Eksistensi Hak Prerogratif Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945

A. Eksistensi Hak Prerogratif Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945

Sebelum masuk pada pembahasan bab ini, terlebih dahulu penulis tekankan lebih lanjut tentang adanya perbedaan persepsi di beberapa kalangan akan pemahaman tentang ada tidaknya hak prerogratif. Terlepas dari itu juga apa yang penulis tuangkan di dalam bab ini merupakan hasil penelitian penulis tentang eksistensi hak prerogatif itu sendiri menurut pandangan penulis.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa istilah hak prerogatif itu tidak ada dan yang ada hanyalah kekuasaan presiden selaku kepala negara. Dan kalau pun presiden memiliki hak-hak yang dijalankannya itu hanya sebagai implementasi dari kewen- angannya sebagai kepala negara dalam menjalankan roda pemerintahan.

Guna tidak terjadi kesalahpahaman dalam pembahasan bab ini juga, penulis memberikan batasan lebih lanjut tentang hak prerogatif yang penulis maksudkan di dalam penelitian ini. Hak prerogatif menurut analisa penulis adalah hak yang dimiliki oleh seorang kepala pemerintahan atau kepala negara tanpa ada intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut. Oleh karenanya, hak prerogatif itu dikatakan sebagai hak privilege atau hak istimewa seorang kepala negara dalam menjalankan tugas kenegaraannya.

Penulis beranggapan bahwa jika hak tersebut istimewa sudah barang tentulah si pengguna hak bebas untuk berbuat atas hak yang dimilikinya tersebut, karena memang demi- kianlah sesungguhnya konsep hak tersebut. Hanya saja penggunaan hak tersebut harus tetap senantiasa dibatasi dengan aturan-aturan yang berlaku. Sehingga jika si pengguna hak tersebut ingin menggunakan haknya sebagaimana mestinya penggunaan hak dapat digunakan tanpa harus ada intervensi dari pihak mana pun dari konsekuensi atas penggunaan hak tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya yang terjadi, apabila penggunaan hak yang sifatnya istimewa tersebut dalam penggunaannya harus mendapat persetujuan dari pihak lain, maka hak itu tidak dapat dikategorikan sebagai suatu hak yang istimewa. Ini kiranya menurut hemat penulis, sifat istimewanya akan hilang dengan serta merta ketika bagi si pengguna hak istimewa tersebut dalam menggunakan haknya harus mendapat intervensi dari pihak yang lain. Kekhususan tersebut akan hilang, oleh karenanya ia tidak dapat lagi di katakan sebagai suatu hak yang istimewa.

Perlu kiranya penulis tekankan diatas dikarenakan adanya perdebatan akan hak prerogatif itu sendiri. Menurut Husnu Abadi hak prerogatif tidak dikenal di dalam sistem ketata- negaraan Indonesia, hak untuk mengangkat menteri, meng- angkat duta dan konsul, hak untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi tidak dapat dikatakan sebagai hak prerogatif Presiden, karena hal tersebut merupakan tugas Presiden selaku kepala pemerintahan yang diberikan konstitusi kepadanya 252 .

Terlepas dari itu semua, dalam penelitian ini penulis berpegang pada pendapat Mahfud MD yang menyatakan bahwa, ada atau tidaknya hak prerogatif dalam konstitusi tidak menjadi masalah, tergantung bagaimana memaknai hak

252 Disampaikan Husnu Abadi dalam wawancara tanggal 14 Juni 2007.

prerogatif itu. Sebab hak prerogatif itu ada jika Presiden berhak melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan orang atau lembaga lain 253 .

Selain itu juga, penegasan yang dikatakan oleh Bagir Manan 254 , bahwa salah satu karakter dari kekuasaan Prerogatif itu adalah tidak ada dalam hukum tertulis. Sehingga dengan demikian pengaturan tentang hak Prerogatif itu tidak akan kita jumpai didalam perundang-undangan. Hanya tergantung dari pemaknaan kita semua.

Ciri paling menonjol dalam sistem presidensial adalah, sesuai dengan namanya, obyek utama yang diperebutkan, adalah Presiden. Peran dan karakter individu Presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai 255 .

Pada pembahasan bab ini juga penulis batasi dengan hanya meneliti dan membahas beberapa hak prerogatif presiden yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya penulis bandingkan dengan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Adapun pergeseran hak-hak prerogatif yang menyebabkan bagaimana sebenarnya eksistensi hak prerogatif itu sendiri di dalam sistem pemerintahan presidensial yang akan penulis bahas di dalam bab ini adalah sebagai berikut :

1. Hak Prerogatif Presiden untuk mengangkat menteri- menterinya.

2. Hak Prerogatif Presiden untuk mengangkat duta/konsul.

3. Hak Prerogatif Presiden untuk memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi.

Sebagaimana diketahui bahwa menteri-menteri adalah pembantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk itulah, penunjukkan menteri-menteri yang akan bertugas tersebut haruslah orang yang dapat bekerjasama dan

254 Mahfud MD dalam Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan.....Ibid, hal 121. Bagir Manan, Republika, 27 Mei 2000, Op.Cit. 255 Hendarmin Ranadireksa, Op.Cit. hal.132-133.

mendukung Presiden. Undang-Undang Dasar 1945 meng- amanatkan bahwa pada bab V tentang Kementrian Negara Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa ; menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga dengan demikian menteri-menteri harus bertanggungjawab kepada Presiden.

Sebagaimana juga pendapat Jhon J.Wuest dan Shepard Leonard Witman 256 yang mengatakan bahwa salah satu ciri sistem presidensial adalah tidak ada pertanggungjawaban bersama antara kepala eksekutif dengan anggota kabinetnya (para menteri). Dimana para menteri bertanggungjawab secara penuh kepada kepala eksekutif.

