PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS

BAB IV PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS

p. Penolakan Ahli Waris Menurut Hukum Islam

Takharuj penolakan ahli waris di KHI tidak dijelaskan. Dalam pasal 183 KHI hanya menjelaskan bahwa, para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. 95 Pembahasan Penolakan ahli waris dalam hukum islam yaitu :. 1. Pengertian Takharuj Takharuj ] eﺕ yang berasal dari kata ] A keluar maksudnya suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris. 96 Untuk mengeluarkan salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik peserta tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal di bagi-bagikan. 97 Apabila ada diatara ahli waris yang melepaskan haknya, 95 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 2002, Cet. Kedua, h. 86 96 M.Ali Hasan. Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996, Cet. Keenam, h. 114 97 Faturrahman. Ilmu Waris, Bandung , PT. Al-maarif , 1981, Cet Kedua, h. 468 secara keseluruhan arau sebagiannya, maka hal tersebut tidak menyalahi syati’at bahkan bias dipandang sebagai suatu sikap yang terpuji. 98 Takharuj menurut Imam Muchlas artinya sama-sama keluar dari suatu kelompok takharuj, dalam masalah ini artinya adalah suatu musyawarah damai diantara ahli waris yang di dalamnya ada sebagian anggota ahli waris yang mengundurkan diri untuk tidak menginginkan haknya dan tidak mengambil bagian dari warisannya nanti, kemudian bagian atau sebagian dari haknya itu diambil dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya. 99 Mengenai pengunduran diri ini para ulama telah mendefinisikannya sebagaimana diterangkan dibawah ini: “Perjanjian atau perdamaian ahli waris atas keluarmundurnya sebagaian mereka dalam menerima bagiannya terhadap pewarisan dengan memberikan suatu prestasi atau imbalan tertentu baik imbalan itu dari harta peninggalan maupun dari yang lain”. 100 Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu ahli waris di daerah Jakarta, mengatakan bahwa dimana sewaktu bapaknya masih hidup, memberikan wasiat berupa tanah kepada semua anaknya didaerah Wonogiri. Kemudian orang tuanya meninggal, akhirnya semua tanah warisan diterima kepada ahli waris sesuai dengan 98 Hasan. Hukum Waris, h. 115 99 Imam Muchlas. Waris Mewaris Dalam Islam Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 1996, Cet. Pertama, h. 63 100 Usman dan Somawinata. Fiqih Mewaris, h. 152 wasiat yang di berikan kepada orang tuanya. Kemudian salah satu anaknya ahli waris yang tinggal di jakarta setelah menerima warisan menyerahkan kepada kakak perempuannya, setelah dimusyawarahkan dengan keluarga. Adapun alasan dia memberikan semua warisannya : 1. Si pewaris tidak bisa mengurus tanah warisan, yang disebabkan tanah lokasi sangat jauh dari tempat tinggalnya. 2. Kakak perempuan yang menerima warisan, kehidupan ekonominya kurang mencukupi dibanding saudara yang lain. Dari kasus tersebut diatas, dapat dipahami bahwa pengunduran diri atau takharuj adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasiimbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, hak imbalan tersebut berasal dari harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri. 101 Pengeluaran diri ahli waris dari hak mewaris bukan berarti ia Mutakharaj digolongkan kepada ahli waris mahjub terhalang, mamnu terlarang, dan juga karana ia mempunyai beban hutang kepada pewaris atau para ahli waris lainnya, melainkan ia menyatakan sikap tersebut karena adanya beberapa kemungkinan, yaitu: 101 Ibid., h. 153 1. Atas dasar ridho dan ikhlas tanpa ada paksaan dari ahli waris lain dari ahli waris yang diundurkan dengan semata-mata ibadah. 102 2. Kemungkinan lain adalah, seorang ahli waris mengundurkan diri atau diminta mengundurkan diri oleh ahli waris lainnya. Baik dengan imbalan maupun tidak, umpamanya, orang yang mengundurkan diri itu kaya raya. 103 Sekalipun demikian, kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas mesti adanya kesepakatan hak bagian warisanya dilimpahkan kepada ahli waris lainnya dengan tidak menuntut pretasiimbalan dengan tujuan untuk kemashlahatan. Sikap pengeluaran diri tersebut menurut hukum syara dibolehkan sepanjang sikap pengeluaran diri itu atas dasar keridhoankeikhlasan dari ahli waris yang dikeluarkan dan para ahli waris lainnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam asas hukum takharuj, yaitu : r 3? 