagaimana konstitusi presidensial berjalan di Amerika Serikat 139 ;
1. Pemerintahan berdasarkan Konstitusi.
2. Pemilihan umum yang demokratis.
3. Federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal.
4. Pembuatan Undang-Undang.
5. Sistem Peradilan yang independen.
138 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata....Ibid, hal. 317. Mahfud MD, Dasar dan Struktur......Op.Cit, hal 74. 139 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik....Ibid. hal. 135.
6. Kekuasaan lembaga kepresidenan.
7. Peran media yang bebas.
8. Peran kelompok-kelompok kepentingan.
9. Hak masyarakat untuk tahu.
10. Melindungi hak-hak minoritas.
11. Kontrol sipil atas militer. Di dalam bab ini, penulis hanya menitik beratkan pada
kekuasaan lembaga kepresidenan, dimana semua masyarakat modern harus memiliki pimpinan eksekutif yang mampu memikul tanggungjawab pemerintahan, mulai dari adminis-trasi sederhana sebuah program sampai menggerakkan angkatan bersenjata untuk membela negara semasa perang. Konstitusi telah menarik garis jelas sekitar kekuasaan presiden, dan meskipun lembaga tersebut adalah salah satu yang terkuat di dunia, kekuatan itu berasal dari kesepakatan dari yang diperintah dan bersandar pada kemampuan Gedung Putih untuk bekerjasama secara baik dengan cabang- cabang lain dari pemerintahan. Organisasi sebenarnya dari kantor kepala eksekutif bukanlah hal utama, melainkan pembatasan yang berlaku pada lembaga tersebut berdasarkan prinsip “pemi-sahan kekuasaan” 140 .
Dalam sistem presidensial, pertanggungjawaban presiden yang langsung pada rakyat berkonsekuensi pada kedudukan dan bobot presiden lebih besar ketimbang jabatan anggota legislatif. Presiden dipilih oleh sebagian besar rakyat sedangkan anggota legislatif, dilihat dari orang perorang dipilih oleh sejumlah tertentu rakyat sesuai dengan yang dipersyaratkan Undang-Undang. Mengikuti alur fikir tersebut maka logis bila kedudukan presiden lebih kuat dibandingkan dengan jabatan lain dalam jabatan lembaga Trias Politika. Presiden tidak bisa dijatuhkan oleh legislatif, karena ia dipilih lang-sung rakyat dan oleh karenanya bertanggungjawab pada rakyat 141 .
Ibid....hal, 137.
Ibid....hal, 146.
Banyak negara penganut sistem presidensial kurang berhasil melaksanakan sistem a.l. karena terjebak pada pola kediktatoran. Kedudukan presiden yang dipilih langsung rakyat berpengaruh pada kuatnya legitimasi yang dimiliki presiden. Adalah benar kokohnya kedudukan presiden lebih memberikan kepastian masa jabatan yang pada gilirannya lebih mem- berikan ketenangan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Namun kepastian masa jabatan juga bisa disalahgunakan karena presiden memiliki waktu cukup untuk secara bertahap melakukan rekayasa untuk terus memperkuat kedudukannya 142 .
Sebagai “Raja yang dipilih rakyat” dengan dua fungsi jabatan, sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Peme- rintahan, Presiden memiliki bobot lebih besar ketimbang legislatif maupun yudikatif. Tanpa pemahaman mendasar akan makna sistem apalagi hanya dengan melihat sisi luar kendala yang dihadapi sejumlah negara dalam menerapkan sistem tersebut. tidak jarang terjadi antisipasi berlebihan yang berujung pada “munculnya” sistem yang lain sama sekali. Antisipasi terhadar kecenderungan presiden menjadi otoriter dilakukan dengan sangat sederhana yakni dengan mengurangi kekuasaan atau hak-hak dasar presiden 143 .
142 Ibid....hal, 152. Kediktatoran yang melanda sejumlah negara terjadi melalui tahap-tahap semacam itu. Filipina (Marcos), Korea Selatan (Syngman Rhee, Park Chung Hee, Kim Dae Yung, Chun
Doo Hwan, Roh Tae Woo), Peru (Fujimori), adalah sekedar contoh. Kediktatoran juga mudah tercipta dari konsekuensi logis pengambilalihan kekuasaan secara paksa atau pada negara yang belum/tidak memiliki kejelasan arsitektur konstitusinya. Sejumlah negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, seperti; Irak (Saddam Hoesein), Mesir (Nasser, Sadat, Moubarak), Argentina,
143 Brazilia, Chili, dll, adalah sekedar contoh. Sejumlah negara berkembang di Amerika Latin (Costa Rica, Uruguay, Peru, Chili, Argentina, dan Brazil melakukan hal itu. Indonesia melalui amandemen berkali-kali UUD 45 (s/d