Berdasarkan gambaran diatas dapat dijelaskan bahwa dengan adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan maka Presiden dapat mengangkat dan memberhentikan orang-orang (baca; menteri) yang dianggapnya layak atau tidak layak untuk membantunya di dalam kabinet yang disusunnya berdasarkan pertimbangan oleh Presiden itu sendiri. Dengan ini juga, menjelaskan bahwa Presiden tersebut memiliki kekuasaan yang tidak boleh di campuri oleh pihak lain dan mutlak berasal dari haknya selaku presiden.

Jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa kekuasaan pemerin- tahan dipegang oleh Presiden, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berlaku sistem pemerintahan Presidensial bukan parlementer. Dengan demikian maka eksistensi akan hak prerogatif Presiden tersebut akan tampak dari penjelasan pasal diatas.

Bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Herman Sihombing 257 , bahwa dengan kalimat yang kurang

256 Jhon J.Wuest dan Shepard Leonard Witman dalam Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia ; Sejak Proklamasi hingga Reformasi , Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004, hal. 207-

208. 257 Herman Sihombing, Lembaga Prerogatif.....Op.Cit.

memerlukan prerogatif seperti digambarkan diatas dikatakan “ concentration of power and responsibility upon the President” oleh karena Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permus- yawaratan Rakyat, kekuasaan yang demikian dan bertang- gungjawab pula, maka arti prerogatif dalam hukum tata negara Indonesia, setidak-tidaknya tidak sama dengan prerogatif yang dikemukakan seperti yang dimiliki oleh Raja Inggris.

Hal tersebut dikarenakan ukuran yang digunakan oleh Herman Sihombing adalah ada atau tidaknya pertang- gungjawaban dari Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (baca; Parlemen). Jika Presiden dalam menggunakan hak atau kekuasaannya harus dipertanggungjawabkan kepada parlemen maka hak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hak prerogatif murni lagi. Asumsi ini berdasarkan kepada hak prerogatif yang diberikan oleh parlemen yang ada di Inggris kepada Raja sebagai residu dari kekuasaan Raja yang telah diambil alih oleh Parlemen. Hak prerogatif Raja dalam memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, hak dalam memberikan tanda kehormatan, maupun hak untuk memberi- kan gelar tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada parlemen pada waktu itu, sehingga hak tersebut memang mutlak berasal dari Raja.

Berbeda dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, dalam hal pengangkatan menteri-menteri Presiden terlebih dahulu melakukan kesepa- katan dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai konsekuensi dari Presiden itu dipilih oleh orang- orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian. Kemudian menunjuk tiga pembentuk kabinet.

Perlu digaris bawahi bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat menganut sistem negara-negara bagian, sehingga Presiden tidak memiliki kekuasaan yang mutlak dalam hal tersebut. Dan untuk itu, harus terlebih dahulu mendapat kesepakatan dari orang-orang yang dikuasakan oleh Perlu digaris bawahi bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat menganut sistem negara-negara bagian, sehingga Presiden tidak memiliki kekuasaan yang mutlak dalam hal tersebut. Dan untuk itu, harus terlebih dahulu mendapat kesepakatan dari orang-orang yang dikuasakan oleh

Sesuai dengan paparan diatas maka kekuasaan presiden untuk mengangkat menteri-menteri tidak lagi dapat dikatakan sebagai hak prerogatif Presiden. Hal ini dikarenakan juga karena pada waktu Konstitusi Republik Indonesia Serikat diberlakukan negara kita menganut sistem Parlementer bukan Presidensial. Dan untuk itu juga dikenal dengan adanya perdana menteri selaku kepala pemerintahan dan fungsi presiden hanya selaku kepala negara. Sehingga dalam hal pengangkatan menteri- menteri yang bertugas Presiden harus terlebih dahulu menerima setiap masukan dari ketiga pembentuk kabinet.

Hal tersebut sesuai dengan salah satu prinsip pokok daripada sistem parlementer, dimana kepala pemerintahan (baca ; perdana menteri) mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif.

Sebagaimana konsep hak prerogatif yang penulis sampaikan dalam penelitian ini, Presiden dalam menggunakan hak tersebut tidaklah perlu harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan lembaga negara lainnya, karena hak tersebut adalah hak yang diberikan konstitusi kepada Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Disini tampak jelas pergeseran yang terjadi akan makna hak prerogatif Presiden dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlaku pada saat itu, dimana di dalam Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensial, yang mana

Lihat Kembali Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

presiden tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga sebagai kepala negara sedangkan dalan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menganut sistem pemerintahan Parlementer dimana mengenal adanya perdana menteri dalam mengurus pemerintahan dan presiden hanyalah sebagai kepala negara.

Dengan demikian eksistensi hak prerogatif Presiden tidak tampak karena memang dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlaku pada waktu itu.

Selanjutnya pada Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, dalam pasal 50 Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 dikatakan bahwa Presiden membentuk kementrian negara, akan tetapi sebelum Presiden melakukan pengangkatan atas menteri-menteri yang akan memimpin kementrian terlebih dahulu presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet. Hampir sama dengan Undang-Undang Republik Indonesia Serikat, di dalam Undang-Undang Dasar tahun 1950, Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi perdana menteri dan mengangkat menteri-menteri yang lain. Barulah setelah itu, berdasarkan anjuran pembentuk menteri tersebut, Presiden menetapkan siapa-siapa dari menteri- menteri itu diwajibkan memimpin kementerian masing- masing.

Perbedaan yang mendasar antara Undang-Undang Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, adalah dimana di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat pembentuk kabinet ditentukan sebanyak 3 orang sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 jumlah pembentuk menteri tidak ditentukan di dalam pembentukan kabinet.