1 J 4; Wﺽ L s tﺏ a ` u O ] eL ? GﻥD 9Z o Wﺽ F 4ﺏ 4 aY86Iﺕ e ;v g 89 N=D jی t ] eLی ﺡ 4ﺏ 5 ? S I9ﺏ 8` WﺏD 4ﺏ G6 p qL Gﺡ ` :; e q8 p w Dan takharuj boleh secara hukum syar’i dengan syarat saling meridhoi dari ahli waris dan telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari. Penjelasan dari Ibnu Abbas ra, bahwasannya dia berkata : saling melepaskan hak milik antara dua pasangan dan 102 Sayid Sabiq. Fiqih Sunnah, Jilid 14 Bandung : PT. Al Ma’arif, 1995, Cet. Pertama 103 Hasan. Hukum Waris, h. 114 ahli waris dan berkata Hafiz Ibnu Hajar dan disambung oleh Ibnu Syaibah yang sema’na dengannya. Shohih Bukhari bersama penjelasannya Fathul Bari 10 104 2. Status Pengunduran Diri Pengunduran diri merupakan perjanjian dua pihak, satu pihak menyerahkan tertentu sebagai prestasi kepada pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian pusakannya sebagaian tegenprestasi pada pihak pertama. 105 Prestasi yang diserahkan pada pihak pertama seolah-olah merupakan harga embelian dan tegenprestasi yang diserahkan oleh pihak kedua seolah-olah merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian pengunduran diri atau takharuj ini berstatus sebagai perjanjian jual beli. 106 Jika prestasi yang diserahkan itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi yag baik diterimanya, maka pengunduran diri ini berstatus perjanjian tukar-menukar. Disamping itu jika prestasinya yang diserahkan pada pihak yang diundurkan itu diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka perjanjian pengunduran diri itu berstatus perjanjian pembelian harta pusaka. 107 104 Mufthi Syeikh Ahmad Huraidi, Fatwa-Fatwa Al-Azhar , Bab Takharuj, Juz. 2, h. .259, Pada Tanggal 5 Syawal 1389 Bertepatan 17 Desember 1969 M. 105 Faturrahman. Ilmu Waris, h.468- 469 106 Ibid, Tegenprestasi adalah timbal balik dari pihak kedua atas prestasi yang diberikan dari pihak pertama 107 Ibid 3. Dasar Hukum Pengunduran Diri Dalam menerangkan dasar hukum adanya pengunduran diri ini para ulama mengemukakan pendapatnya dengan berdasarkan pada salah satu hadits dari Ibnu Abbas r.a yang menerangkan bahwa : ی ; J= 2L GﺕD ; x26H 7yJ 4ﺏ 49ﺡ2 3 2D Zﺕ23 Yﻥ 3Iﺏ G; 2 4ﺏ 9n Z12 J p VWI 2t ? N 2L; 8ﺏVu 4ﺏ zی3ﺡ { :dY; _= . 3 S . 2E2 G 2 ; W 4ﺏ G26 3 Pﺱ G2ﻥD j86; WﺏD 4ﺏ Wﻥ AD 7lی O 4ﺏ 4 G Y 8ﺏVu \ | P Qﺏ 7yJ 4ﺏ 49ﺡ2 3 x26H 12 J { } ; 21 { Z2L 28 6j Zﺕ23 W 9n Z p \ X E 8ﺏVu 4ﺏ ? ﺕJL ; g ﺕ D r D 6 ﻥD 2;D .a S ﺽ 9ﺕ = 29ﺱ Gﺏ 7lی O 4ﺏ 4 { 76; 4 VWI 2t ? N 2L; zی3ﺡ _= . 4ﺏ 9 4 یX ~D ; D 1•nﺏ 49n z61 4; G6=D ZO AD yJ 4ﺏ 49ﺡ 3 = X € D 48ﻥ 91 € 9 W . E 3 • ‚• { r j 4 W SJ ﺏ WYZ8 S ƒ ƒ„ p Sesun guhnya Abdurrahman bin Auf menthalaq istrinya sama sekali menjatuhkan thalaq tiga dan dia sakit, maka utsman bin affan memberikan hak waris kepadanya setelah habis masa iddahnya. Berkata Syafi’i hadits ini munqoti, dan hadits zubair muttasil Riwayat Abdurrazzaq di musonnipnya Dari Ibnu Jarih telah memberitahukan kami Ibnu Abi Mulaikata bahwa sesungguhnya dia bertanya kepada Abdullah bin Zubair maka dia berkata kepadanya : Abdurrahman bin auf telah mentalaq istrinya binti Al-asba Al-kalbiyah sekali kali thalaq tiga Kepadanya, kemudian dia meninggal dunia, maka Utsman bin Affan memberikan hak waris kepadanya pada masa iddahnya. Dan ditambahkan : berkata Ibnu Zubair : Dan adapun saya ketika saya lihat bahwa dia diwariskan . Riwayat Syafi’i dari Muslim, dari Abi Jarih darinya menamakannya Tumadhir Ini hadits Muttasil. Dan dari Amru bin dinar : bahwa sesunnguhnya istri Abdurrahman bin Auf diberikan oleh keluarga Abdurrahman bin Auf kepada istrinya 38 dari 83.000 dirham. Diriwayatkan dari Abdurrozzaq di musonif no. 2898, diriwayatkan Al-baihaqi semisalnya sunan kubro no. 656. 14 108 Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbale baik, baik berupa perjanjian jual-beli perjanjian tukar menukar maupun perjanjian pembagiannya harta pusaka yang ketiga perjanjian ini data diterapkan kepada perjanjian takharuj, selali dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat-syarat ketentuan syari’at itu telah dipenuhinya dan terutama bila para pihak yang mengadakan perjanjian telah saling menyatakan kerelaannya masing-masing. 