BAB IV PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS
p. Penolakan Ahli Waris Menurut Hukum Islam
Takharuj penolakan ahli waris di KHI tidak dijelaskan. Dalam pasal
183 KHI hanya menjelaskan bahwa, para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya.
95
Pembahasan Penolakan ahli waris dalam hukum islam yaitu :. 1.
Pengertian Takharuj Takharuj ] eﺕ yang berasal dari kata ] A keluar maksudnya suatu
perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris.
96
Untuk mengeluarkan salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik peserta tersebut berasal dari harta milik
orang yang pada mengundurkannya maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal di bagi-bagikan.
97
Apabila ada diatara ahli waris yang melepaskan haknya,
95
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 2002, Cet. Kedua, h. 86
96
M.Ali Hasan. Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996, Cet. Keenam, h. 114
97
Faturrahman. Ilmu Waris, Bandung , PT. Al-maarif , 1981, Cet Kedua, h. 468
secara keseluruhan arau sebagiannya, maka hal tersebut tidak menyalahi syati’at bahkan bias dipandang sebagai suatu sikap yang terpuji.
98
Takharuj menurut Imam Muchlas artinya sama-sama keluar dari suatu kelompok takharuj, dalam masalah ini artinya adalah suatu musyawarah damai
diantara ahli waris yang di dalamnya ada sebagian anggota ahli waris yang mengundurkan diri untuk tidak menginginkan haknya dan tidak mengambil bagian
dari warisannya nanti, kemudian bagian atau sebagian dari haknya itu diambil dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.
99
Mengenai pengunduran diri ini para ulama telah mendefinisikannya sebagaimana diterangkan dibawah ini:
“Perjanjian atau perdamaian ahli waris atas keluarmundurnya sebagaian mereka dalam menerima bagiannya terhadap pewarisan dengan memberikan suatu prestasi
atau imbalan tertentu baik imbalan itu dari harta peninggalan maupun dari yang lain”.
100
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu ahli waris di daerah Jakarta, mengatakan bahwa dimana sewaktu bapaknya masih hidup, memberikan wasiat
berupa tanah kepada semua anaknya didaerah Wonogiri. Kemudian orang tuanya meninggal, akhirnya semua tanah warisan diterima kepada ahli waris sesuai dengan
98
Hasan. Hukum Waris, h. 115
99
Imam Muchlas. Waris Mewaris Dalam Islam Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 1996, Cet. Pertama, h. 63
100
Usman dan Somawinata. Fiqih Mewaris, h. 152
wasiat yang di berikan kepada orang tuanya. Kemudian salah satu anaknya ahli waris yang tinggal di jakarta setelah menerima warisan menyerahkan kepada kakak
perempuannya, setelah dimusyawarahkan dengan keluarga. Adapun alasan dia memberikan semua warisannya :
1. Si pewaris tidak bisa mengurus tanah warisan, yang disebabkan tanah lokasi
sangat jauh dari tempat tinggalnya. 2.
Kakak perempuan yang menerima warisan, kehidupan ekonominya kurang mencukupi dibanding saudara yang lain.
Dari kasus tersebut diatas, dapat dipahami bahwa pengunduran diri atau takharuj adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau
beberapa orang di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasiimbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, hak imbalan
tersebut berasal dari harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri.
101
Pengeluaran diri ahli waris dari hak mewaris bukan berarti ia Mutakharaj digolongkan kepada ahli waris mahjub terhalang, mamnu terlarang, dan juga
karana ia mempunyai beban hutang kepada pewaris atau para ahli waris lainnya, melainkan ia menyatakan sikap tersebut karena adanya beberapa kemungkinan, yaitu:
101
Ibid., h. 153
1. Atas dasar ridho dan ikhlas tanpa ada paksaan dari ahli waris lain dari ahli waris
yang diundurkan dengan semata-mata ibadah.
102
2. Kemungkinan lain adalah, seorang ahli waris mengundurkan diri atau diminta
mengundurkan diri oleh ahli waris lainnya. Baik dengan imbalan maupun tidak, umpamanya, orang yang mengundurkan diri itu kaya raya.
103
Sekalipun demikian, kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas mesti adanya kesepakatan hak bagian warisanya dilimpahkan kepada ahli waris lainnya dengan
tidak menuntut pretasiimbalan dengan tujuan untuk kemashlahatan. Sikap pengeluaran diri tersebut menurut hukum syara dibolehkan sepanjang
sikap pengeluaran diri itu atas dasar keridhoankeikhlasan dari ahli waris yang dikeluarkan dan para ahli waris lainnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam
asas hukum takharuj, yaitu :
r 3?
