59
diterjemahkan ke berbagai bahasa penting Eropa, Ibn Rusyd menjawab semua persoalan ini dengan lugas.
C. Pergumulan antara Akal dan Wahyu
Pembahasan mengenai hubungan akal dengan wahyu falsafat dan syariat sudah muncul sejak pertengahan abad ke-4 H. di tangan kelompok Ikhwân al-
Shafâ’. Ketika itu, mereka berpandangan bahwa syariat sudah dinodai dan tercampur baur dengan kebodohan dan kesesatan. Karena itu, tak ada jalan untuk
menyucikannya lagi kecuali lewat falsafat.
68
Bagi mereka, falsafat sudah mencakup kebijaksanaan dalam keyakinan dan pertimbangan maslahat dalam
berpikir. Permasalahan ini selalu muncul di tiap zaman dan tak pernah kunjung tuntas. Pada zaman al-Kindî, al-Fârâbî dan Ibn Sînâ, masalah ini menjadi isu besar
yang memerhadapkan para teolog secara langsung dengan para failasuf. Tetapi Ibn Rusyd menghadapi situasi baru yang sangat sulit karena serangan hebat yang
dilakukan al-Ghazâlî terhadap falsafat, dan membuat jurang pemisah antara agama dan falsafat.
69
Dalam kaitannya dengan akal dan wahyu, gerakan Averroime itu sendiri, dalam beberapa hal terdapat beberapa penyimpangan-penyimpangan dan
kesalahpahaman eksponen Averroisme terhadap ajaran-ajaran Ibn Rusyd. Pada abad ke-13, para pemikir Barat menganut konsep kebenaran ganda double
truth .
70
Mereka memandang bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran falsafi adalah benar dan juga kebenaran yang datang dari agama pun benar.
68
Ibid, h. 5.
69
Zainal Abidin Ahmad, h. 21.
70
Seyyed Hossein Nasr, ed., h. 1352.
60
Namun, memasuki abad ke 14, permasalahan kebenaran ganda ini semakin meruncing ketika kebenaran hasil penyelidikan akal tidak dapat diterima oleh
kebenaran penafsiran Gereja terhadap Kitab Suci. Akibatnya, pemikiran Ibn Rusyd yang mereka adopsi hanya penempatan tinggi kepada kemerdekaan berpikir,
sedangkan rekonsialiasi falsafat dengan agama yang merupakan ciri utama dari falsafat Ibn Rusyd tidak mereka perhatikan.
Pada akhirnya, pengajian mereka dalam bidang falsafat menghasilkan pandangan-pandangan yang sebenarnya tidak pantas lagi mereka nisbahkan
kepada Ibn Rusyd, tapi mereka masih menisbahkannya kepada Ibn Rusyd, seperti pandangan bahwa akallah satu-satunya sumber kebenaran, sedang agama hanya
membawa kepalsuan, dan pandangan bahwa tidak ada imortalitas keabadian jiwa secara, personal.
71
Pandangan asli dari Ibnu Rusyd memang harus dibedakan dari pandangan- pandangan kaum Averroisme Barat. Ibn Rusyd memang menghargai tinggi
martabat dan kemampuan akal manusia, tapi tidak pernah mengingkari kebenaran wahyu agama, dan ini berbeda dari kaum Averroisme yang mengagungkan akal
sampai ke taraf mengingkari kebenaran agama wahyu. Pandangan Ibn Rusyd yang menghargai tingginya akal, jelas berpengaruh kuat pada kaum Averroisme.
Akan tetapi pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tinggi agama, tidak berpengaruh kuat pada mereka.
Untuk menentukan hubungan antara agama dan falsafat dalam bukunya Fashl Maqâl
, Ibn Rusyd pertama kali menetapkan prinsip ketunggalan hakikat
71
Abdul Aziz Dahlan, h. 113.
61
wahdah al-haqîqah, yaitu, satu kebenaran dalam banyak manifestasinya. Karena kebenaran hanya satu dalam banyak manifestasinya, falsafat oleh Ibn Rusyd harus
didefinisikan sama dengan syariat. Ia mendefinisikan falsafat tak lain merupakan bentuk pengamatan atas segala makhluk yang ada secara seksama, demi
mengetahui siapa penciptanya.
72
Ketika falsafat sudah didefinisikan seluhur itu, maka tatkala falsafat yang bertujuan untuk memerdalam pengetahuan tentang
apa yang dicipta al-mashnû‘ tadi sudah memadai, maka tak ayal pengetahuan tentang Sang Pencipta akan menjadi lebih lengkap, dan itu semua sama saja
dengan mengamalkan tuntutan syariat yang senantiasa menganjurkan untuk memerhatikan ciptaan Allah. Dan banyak sekali ayat al-Qur’ân yang bisa dijadikan
rujukan untuk itu semua, misalnya dalam surat al-A‘râf : 185:
Apakah mereka tidak memerhatikan langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?
Surat al-Hasyr: 2:
Hendaklah kamu mengambil i‘tibar wahai orang yang memunyai pandangan
73
Falsafat dan syariat sudah ditetapkan bertujuan sama. Karena itu, apapun pengetahuan penting yang ditinggalkan orang-orang masa lampau, baik mereka
seagama ataupun bukan seagama, perlu untuk ditinjau, bahkan wajib. Para failasuf Muslim muncul sebagai kelompok yang tidak sama mandirinya dengan para
72
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syarî‘ah min al-Ittishâl, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1995, h. 27.
73
Poerwantana, Seluk-beluk Filsafat Islam, Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 1993, h. 105.
62
failasuf Yunani dalam menetapkan kesimpulan. Bagaimanapun, para failasuf Muslim adalah orang-orang Islam yang hasil-hasil kesimpulan mereka selalu
terikat dengan agama.
74
Karena itu, orang yang melarang menggunakan potensi akalnya untuk berfalsafat, padahal dia punya bakat, moderasi dalam agama, dan
keluhuran budi pekerti, maka ia telah menghambat anjuran Tuhan dalam mengenal Tuhan
75
. Karena itu, Ibn Rusyd mengatakan bahwa: Kebenaran yang dicapai lewat pembuktian demonstratif tidak akan
bertentangan dengan kebenaran syariat, tapi mencocokinya, bahkan memerkuat argumentasinya”.
76
Dengan itu, hakikat agama dan falsafat adalah satu, yang beda hanya ungkapannya, bukan esensinya. Jadi Ibn Rusyd tidak mengajarkan dualisme
kebenaran agama dan falsafat sebagaimana didengungkan Avveroisme Barat. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ibn Rusyd juga tidak
menyebut adanya kebenaran ganda yaitu kebenaran agama dan kebenaran akal. Dia menyebut satu kebenaran saja. Hanya saja, jalan untuk sampai pada kebenaran
itu beragam. Artinya, banyak jalan menuju Tuhan, baik lewat agama maupun lewat falsafat.
Jadi, agama dan falsafat tidaklah saling berhadapan karena keduanya menelaah kebenaran yang satu dengan jalan yang berbeda-beda, keduanya tidak
bisa diperhadapkan karena tidak ada alasan untuk itu. Oliver Leaman mengibaratkan,
Perjalanan dari Hampstead ke Pimlico di London, bisa dengan naik bus nomor 24 atau kereta api bawah tanah. Dua sarana transportasi ini tidak
saling bertentangan, konyol kiranya jika menanyakan mana jalan yang
74
Oliver Leaman, h. 187.
75
Ibn Rusyd, h. 33
76
Ibid, h. 35.
63
benar dan yang salah.
77
Pengetahuan yang dicapai melalui pembuktian demonstratif pun bagi Ibn Rusyd tidak akan keluar dari dua kemungkinan, sudah dibicarakan oleh syariat
ataupun belum. Kalau syariat belum bicara apa-apa, maka kita akan bebas menentukan dan tidak ada persoalan lagi. Tapi ketika syariat sudah bicara, maka
ada lagi dua kemungkinan, sesuai atau tidak sesuai dengan pembuktian demonstratif. Kalau sudah sesuai, maka tidak ada lagi persoalan. Tapi kalau tidak
sesuai, maka harus dicari jalan keluarnya melalui cara takwil.
78
Falsafat Ibn Rusyd telah membawa perjalanan kembali menuju Aristotelianisme yang lebih murni dan lebih akademik. Setelah menjadi objek
cercaan para pendeta Kristen, karya-karya Ibn Rusyd menjadi rujukan utama di Universitas Paris dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi lainnya di Barat.
Dengan segala kesempurnaan dan kesalah pahaman yang muncul atas namanya, gerakan Averroisme berlanjut menjadi elemen penting dalam perkembangan
pemikiran Barat sampai lahirnya sains eksperimental modern.
79
Averroisme dalam hal ini, walaupun keliru memahami falsafat Ibn Rusyd mengenai akal dan wahyu, hal tersebut justru berdampak besar terhadap pemikiran
Barat. Averroisme sesungguhnya berdampak pada pembentukan pandangan Barat mengenai kedudukan relatif agama dan falsafat.
80
Perjalanan panjang peradaban Barat telah melahirkan sikap hidup sekular dalam masyarakatnya. Kontradiksi antara akal dan wahyu yang tidak bisa
77
Oliver Leaman, h. 167.
78
Ibn Rusyd, h. 35.
79
Philip K. Hitti, h. 708.
80
Oliver Leaman, h. 168.
64
didamaikan, berujung pada pemisahan antara keduanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemerdekaan berpikir yang diperoleh orang-orang Barat melalui gerakan
Averroisme memberi pengaruh besar terhadap pemisahan antara akal dan wahyu. Meningkatnya semangat kebebasan berfikir di kalangan ilmuwan Barat semakin
memudarkan kepercayaannya terhadap doktrin-doktrin Gereja. Karena tidak dapat didamaikan, maka keduanya mengambil jalan sendiri-
sendiri. Gereja dengan sikap keras kepala memertahankan penafsiran terhadap doktrin Kristen yang tidak rasional dan menolak segala hal yang berbau ilmu
pengetahuan. Sementara di sisi lain para ilmuwan Barat berjalan sendiri dengan melepaskan nilai-nilai agama. Inilah akar-akar terjadinya sekularisasi di Barat,
diawali dengan penolakan para ilmuwannya terhadap hal-hal yang sebelumnya dipandang sakral dan dianggap sebagai ajaran-ajaran dasar agama, dalam
perkembang selanjutnya, sekularisasi Barat menuju ke dalam bentuk yang falsafi. Mereka memisahkan semua hal yang berbau agama dari kehidupan sosial politik
dan ilmu pengetahuan, karena Gereja di Barat selama berabad-abad telah menjadi penghalang kemajuan berfikir dan kemajuan ilmu pengetahuan.
81
D. Pertentangan Averroisme dengan Gereja