109 Kitab undang-undang hukum warisan Mesir membenarkan takharuj dalam pasal yang terakhir, pasal 48 dari kitab undang-undang tersebut dijelaskan dengan definisinya, bentuk-bentuknya dengan cara-cara membagikan harta pusaka kepada ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta pusaka tersebut sebgagian ahli waris yang mengatakan perjanjian takharuj sebagaimana dalam teks selengkapnya adalah sebagai berikut: “Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari mempusakai dengan kesesuaian yang sudah maklum apabila salah seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris lainnya. Maka bagiannya 108 Imam Malik Bin Anas , Kitab Muwattho, Bab Tholaqul Mariedh, Terbitan Kementrian Agama Dan Wakaf, Republik Arab Mesir, 1426 H2005 M, Cet. Kesembilan, Hadist. 575, h. 180; Imam Syafei, Kitab Musnad, Bab Thalaq Dan Rujuk, Terbitan Darul Kutub, Ilmiah Beirut- Lebanon, h. 294. Oleh mufthi syeikh Ahmad Huraidi pada tanggal 5 syawal 1389 bertepatan 17 Desember 1969 M , fatwa-fatwa Al-Azhar bab takhooruj, juz 2, Hadist 31125, h. 259, 109 Faturrahman. Ilmu Waris, h. 470 dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka didalam perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata”. 110 4. Bentuk-bentuk pengunduran diri dan Cara membagikannya. Terdapat tiga bentuk pengnduran diri yaitu: A. Seorang ahli waris mengundurkan seorang ahliw aris yang lain dengan memberikan sejumlah uang atau uang yang diambilkan dari miliknya sendiri. Oleh karena ia telah memebrikan suatu prestasi kepada ahli waris yang diundurkan, ia bantuk menerima tegenprestasi yang diberikan oleh orang yang diundurkan, yang berupa bagian dari harta peninggalan yang semestinya akan diterima pihak pertama seolah-olah telah membeli bagian pusaka pihak kedua. Dengan sejumlah uang yang telah ia serahkan jadi pertama disamping mendapat sahamnya sendiri yang harus diterima, sehingga ia memperoleh saham orang yang telah diundurkannya. 111 Adapun ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan masalah pembagian harta peninggalan dalam bentuk ketiga ini, ialah: a. Hendaknya dicari dahulu besarnya saham atau penerimaan masing-masing ahli waris termasuk juga saham pihak yang diundurkannya. 110 Ibid., h. 471 111 Ibid b. Pihak yang diundurkan Mutakharaj harus dianggap dan diperhitungkan sebagai ahli waris yang maujud yang harus dicari besar kecilnya saham yang seharusnya diterima. c. Kemudian saham pihak yang diundurkan tersebut dikumpulkan ditambahkan kepada saham pihak yang mengundurkannya. d. Besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta pusaka seelah terjadinya perjanjian takharuj. B. Beberapa ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan memberikan prestasi yang diambilkan dari ahrta peninggalan itu sendiri. Bentuk perjanjian pengunduran diri ke II ini merupakan bentuk yang sangat umum banyak terjadi dalam pembagian harta pusaka dari pada bentuk yang lain. Setelah sempurna perjanjian takharuj ini dipenuhi, maka pihak yang diambil sejumlah tertentu yang diberikan kepada pihak-pihak yang diundurkan dalam jumlah tersebut mereka bagi bersama sesua dengan perbandingan saham mereka masing-masing. Dalam perjanjian takharuj bentuk ke II ini, yakni yang prestasinya diambilkan dari sebagian harta peninggalan itu sendiri, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Sisa harta peninggalan dibagi antar para ahli waris menurut perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj. b. Saham-saham mereka kemudian dijumlah untuk dijadikan asal masalah baru, sebagai pengganti asal masalah yang lama harus ditinggalkan. c. Pihak yang telah diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah prestasi tertentu, tetap diperhitungkan bagian para ahli waris yang mengundurkan, sebab kalau demikian maka hasil dari penerimaan para ahli waris akanberlainan dan berlwanan dengan ijma. 112 C. Beberapa orang ahli waris mengundurkan ahli waris dengan memebrikan prestasi yang diambilkan dari harta milik masing-masing secara urutan. Dalam hal ini orang yang mengundurkan diri atau diundurkan oleh ahli waris seolah-olah telah menjual haknya terhadap harta peninggalan dengan sejumlah prestasi yang telah diberikan oleh ahli waris yang pada mengundurkannya, dan akibatnya seluruh harta peninggalan untuk mereka semuanya. Besar kecilnya urutan iuran yang harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut yang telah mereka sepakati. 