Sebagai bahan komparatif dari penelitian ini, Herman Sihombing justru memandang bahwa pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, lembaga prerogatif lebih tampak dalam praktek dan teori kenegaraan Indonesia. Di dalam Konstitusi

Republik Indonesia Serikat dinyatakan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara dan atau sebagai Pemerintah tidak dapat diganggu gugat, menteri-menterilah yang bertanggungjawab, baik seluruh kebijaksanaan pemerintah maupun bahagian khusus suatu departemen menjadi tanggungjawab menteri 259 , dan DPR tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing menteri untuk meletakkan jabatan 260 . Hal demikian ini dilakukan, oleh karena pada masa peralihan yang menghendaki stabilitas pemerintahan, bahkan dalam pasal 75 Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu ditentukan, ada Kabinet Inti, yang berhak memutuskan dan mengambil suatu putusan yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan, yang sama kedudukannya dengan putusan lengkap kabinet seluruhnya 261

Hak Prerogatif Kepala Negara pada waktu ini juga besar dan banyak, meskipun Presiden Republik Indonesia Serikat itu ditentukan sebagai Kepala Pemerintah bersama-sama dengan Menteri, hanya tidak dapat diganggu gugat dalam menjalankan kekuasaannya, disebabkan masa peralihan/pancaroba 262 .

Disisi lainnya juga dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dengan tandas disebutkan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, menteri-menteri bertang-

259 Pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

261 Pasal 122 Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Pasal 75 Konstitusi Republik Indonesia Serikat berbunyi ; (1) Menteri-menteri yang diwajibkan memimpin Departemen Pertahanan, Urusan Luar

Negeri, Urusan Dalam Negeri, Keuangan dan Urusan Ekonomi, dan juga Perdana Menteri, sungguhpun ia tidak diwajibkan memimpin salah satu departemen tersebut, kedudukan khusus seperti diterangkan dibawah ini.

(2) Menteri-menteri pembentuk biasanya masing-masing memimpin salah satu dan departemen-depertemen tersebut dalam ayat yang lalu. (3) Dalam hal-hal yang memerlukan tindakan dengan segera dan dalam hal-hal darurat, maka para menteri yang berkedudukan khusus bersama-sama berkuasa mengambil keputusan-keputusan yang dalam hal itu dengan kekuatan yang sama, menggantikan keputusan-keputusan Dewan Menteri yang lengkap.

(4) Dalam memusyawarahkan dan memutuskan sesuatu hal yang langsung mengenai sesuatu pokok yang masuk dalam tugas suatu departemen yang lain dari pada yang tersebut dalam ayat 1, Menteri Kepala Departemen itu turur serta.

262 Herman Sihombing, Lembaga..Op.Cit.

gungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bahagian sendiri-sendiri 263 . Dan juga hak prerogatif Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat 264 , dan sebagai imbangannya hak Dewan Perwakilan Rakyat dapat memaksa kabinet/ Menteri untuk berhenti.

Hal tersebut diataslah yang membuat Presiden tidak bertanggungjawab, dan yang bertanggungjawab adalah Menteri/Kabinet seluruhnya atau salah seorang dalam bahagiannya. Oleh karenanya pulalah, menurut Herman Sihombing, hal-hal ini adalah prerogatif Kepala Negara dalam arti yang amat terbatas dan dalam arti sempit, tidak sama arti dan isinya dengan pengertian hak prerogatif seperti pada Raja yang ada di Inggris 265 .

Selanjutnya, menurut Herman Sihombing dalam sistem ketatanegaraan kita di bawah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, Presiden, selaku Kepala Negara, penanggungjawab utama dalam menyelenggarakan kehidupan negara, seluruhnya dibawah Majelis, maka lembaga prerogatif seperti yang disinggung diatas tidak memiliki tempat dalam ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar sebelum amandemen tersebut. Hal tersebut dikarenakan semua dapat diuji dan diteliti oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan proporsional dalam bidangnya masing-masing oleh Lembaga Negara lainnya 266 .

Ditambahkan pula oleh Herman Sihombing 267 bahwa, lembaga prerogatif murni, tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat diuji dan tidak dapat dipertanggungjawabkan/ tidak

264 Pasal 83 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 265 Pasal 84 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 266 Herman Sihombing, Lembaga.....Op.Cit. 267 Ibid. Herman Sihombing, Lembaga Prerogatif Dalam Negara Republik Indonesia, Kompas, 8 Juli

dipertanggungjawabkan, sedangkan dalam sistem ketatane- garaan menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen semua bagian kekuasaan negara dalam pelak- sanaannya wajib dipertanggungjawabkan menurut pem- bidangannya masing-masing oleh lembaga dan aparatur negara bersangkutan. Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal 11,

12, 13, 14 dan 15 ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, itu tidaklah hak atau lembaga prerogatif murni dikarenakan harus diberikan dan dilaksanakan dengan peraturan perundang-undangan negara 268 .

Berbeda dengan pendapat diatas Yap Thiam Hien (Baperki) menganggap Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen kurang mengatur pertanggungjawaban Presiden. Pasal 1 ayat

2, pasal 3 dan pasal 6 ayau 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menetapkan bahwa Majelis Permus- yawaratan Rakyat memegang kedaulatan rakyat dan meng- angkat Presiden yang bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tetapi, menurut pasal 5, Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk kekuasaan legislatif. Ini berarti Presiden sendiri sesungguhnya berhak mencipta hukum untuk mengatur pertanggungjawabannya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atas dasar pasal-pasal yang bersangkutan 269 .

