Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat

BAB IV FENOMENA GOLPUT DI IDONESIA

PADA PEMILU 2004

A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat

Seperti yang telah dibahas pada Bab III, bahwa Pemilu 2004 adalah pemilu pertama di Indonesia untuk memilih langsung presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan memilih lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah DPD. Pada pemilu kali ini partai politik yang mengikuti pemilu sebanyak 24 parpol. Artinya, hanya setengah dari jumlah parpol peserta pemilu 1999. Juga yang membedakan dengan pemilu sebelumnya yaitu adanya sistem proposional terbuka. Penyelenggaran pemilu 2004 ini diadakan pada era Reformasi yang ditandai dengan adanya kebebasan kepada rakyat untuk menentukan atau memilih calon pemimpin, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka. Berbeda dengan masa Orde Baru memilih terkesan sebagai kewajiban, rakyat dimobilisasi untuk memilih dan para pejabat sipil diwajibkan memilih partai pemerintah. Birokrasi pemerintahan seperti pegawai negeri sipil tidak dibuat netral. Melalui korpri, pegawai negeri ini menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar, 118 sehingga tidak heran sebelum pemilu hasilnya sudah bisa ditebak terlebih dahulu karena pemenang sudah ditentukan oleh sistem yang ada. 4 . 3 4 1 56 ; - 4 Pasca Orde Baru tumbang dan bergantinya era Reformasi, masyarakat sudah tidak bisa dimobilisasi lagi oleh pemerintah, mereka bebas memilih dan sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika para elit politik tidak bisa memberikan yang terbaik, maka konsekuensinya rakyat tidak akan memilih elit politik tersebut. Bahkan ketika masyarakat sudah tidak percaya terhadap partai politik, pemerintah, ataupun terhadap tatanan sistem yang ada, maka tidak jarang mereka mengekspresikannya dengan sikap apatis atau masa bodoh terhadap pemilu, mereka beranggapan bahwa mengikuti pemilu baginya tidak akan memengaruhi apa-apa. Tingginya angka golput pada pemilu 2004 seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III, serta berdasarkan berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga yaitu sebagai refleksi atas ketidakpercayaan politik dari para pemilih terhadap partai politik atau elit-elit politik yang ada. Memang harus diakui, pemilu 2004 diadakan di tengah-tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, khususnya partai politik yang sedang berkuasa. Berbagai studi yang dilakukan beberapa lembaga menunjukkan rendahnya kepercayaan pemilih kepada partai politik. Akibatnya para pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu 1999 belum tentu menggunakan haknya pada pemilu 2004. Juga para pemilih yang dulunya memilih partai tertentu, tidak ada jaminan pada pemilu 2004 akan memilih partai yang sama. Polling yang dilakukan CESDA-LP3ES menunjukkan lebih dari separuh 51 di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada satu partai politik pun yang memperhatikan suara rakyat. 119 6 : 1 4 + Akibat dari menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap parpol bisa dilihat dari hasil perbandingan perolehan suara pada pemilu 1999 dengan perolehan suara pada pemilu 2004. Lima besar parpol pemenang pemilu 1999 gagal memelihara kepercayaan rakyat. PDIP sebagai partai berkuasa semula memperoleh 35.689.073 33,74 suara pada pemilu 1999, lalu anjlok ke peringkat kedua dengan perolehan suara 21.026.629 18,53 pada pemilu 2004. Meskipun perolehan Golkar mengalami sedikit kenaikan menjadi nomor satu pada pemilu 2004, Golkar juga sama-sama mengalami penurunan presentase suara dari 22,44 1999 menjadi 21,58 2004. PKB dan PPP mengalami nasib serupa. Sementara PAN yang awalnya berada di nomor urut kelima pada pemilu 1999 dikalahkan oleh pendatang baru yakni Partai Demorat dan PKS. Yang lebih tragis lagi angka golput berada pada urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 34.509.246 suara 23,34 pada pemilu legislatif. 