113 Adapun ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengunduran diri bentuk ke-III ini adalah: a. Takharuj tida mempengaruhi terhadap besarnya asal masalah semua, yakni besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj dapat dijadikan asal masalah dalam pembagian harta pusaka, setelah terjadinya takharuj, karena asal masalahnya tidak berubah. b. Ahli waris yang diundurkan dalam pembagian harta pusaka kepada ahli waris yang pada mengundurkannya dianggap tidak ada. 112 Ibid., h. 472 113 Ibid c. Dalam pembagian harta pusaka kepada mereka yang pada mengundurkannya, mengingat corak-corak cara membayarnya ditentukan sebagai berikut : 1. Dalam pembayaran corak pertama, maka pembagian kepada ahli waris yang pada mengundurkan adalah sebagai pembagian dalam bentuk takharuj ke II, yakni seluruh harta peninggalan dibagi kepada mereka menurut perbandingan saham mereka masing-masing kemudian dalam membagikan bagian orang yang diundurkan demikian hendaknya. 2. Dalam pembayaran corak ke II, maka bagian orang yang diundurkan dibagi sama rata. Demikian juga dalam perjanjia takharuj tersebut diterangkan cara- cara pembagian orang yang diundurkan, maka pembagiannya harus disama ratakan sebab ketiadaan diterangkan cara-cara tersebut, menunjukan kerelaan masing-masing untuk dibagi secara sama rata, kalau tidak demikian tentunya mereka pada membuat ketntuan-ketentuan baik mengenai jumlah yang harus dibayar maupun bagaimana cara pembagiannya. 3. Dalam pembayaran corak ke III, yakni yang pembayarannya tidak menurut perundingan saham meerka dalam mempusakai atau tidak sama banyak, maka pembagian orang yang diundurkan hendaknya menurut perbandingan jumlah besar kecilnya uang yang telah mereka bayarkan demi untuk melaksanakan keadilan dan menyesuaikan kaidah “Al-Ghurmu bin Ghurmi”, artinya ialah suatu kerugian itu hendaknya ditutup dengan keuntungan Ghanimah. 114 114 Ibid., h. 473

q. Penolakan Ahli Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam undang-undang menetapkan bahwa harta peninggalan seseorang tidak hanya berbentuk aktiva tapi juga termasuk pasiva, artinya tidak hanya berbentuk benda-benda, hak-hak kebendaan atau piutang yang merupakan tagihan para ahli waris, tetapi termasuk juga harta peninggalan itu semua hutang yang merupakan beban atau kewajiban bagi para ahli warisnya untuk melunasi hutang-hutangnya. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1100 kitab undang-undang hukum perata yang berbunyi “Para ahli waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang hibah wasiat dan beban yang lain, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”. 115 Berhubungan dengan itu, untuk menghindari beban yang berat bagi ahi waris ada beberapa ketentuan yang akan memberikan kemungkinan kepada para ahli waris untuk mengambil sikap yang menguntungkan. Para ahli waris mempunyai hak berfikir dalam menentukan sikapnya. 116 Jangka waktu berfikir adalah empat bulan. Pengadilan negeri mempunyai wewenang atas permintaan untuk memperpajang jangka waktu ini satu atau beberapa kali. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1024 KUH Perdata. 115 Usman, Ikhtisar Hukum, h. 121 116 Ibid., h.122 Ahli waris yang hendak berfikir, mestilah mengajukan suatu pernyataan oleh ia sendiri atau melalui perantaraan seorang wakil di kepaniteraan pengadilan negeri. Pernyataan tersebut dapat berbentuk lisan, setelah itu dari pernyataan tersebut dapat dibukukan suatu akta dalam suatu register yang disediakan untuk itu. 117 Apabila tenggang waktu yang telah disediakan telah lewat, maka para ahli waris dapat dipaksa untuk megambil sikap menerima warisan, menerima dengan syarat atau menolak warisan. 118 Hak berfikir dalam menentukan para ahli waris dicabut oleh ahli waris sebagaimana disebutkan dalam pasal 1043 kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi “ketentuan dengan mana si yang mewariskan telah melarang dipergunakan hak memikir dan hak istimewa untuk menggadaikan pencatatan harta peninggalan, adalah batal dan tidak sah”. Jika ahi waris menyatakan sikap menolak, maka ia tidak dapat lagi menerima harta warisan. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1058 kitab undang-undang hukum perdata. Orang yang dapat menolak karena hendak membebaskan dirinya dari hutang harta peninggalan, orang dapat menola karena benci kepada pewaris dan anak 117 A.Pitlo. Hukum Waris, h. 41 118 Usman. Ikhtisar Hukum, h. 122-123 cucunya, tetapi juga orang dapat menolak untuk menguntungkan waris serta atau waris dari kelompok berikutnya. 119 Dan adapula kemungkinan, bahwa penolakan bisa dihibahkan dan dengan demikian akan diindahkan bagian-bagian legitimnya dan pemasukan hata peninggalan dari orang yang menolak 120 Untuk lebih jelasnya, dibawah ini beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli waris menurut konsepsi hukum perdata. 1. Pengertian Penolakan Warisan Penolakan adalah melepaskan suatu hak, sebagaimana halnya dengan setiap pelepasan hal lainnya, berlaku mulai sejak menyatakan kehendaknya untuk itu kepada orang yang bersangkutan, dalam hal ini ahli waris. 121 Seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya, akan tetapi warisan itu dinyatakan dengan tegas memberi suatu ketetapan kepaniteraan pengadilan negeri untuk menyatakan sikap akan menolak warisan yang terbuka itu pasal 1057 . 122 119 A.Pitlo. Hukum Waris, h. 40 120 Ibid 121 Ibid, h. 41 122 Efendi Perangin. Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet keempat, h. 171 Bahwa seorang itu dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, jadi penolakan berlaku surut sampai wafatnya si peninggal warisan. 123 2. Dasar Hukum Penolakan Warisan Dalam literature hukum perdata, dasar hukum penolakan warisan diatur dalam pasal 1057 sampai 1065 kitab undang-undang hukum perdata pasal 1057 menyatakan bahwa penolaan harus dilakukan dengan tegas dalam pernyataan yang dibuat dikepanitraan pengadilan negeri didalam wilayah harta warisan itu berada, dan dalam pasal-pasal berikutnya dinyatakan bahwa berkenan dengan penolakan warisan dan bentuk-bentuk penolakan itu sendiri akan disinggung pada pembahasan selanjutnya. 3. Syarat-syarat dan Akibat Hukum Penolakan Warisan Adapun syarat penolakan warisan adalah : a. Syarat dari penolakan adalah harus dilakukan setelah harta warisan terbuka atau harus dilakukan setelah perisiwa kematia, menurut 1334 ayat 2 bahwa tidaklah di perkenankan bentuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka. 124 b. Untuk memperolehnya mestilah orang yang masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia. 125 123 Ibid 124 Anistus Amanat., Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet kedua, h. 48 125 A. Pitlo. Hukum Waris, h. 14 c. Dilakukan dengan tegas di depan kepanitraan pengedilan negeri hukumnya setelah warisan itu terbuka Pasal 1057. d. Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir yaitu jangka waktu empat bulan, ahli waris diberikan kesempatan berfikir untuk menentukan sikapnya menolak warisan Pasal 1024 dan 1029 Setelah syarat-syarat diatas terpenuhi, maka ahli waris sudah dapat dinyatakan menolak warisan yang telah jatuh padanya. Adapun akibat hukum adanya penolakan warisan adalah : a. Seseorang akan kehilangan haknya untuk mewaris, sehingga orang itu di anggap tidak pernah menjadi ahli waris pasal 1058 bagian legietieme portienyapun akan hilang. 126 b. Si ahli waris yang menolak dinyatakan tidak pernah menjadi ahli waris, dan konsekwensinya orang yang menolak bagian dari warisan Leqitieme porty, karena berpindah atau jatuh kepada mereka sebagai para ahli waris yang sedianya berhak atas bagian warisan itu seandainya orang yang menolak tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan. Hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1059 kitab undang-undang hukum perdata. c. Keturunan dari ahli waris yang menolak tidak bisa mewaris karena pengertian tempat pasal 1060. apabila si ahli waris mempunyai hutang maka ada kemungkinan para berpiutang akan dirugikan dengan penolakan warisan oleh si ahli waris debitur. 