Paradigma Pendidikan Politik Muhammadiyah

BAB III FILSAFAT PENDIDIKAN POLITIK MUHAMMADIYAH

3.1 Paradigma Pendidikan Politik Muhammadiyah

Salah satu faktor kebertahanan dan keberhasilan Muhammadiyah sepanjang sejarah menjalankan missinya adalah kemampuannya memelihara jarak disengagement dengan negara, kekuasaan power dan politik. Muhammadiyah dalam banyak bagian sejarahnya cenderung melakukan “political disengagement”, menghindari diri dari keterlibatan langsung dalam politik, apakah “politik negara” state politics maupun “politik kepartaian” party politics, atau politik kekuasaan power politics. Dengan watak seperti ini Muhammadiyah dapat terhindar dari koptasi negara atau, lebih parah lagi, bahkan menjadi bagian dari negara itu sendiri; dengan begitu pula, mengambil jarak dengan parpol-parpol yang ada, sehingga tidak terjadi identifikasi Muhammadiyah dengan parpol tertentu. Hasilnya, Muhammadiyah dapat memelihara karakter dan muru’ahnya sebagai organisasi civil society. 48 Keberadaan sruktur – sruktur atau instistusi – institusi politik di tingkat masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan media massa yang kritis dan aktif, merupakan satu indicator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik. Dengan dilandasi suatu kesadaran bahwa aktivitas- aktivitas politik pemerintah dengan serta– merta secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki dampak terhadap kehidupan rakyat secara keseluruhan maka keterlibatan rakyat adalah suatu kelaziman. 49 Dalam politik juga tidak boleh dilupakan faktor orang atau manusianya. Faktor aktor atau pelaku yang bertindak menentukan apakah politik itu menjadi serba pragmatis atau tidak. Politik itu pada dasarnya baik sebagaimana aspek kehidupan lainnya, tetapi politik 48 Azyumardi Azra Makalah untuk Semiloka Pra-Muktamar Satu Abad Muhammadiyah‘Peran Muhammadiyah dalam Dinamika Kebangsaan’UMS, 14-15 Desember 2009. 49 Deden Faturohman dan Wawan Sobari. Pengantar Ilmu Politik. Malang : UMM Press. 2004, hal 183. Universitas Sumatera Utara menjadi kotor karena dikotori oleh pelakunya, di mana hukum seperti ini berlaku untuk ranah kehidupan lain termasuk agama. Politik dalam tradisi Islam itu “sawasa al-amr”, mengurus urusan dengan sebaik-baiknya. Menurut Ibn ‘Aqil, as-siasatu ma kana fa’ala yakunu minhu al-nasu aqrabu ila al-shalah wa ab’adu ‘an al-fasad, wa an lam yakun yasyra’ahu al-Rasulu wa la nazala bihi wahyu Politik itu adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, kendati Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT tidak mewahyukannya. Muhammadiyah memandang politik sebagai alat perjuangan Islam melalui kekuasaan negara, yang termasuk dalam wilayah al- umur al-dunyawiyyat. Karena itu perjuangan politik harus ditempuh oleh para kader politik Muhammadiyah dengan segenap kemampuan dan komitmen yang tinggi. Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai semestinya. 50 Keterkaitan Muhammadiyah dengan pendidikan politik mengalami pasang surut. Ketika berdiri,Muhammadiyah sama sekali tidak terlibat politik sekalipun beberapa tokohnya juga menjadi anggota SI Sarekat Islam. Kemudian, semakin jelas perannya dalam politik ketika semakin banyak rangkap anggota antara Muhammadiyah dan SI. Ketika muncul konflik kepentingan, Muhammadiyah melarang keanggotaan rangkap. Pada zaman pendudukan Jepang, tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi motor MIAI Majlis Islam A’la Indonesia, yang sekalipun bukan partai tetapi menjadi wadah aspirasi politik Islam. 50 Dr. Yudi Latif Literatur Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan. Universitas Sumatera Utara Sikap netral tersebut disempurnakan lagi dalam Khittah Surabaya 1978, yang memuat sikap bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu Partai Politik atau Organisasi apa pun. Lebih dari itu, ditegaskan bahwa setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Netralitas Muhammadiyah terus berlanjut sampai sekarang, sekalipun dalam 10 tahun terakhir ini, diperjelas bahwa Muhammadiyah harus mengambil peran dalam membangun bangsa demokratis, bemoral dan bermartabat. Kehancuran moral bangsa menuntut peran Muhammadiyah secara lebih aktif. Namun demikian, netalitas sikap Muhammadiyah terhadap partai politik dan disenggagement-nya dalam waktu yang lama dari politik praktif mengakibatkan munculnya dua hal, positif dan negatif. Yang positif adalah bahwa Muhammadiyah bisa berkonsentrasi di bidang usahanya, speperti pendidikan, kesehatan dan santunan sosial. Jumlah AUM semakin banyak dan berakar di masyarakat. Juga, stigma yang menimpa partai politik bisa dihindari oleh Muhammadiyah. Tetapi, di samping itu, yang negatif adalah bahwa Muhammadiyah mengalami kelangkaan kader politik yang kompeten, gagap menyikapi perkembangan politik, dan tidak sensitif terhadap siyuasi politik. Dalam konteks kekinian, pendidikan politik Muhammadiyah diharapkan tidak hanya mampu melahirkan kader-kader Persyarikatan Muhammadiyah, namun ia juga harus mampu melahirkan kader-kader bangsa. Untuk mewujudkan itu semua, apalagi dalam kompetisi global, tidaklah mudah. Banyak tantangan yang perlu dihadapi untuk melakukan terobosan- terobosan atau tindakan inovatif sehingga cita-cita yang menjadi tujuan akhir. Universitas Sumatera Utara

3.2 Filosofis Pendidikan Politik Muhammadiyah