120 Jika melihat temuan di atas, ternyata sama dengan hasil perolehan pemilu yang sesungguhnya, yakni jika perolehan suara tidak sah ditambah dengan suara yang tidak hadir pada pemilu legislatif 2004, maka hasilnya mencapai 23,34. Jumlah suara tersebut jelas sangat menggangu terhadap legitimasi para elit politik yang berkuasa. Begitu juga pada pemilihan presiden, jumlah golput suara yang tidak sah ditambah pemilih yang tidak hadir pada pilpres putaran pertama sebagaimana yang sudah dibahas di Bab III juga tinggi yakni sebesar 33.663.676 21,96 suara. Sementara jumlah golput pada perolehan suara pilpres putaran kedua lebih besar lagi yakni mencapai 36.387.130 24,15 suara. 120 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http:www.demosindonesia.orgpdf3Demos25Jan 05. Angka-angka tersebut di atas, jika dibandingkan dengan tingkat ketidakhadiran pemilih di Amerika Serikat, yang rata-rata 40-50 persen, memang tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, jika dibandingakan dengan tingkat ketidakhadiran di bebrapa negara di Eropa yang memakai sistem proporsional, tingkat ketidakhadiran di atas sebenarnya cukup tinggi. Oleh karena itu, tingginya angka goloput pada pemilu 2004 ini harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, 121 sehingga reformasi yang sedang berjalan ini pemerintahannya benar- benar legitimate. Lantas apa yang menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004? Sesuai dengan data-data yang penulis dapatkan, setidaknya terdapat tiga sebab. Pertama, disebabkan oleh banyaknya kegagalan pemerintah saat itu, mulai dari kegagalan dalam memenuhi janji reformasi, kegagalan komunikasi politik menjelaskan kesulitan yang ada, kegagalan partai untuk melakukan pendidikan politik, 122 serta kegagalan dalam perbaikan ekonomi. Dengan melihat realitas yang ada, kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga parlemen baik di pusat maupun di daerah meningkat tajam. Hasil survei LSI pada April 2004, walaupun secara makro ekonomi terlihat adanya peningkatan, akan tetapi sekitar 44,7 pemilih memandang buruk kondisi ekonomi nasional saat itu, sekitar 27,2 memberikan nilai sedang, 16,0 memberikan nilai sangat buruk dan 7,3 saja yang memberikan nilai baik. Dari hasil survei tersebut terlihat gambaran kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang berkuasa saat itu. 123 : 1 4 + 3 7 ; - - ,: , 7 8 Hasil survei LSI juga menunjukkan sekitar lebih dari 60 responden menilai hidup di era Orde Baru lebih baik dibandingkan di era Reformasi. Tidak sampai 25 yang mengaku hidup di era sekarang lebih baik. 124 Maka dari itu jangan heran apabila suara Golkar pada pemilu 2004 ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan PDIP, karena masyarakat menganggap Golkar identik dengan Orde Baru. Penelitian yang dilakuakan oleh Pusat Studi Demokrasi dan HAM PuSDeHAM, Surabaya terhadap 2.332 pemilih di Jawa Timur menunjukkan, hanya 4,8 yang mengaku pemerintahan Megawati berhasil dan lebih dari 70 tidak percaya lagi pada PDIP. 125 Alasan kekecewaan mereka tidak percaya juga cukup beragam, mulai dari keterlibatan atau setidaknya ada dugaan anggota DPRD dari Fraksi PDIP dalam penyalahgunaan APBD, dugaan keterlibatan many politics dalam berbagai kasus pemilihan gubernurwalikotabupati dari PDIP dalam menjalankan roda pemerintahan sampai sikap-sikap pejabat publik anggota dewan dari PDIP yang tidak memihak wong cilik, seperti dalam menyikapi masalah penggusuran, pedagang kaki lima, tukang becak, kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan sebagainya. Semua ini yang mendorong pemilih untuk tidak hadir ke bilik suara. 126 Kedua, di samping kekecewaan terhadap partai yang berkusa, penilaian masyarakat menjadi antipati terhadap parpo-parpol yang ada. Masyarakat sudah tidak percaya terhadap janji elit-elit partai. Partai politik telah gagal menjadi refresentasi politik masyarakat. Akibatnya aspirasi, harapan, ketakutan, keinginan publik tidak tertangkap dan tersaluarkan lewat wadah partai-partai politik dan : 1 4 3 - 2 pada akhirnya timbul sikap kecewa terhadap partai-partai politik tersebut. 127 Alih- alih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai politik ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal, ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan yang lainnya. Semuanya itu tampak tidak dihiraukan oleh partai-partai politik. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, tidak heran ketika rakyat kemudian psimis dan kecewa terhadap partai- partai politik yang ada. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “objek” pengatasnamaan rakyat. 128 Sikap kekecewaan tersebut terungkap seperti disampaikan Bung Idris, penelepon dari Bogor pada acara “Parliament Watch” Metro TV bahwa partai politik selama ini kurang ada keberpihakan kepada rakyat, elit-elitnya yang duduk di DPR malah lebih setia kepada partainya ketimbang kepada rakyat yang memilih. 129 Kekecewaan publik terhadap kinerja partai-partai politik yang kurang memuaskan diakui juga oleh Ali Maskur Musa dari PKB. Kinerja partai-partai tersebut menurutnya lebih berakar dari rekrutmen partai yang tidak memperhatikan timbal balik antara yang memilih dan yang dipilih. Sehingga sering kali anggota dewan kurang memperhatikan yang diwakili. Ini disebabkan karena dahulu, pimpinan partai tidak memilih tokoh-tokoh yang dekat dengan pemilihnya. Dengan sistem proporsional tertutup, siapa yang dekat dengan DPP + 3 7 6 4 : ; ; B 5 6 : . + 8 9 - - merekalah yang dicalonkan dan publik tidak diberi kesempatan untuk memilih orangnya. 130 Mengenai kekecewaan tersebut, dalam hal ini setidaknya terdapat tiga masalah utama yang berhubungan erat dengan tingkat adaptasi dari partai politik dengan lingkungan yang berubah. Pertama, permasalahan korupsi dan permainan uang yang begitu akut, baik di tingkat partai politik, parlemen, dan birokrasi pemerintah. Kedua, krisis lapangan pekerjaan yang tidak selesai-selesai sebagai turunan dari krisis ekomoni nasional. Ketiga, ketimpangan ekonomi yang begitu dalam di antara kelas-kelas sosial. 131 Kompleksitas ini yang menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat menurun. Fakta korupsi besar-besaran terhadap aset publik baik di lembaga birokrasi, parlemen, dan segenap instansi ini terlihat dari laporan lembaga- lembaga internasional tahun 2003. Transparency Internasional yang memantau permasalahan korupsi di berbagai negara menunjukkan bahwa Indonesia bersama Kenya berada di posisi keenam sebagai negara terkorup di dunia. Sementara dalam kawasan Asia, Indonesia berada pada urutan tiga besar bersama Banglades dan Miyanmar. Pada level Asean, Indonesia berada pada urutan kedua. Isu korupsi inilah yang membuat masyarakat kecewa terhadap pemerintah sebagaimana yang diungkapkan Arief Budiman bahwa “…isu korupsi telah A - B + : .7 ; : . + 8 9 - ,: , 3 membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dalam memberantasnya….” 132 Di samping korupsi di atas, krisis ekonomi masih menjadi krisis yang parah. Ledakan partisipasi politik seiring dengan transisi politik menuju demokrasi sejak 1998 diikuti oleh ledakan pengangguran yang sangat tinggi. Imbas krisis tersebut telah meningkatkan angka pengagguran tahun 1998 sebesar 5,1 juta orang atau 5,46 dari jumlah angkatan kerja. 133 Kekecewaan masyarakat sebenarnya cukup beralasan karena mengingat pada masa Orde Baru, pertumbuhan ekonomi setidaknya membuat kemakmuran untuk mereka. Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. William Liddle sebagai berikut: “Saya bisa mengerti kenapa sebagian masyarakat suka pada masa itu. Sebab selama 30 tahun ada pembangunan ekonomi, kira-kira 6 per tahun. Sehingga masyarakat merasa Orde Baru membawa kemakmuran buat mereka, dan sekarang laju pertumbuhan tidak secepat itu. Kita bisa mengerti kalau ada kekecewaan dengan pemerintahan demokratis.” 134 Sementara fungsi parpol yang dikatakan sebagai wadah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat, sebagai wadah penyalur asprasi rakyat, sebagai pereda konflik seakan-akan tidak ada gunannya, tidak berfungsi. Malahan partai itu sendiri yang mempertontonkan hal-hal yang tidak etis yang semestinya tidak boleh terjadi. Misalnya konflik yang sering terjadi di tubuh parpol sendiri yang sudah menjadi santapan rutin masyarakat kala itu, di antara elit politik partai terjadi gontok-gontokan, memperebutkan posisi dan jabatan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berujung pada terpragmentasinya partai-partai : .7 ? A 6 ; : , . : .7 9 8 9 - 4 ,: , 362- ; , : .7 ? A ; + , . : .7 9 8 9 3 politik yang ada. Begitulah keadaan partai politik di Indonesia, terpragmentasinya partai-partai politik hanya karena elitnya tidak bisa menerima kekalahan. Pihak yang kalah segera membuat partai tandingan. Partai yang tidak lolos verifikasi Depkeh juga tidak dapat menerima dengan ikhlas, aneka gugatan juga dibuat, 135 dengan demikian yang sering terjadi adalah keributan di tingkat elit-elit politik. Ketiga, masyarakat melihat bahwa elit-elit politik yang muncul kebanyakan masih dimainkan oleh elit-elit lama yang memang dirasa tidak bisa membawa perubahan. Bagi mereka yang kecewa beranggapan bahwa kebanyakan tokoh yang muncul masih warisan “lama” zaman Orde Baru Soeharto. Tokoh yang memang benar-benar baru jumlahnya hanya sedikit. Padahal reformasi membutuhkan tenaga baru yang bisa membawa angin segar. 136 Jadi mereka yang kecewa menganggap bahwa pemilu 2004 sama saja seperti pemilu-pemilu sebelumnya yang hasilnya tidak bisa diharapkan. Intinya hiruk pikuk politik selama pasca Orde Baru tidak membawa perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat. Contoh kasus, ketidakhadiran pemilih pada pemilu presiden nampaknya ditopang oleh pigur-pigur pasangan capres-cawapres yang dianggap tidak cukup kredibel dalam menyelesaikan persoalan dan mengatasi tantangan bangsa ke depan. Ada capres yang dianggap kredibel, namun cawapresnya diangap tidak kredibel, begitu juga sebaliknya. Penilaian ini terutama diberikan oleh pemilih terpelajar seperti mahasiswa. Di mata mahasiswa pasangan capres-cawapres memiliki track record kelam di masa lampau. 137 Dalam hal ini pemilih lebih 3 ; - - - 1 : , ; 1 : 9 + - : 1 4 3 dilatarbelakangi oleh faktor psikologis yang mengakibatkan mereka kecewa, karena mereka melihat pasangan yang maju tersebut dianggapnya tidak akan bisa membawa perubahan. Adanya dominasi elit-elit lama, misalnya bisa dilihat dalam hal menentukan regulasi calon presiden di DPR, fraksi-fraksi yang ada masih mempertahankan elit-elit lama yang akan diajukan menjadi presiden dan wakil presiden tersebut agar masuk bursa calon presiden. Dalam hal merumuskan regulasinya juga tidak jarang berujung pada kepentingan politik jangka pendek yang berakhir dengan happy ending daripada memutuskan berdasarkan standarisasi yang rasional berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Ambil contoh Fraksi Golkar dalam menentukan electoral threshold mengajukan usul 35, pemerintah 25, sedangkan partai-partai lainnya mengusulkan hanya 3. Berkaitan dengan syarat pendidikan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Reformasi dan Fraksi Bulan Bintang mengajukan syarat minimal S1, sedangkan Fraksi PDIP menentangnya dengan mengajukan cukup dengan syarat SLTA. Mengenai persyaratan kesehatan jasmani dan rohani didukung oleh semua fraksi kecuali Fraksi PKB yang menolaknya. Sementara tentang larangan terdakwa, semua fraksi menyetujuinya kecuali Fraksi Golkar yang menetangnya. 138 Dari perdebatan di atas terlihat jelas bahwa fraksi-fraksi yang ada di DPR hanya mementingkan golongannya masing-masing, sedangkan agenda besar jangka panjang yang seharusnya memutuskan berdasarkan rasionalitas kepentingan nasional bangsa Indonesia tidak mereka pikirkan. Dalam hal ini terlihat jelas dengan saling adu serangnya setiap fraksi dalam menentukan regulasi 4 ; ; = , ; ; 3 4 syarat pencalonan presiden tersebut. Misalnya Fraksi Golkar mengusulkan electoral threshold 35 dalam upaya untuk mengganjal calon-calon lain, serta menaikkan posisi tawar Partai Golkar, sementara partai yang menolaknya tentu saja untuk memperlancar calon presiden yang mereka usung. Sementara mengenai sehat jasmani dan rohani dimaksudkan untuk mengganjal Gus Dur, sedangkan syarat pendidikan harus mimimal S1 dimaksudkan untuk menganjal Megawati yang pendidikannya tidak sampai kuliah, walaupun ia sempat kuliah. Sementara larangan terdakwa untuk mengganjal Akbar Tanjung. Seperti diketahui umum, pada waktu itu Akbar Tanjung sedang berstatus terdakwa terkait dengan masalah korupsi Bulog. 139 . Dengan demikian, maka keputusan untuk menentukan regulasi tersebut disepakati berdasarkan kompromi-kompromi sebagai berikut: untuk batasan electoral threshold ditentukan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan suara 3 dari jumlah kursi di DPR. Dalam hal pendidikan, terjadi kompromi bahwa syarat minimal adalah SLTA. Dengan syarat seperti ini, maka Megawati dapat lolos menjadi capres. Sebagai kompensasi atas dukungan syarat pendidikan SLTA, maka larangan terdakwa menjadi presiden dihapus, lalu sebagai gantinya dicantumkanlah syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Mengenai kesehatan jasmani dan rohani, akhirnya semua fraksi mencabut larangan itu dan dikembalikan ketentuannya berdasarkan pada pasal 6 UUD 1945. Dengan ketentuan ini akhirnya Gus Dur tidak lagi terganjal dengan persyaratan tersebut, 6 4 2 4 ini sebagai hadiah untuk PKB yang telah mencabut usulannya tentang larangan terdawa dan syarat SLTA, walaupun dalam perkembangannya akhirnya Gus Dur tetap terganjal dengan ketentuan pasal 6 ayat d UU No. 23 tahun 2003 yang menyatakan “mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.” Dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara pilpres berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia IDI yang memerikasa semua kesehatan capres dan cawapres menyatakan Gus Dur tidak lolos. 140 Dengan mulai meningkatnya rasionalitas rakyat, maka pada pemilu 2004 ini masyarakat memberikan pelajaran kepada para politisi kita, sebagai wakil rakyat, sebagai pemimpin negara, mereka harus memperhatikan kepentingan rakyat. Turunnya tingkat partisispasi pemilih registered voter turnout pada pemilu kali ini, menghukum para elit-elit politik kita bahwa ketika kepentingan dan aspirasi rakyat tidak diperhatikan, maka rakyat menjadi golput. 141

B. Golput karena Masalah Teknis