127 126 Perangin. h.12 Maka untuk menyelesaikan masalah ini mesti merujuk pasal 1061 kitab undang-undang hukum perdata yaitu yang berbunyi. Semua pemegang piutang terhadap orang yang menolak suatu warisan untuk kerugian mereka dapat meminta dikuasakan oleh hakim untuk atas nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu. Seseorang waris yang telah menghilangkan atau menyembunyikan benda- benda yang termasuk harta peninggalan, kehilangan haknya untuk menolak , ia tetap menjadi waris murni, meskipun ia menolak. Sedangkan ia tidak dapat menuntut suatu bagian pun dalam harta benda yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu menurut pasal 1064, pada pasal 1064, memberikan perlindungan kepada ahli waris dari penggelapan yang dilakukan oleh ahli waris lainnya. 128 Pada akhirnya pasal 1065 kitab undang-undang hukum perdata menyatakan bahwa “Tidak seorang dapat seluruhnya dipulihkan kembali dari penolakan suatu warisan, kecuali penolakan itu terjadi karena penipuan paksaan”. Dapat penulisan kemukakan disini, menurut kitab undang-undang hukum perdata Burgelijk Wetboek yang berlaku.

r. Persamaan Dana Perbedaan Penolakan Menjadi Ahli Waris

Perbedaan hasil terhadap suatu masalah adalah hal yang bersifat wajar dalam arti bahwa semua orang boleh memberikan suatu analisa yang mungkin berbeda 127 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Kewarisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1980, Cet. Keenam, h. 131 128 Perangin. h. 171 antara satu dengan yang lainnya walaupun demikian pula dalam masalah yang sama namun dalam masalah penolakan menjadi ahli waris menurut hukum Islam dan ktiab undang-undang hukum perdata ini. Dari beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli waris yang telah dibahas. Bila dikorelasikan dengan penjabaran atau objek pembahasan hukum waris islam, baik menurut persepsi utama dan atau menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kewarisan akan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan sikap penolakanpengunduran dari menjadi ahli waris. Adapun perbedaan antara penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata adalah pada segi pengertiannya. Dalam penolakan menjadi ahli waris menurut kitab undang-undang hukum perdata memiliki arti melepaskan suatu hak. 129 Penolakan tidak mempengaruhi legitim bagian warisan dari ahli waris lainnya. 130 Dan bagian legietieme portienyapun akan hilang. 131 Sedangkan penolakan menurut hukum islam adalah pengunduran diri menjadi ahli waris memiliki pengertian pengunduran diri atau takharuj adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang 129 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 41 130 Ibid., h. 42 131 Perangin. h. 12 di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasiimbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, baik imbalan tersebut berasal dari harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri. 132 Dalam pasal 1057 kitab undang-undang hukum perdata dinyatakan bahwa menolak suatu harta warisan harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat kepanitraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu. Sedangkan literature hukum Islam dijelaskan bahwa pengunduran diri itu cukup dengan ucapan atau sikap dari ahli waris yang mengundurkan atau mengeluarkan salah satu ahli waris. Selain itu, dalam hukum kewarisan kewarisan perdata seseorang yang menolak bagian yang seharusnya didapat karena hendak membebaskan diri dari hutang-hutang harta peninggalah sehingga dengan tindakkan penolakan tersebut si ahli waris bebas dari segala tanggung jawabnya. Khususnya melunasi beban hutang si waris orang yang meninggal dunia. 133 Sedangkan dalam hukum kewarisan islam, membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli waris 134 , walaupun salah satu ahli waris tersebut mengudurkan diri menjadi ahli waris. 132 Usman dan Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 153 133 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h.40 134 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Keempat, h. 48 Di samping itu pula terdapat beberapa persamaan yang mendasar dari sikap penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata dengan sikap pengunduran diri menjadi ahli waris menurut hukum islam. Persamaan-persamaan tersebut antara lain adalah setiap orang yang meninggal dunia segala hak dam kewajiban berpindah kepada ahli waris. 