Senada dengan hal diatas, S.M Abidin (Partai Buruh), menyatakan bahwa Presiden mengangkat menterinya dan pejabat-pejabat lain, tetapi hanya Presiden yang akan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada prakteknya, pertanggungjawaban seperti itu tidak efektif. Ia mengusulkan supaya dibentuk Senat yang terdiri dari wakil- wakil yang dipilih oleh daerah untuk membantu Presiden dalam mengawasi pejabat-pejabat pemerintah. Senat ini berwenang

269 Ibid. Yap Thiam Hien, Risalah, 1959/II, dalam Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme... Op.Cit, hal. 202.

memanggil pejabat-pejabat itu, dengan kekecualian Presiden, untuk menuntut pertanggungjawaban dari mereka 270 .

Lain halnya dengan Adnan Buyung Nasution 271 , menyatakan bahwa kekuasaan Lembaga Kepresidenan yang besar itu nyaris tanpa kontrol. Sebab, meskipun penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menyatakan ;” kekuasaan Presiden tidak tak terbatas lantaran Presiden harus memper- hatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden harus bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat;” tapi karena dengan kekuasaannya yang besar dibidang legislatif, Lembaga Kepresidenan dapat lebih menentukan dalam pembentukan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR bahkan pengisian para pejabat DPR/MPR pun diatur oleh Keputusan Presiden. Telah menjadi tidak efektifnya DPR/MPR dalam melaksanakan fungsinya berhadapan dengan lembaga Kepresidenan.

Dari dua pendapat diatas menunjukkan bahwa sesungguh- nya pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis Permusya- waratan Rakyat tidaklah seperti yang diamanatkan didalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, ternyata masih terdapat celah dimana Presiden ada “mengakali” pertanggungjawaban yang akan disampaikannya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri. Berdasarkan dua pendapat diatas penulis berkesimpulan juga bahwa sesung- guhnya Presiden pada masa itu tidaklah benar-benar melaksanakan mekanisme pertanggungjawaban sebagaimana mestinya 272 , sehingga dengan demikian Penulis mengkatago- rikan bahwa hak-hak yang dimiliki Presiden tersebut termasuk kedalam hak prerogatif Presiden jika ukuran yang dipakai adalah pertanggungjawaban atas penggunaan hak prerogatif itu sendiri.

270 S.M Abidin, Risalah, 1959/1 ; 118-119 ; 126-127, dalam Ibid, hal. 203. 271 Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme.......Op.Cit, hal. 204-205.

Perbedaan persepsi yang timbul diatas adalah karena ukuran (baca ; teori) yang penulis gunakan adalah merujuk kepada pendapat Mahfud MD 273 yang mengatakan, ada atau tidaknya hak prerogatif dalam konstitusi tidak menjadi masalah, tergantung bagaimana memaknai hak prerogatif itu. Sebab hak prerogatif itu ada jika Presiden berhak melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan orang atau lembaga lain. Artinya ukuran prerogatif yang penulis gunakan adalah dengan melihat ada atau tidaknya intervensi dari pihak lain ketika Presiden akan menggunakan haknya tersebut, bukan melihat dari sisis pertanggungjawaban. Dan menurut hemat penulis juga, setiap apa pun jabatan yang dipegang sudah barang tentu harus dipertanggungjawabkan, yang perlu digaris bawahi adalah proses dalam menggunakan hak tersebut yang menjadi concern terlebih dalam penelitian ini.

Sementara disisi lainnya, Herman Sihombing 274 memandang bahwa Hak prerogatif itu tidak harus dipertanggungjawabkan kepada lembaga mana pun, karena menurutnya asal hak prerogatif itu adalah sebagai suatu rasa kasihan sekaligus lembaga kehormatan bagi raja (yang dahulu sangat berkuasa penuh bahkan absolut) sebagai akibat dari pergeseran kekuasaan raja kepada parlemen. Itulah sebabnya menurut pendapat Herman Sihombing, hak-hak tersebut merupakan hal- hal yang sepele dan disisakan sebagai hak prerogatif raja 275 .

272 Hal ini berdasarkan kepada kenyataan dilapangan bahwa sistem ketatanegaraan pada waktu itu tunduk pada kekuasaan presiden. Pertanggungjawaban yang disampaikan kepada MPR

selaku mandataris Presiden pada waktu itu dapat dipolitisir oleh Presiden karena besarnya kekuasaan Presiden. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan Kedudukan MPR RI, seluruh anggota MPR berjumlah 920 orang, terdiri dari :

a.1. 460 orang anggota DPR yang seluruhnya dipilih melalui Pemilihan Umum dari anggota PPP, PDI dan Golkar a.2. 130 orang dari Utusan Daerah-Daerah, diangkat oleh Presiden,

a.3. 330 orang Utusan Golongan-Golongan juga diangkat oleh Presiden. 274 Mahfud MD dalam Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan.....Ibid, hal 121. Herman Sihombing, Lembaga Prerogatif Dalam Negara Republik Indonesia, Kompas, 8 Juli

1982. 275 Ibid.

Menurut hemat penulis, hak-hak yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bukanlah hak-hak yang sepele, akan tetapi hak-hak tersebut sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan itu sendiri. Kendati demikian Herman Sihombing tidak menafikan atau membantah keberadaan hak prerogatif presiden itu dalam perjalanan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, hanya saja menurutnya hak prerogatif yang ada dalam sistem ketatane- garaan Indonesia tidaklah lagi sama dengan makna hak prerogatif asal 276 .

Perubahan besar terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia setelah dilakukan perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yang merubah mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dilakukan oleh Majelis Permus- yawaratan Rakyat, sekarang akan dilakukan secara langsung oleh rakyat, sehingga Presiden tidak lagi perlu menyampaikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi logis pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi berwenang meminta pertanggungjawaban Presiden, kecuali kalau ada usul dari Dewan Perwakilan Rakyat 277 .

Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen dijelaskan bahwa menteri-menteri itu diangkat dan diberhen- tikan oleh Presiden. Hanya saja setelah dilakukan amandemen tepatnya pada perubahan ketiga dijelaskan bahwa penam- bahan terhadap pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang 278 .

Menurut Valina Singka Subekti, dalam hal pengangkatan menteri yang terlebih dahulu harus mendapat pertimbangan 276 Herman Sihombing menyebutnya dengan hak prerogatif derivatief, tidak murni, harus

dipertanggungjawabkan, bukan hak istimewa, bukan privilege adanya. Lihat kembali Herman 277 Sihombing, Lembaga Prerogatif.....Op.Cit. Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia....Op.Cit, hal. 92-93.

278 Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.

Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi pemberhentiannya pun harus terlebih dahulu memperoleh pertimbangan dari Dewan Pertimbangan Rakyat. Ia menegaskan ;

“....memang kita menganut demokrasi, kita menganut sistem presidensial. Tetapi tidak berarti bahwa itu menjadi suatu wewenang yang penuh dari seorang Presiden. Kita bisa melihat contoh bahwa di Amerika Serikat dimana seorang Presiden dalam mengusulkan anggota kabinetnya pun juga harus memperoleh persetujuan dari Kongres ” 279 .

Perdebatan yang cukup hangat terjadi ketika di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terjadi ketika Presiden akan melakukan reshuffle kabinetnya. Dimana pada waktu itu sempat bergejolak tentang pengisian pos-pos menteri tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga Legislatif mengganggap bahwa pengangkatan menteri harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Sesuai dengan apa yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen diatas, kendati sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem pemerintahan presidensial akan tetapi eksistensi dari hak prerogatif presiden itu sudah dibatasi dengan undang-undang. Sehingga, menurut pendapat penulis terjadi perbedaan antara konsep sistem presidensial dengan praktek dilapangan.

Eksistensi hak prerogatif Presiden yang terjadi dalam hal pengangkatan menteri-menteri di dalam empat konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia sebagaimana dipaparkan diatas, dapat penulis jelaskan bahwa kekuasaan Presiden dalam hal penggunaan hak prerogatif dalam pengangkatan menteri sesungguhnya telah bergeser dari mulai berdirinya Republik ini, dimana untuk pertama kalinya di dalam Undang-Undang

279 Valina Singka Subekti, dalam Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi.....hlm. 107.

Dasar 1945 sebelum amandemen, Presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya tanpa ada intervensi dari mana pun. Sedangkan memasuki dua konstitusi selanjutnya Presiden dalam mengangkat atau menunjuk menteri-menteri yang akan membantunya harus terlebih dahulu menerima saran dan anjuran dari pembentuk kabinet. Ini dipengaruhi juga karena sistem pemerintahan yang sedikit bergeser dari sistem pemerintahan presidensial menuju sistem pemerintahan parlementer. Lebih lanjut, setelah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kekuasaan Presiden (baca; hak prerogatif presiden) kembali seperti semula, dimana Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentiaan menteri-menterinya sebagai konsekuensinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu terlebih dahulu mendapat persetu- juan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah Amandemen pasal 17 ayat (4) yang menyatakan bahwa kementrian negara diatur di dalam Undang-Undang. Kendati demikian masih ada “wilayah” dimana Presiden dengan wewenang penuh yang dimiliki olehnya dalam mengangkat menteri-menterinya.

Dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia juga, eksistensi hak prerogatif Presiden untuk mengangkat duta/ konsul juga mengalami pergeseran. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen Pasal 13 dijelaskan bahwa “Presiden mengangkat duta dan konsul” sebagai akibat yang timbul dari pengangkatan tersebut maka Presiden juga menerima duta dari negara lain.

Dan di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dijelaskan bahwa pemerintah memegang pengurusan perhubungan luar negeri yang dimaksud disini adalah dalam melakukan kegiatan saling berhubungan dengan negara lain dilaksanakan oleh pemerintah yang dapat dikatakan Presiden lah yang berperan dalam hal ini. Sehingga implikasi dalam menjalin hubungan dengan negara lain ini Presiden memiliki Dan di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dijelaskan bahwa pemerintah memegang pengurusan perhubungan luar negeri yang dimaksud disini adalah dalam melakukan kegiatan saling berhubungan dengan negara lain dilaksanakan oleh pemerintah yang dapat dikatakan Presiden lah yang berperan dalam hal ini. Sehingga implikasi dalam menjalin hubungan dengan negara lain ini Presiden memiliki

Akan tetapi dalam melakukan perjanjian maupun persetu- juan tersebut hanya dapat Presiden lakukan jikalau undang- undang federal menghendaki demikian. Artinya jika di dalam undang-undang federal tidak mengatur dan memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk membuat persetujuan maupun perjanjian dengan negara-negara lain maka Presiden tidak dapat melakukan hal tersebut.

Dalam hal pengangkatan duta atau konsul, Presiden memiliki kewenangan penuh sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 178 Undang-Undang Republik Indonesia Serikat yang menyatakan bahwa Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia Serikat pada negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia Serikat. Tidak dijelaskan di dalam pasal ini Presiden harus memperoleh persetujuan dari tiga pembentuk kabinet sebelumnya maupun lembaga legislatif yang ada. Artinya mutlak kekuasaan tersebut dimiliki oleh Presiden.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 dijelaskan dalam pengangkatan duta/konsul sama halnya dengan Undang-Undang Dasar sebelumnya. Dengan demikian tidak terjadi pergeseran dalam pengangkatan duta/ konsul antara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dengan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.

Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul dan dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat serta dalam menerima penempatan duta negara lain Presiden juga harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Ni’matul Huda, perubahan terhadap pasal- Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul dan dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat serta dalam menerima penempatan duta negara lain Presiden juga harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Ni’matul Huda, perubahan terhadap pasal-

Di sini tampak pergeseran pendulum kekuasaan Presiden yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen dengan Undang-Undang Dasar sebelumnya yang mana pihak legislatif mencoba memasuki ranah eksekutif dengan ikut mempengaruhi wewenang Presiden 281 . Kekuasaan Presiden dalam mengangkat duta dan konsul yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen mengalami pergeseran yang cukup bermakna dari sebelumnya. Ini menunjukkan indikasi menguatnya parlemen di dalam menjalankan roda pemerintahan. Sehingga kekuasaan-kekuasaan Presiden yang sebelumnya dimiliki secara konstitusional oleh Presiden harus “berbagi” dengan legislatif atau parlemen.

Akan tetapi patut dicatat juga, menurut I Made Leo Wiratma 282 , makna kalimat “ memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” ini tidak jelas. Bagaimana caranya menilai atau apa yang menjadi ukuran bahwa Presiden telah sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Lalu apa konsekuensinya jika Presiden tidak secara sunguh-sungguh memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, juga tidak jelas. Hal itu kiranya akan lebih jelas dan pasti jika kalimat itu diganti “harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”

Sejalan dengan pendapat diatas, Naswar, mengatakan selain maknanya tidak jelas, kalimat itu juga secara hukum kurang berarti. Semestinya pengangkatan duta dilakukan “by and with the advice and consent of Dewan Perwakilan Rakyat ”. Demikian pula

280 Selama ini terkesan jabatan duta merupakan pos akomodasi orang-orang tertentu yang “berjasa” pada pemerintah atau sebagai “pembuangan” bagi orang-orang yang “kurang loyal” pada

pemerintah. Lihat Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2006, 281 hal. 187.

282 Hendarmin Ranadireksa, Op.Cit. hal. 212. I Made Leo Wiratma, Reformasi Konstitusi ; Potret Demokrasi Dalam Proses Pembelajaran, Analisis CSIS, Jakarta, No.4 Tahun XXIX-2000, hal. 410.

pengangkatan pejabat-pejabat kenegaraan tertentu seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat 283 .

Senada dengan hal diatas, menurut Afan Gaffar, seharusnya dalam konteks mekanisme checks and balances yang sebenarnya bukan “pertimbangan” yang diperlukan dari Dewan Perwa- kilan Rakyat akan tetapi konfirmasi atau persetujuan. Afan Gaffar selanjutnya menyebutkan dengan istilah “tanggung” dalam pasal tersebut. Tampaknya ada keengganan dari banyak pihak untuk merumuskan dengan jelas mekanisme checks and balances sebagaimana yang umumnya dilakukan di berbagai negara.

Dalam konteks demokrasi dan negara hukum, pelaksanaan pemerintahan merupakan manifestasi dari mandat konsti- tusional dan undang-undang, meskipun hal itu menurut “inter- prestasi” yang dijanjikannya dalam pemilihan langsung 284 .

Asumsi dasar perlunya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan pengangkatan duta atau konsul dalam konstitusi, proses ratifikasi terhadap suatu perjanjian multilateral seperti WTO, AFTA, dan konvensi lainnya menjadi sangat penting untuk diratifikasi melalui Undang-Undang Dasar sebab tidaklah berlebihan jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat parameters-parameters juridis, politis, profesionalisme, dan etika moral. Paremeter ini diperlukan karena seorang yang ditunjuk sebagai duta besar atau konsul merupakan pembawa visi dan misi bangsa. Harapan terpilihnya duta dan konsul antara lain mampu untuk membawa tugas suci, baik yang terkait dengan kepentingan nasional dan termasuk warga negara yang berada diluar negeri maupun mengakomodasikan nilai-nilai dan pengalaman

283 Naswar, Hubungan Kekuasaan Presiden Dengan DPR Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Mahkamah, UIR Press, Pekanbaru, Volume 15, Oktober 2004, hal. 286.

284 Ibid.

internasional yang positif bagi kepentingan dan kemajuan bangsa Indonesia 285 .

Hal tersebut diatas menjadi menarik, ketika diberlaku- kannya sistem parlementer pada waktu penerapan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara, eksistensi hak prerogatif Presiden masih kuat dan kental. Ini di buktikan dengan tidak ada campur tangan dari pihak manapun dalam menentukan duta dan konsul. Justru sebaliknya, dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen yang notabenenya menganut sistem pemerintahan presidensial justru terdapat campur tangan pihak lain (DPR) dalam mengangkat dan menerima duta dan konsul.

Sehingga dengan demikian, eksistensi hak prerogatif Presiden sudah mulai berkurang didalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.

Eksistensi hak prerogatif Presiden untuk memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dinyatakan bahwa “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”. Sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bahwa kekuasaan Presiden ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan. Kekuasan tersebut melekat dalam diri Presiden dan dalam menggunakan kekuasaan tersebut selanjutnya tidak dijelaskan bahwa Presiden harus berkonsultasi atau menerima masukan, saran serta pendapat dari lembaga negara lainnya. Dari indikasi pasal ini dapat penulis simpulkan sistem presidensial pada waktu itu sangat memberikan ruang gerak bagi presiden untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan yang diamanatkan dengan konstitusi.

