43
ditiru bagi pembangunan sarana dan prasarana kehidupan manusia. Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya
mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja mampu
mengubah konsep sejarah secara agresif, tapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai suatu
bentuk “narasi besar” yang kering, dan dapat dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan realitas dan fantasi.
2. Periodisasi Barat
Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya masing-masing untuk bangkit dan berkembang. Seperti yang telah penulis bahas sebelumnya,
suatu peradaban tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan dengan kebudayaan lain dan saling meminjam.
Setelah sekian lama peradaban manusia mengukir kejayaannya di Timur, muncul Barat beberapa ribu tahun kemudian. Peradaban baru itu diawali dengan
munculnya kajian falsafat pada abad ke-6 SM. Thales telah dianggap sebagai failasuf pertama Yunani. Falsafat kian pesat berkembang di Yunani melalui
kiprah failasuf kenamaan Socrates, Plato dan Aristoteles yang bermuara di sebuah sudut kota bernama Athena.
Semenjak munculnya para failasuf di atas, ilmu pengetahuan mulai berkembang di Yunani sebagai embrio lahirnya peradaban Barat. Namun,
perkembangan falsafat dan ilmu pengetahuan tersebut seakan-akan terhenti ketika kekaisaran Yunani runtuh, dan pada tahap berikutnya disusul pula dengan
44
runtuhnya kekuasaan Romawi pada abad ke-6 dan ke-7 M.
29
Setelah berakhirnya dua kekaisaran tersebut, muncullah kekuatan dan kekuasaan gereja sebagai
penggantinya. Sejak itu, semua aktivitas keilmuan yang bertentangan dengan dogma Gereja akan dimusuhi, bahkan ilmuwannya dijatuhi hukuman mati.
Berikut ini akan penulis uraikan periodesasi Barat pada periode Klasik dan Pertengahan.
1. Periode Klasik
Peradaban Barat adalah peradaban yang bermula dari Yunani dan Romawi, karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah asli bagian Barat.
Jika menoleh sejarah ke belakang, ternyata Yunani dan Romawi merupakan bangsa yang memiliki budaya senang berperang. Walaupun kedua wilayah
tersebut telah mengalami kemajuan ilmu pengetahuan di segala bidang kehidupan sejak masa lalu, namun boleh dikatakan bahwa Yunani dan Romawi benar-benar
memiliki watak dan bakat berperang. Terlepas dari watak aslinya tersebut, yang jelas bangsa Yunani tetap
menganggap diri mereka sebagai Hellenes atau makhluk beradab, sedangkan bangsa lain dianggapnya sebagai bangsa yang tidak beradab atau biadab.
30
Oleh sebab itu, semuanya bisa diteliti dan diurai oleh akal manusia. Asumsi inilah
yang menjadi intisari dari ilmu pengetahuan Barat, yang bermula dari Ionia.
31
Bangsa Yunani telah memiliki manusia-manusia yang mampu berspekulasi tentang alam dan cara kerjanya. Thales adalah orang yang diakui
29
Harun Hadiwijono, h. 181.
30
M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher ed., Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1999, h. 63.
31
Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, Yogyakarta: Suka Press, 2008, h. 52.
45
oleh Aristoteles sebagai failasuf pertama Yunani. Falsafat semakin pesat berkembang di Yunani melalui kiprah para failasuf kenamaan, seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Sesudah berakhirnya Zaman Yunani oleh Aristotles atau yang paling akhir
Plotinus, di sana tidak ada lagi perkembangan yang berarti, khususnya dalam bidang falsafat dan sains.
32
Dari periode ini hingga abad ke-8 M. Barat memulai periode perkembangannya yang baru sebagai persiapan menuju kebangkitan.
Zaman baru yang kemudian disebut dengan Abad Pertengahan. 2.
Periode Pertengahan Istilah Abad Pertengahan seringkali dianggap sebagai kata yang rendah
derajatnya, terutama dalam kamus-kamus abad modern. Kata itu tidak hanya menunjukkan keterbelakangan dan penindasan terhadap aneka kebebasan,
namun juga kebuasan dan teror keagamaan. Ada beberapa alasan atau faktor penyebab terjadinya kondisi seperti itu, di antaranya, hegemoni Gereja untuk
mewujudkan dominasinya. Gereja memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama Kristen, maka dari itu pemahaman
apapun yang tidak sejalan dengan penafsiran Gereja terhadap doktrin tersebut dianggap keluar dari ajaran Kristen. H.J. Muller menyatakan:
Tatkala orang-orang Kristen memeroleh kejayaan, mereka langsung tidak memercayai kebebasan agama. Mereka menghendaki agar
kebebasan agama itu hanya milik mereka saja. Mereka pun mulai menindas pemuja-pemuja patung dan orang-orang Yahudi untuk
kemudian disusul dengan tindakan keras terhadap orang-orang Kristen yang melakukan penyimpangan. Kebebasan pemikiran agama dan
32
Harun Hadiwijono, h. 180.
46
kesadaran untuk mengamalkannya diredam dengan ketegasan dan kejelian yang tidak dikenal dalam sejarah sebelumnya.
33
Hilangnya semangat toleransi tersebut berlangsung selama 1000 tahun. Intoleransi itu tidak hanya terbatas pada agama saja, tetapi juga diterapkan pada
sebagian besar aspek kegiatan pemikiran. Selain itu, pemberian hukuman yang keji dan ekstrim melalui Mahkamah Inquisisi terhadap orang-orang yang dicurigai
serta dituduh tidak sejalan dengan dogma Gereja adalah corak reputasi Abad Pertengahan yang mengerikan.
Abad ke 14 menjadi saksi awal era baru dalam sejarah Eropa, yang kemudian dikenal dengan istilah Renaisance. Setelah berabad-abad dilanda
kemunduran falsafat dan kemandegan pemikiran, Eropa mulai bangkit secara perlahan dan bertahap melepaskan diri dari genggaman Gereja untuk kemudian
meraih kembali peradaban Yunani dan Romawi. Failasuf-failasuf dan para ilmuwan Renaisance tidak menebarkan aksi pemberontakan secara terbuka, tetapi
dengan penuh waspada dan hati-hati mereka menabur benih-benih pencerahan. Pemberontakan terhadap kepercayaan ortodoks di Barat terus berlanjut dan
berubah menjadi penolakan total terhadap agama. Peradaban Yunani yang telah tenggelam selama berabad-abad
dibangkitkan kembali oleh umat Islam. Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah misalnya, orang-orang Muslim telah banyak menransmisikan pemikiran Yunani.
Hampir semua karya Aristoteles, dan juga tiga buku terakhir Plotinus, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid,
33
H. J. Muller, Freedom in the Ancient World, New York: Harper Broters, 1961, h. 289- 290.
47
Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi. Dalam hal ini bahkan Khalifah al-Ma‘mûn mendirikan Bayt al-Hikmah sebagai
pusat perpustakaan dan terjemahan, dan ini tercatat sebagai institut terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya Yunani.
34
Orang Muslim tidak hanya menerjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan meng-
asimilasikannya dengan ajaran Islam dan mampu mengembangkannya dalam bentuk yang lebih inovatif dan variatif.
35
Jadi, proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya, umat Islam mengadapsi pemikiran Yunani
ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat.
Dalam hal ini, tokoh yang paling populer dan dianggap paling berjasa dalam membuka mata orang-orang Barat adalah Ibn Rusyd, seorang yang juga
memunyai pengaruh secara mendalam terhadap perjalanan Skolatisisme Barat serta aspek-aspek Renaisance itu sendiri.
36
Jasanya sangat besar di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan telah mengharmonisasikan agama dan falsafat yang
kemudian dikembangakan oleh gerakan Averroisme di Barat. Averroisme adalah gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13 hingga ke 17 M.
pada prinsipnya gerakan Averroisme berusaha mengembangkan gagasan pemikiran Ibn Rusyd yang rasional, falsafi dan ilmiah yang mendorong lahirnya
34
Aden Wijdan, h. 30.
35
Ibid, h. 45.
36
Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd Averroes, diterjemahkan oleh Ahmad Syahid, Jakarta: Risalah Gusti, 2001, h. 116.
48
Renaisance di Barat, yang pada gilirannya membawa orang-orang Barat pada zaman modern.
37
B. Averroisme Barat