135 selain itu pula dengan adnya sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya. 136 Dan pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya. 137 Jadi secara ringkas persamaan dan perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata adalah : a. Perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata : No Menurut Hukum Islam Menurut KUH Perdata 1 Penolakan memiliki arti kesepakatan perjanjian para ahli waris untuk mengeluarkan dan mengundurkan diri sebagai ahli waris lainnya dari pewaris dengan mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang ditentukan Penolakan memiliki arti melepaskan suatu hak dan tidak mempengaruhi legitim bagian warisan dari ahli waris lainnya, serta bagian legietieme portienya pun akan hilang, jadi kesimpulannya dalam 135 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Presfektif Islam, Adat, dan BW, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, Cet Kedua, h.26 136 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 40 137 Imam Muchlas. Waris Mawaris Dalam Islam, h. 63 2 3 para ahli waris. Pengunduran diri cukup dengan ucapan atau sikap dari ahli waris yang mengundurkan diri yang diucapkan dihadapan para ahli waris yang mengundurkanmengeluarkan salah satu ahli waris. Melalui perjanjiankesepakatan. Membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli waris, walaupun salah satu ahli waris tersebut mengudurkan diri menjadi ahli waris. hukum perdata tidak diatur adanya pemberian imbalan prestasi. Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengansuatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu. Seseorang yang menolak bagian yang seharusnya didapat karena hendak membebaskan diri dari hutang-hutang harta peninggalan sehingga dengan tindakan penolakan tersebut si ahli waris bebas dari segala tanggung jawabnya kahususnya melunasi beban hutang pewaris.

b. Persamaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-

undang hukum perdata. 1. Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban pewaris atau orang yang meninggal dunia berpindah kepada ahli waris. 2. Sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya. Dan pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.

s. Analisis

Dalam hal menolak warisan ini menurut hukum kewarisan islam bahwa seorang ahli waris boleh saja menolak harta warisan atau tidak mau menerimanya bukan dengan alasan ia ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris seperti yang dianut dalam kitab undang-undang hukum perdata Burgelijk Wetboek melainkan atas kemauannya sendiri saja. Dengan alasan untuk menambah bagian kepada ahli waris lain. Sedangkan dalam hukum kewarisan perdata barat Burgeljik Wetboek seorang ahli waris dapat menolak untuk menerima warisan dikarenakan ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris. Hal ini dibolehkan, yang berakibat ahli waris tersebut menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan. Penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata adalah pelepasan hak dan diatur adanya pemberian imbalan prestasi. Dengan menolak menjadi ahli waris, akan terhindar dari segala kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawab ahli waris, kewajiban itu salah satunya meliputi melunasi utang pewaris jika pewaris meninggalkan utang sewaktu masa hidupnya. Sedangkan aturan hukum kewarisan islam menegaskan bahwa terdapat beberapa hak yang berhubungan dengan harta peninggalan pewaris orang yang meninggal dunia yang wajib di tunaikan sebelum warisan dibagi kepada ahli waris. Adapun hak-hak tersebut adalah : 1. Biaya perawatan jenazah Perawatan jenazah yang dimaksudkan meliputi seluruh biaya memandikan, mengafani, mengantar mengusung dan menguburkan. 138 2. Pelunasan Hutang Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu yang disepakati sebagai akibat dari imbalan yang telah di terima orang yang utang. Apabila seseorang yang meninggalkan utang pada orang lain belum bayar, maka sudah seharusnya utang tersebut. Dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum harta itu di bagikan kepada ahli waris. 