1 J 4; Wﺽ L s tﺏ a ` u O ] eL ? GﻥD 9Z o Wﺽ F
4ﺏ 4 aY86Iﺕ e
;v g 89 N=D jی t ] eLی
ﺡ 4ﺏ 5 ?
S I9ﺏ 8` WﺏD 4ﺏ G6 p
qL Gﺡ ` :; e q8
p
w
Dan takharuj boleh secara hukum syar’i dengan syarat saling meridhoi dari ahli waris dan telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari. Penjelasan dari Ibnu Abbas ra,
bahwasannya dia berkata : saling melepaskan hak milik antara dua pasangan dan
102
Sayid Sabiq. Fiqih Sunnah, Jilid 14 Bandung : PT. Al Ma’arif, 1995, Cet. Pertama
103
Hasan. Hukum Waris, h. 114
ahli waris dan berkata Hafiz Ibnu Hajar dan disambung oleh Ibnu Syaibah yang sema’na dengannya. Shohih Bukhari bersama penjelasannya Fathul Bari 10
104
2. Status Pengunduran Diri
Pengunduran diri merupakan perjanjian dua pihak, satu pihak menyerahkan tertentu sebagai prestasi kepada pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian
pusakannya sebagaian tegenprestasi pada pihak pertama.
105
Prestasi yang diserahkan pada pihak pertama seolah-olah merupakan harga embelian dan tegenprestasi yang diserahkan oleh pihak kedua seolah-olah
merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian pengunduran diri atau takharuj ini berstatus sebagai perjanjian jual beli.
106
Jika prestasi yang diserahkan itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi yag baik diterimanya, maka pengunduran diri ini berstatus perjanjian tukar-menukar.
Disamping itu jika prestasinya yang diserahkan pada pihak yang diundurkan itu diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka perjanjian pengunduran diri itu
berstatus perjanjian pembelian harta pusaka.
107
104
Mufthi Syeikh Ahmad Huraidi, Fatwa-Fatwa Al-Azhar , Bab Takharuj, Juz. 2, h. .259, Pada Tanggal 5 Syawal 1389 Bertepatan 17 Desember 1969 M.
105
Faturrahman. Ilmu Waris, h.468- 469
106
Ibid, Tegenprestasi adalah timbal balik dari pihak kedua atas prestasi yang diberikan dari pihak pertama
107
Ibid
3. Dasar Hukum Pengunduran Diri
Dalam menerangkan dasar hukum adanya pengunduran diri ini para ulama mengemukakan pendapatnya dengan berdasarkan pada salah satu hadits dari Ibnu
Abbas r.a yang menerangkan bahwa :
ی ; J= 2L GﺕD ; x26H 7yJ 4ﺏ 49ﺡ2 3 2D Zﺕ23 Yﻥ 3Iﺏ G; 2 4ﺏ 9n Z12 J
p VWI 2t ?
N 2L; 8ﺏVu 4ﺏ zی3ﺡ { :dY; _= .
3 S . 2E2
G 2 ; W 4ﺏ G26 3 Pﺱ G2ﻥD j86; WﺏD 4ﺏ Wﻥ AD 7lی O 4ﺏ 4
G Y 8ﺏVu \
| P Qﺏ 7yJ 4ﺏ 49ﺡ2 3 x26H 12 J { } ; 21 { Z2L
28 6j Zﺕ23 W 9n Z
p \ X E
8ﺏVu 4ﺏ ? ﺕJL ; g ﺕ D r D 6 ﻥD 2;D
.a S
ﺽ 9ﺕ = 29ﺱ Gﺏ 7lی O 4ﺏ 4 { 76; 4 VWI 2t ?
N 2L; zی3ﺡ _= .