Sistem pada waktu itu jugalah yang sesungguhnya memberikan kekuasaan yang besar kepada presiden, sehingga

Ibid.

checks and balances tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, dalam pasal 160 dinyatakan bahwa Presiden mem- punyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasehat 286 . Amnesti sendiri hanya dapat diberikan dengan undang-undang federal ataupun, atas kuasa undang-undang federal, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung 287 .

Berbeda dengan Undang-Undang Dasar sebelumnya, di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat asas pembagian kekuasaan sudah mulai terlihat dengan dimasuk- kannya Mahkamah Agung sebagai lembaga pertimbangan bagi Presiden dalam memberikan ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Amnesti juga hanya dapat diberikan oleh Presiden atas kuasa undang-undang sesudah Presiden meminta nasehat dari Mahkamah Agung.

Dengan demikian, fungsi checks and balances sudah dapat diijalankan antara lembaga eksekutif dengan lembaga yudikatif pada waktu itu.

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, dinyatakan bahwa Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan 288 . Untuk amnesti dan abolisi hanya dapat diberikan dengan undang-undang atau pun atas kuasa undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung 289 .

Di dalam Undang-Undang Dasar Sementara pun juga kekuasaan Presiden sudah mulai dibatasi dengan menguatnya peran lembaga yudikatif dalam memberikan pertimbangan serta masukan kepada presiden dalam memberikan grasi, amnesti dan abolisi.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung, untuk amnesti dan abolisi Presiden terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat 290 .

Menurut Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, bahwa hak ini dahulu adalah milik Raja sebagai yang berdaulat. Bagi negara Republik hak ini semestinya milik lembaga perwakilan rakyat 291 .

Menurut Adnan Buyung Nasution, kewenangan Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tidak dapat digunakan dalam keadaan Presiden sendiri atau keluarganya atau kolaboratornya melakukan pelanggaran hukum 292 . Untuk itu perlu pengawasan dari lembaga negara lainnya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden.

Alasan perlunya Presiden memerhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi adalah pertama, grasi dan rehabilitasi itu adalah proses yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih bersifat politik. Kedua, grasi dan rehabilitasi itu lebih banyak bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal 293 . Untuk itu Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu karena grasi

287 Pasal 160 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. 288 Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Pasal 107 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.

290 Pasal 107 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. 291 Pasal 14 ayat (1)dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 292 Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Op.Cit, hal. 36. Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalieme ; Tatanegara, Kata Hasta Pustaka,

Jakarta, 2007, hal. 207.

Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op.Cit, hal. 190.

menyangkut putusan hakim sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim 294 .

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik 295 .

Pergeseran yang terjadi didalam empat konstitusi ini terlihat dengan mulai “hilang”nya eksistensi pada hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden itu sendiri. Jika di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen secara jelas dinyatakan bahwa Presiden berhak untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi tanpa perlu terlebih dahulu berkonsultasi kepada lembaga yudikatif yang ada. Ini dapat dimaknai dengan begitu besarnya kekuasaan Presiden sehingga dengan besarnya eksecutive heavy tersebut mengalahkan dominasi dari lembaga supra negara lainnya. Sistem presidensial pada waktu itu menimbulkan kekuasaan yang begitu besar atas diri Presiden. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara, dimana dapat penulis katakan bahwa kedua konstitusi ini sudah mulai menganut asas pembagian kekuasaan atas lembaga negara yang ada. Ini tercermin dari adanya intervensi dari Mahkamah Agung dalam memberikan masukan kepada Presiden dalam menggu- nakan hak prerogatifnya. Dan hal tersebut juga sebagai salah satu ciri pokok dari sistem pemerintahan parlementer yang mana hubungan antar lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan.

Kondisi ini tidak berlangsung lama ketika diberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen,

294 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Op.Cit, hal. 189. 295 Bagir Manan kurang sependapat dengan rumusan tersebut, karena pemberian amnesti dan

abolisi tidak selalu terkait dengan pidana politik. Kalaupun diperlukan pertimbangan, cukup dari Mahkamah Agung. DPR adalah badan politik, sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan hukum. Pertimbangan politik, kemanusiaan, sosial, dan lain-lain, merupakan isi dari hak prerogatif presiden. Hal yang diperlukan adalah pertimbangan hukum untuk memberi dasar yuridis pertimbangan Presiden. Lihat Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Op.Cit, hal. 165.

yang memberikan porsi yang besar atas kekuasaan Presiden. Barulah setelah diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 kekuasaan Presiden tersebut dibatasi dengan masuknya lembaga legislatif dan yudikatif kedalam ranah kekuasaan yang sebelumnya dipegang mutlak oleh Presiden. Di sini dapat penulis jelaskan kembali bahwa penguatan atas kedua lembaga tersebut (baca; legislatif dan yudikatif) memberikan dampak yang begitu luas bagi kekuasaan presiden sebelumnya. Dengan kondisi ini, keseimbangan antar lembaga utama negara dapat terjaga sebagaimana mestinya, dimana antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya saling memainkan peran pengawasan atau controlling atas lembaga lainnya.

Meskipun sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak memberikan kekuasaan yang cukup besar lagi kepada Presiden sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amande- men. Yang menurut banyak pihak salah satu penyebab terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan pada waktu itu adalah begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden.

Kendati demikian, di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat maupun Undang-Undang Dasar Sementara juga terdapat pengurangan hak yang sebelumnya diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat hanya mengatur tentang ketentuan akan hak presiden dalam memberikan grasi dan amnesti, sedangkan hak seperti abolisi dan rehabilitasi tidak diatur di dalam kontitusi tersebut. Begitu pula dengan Undang-Undang Dasar Sementara hanya meng- atur tentang hak grasi, amnesti dan abolisi sedangkan rehabilitasi tidak diatur di dalam Undang-Undang Dasar Sementara tersebut.

Apapun hak yang dimiliki oleh Presiden tersebut menjadi persoalan kedua bagi penulis, yang terpenting adalah Apapun hak yang dimiliki oleh Presiden tersebut menjadi persoalan kedua bagi penulis, yang terpenting adalah

Walaupun di dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen tetap mempertahankan dan mempertegas sistem Presidensial, serta dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances 296 , akan tetapi dalam pelaksanaannya kekuasaan Presiden (baca; hak prerogatif presiden) banyak sekali mendapat pembatasan-pembatasan yang pada akhirnya lebih menguat- kan dominasi parlemen (baca; DPR).

Berdasarkan pengalaman Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, sistem presidensial yang digunakan begitu memberikan porsi yang besar atas eksistensi kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden. Pergeseran demi pergeseran inilah yang membuktikan bahwa sistem presidensial tidak selamanya memberikan hak-hak yang begitu besar kepada Presiden. Menurut hemat penulis, bukan sistem pemerintahan sesung- guhnya yang mempengaruhi besar kecilnya hak-hak yang dimiliki oleh Presiden akan tetapi penguatan checks and balances dan sharing of powers serta melalui konsep pemisahan ke- kuasaanlah yang mempengaruhi besar kecilnya hal tersebut.

Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 134.

Artinya dalam bentuk sistem pemerintahan presidensial maupun sistem pemerintahan parlementer sekalipun, jika prinsip checks and balances ingin dijalankan secara konsekuen oleh lembaga utama negara yang ada maka hal tersebut akan mempengaruhi kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara itu sendiri. Tidak selamanya sistem pemerintahan presidensial memberikan kekuasaan yang besar kepada diri seorang presiden dan tidak selamanya pula sistem pemerin- tahan parlementer memberikan batasan atas kekuasaan Presiden.

Menurut Mahfud MD 297 , jika ditinjau dari sudut hukum tata negara, pengorganisasian suatu negara tidak harus mengikuti atau tidak mengikuti teori tertentu. Hukum tata negara di suatu negara adalah ketentuan konstitusi negara yang bersangkutan yang tidak harus mengikuti atau tidak mengikuti suatu teori tertentu. Artinya, materi hukum bisa dibuat berdasarkan kreasi sendiri dari negara yang bersangkutan. Apapun yang ditulis di dalam konstitusi maka ia harus diterima sebagai hukum tata negara, terlepas dari cocok atau tidak cocok dengan teori tertentu atau dengan negara lain serta sesuai atau tidak sesuai dengan selera.

Artinya, kegagalan maupun keberhasilan sistem (sistem presidensial maupun sistem parlementer) dapat disimpulkan berpotensi menjadi sistem yang baik maupun buruk, karena semuanya memiliki kelemahan utama yakni tidak mampu untuk mencegah terjadinya penyalahagunaan kekuasaan 298 .

Selain itu juga, menurut penulis keinginan politik (political will ) dari masing-masing lembaga-lembaga negara yang ada juga turut serta memberikan pengaruh yang berarti terhadap

298 Mahfud MD dalam Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan.....Ibid. Bahwa benar masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun keberhasilan sejumlah negara dalam menerapkan sistem parlementer maupun sistem presidensial harus

dijadikan pelajaran bahwa sesungguhnya bukan sistemnyalah yang salah, sejauh penganut dan pelaku sistem mengikuti logika atau aturan main yang berlaku pada masing-masing sistem.

eksistensi hak prerogatif Presiden. Political will yang penulis maksud disini adalah bagaimana keinginan dari setiap lembaga negara yang ada untuk menuju kepada suatu tatanan pemerintahan yang ideal yang pada akhirnya dapat mening- katkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tertuang didalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk lebih jelasnya tentang pergeseran eksistensi hak prerogatif Presiden berdasarkan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, berikut penulis sampaikan dalam bentuk tabel di bawah ini :

Tabel IV.1 Pergeseran Kekuasaan Prerogatif Presiden dalam Konstitusi Indonesia

Sumber: Data Olahan Penulis Tahun 2007

Eksistensi hak prerogatif Presiden didalam sistem peme- rintahan presidensial setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana terlihat didalam tabel diatas telah mengalami pergeseran. Kekuasaan Presiden setelah aman- demen Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat di dalam pasal

13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan di dalam pasal-pasal tersebut tidak lagi menjadi kewenangan mutlak Presiden, karena untuk pengangkatan duta ataupun menerima penempatan duta negara lain, Presiden “harus” memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Begitu pula dalam hal memberi grasi dan rehabilitasi, Presiden “harus” memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dan untuk memberikan amnesti dan abolisi Presiden “harus” memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya, menurut Mahfud MD, sistem pemerintahan negara Indonesia tidaklah menganut sistem presidensial seperti yang dikatakan beberapa pakar lainnya, dan tidak juga menganut sistem parlementer, akan tetapi lebih tepatnya sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan yang lebih bersifat prismatik 299 . Artinya sistem pemerintahan Indonesia berada tengah-tengah diantara sistem presidensial dan sistem parlementer 300 .

Terlepas dari pendapat diatas dijuga, eksistensi kekuasaan Presiden (hak prerogatif presiden) akan lebih tampak jelas di dalam sistem pemerintahan yang sifatnya presidensial maupun quasi presidensial. Karena sistem pemerintahan tersebut terpusat kepada Presiden baik sebagai kepala pemerintahan (head of goverment) maupun Presiden sebagai kepala negara (head of state ) 301 . Dan tidak mungkin dalam sistem pemerintahan parlementer, hak prerogatif Presiden lebih besar karena semestinya didalam sistem parlementer kekuasaan negara terpusat pada parlemen.