139 Dasar hukum tentang wajibnya didahulukan pelunasan hutang pewaris dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi : F 5G H I J KL M NOPQ R 44= S T ; U VW ,M X YUZ3 A - [\ 5 ]5 6 _N \ ,M X`a cd \ U? ? + S - e 4 fg h R . 4 cd \  A I 1i3 4 ,V;5G BR d. 4 jk l m:Rn + - e - o0 p 4 A - [\ T 5GI o=T p 4 Eo0 4 r 4 4 0d 14= s6\ l? tZ A - [\ - Eo= uh v e 138 Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995, Cet Ketiga, h.40 139 Ahmad Rofiq, Hukum Waris, h. 48-49 s6\ m:Rn A R ?1 Bw Y H 4 p I wkx 44= My G NO55 1 5 NO55 h7N14= 4 z{ -4mrfR+ NOc|I4= }~ 4= N15G 7?E A wz I \ 8• G :- e T - €  U G Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya saja, Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. An-Nissa 4 : 11 3. Wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yang bersifat sukarela tanpa dipengaruhi oleh siapapun, apabila seseorang meninggal dunia, semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaan kepada suatu badan atau orang lain, wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalan dibagi oleh ahli warisnya. 140 4. Pusaka yang dimiliki oleh para waris, apabila masih ada sisa harta, sesudah diambil keperluan tahjiz biaya perawatan jenazah , keperluan membayar hutang dan wasiat. 140 Ibid., h. 52-53 Maka sisa itu menjadi hak para ahli waris dan dibagikan sesuai ketentuan syarat sendiri. 141 Dengan demikian para ahli waris berkewajiban untuk menyelesaikan beban si pewaris, yakni membayar beban hutang piutangnya. Sedangkan menurut KHI hak-hak harta peninggalan ahli waris adalah sebagai berikut menurut pasal 175 KHI. 1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah : a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. c. Menyelesaikan wasiat pewaris d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak 2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Kelompok-kelompok ahli waris menurut pasal 174 KHI : 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah • Golongan laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. • Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan 141 TM Hasby Ash-Shidieqy. Fiqih Mawaris, Semarang, PT. Rizki Putra, 1997. Cet .Pertama. h. 21-22 2. Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pelunasan hutang itu merupakan kewajiban yang utama seabgai pembebasan pertanggung jawaban diakhirat. 142 Yang perlu di perhatikan di dalam pembagian warisan ketika pewaris masih hidup adalah keadalan. Betapapun juga ketentuan warisan didalam Al-Qur’an tetap perlu dijadikan acuan karena dengan demikian baik bagi pewaris yang akan menghadap kepada sang khaliq, juga tidak terbebani karena persoalan kebendaan, dan ahli warisnya juga dapat menerima kenyataan dari bagian yang seharusnya diterimanya dengan penuh keikhlasan. 143 Menurut hukum Islam penolakan mejadi ahli waris tidak ada ketentuannya yang terdapat dalam aturan waris islam adalah adanya pengunduran diri takharuj menjadi ahli waris dan pengunduran diri itu berdasarkan kesepakatan ahli waris dengan salah satu ahli waris lainnya. 144 dan bukan berdasarkan ahli waris melihat hutang-hutang sewaktu hidupnya sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata pasal 1146 yang berbunyi “ Mempunyai hubungan dengan kewajiban para ahli waris untuk melunasi hutang-hutang pewaris. 145 142 Usman dan Somawinata. Fiqih Mawaris, h.52 143 Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris, h.202 144 Usman Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 152 145 Amir martosoedono. Hukum Waris, semarang, penerbit effhar, Cet, ketiga, h. 117 Penolakan menjadi ahli waris dalam hukum perdata dibenarkan dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kewajiban membayar hutang. 146 walaupun yang membuat keputusan itu adalah pengadilan. Namun segala keputusan itu tidak sesuai dengan aturan Al-Qur’an dan Hadits bahwa seorang ahli waris itu mempunyai kewajiban membayar hutang orang yang meninggalkan harta warisan, karena itu merupakan hak-hak orang yang meninggal, maka menurut hukum islam penolakan menjadi ahli waris dalam kitab undang-undang hukum perdata tidak dibenarkan dan tidak diakui keabsahannya karena tidak sesuai dengan aturan warisan menurut hukum Islam.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN