Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

1. Untuk mengetahui pandangan mahasiswa tentang karaoke. 2. Untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan mahasiswa saat karaoke. 3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh mahasiswa dengan karaoke.

1.5. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian selain memiliki tujuan sebagai dasar dalam proses kegiatannya juga dapat memberikan manfaat, adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai gaya hidup mahasiswa pada saat ini. 2. Dapat dijadikan bahan bacaan bagi mahasiswa yang hendak melakukan penelitian yang terkait dengan masalah yang penulis teliti.

1.6. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sangat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakan Universitas Sumatera Utara naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan, berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama kelahirannya seperti misalnya makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya, juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan Koentjaraningrat, 2002:180. Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat disebabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap caranya pihak luar memandang golongan sosial tadi, atau mungkin juga karena golongan itu memang terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat tertentu Koentjaraningrat, 2002:150-151. Golongan sosial dapat terjadi karena manusia-manusia yang diklaskan kedalamnya mempunyai suatu gaya hidup yang khas, dan karena berdasarkan hal itu mereka dipandang oleh orang lain sebagai manusia yang menduduki suatu lapisan tertentu dalam masyarakat. Lapisan itu dapat dianggap lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari sudut orang yang memandang tadi. Karena warganya mempunyai gaya hidup khas yang sama, maka suatu lapisan atau klas sosial tentu dapat juga dianggap mempunyai suatu sistem norma yang sama, dan karena itu juga suatu rasa identitas golongan Koentjaraningrat, 2002:153. Universitas Sumatera Utara Menurut Winarno 1980:85, gaya hidup dapat diasumsikan sebagai cara-cara bertindak yang sering disebut mekanisme penyesuaian yakni cara-cara itu menjadi cara-cara bertindak yang bersifat kebiasaan. Cara-cara itu pada kenyataannya didasarkan pada pengalaman-pengalaman seseorang dalam kehidupannya. Dengan kata lain, gaya hidup seseorang itu merupakan gambaran dari watak, status, perilaku, dan peranannya dalam masyarakat. Berbeda dengan Kartodirdjo 1987:53, gaya hidup merupakan suatu produk dari stratifikasi sosial sehingga faktor status, kedudukan, dan kekayaan dapat membentuk struktur gaya hidup. Gaya hidup ini pada hakekatnya akan membentuk suatu eksklusifme yang tidak lain bertujuan hendak membedakan status antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya dalam suatu stratifikasi sosial. Robert Redfield, seorang antropolog yang pernah melihat tentang gaya hidup petani desa sebagaimana dikutip oleh Danandjaja 1994:47 menyatakan bahwa gaya hidup petani desa sebenarnya adalah semacam human type atau tipe manusia yang dapat dikenal dengan segera, agak tersebar di mana-mana, bersifat tahan lama, dan timbul sebagai akibat peradaban civilization. Gaya hidup semacam ini mungkin dikembangkan sebagai akibat adanya adaptasi dari sifat masyarakat folk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baru yang diakibatkan oleh timbulnya kota. Selain itu, Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Menno 1994:44-45 juga mengemukakan bahwa komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional, sehingga hubungan-hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented seperti yang terdapat dalam komunitas Universitas Sumatera Utara pedesaan yang mengandalkan hubungan-hubungan yang emosional dan primer, di mana orang saling mengenal secara pribadi dan dalam hampir semua aspek kehidupan. Di kota orang saling mengenal hanya dalam hubungan dengan aspek- aspek tertentu saja yang berdasarkan perhatian dan kepentingan. Akibat banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi kepada sasaran goal dan pencapaian achievement, maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan kepada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Salah satu faktor utama yang mendorong munculnya gaya hidup adalah pola konsumsi. Pola konsumsi masyarakat perkotaan telah menjadikan barang-barang ataupun jasa sebagai identitas mereka. Barang dan jasa dikonsumsi bukan dikarenakan kebutuhan mereka, melainkan hanya sebatas memenuhi keinginan dan penunjuk identitas sosial mereka. Pola konsumsi masyarakat perkotaan ini telah mengubah nilai suatu produk yang awalnya memiliki nilai fungsional menjadi memiliki nilai simbolis. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup, di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktek telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai fungsional. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi, di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Secara umum memang memperlihatkan bahwa pilihan-pilihan dilakukan sesuai dengan kelas, di mana integrasi ke dalam satu tatanan umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikan Universitas Sumatera Utara secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis, di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar aksesoris, akan tetapi barang-barang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi Goffman, 1951. Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra image di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting, di mana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktek seperti pakaian atau makanan merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi golongan kelas menengah atas citra yang melekat pada suatu produk merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas Irwan Abdullah, 2006:33-34. Dalam mengkonsumsi atau dalam memilih produk mana yang akan dikonsumsi, konsumen sebenarnya memiliki kebebasan penuh untuk memilihnya, walaupun kebebasan itu sendiri dalam beberapa kasus agak rancu atau apa yang oleh Zukin dan Maguire 2004:177 disebut sebagai “Democratized desire”. Democratized desire adalah demokrasi yang didikte, konsumen seolah-olah memiliki kebebasan memilih padahal pilihan-pilihan tersebut diatur sepenuhnya oleh produsen, misalnya melalui iklan, sehingga kegiatan konsumsi cenderung lebih sebagai keharusan daripada sebuah pilihan. Kebebasan mengkonsumsi seharusnya adalah setiap manusia Universitas Sumatera Utara dapat mengkonsumsi apapun yang ia suka, asal ia mempunyai akses untuk itu, namun pemilihan ini juga tidak sepenuhnya atas kemauan konsumen tersebut, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh norma di masyarakat tempat ia tinggal. Ungkapan “you are what you drive” adalah gambaran bahwa produk apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan “siapa” diri kita atau “posisi” kita di masyarakat, oleh karena itu dalam pemilihan produk yang akan dikonsumsi seseorang cenderung akan memperhatikan nilai atau makna dalam produk itu Sopingi, 1995. Hal hampir senada juga diungkapkan oleh David Chaney 1996 yang menyatakan bahwa dalam dunia modern gaya hidup kita membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan kekayaan, serta posisi sosial kita. Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi khususnya dalam bidang komunikasi berlangsung dengan sangat pesat. Munculnya radio, televisi, dan internet menyebabkan batas ruang antara satu negara dengan negara lainnya menjadi tidak ada Piliang, 1998:81. Keadaan ini membuat transfer kebudayaan menjadi sangat cepat. Salah satu akibat dari perpindahan budaya dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya ialah munculnya berbagai gaya hidup yang dipengaruhi oleh kegiatan konsumsi terhadap barang, jasa, dan aktivitas-aktivitas waktu luang. Kegiatan konsumsi tersebut memunculkan apa yang disebut budaya konsumen, di mana proses konsumsi dilihat sebagai perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri Lury, 1998:3. Oleh Lury budaya konsumen diartikan sebagai “bentuk budaya materi” yakni budaya pemanfaatan benda-benda dalam masyarakat Eropa- Amerika kontemporer. Kini, apa yang dinikmati oleh masyarakat Eropa-Amerika Universitas Sumatera Utara kontemporer tersebut yang notabene adalah negara kaya ditiru oleh masyarakat dunia lain, termasuk kita. Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup life style. Justru menurut Lury 1998, proses pembentukan gaya hiduplah yang merupakan hal terbaik yang mendefinisikan budaya konsumen. Dalam budaya konsumen kontemporer, istilah itu bermakna individualitas, pernyataan diri, dan kesadaran diri. Dalam hal ini, tubuh, pakaian, waktu senggang, pilihan makanan dan minuman, rumah, mobil, pilihan liburan, dan lain-lain menjadi indikator cita rasa individualitas dan gaya hidup seseorang. Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Orang tidak lagi berkomunikasi secara verbal dengan kata-kata, melainkan dengan bentuk komunikasi yang baru yang tidak mengharuskan setiap individu harus saling mengenal untuk mengetahui siapa mereka. Bentuk komunikasi inilah yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi trend sebagai ciri masyarakat modern itu tadi. Selera dalam pemilihan barang-barang konsumsi menjadi sedemikian penting karena ini akan berkaitan dengan siapa saja seseorang itu akan diterima bergaul, karena terdapat kecenderungan bahwa individu hanya akan “diterima” oleh orang dengan kelas sosial yang sama. Fenomena ini tentu paling ketara ada di lingkungan masyarakat golongan kelas menengah atas yaitu mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan primernya. Sebenarnya gejala seperti ini walaupun sedikit juga terjadi di golongan bawah, namun gejala tersebut sukar diamati karena kadarnya sangat kecil Fernando, 2006:114-115. Universitas Sumatera Utara Sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dan sebagainya. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, akan tetapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin Baudrillard, 2004. Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Lebih lanjut dijelaskan Max Weber bahwa kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, sementara status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Banyak definisi yang disodorkan mengenai gaya hidup. Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya. Untuk merefleksikan image inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, dan Universitas Sumatera Utara action. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan resources yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya http:www.jakartaconsulting.comart-01-35.htm. Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup style of life. Di bidang pergaulan, gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material, kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Kamanto Sunarto, 1993:93. Universitas Sumatera Utara Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu aktivitas, apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya ketertarikan, dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya pendapat. Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama teman-temannya, ada yang senang menyendiri, ada yang berpergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang http:frommarketing.blogspot.com200908definisi-gayahidup.html. Status sosial seseorang atau sekelompok warga terungkap dari gaya hidupnya. Gaya hidup merupakan tindakan dan interaksi sosial yang dilembagakan. Gaya hidup tertentu menjadi lambang suatu status sosial. Artinya, gaya hidup tersebut sudah menjadi ciri yang melekat pada status sosial tertentu M. Sitorus, 2000:101. Munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat perkotaan ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan gaya hidup dan cara hidup style of life dan way of life, baik dalam hal pengalaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku maupun pandangan mengenai dunia sekitarnya M. Sitorus, 2003:93. Menurut Parsudi Suparlan 1996, setiap makhluk sosial memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan Universitas Sumatera Utara pengalamannya. Dan itu dijadikan kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong suatu perilaku. Pernyataan yang dilontarkan oleh Suparlan tadi tentunya dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat perilaku tiap-tiap individu ketika melakukan interaksi yang efektif. Semua itu ditujukan untuk mewujudkan sikap, pikiran, dan perasaan sehingga dapat tergambarkan perilaku yang khas pada masyarakat tersebut.

1.7. Metode Penelitian