4ﺏ 9 4
یX ~D ; D
1•nﺏ 49n z61 4; G6=D ZO AD yJ 4ﺏ 49ﺡ 3
= X € D 48ﻥ 91 € 9 W . E
3
•
‚•
{ r j 4 W SJ ﺏ WYZ8 S
ƒ ƒ„
p
Sesun guhnya Abdurrahman bin Auf menthalaq istrinya sama sekali menjatuhkan
thalaq tiga dan dia sakit, maka utsman bin affan memberikan hak waris kepadanya setelah habis masa iddahnya. Berkata Syafi’i hadits ini munqoti, dan hadits zubair
muttasil Riwayat Abdurrazzaq di musonnipnya Dari Ibnu Jarih telah memberitahukan kami Ibnu Abi Mulaikata bahwa sesungguhnya dia bertanya kepada
Abdullah bin Zubair maka dia berkata kepadanya : Abdurrahman bin auf telah mentalaq istrinya binti Al-asba Al-kalbiyah sekali kali thalaq tiga Kepadanya,
kemudian dia meninggal dunia, maka Utsman bin Affan memberikan hak waris kepadanya pada masa iddahnya. Dan ditambahkan : berkata Ibnu Zubair : Dan
adapun saya ketika saya lihat bahwa dia diwariskan . Riwayat Syafi’i dari Muslim,
dari Abi Jarih darinya menamakannya Tumadhir Ini hadits Muttasil. Dan dari Amru bin dinar : bahwa sesunnguhnya istri Abdurrahman bin Auf diberikan oleh keluarga
Abdurrahman bin Auf kepada istrinya 38 dari 83.000 dirham. Diriwayatkan dari Abdurrozzaq di musonif no. 2898, diriwayatkan Al-baihaqi semisalnya sunan kubro
no. 656.
14 108
Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbale baik, baik berupa perjanjian jual-beli perjanjian tukar menukar maupun perjanjian pembagiannya harta
pusaka yang ketiga perjanjian ini data diterapkan kepada perjanjian takharuj, selali dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat-syarat ketentuan syari’at itu telah
dipenuhinya dan terutama bila para pihak yang mengadakan perjanjian telah saling menyatakan kerelaannya masing-masing.
109
Kitab undang-undang hukum warisan Mesir membenarkan takharuj dalam pasal yang terakhir, pasal 48 dari kitab undang-undang tersebut dijelaskan dengan
definisinya, bentuk-bentuknya dengan cara-cara membagikan harta pusaka kepada ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta pusaka tersebut sebgagian ahli waris
yang mengatakan perjanjian takharuj sebagaimana dalam teks selengkapnya adalah sebagai berikut:
“Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari mempusakai dengan kesesuaian yang sudah maklum apabila salah
seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris lainnya. Maka bagiannya
108
Imam Malik Bin Anas , Kitab Muwattho, Bab Tholaqul Mariedh, Terbitan Kementrian Agama Dan Wakaf, Republik Arab Mesir, 1426 H2005 M, Cet. Kesembilan, Hadist. 575, h. 180;
Imam Syafei, Kitab Musnad, Bab Thalaq Dan Rujuk, Terbitan Darul Kutub, Ilmiah Beirut- Lebanon, h. 294. Oleh mufthi syeikh Ahmad Huraidi pada tanggal 5 syawal 1389 bertepatan 17
Desember 1969 M , fatwa-fatwa Al-Azhar bab takhooruj, juz 2, Hadist 31125, h. 259,
109
Faturrahman. Ilmu Waris, h. 470
dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka didalam perjanjian
takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata”.
110
4. Bentuk-bentuk pengunduran diri dan Cara membagikannya.
Terdapat tiga bentuk pengnduran diri yaitu: A. Seorang ahli waris mengundurkan seorang ahliw aris yang lain dengan
memberikan sejumlah uang atau uang yang diambilkan dari miliknya sendiri. Oleh karena ia telah memebrikan suatu prestasi kepada ahli waris yang
diundurkan, ia bantuk menerima tegenprestasi yang diberikan oleh orang yang diundurkan, yang berupa bagian dari harta peninggalan yang semestinya akan
diterima pihak pertama seolah-olah telah membeli bagian pusaka pihak kedua. Dengan sejumlah uang yang telah ia serahkan jadi pertama disamping mendapat
sahamnya sendiri yang harus diterima, sehingga ia memperoleh saham orang yang telah diundurkannya.
111
Adapun ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan masalah pembagian harta peninggalan dalam bentuk ketiga ini, ialah:
a. Hendaknya dicari dahulu besarnya saham atau penerimaan masing-masing
ahli waris termasuk juga saham pihak yang diundurkannya.
110
Ibid., h. 471
111
Ibid
b. Pihak yang diundurkan Mutakharaj harus dianggap dan diperhitungkan
sebagai ahli waris yang maujud yang harus dicari besar kecilnya saham yang seharusnya diterima.
c. Kemudian saham pihak yang diundurkan tersebut dikumpulkan
ditambahkan kepada saham pihak yang mengundurkannya. d.
Besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta pusaka
seelah terjadinya perjanjian takharuj. B. Beberapa ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan memberikan
prestasi yang diambilkan dari ahrta peninggalan itu sendiri. Bentuk perjanjian pengunduran diri ke II ini merupakan bentuk yang sangat umum banyak terjadi
dalam pembagian harta pusaka dari pada bentuk yang lain. Setelah sempurna perjanjian takharuj ini dipenuhi, maka pihak yang diambil sejumlah tertentu yang
diberikan kepada pihak-pihak yang diundurkan dalam jumlah tersebut mereka bagi bersama sesua dengan perbandingan saham mereka masing-masing.
Dalam perjanjian takharuj bentuk ke II ini, yakni yang prestasinya diambilkan dari sebagian harta peninggalan itu sendiri, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai
berikut: a.
Sisa harta peninggalan dibagi antar para ahli waris menurut perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj.
b. Saham-saham mereka kemudian dijumlah untuk dijadikan asal masalah baru,
sebagai pengganti asal masalah yang lama harus ditinggalkan.
c. Pihak yang telah diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah prestasi
tertentu, tetap diperhitungkan bagian para ahli waris yang mengundurkan, sebab kalau demikian maka hasil dari penerimaan para ahli waris
akanberlainan dan berlwanan dengan ijma.
112
C. Beberapa orang ahli waris mengundurkan ahli waris dengan memebrikan prestasi yang diambilkan dari harta milik masing-masing secara urutan. Dalam hal ini
orang yang mengundurkan diri atau diundurkan oleh ahli waris seolah-olah telah menjual haknya terhadap harta peninggalan dengan sejumlah prestasi yang telah
diberikan oleh ahli waris yang pada mengundurkannya, dan akibatnya seluruh harta peninggalan untuk mereka semuanya. Besar kecilnya urutan iuran yang
harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut yang telah mereka sepakati.
113
Adapun ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengunduran diri bentuk ke-III ini adalah:
a. Takharuj tida mempengaruhi terhadap besarnya asal masalah semua, yakni
besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj dapat dijadikan asal masalah dalam pembagian harta pusaka, setelah terjadinya
takharuj, karena asal masalahnya tidak berubah. b.
Ahli waris yang diundurkan dalam pembagian harta pusaka kepada ahli waris yang pada mengundurkannya dianggap tidak ada.
112
Ibid., h. 472
113
Ibid
c. Dalam pembagian harta pusaka kepada mereka yang pada mengundurkannya,
mengingat corak-corak cara membayarnya ditentukan sebagai berikut : 1.
Dalam pembayaran corak pertama, maka pembagian kepada ahli waris yang pada mengundurkan adalah sebagai pembagian dalam bentuk takharuj ke II,
yakni seluruh harta peninggalan dibagi kepada mereka menurut perbandingan saham mereka masing-masing kemudian dalam membagikan bagian orang
yang diundurkan demikian hendaknya. 2.
Dalam pembayaran corak ke II, maka bagian orang yang diundurkan dibagi sama rata. Demikian juga dalam perjanjia takharuj tersebut diterangkan cara-
cara pembagian orang yang diundurkan, maka pembagiannya harus disama ratakan sebab ketiadaan diterangkan cara-cara tersebut, menunjukan kerelaan
masing-masing untuk dibagi secara sama rata, kalau tidak demikian tentunya mereka pada membuat ketntuan-ketentuan baik mengenai jumlah yang harus
dibayar maupun bagaimana cara pembagiannya. 3.
Dalam pembayaran corak ke III, yakni yang pembayarannya tidak menurut perundingan saham meerka dalam mempusakai atau tidak sama banyak, maka
pembagian orang yang diundurkan hendaknya menurut perbandingan jumlah besar kecilnya uang yang telah mereka bayarkan demi untuk melaksanakan
keadilan dan menyesuaikan kaidah “Al-Ghurmu bin Ghurmi”, artinya ialah suatu kerugian itu hendaknya ditutup dengan keuntungan Ghanimah.
114
114
Ibid., h. 473
q. Penolakan Ahli Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam undang-undang menetapkan bahwa harta peninggalan seseorang tidak hanya berbentuk aktiva tapi juga termasuk pasiva, artinya tidak hanya berbentuk
benda-benda, hak-hak kebendaan atau piutang yang merupakan tagihan para ahli waris, tetapi termasuk juga harta peninggalan itu semua hutang yang merupakan
beban atau kewajiban bagi para ahli warisnya untuk melunasi hutang-hutangnya. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1100 kitab undang-undang hukum
perata yang berbunyi “Para ahli waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang hibah wasiat dan beban yang lain,
memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”.
115
Berhubungan dengan itu, untuk menghindari beban yang berat bagi ahi waris ada beberapa ketentuan yang akan memberikan kemungkinan kepada para ahli waris
untuk mengambil sikap yang menguntungkan. Para ahli waris mempunyai hak berfikir dalam menentukan sikapnya.
116
Jangka waktu berfikir adalah empat bulan. Pengadilan negeri mempunyai wewenang atas permintaan untuk memperpajang jangka waktu ini satu atau beberapa
kali. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1024 KUH Perdata.
115
Usman, Ikhtisar Hukum, h. 121
116
Ibid., h.122
Ahli waris yang hendak berfikir, mestilah mengajukan suatu pernyataan oleh ia sendiri atau melalui perantaraan seorang wakil di kepaniteraan pengadilan negeri.
Pernyataan tersebut dapat berbentuk lisan, setelah itu dari pernyataan tersebut dapat dibukukan suatu akta dalam suatu register yang disediakan untuk itu.
117
Apabila tenggang waktu yang telah disediakan telah lewat, maka para ahli waris dapat dipaksa untuk megambil sikap menerima warisan, menerima dengan
syarat atau menolak warisan.
118
Hak berfikir dalam menentukan para ahli waris dicabut oleh ahli waris sebagaimana disebutkan dalam pasal 1043 kitab undang-undang hukum perdata yang
berbunyi “ketentuan dengan mana si yang mewariskan telah melarang dipergunakan hak memikir dan hak istimewa untuk menggadaikan pencatatan harta peninggalan,
adalah batal dan tidak sah”. Jika ahi waris menyatakan sikap menolak, maka ia tidak dapat lagi menerima
harta warisan. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1058 kitab undang-undang hukum perdata.
Orang yang dapat menolak karena hendak membebaskan dirinya dari hutang harta peninggalan, orang dapat menola karena benci kepada pewaris dan anak
117
A.Pitlo. Hukum Waris, h. 41
118
Usman. Ikhtisar Hukum, h. 122-123
cucunya, tetapi juga orang dapat menolak untuk menguntungkan waris serta atau waris dari kelompok berikutnya.
119
Dan adapula kemungkinan, bahwa penolakan bisa dihibahkan dan dengan demikian akan diindahkan bagian-bagian legitimnya dan pemasukan hata
peninggalan dari orang yang menolak
120
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli waris menurut konsepsi hukum perdata.
1. Pengertian Penolakan Warisan
Penolakan adalah melepaskan suatu hak, sebagaimana halnya dengan setiap pelepasan hal lainnya, berlaku mulai sejak menyatakan kehendaknya untuk itu kepada
orang yang bersangkutan, dalam hal ini ahli waris.
121
Seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya, akan tetapi warisan itu dinyatakan dengan tegas memberi suatu ketetapan kepaniteraan
pengadilan negeri untuk menyatakan sikap akan menolak warisan yang terbuka itu pasal 1057 .
122
119
A.Pitlo. Hukum Waris, h. 40
120
Ibid
121
Ibid, h. 41
122
Efendi Perangin. Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet keempat, h. 171
Bahwa seorang itu dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, jadi penolakan berlaku surut sampai wafatnya si peninggal warisan.
123
2. Dasar Hukum Penolakan Warisan
Dalam literature hukum perdata, dasar hukum penolakan warisan diatur dalam pasal 1057 sampai 1065 kitab undang-undang hukum perdata pasal 1057 menyatakan
bahwa penolaan harus dilakukan dengan tegas dalam pernyataan yang dibuat dikepanitraan pengadilan negeri didalam wilayah harta warisan itu berada, dan dalam
pasal-pasal berikutnya dinyatakan bahwa berkenan dengan penolakan warisan dan bentuk-bentuk penolakan itu sendiri akan disinggung pada pembahasan selanjutnya.
3. Syarat-syarat dan Akibat Hukum Penolakan Warisan
Adapun syarat penolakan warisan adalah : a.
Syarat dari penolakan adalah harus dilakukan setelah harta warisan terbuka atau harus dilakukan setelah perisiwa kematia, menurut 1334 ayat 2 bahwa tidaklah di
perkenankan bentuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka.
124
b. Untuk memperolehnya mestilah orang yang masih hidup pada saat pewaris
meninggal dunia.
125
123
Ibid
124
Anistus Amanat., Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet kedua, h. 48
125
A. Pitlo. Hukum Waris, h. 14
c. Dilakukan dengan tegas di depan kepanitraan pengedilan negeri hukumnya
setelah warisan itu terbuka Pasal 1057. d.
Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir yaitu jangka waktu empat bulan, ahli waris diberikan kesempatan berfikir untuk menentukan
sikapnya menolak warisan Pasal 1024 dan 1029 Setelah syarat-syarat diatas terpenuhi, maka ahli waris sudah dapat dinyatakan
menolak warisan yang telah jatuh padanya. Adapun akibat hukum adanya penolakan warisan adalah :
a. Seseorang akan kehilangan haknya untuk mewaris, sehingga orang itu di anggap
tidak pernah menjadi ahli waris pasal 1058 bagian legietieme portienyapun akan hilang.
126
b. Si ahli waris yang menolak dinyatakan tidak pernah menjadi ahli waris, dan
konsekwensinya orang yang menolak bagian dari warisan Leqitieme porty, karena berpindah atau jatuh kepada mereka sebagai para ahli waris yang sedianya
berhak atas bagian warisan itu seandainya orang yang menolak tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan. Hal ini telah ditegaskan dalam
pasal 1059 kitab undang-undang hukum perdata. c.
Keturunan dari ahli waris yang menolak tidak bisa mewaris karena pengertian tempat pasal 1060.
apabila si ahli waris mempunyai hutang maka ada kemungkinan para berpiutang akan dirugikan dengan penolakan warisan oleh si ahli waris debitur.
127
126
Perangin. h.12
Maka untuk menyelesaikan masalah ini mesti merujuk pasal 1061 kitab undang-undang hukum perdata yaitu yang berbunyi. Semua pemegang piutang
terhadap orang yang menolak suatu warisan untuk kerugian mereka dapat meminta dikuasakan oleh hakim untuk atas nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari
dan untuk orang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu. Seseorang waris yang telah menghilangkan atau menyembunyikan benda-
benda yang termasuk harta peninggalan, kehilangan haknya untuk menolak , ia tetap menjadi waris murni, meskipun ia menolak. Sedangkan ia tidak dapat menuntut suatu
bagian pun dalam harta benda yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu menurut pasal 1064, pada pasal 1064, memberikan perlindungan kepada ahli waris
dari penggelapan yang dilakukan oleh ahli waris lainnya.
128
Pada akhirnya pasal 1065 kitab undang-undang hukum perdata menyatakan bahwa “Tidak seorang dapat seluruhnya dipulihkan kembali dari penolakan suatu
warisan, kecuali penolakan itu terjadi karena penipuan paksaan”. Dapat penulisan kemukakan disini, menurut kitab undang-undang hukum
perdata Burgelijk Wetboek yang berlaku.
r. Persamaan Dana Perbedaan Penolakan Menjadi Ahli Waris
Perbedaan hasil terhadap suatu masalah adalah hal yang bersifat wajar dalam arti bahwa semua orang boleh memberikan suatu analisa yang mungkin berbeda
127
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Kewarisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1980, Cet. Keenam, h. 131
128
Perangin. h. 171
antara satu dengan yang lainnya walaupun demikian pula dalam masalah yang sama namun dalam masalah penolakan menjadi ahli waris menurut hukum Islam dan ktiab
undang-undang hukum perdata ini. Dari beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli
waris yang telah dibahas. Bila dikorelasikan dengan penjabaran atau objek pembahasan hukum waris islam, baik menurut persepsi utama dan atau menurut
peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kewarisan akan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan sikap penolakanpengunduran dari menjadi ahli
waris. Adapun perbedaan antara penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam
dan kitab undang-undang hukum perdata adalah pada segi pengertiannya. Dalam penolakan menjadi ahli waris menurut kitab undang-undang hukum perdata memiliki
arti melepaskan suatu hak.
129
Penolakan tidak mempengaruhi legitim bagian warisan dari ahli waris lainnya.
130
Dan bagian legietieme portienyapun akan hilang.
131
Sedangkan penolakan menurut hukum islam adalah pengunduran diri menjadi ahli waris memiliki pengertian pengunduran diri atau takharuj adalah
kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang
129
A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 41
130
Ibid., h. 42
131
Perangin. h. 12
di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasiimbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, baik imbalan tersebut berasal dari
harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri.
132
Dalam pasal 1057 kitab undang-undang hukum perdata dinyatakan bahwa menolak suatu harta warisan harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan suatu
pernyataan yang dibuat kepanitraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu.
Sedangkan literature hukum Islam dijelaskan bahwa pengunduran diri itu cukup dengan ucapan atau sikap dari ahli waris yang mengundurkan atau
mengeluarkan salah satu ahli waris. Selain itu, dalam hukum kewarisan kewarisan perdata seseorang yang
menolak bagian yang seharusnya didapat karena hendak membebaskan diri dari hutang-hutang harta peninggalah sehingga dengan tindakkan penolakan tersebut si
ahli waris bebas dari segala tanggung jawabnya. Khususnya melunasi beban hutang si waris orang yang meninggal dunia.
133
Sedangkan dalam hukum kewarisan islam, membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli
waris
134
, walaupun salah satu ahli waris tersebut mengudurkan diri menjadi ahli waris.
132
Usman dan Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 153
133
A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h.40
134
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Keempat, h. 48
Di samping itu pula terdapat beberapa persamaan yang mendasar dari sikap penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata dengan sikap pengunduran diri
menjadi ahli waris menurut hukum islam. Persamaan-persamaan tersebut antara lain adalah setiap orang yang meninggal dunia segala hak dam kewajiban berpindah
kepada ahli waris.
135
selain itu pula dengan adnya sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris
dari kelompok berikutnya.
136
Dan pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.
137
Jadi secara ringkas persamaan dan perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata adalah :
a. Perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang
hukum perdata :
No Menurut Hukum Islam
Menurut KUH Perdata
1 Penolakan memiliki arti kesepakatan
perjanjian para ahli waris untuk mengeluarkan dan mengundurkan diri
sebagai ahli waris lainnya dari pewaris dengan mendapatkan suatu
prestasi atau imbalan yang ditentukan Penolakan memiliki arti melepaskan
suatu hak dan tidak mempengaruhi legitim bagian warisan dari ahli
waris lainnya,
serta bagian
legietieme portienya
pun akan
hilang, jadi kesimpulannya dalam
135
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Presfektif Islam, Adat, dan BW, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, Cet Kedua, h.26
136
A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 40
137
Imam Muchlas. Waris Mawaris Dalam Islam, h. 63
2
3 para ahli waris.
Pengunduran diri cukup dengan
ucapan atau sikap dari ahli waris yang mengundurkan diri yang diucapkan
dihadapan para ahli waris yang mengundurkanmengeluarkan
salah satu
ahli waris.
Melalui perjanjiankesepakatan.
Membayar hutang tetap sebagai
kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli waris, walaupun salah satu
ahli waris tersebut mengudurkan diri menjadi ahli waris.
hukum perdata tidak diatur adanya pemberian imbalan prestasi.
Menolak suatu warisan harus terjadi dengan
tegas, dan
dilakukan dengansuatu pernyataan yang dibuat
di kepaniteraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya telah
terbuka warisan itu.
Seseorang yang menolak bagian yang seharusnya didapat karena
hendak membebaskan diri dari hutang-hutang harta peninggalan
sehingga dengan tindakan penolakan tersebut si ahli waris bebas dari
segala tanggung
jawabnya kahususnya melunasi beban hutang
pewaris.
b. Persamaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-
undang hukum perdata.
1. Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban
pewaris atau orang yang meninggal dunia berpindah kepada ahli waris. 2.
Sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya. Dan
pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.
s. Analisis
Dalam hal menolak warisan ini menurut hukum kewarisan islam bahwa seorang ahli waris boleh saja menolak harta warisan atau tidak mau menerimanya
bukan dengan alasan ia ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris seperti yang dianut dalam kitab undang-undang hukum perdata Burgelijk Wetboek
melainkan atas kemauannya sendiri saja. Dengan alasan untuk menambah bagian kepada ahli waris lain. Sedangkan dalam hukum kewarisan perdata barat Burgeljik
Wetboek seorang ahli waris dapat menolak untuk menerima warisan dikarenakan ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris. Hal ini dibolehkan, yang
berakibat ahli waris tersebut menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan.
Penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata adalah pelepasan hak dan diatur adanya pemberian imbalan prestasi.
Dengan menolak menjadi ahli waris, akan terhindar dari segala kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawab ahli waris, kewajiban itu salah satunya
meliputi melunasi utang pewaris jika pewaris meninggalkan utang sewaktu masa hidupnya.
Sedangkan aturan hukum kewarisan islam menegaskan bahwa terdapat beberapa hak yang berhubungan dengan harta peninggalan pewaris orang yang
meninggal dunia yang wajib di tunaikan sebelum warisan dibagi kepada ahli waris.
Adapun hak-hak tersebut adalah :
1. Biaya perawatan jenazah
Perawatan jenazah yang dimaksudkan meliputi seluruh biaya memandikan, mengafani, mengantar mengusung dan menguburkan.
138
2. Pelunasan Hutang
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu yang disepakati sebagai akibat dari imbalan yang telah di terima orang yang utang.
Apabila seseorang yang meninggalkan utang pada orang lain belum bayar, maka sudah seharusnya utang tersebut. Dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum
harta itu di bagikan kepada ahli waris.
139
Dasar hukum tentang wajibnya didahulukan pelunasan hutang pewaris dijelaskan dalam firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 11 yang berbunyi :
F 5G H I
J KL
M NOPQ
R 44=
S T
; U VW
,M X YUZ3 A
- [\
5 ]5
6 _N \
,M X`a cd \
U? ? +
S -
e 4 fg
h R
. 4
cd \
A I
1i3 4 ,V;5G
BR d. 4
jk l m:Rn
+ -
e -
o0 p
4 A
- [\
T 5GI
o=T p
4 Eo0 4 r 4
4 0d
14= s6\
l? tZ A
- [\
- Eo=
uh v
e
138
Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995, Cet Ketiga, h.40
139
Ahmad Rofiq, Hukum Waris, h. 48-49
s6\ m:Rn
A R ?1
Bw Y H 4
p I
wkx 44=
My G
NO55 1
5 NO55
h7N14= 4 z{
-4mrfR+ NOc|I4=
}~ 4= N15G
7?E A
wz I
\ 8•
G :-
e T
- €
U G
Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya saja, Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. An-Nissa 4 : 11 3.
Wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yang bersifat sukarela tanpa dipengaruhi oleh siapapun, apabila seseorang meninggal dunia, semasa hidupnya berwasiat atas
sebagian harta kekayaan kepada suatu badan atau orang lain, wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalan dibagi oleh ahli warisnya.
140
4. Pusaka yang dimiliki oleh para waris, apabila masih ada sisa harta, sesudah
diambil keperluan tahjiz biaya perawatan jenazah , keperluan membayar hutang dan wasiat.
140
Ibid., h. 52-53
Maka sisa itu menjadi hak para ahli waris dan dibagikan sesuai ketentuan syarat sendiri.
141
Dengan demikian para ahli waris berkewajiban untuk menyelesaikan beban si pewaris, yakni membayar beban hutang piutangnya.
Sedangkan menurut KHI hak-hak harta peninggalan ahli waris adalah sebagai berikut menurut pasal 175 KHI.
1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang. c.
Menyelesaikan wasiat pewaris d.
Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak 2.
Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
Kelompok-kelompok ahli waris menurut pasal 174 KHI : 1.
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a.
Menurut hubungan darah • Golongan laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek. • Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek. b.
Menurut hubungan perkawinan
141
TM Hasby Ash-Shidieqy. Fiqih Mawaris, Semarang, PT. Rizki Putra, 1997. Cet .Pertama. h. 21-22
2. Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak,
ayah, ibu, janda atau duda. Pelunasan hutang itu merupakan kewajiban yang utama seabgai pembebasan
pertanggung jawaban diakhirat.
142
Yang perlu di perhatikan di dalam pembagian warisan ketika pewaris masih hidup adalah keadalan. Betapapun juga ketentuan warisan didalam Al-Qur’an tetap perlu
dijadikan acuan karena dengan demikian baik bagi pewaris yang akan menghadap kepada sang khaliq, juga tidak terbebani karena persoalan kebendaan, dan ahli
warisnya juga dapat menerima kenyataan dari bagian yang seharusnya diterimanya dengan penuh keikhlasan.
143
Menurut hukum Islam penolakan mejadi ahli waris tidak ada ketentuannya yang terdapat dalam aturan waris islam adalah adanya pengunduran diri takharuj
menjadi ahli waris dan pengunduran diri itu berdasarkan kesepakatan ahli waris dengan salah satu ahli waris lainnya.
144
dan bukan berdasarkan ahli waris melihat hutang-hutang sewaktu hidupnya sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata
pasal 1146 yang berbunyi “ Mempunyai hubungan dengan kewajiban para ahli waris untuk melunasi hutang-hutang pewaris.
145
142
Usman dan Somawinata. Fiqih Mawaris, h.52
143
Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris, h.202
144
Usman Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 152
145
Amir martosoedono. Hukum Waris, semarang, penerbit effhar, Cet, ketiga, h. 117
Penolakan menjadi ahli waris dalam hukum perdata dibenarkan dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kewajiban membayar hutang.
146
walaupun yang membuat keputusan itu adalah pengadilan. Namun segala keputusan itu tidak sesuai
dengan aturan Al-Qur’an dan Hadits bahwa seorang ahli waris itu mempunyai kewajiban membayar hutang orang yang meninggalkan harta warisan, karena itu
merupakan hak-hak orang yang meninggal, maka menurut hukum islam penolakan menjadi ahli waris dalam kitab undang-undang hukum perdata tidak dibenarkan dan
tidak diakui keabsahannya karena tidak sesuai dengan aturan warisan menurut hukum Islam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN